412
Bagian 01 dari “Eternity”
Sunwoo melewati kedua teman serumahnya saat ia beranjak menuju pintu depan pada pukul tujuh malam itu.
“Udah mau berangkat kerja?” tanya Chanhee saat melihat pakaian yang dikenakan oleh Sunwoo. Walaupun sebenarnya tidak banyak perbedaannya dengan pakaian yang laki-laki itu kenakan sehari-hari. Serba hitam. Namun kali ini ia mengenakan kemeja hitam, bukan t-shirt atau turtleneck hitam, jadi sudah pasti ia akan berangkat kerja.
“Hm-hm,” jawab Sunwoo pendek.
“Kenapa sih lo milih kerja malem? Padahal kerjaan pagi dan siang itu lebih asyik. Kita bukannya bakal terbakar sampe jadi abu juga kalo kena sinar matahari.” Changmin menyahuti. Yang ditanya hanya mengangkat bahunya tidak peduli.
“Bosen. Gue udah sering jadi pekerja daylight, sekarang pengen jadi pekerja malem aja. Lumayan, nggak harus panas-panasan. Dan orang-orang malem itu nggak sebawel orang-orang siang. Yuk, ah!”
Mengucapkan salam perpisahannya, Sunwoo membuka pintu depan tanpa menunggu jawaban dari teman-teman serumahnya. Changmin menatap Chanhee, yang terlihat santai, dengan bingung.
“Berapa sih umurnya?” tanya Changmin.
“Uhm … kalo gue nggak salah inget, taun ini dia … 412 taun?”
“Ya … nggak heran juga sih kalo dia mulai bosen. Please reminds me, waktu itu dia kenapa meninggalnya?”
“Hm? Biasa lah, waktu itu masih masa-masa chaos karena perang. Dia dari keluarga yang kurang berada dan akhirnya dijual sama keluarganya untuk jadi budak demi mereka bisa makan. Terus yah … lo liat sendiri ‘kan dia ganteng gitu? Istri majikannya jadi naksir, tapi dia nolak. Lalu si majikan perempuan ini ngefitnah dia nyuri perhiasan dan dia dihukum gantung. Kalo nggak salah.”
“Astaga. Kasian banget. Kalo lo … 264 taun, 'kan ya?” Chanhee mengangguk. “Waktu itu kenapa?” lanjut Changmin.
“Gue? Nggak menarik sih, natural death. Kondisi kesehatan gue dulu memang nggak bagus, jadi ya udah, mungkin memang umurnya dikasih cuma segitu aja.”
“Terus kenapa lo mau jadi atua?”
“Ya gue nggak puas lah, Min! Umur gue pendek—duapuluh lima taun, astaga!—mostly cuma diabisin di atas tempat tidur doang, nggak bisa nyoba kegiatan macem-macem atau main ke mana gitu.”
“Hmm … iya juga, sih.”
“Lo waktu itu kenapa? Dirampok ya kalo nggak salah?” Changmin mengangguk sebagai jawaban.
“Dirampok waktu pulang kerja. Terus karena gue ngelawan, jadi ditusuk. Bleeding to death karena kejadiannya di jalan yang nggak banyak orang lewat.”
“Dan jadi atua karena mau bales dendam ke perampoknya?” tebak Chanhee sedikit geli.
“Ya iya, lah! Gila aja, itu uang udah susah payah gue dapetin, kerja halal, eh diambil aja seenaknya sama dia! Pake ngambil nyawa gue segala!” protes Changmin yang membuat Chanhee tergelak.
“Terus? Rampoknya ketemu?”
“Ketemu. Emang sering operasi di daerah situ dia. Anjir, lo harus liat waktu gue mamerin taring ke dia! Literally dia terkencing-kencing di celana sebelom gue bales dendam.”
“Bisa gue bayangin, sih. How old are you back then?”
“Sama kayak lo, duapuluh lima. Dipikir-pikir, lucu juga ya … umur atua Sunwoo itu yang paling tua di antara kita, tapi umur tahuti-nya yang paling muda. Duapuluh tiga?”
Chanhee mengangguk. “Duapuluh tiga dan nggak pernah merasakan kasih sayang dari orang lain. Gue walaupun waktu itu berumur pendek, tapi punya orang tua dan temen-temen yang sayang sama gue.”
“Gue juga. Nggak heran kenapa Sunwoo jadi dingin gitu ke orang lain.”
“HATSCHIIIU!!!” Sunwoo bersin dengan suara keras di balik masker hitam yang dikenakannya, membuat orang-orang yang melewati atau berpapasan dengannya di jalan menoleh dengan heran.
Ini pasti ada yang ngomongin gue, deh! Tadi gue masih sehat-sehat aja, kok … kenapa sekarang jadi bersin-bersin gini? Mana badan merinding sama telinga berdenging, pula! gerutu Sunwoo dalam hati sambil merapatkan jaket kulit hitam yang dikenakannya, berjaga-jaga kalau saja ia benar-benar sakit—walaupun sebenarnya atua tidak mungkin sakit, sih.
Sunwoo berjalan dengan perlahan menuju bar tempatnya bekerja sebagai bartender. Jam kerjanya sebenarnya dimulai masih satu jam lagi, perjalanan menuju tempat kerjanya juga tidak memakan waktu lama dengan berjalan kaki, namun ia selalu berangkat lebih awal karena ingin menikmati perjalanan ke sana. Langit yang mulai gelap, udara yang berubah menjadi lebih sejuk, dan lampu-lampu yang mulai menyala ramai di sana sini, sesuatu yang tidak pernah bisa dengan bebas ia nikmati semasa ia hidup sebelumnya.
Ia sudah mengenal jalan itu sebaik ia mengenal garis di telapak tangannya sendiri, sehingga ia bisa saja berjalan dari rumah hingga ke tempat kerjanya dengan mata tertutup. Dengan kondisi tidak ada orang lain atau kendaraan yang berlalu lalang, tentunya. Hidup di tempat yang sama selama lebih dari empat ratus tahun memang cenderung akan memberikan kemampuan itu kepada setiap orang. Sebenarnya Moonie sudah memberi tawaran kepadanya untuk pindah ke daerah lain, tapi ia tidak mau.
Ia tidak bisa.
Ia tidak mampu.
Sesuatu yang lain dari biasanya tertangkap oleh indera penglihatannya petang itu.
Oh? Ada toko baru? pikirnya saat ia melihat nyala lampu hangat di sebuah bangunan kecil, bangunan yang ia ingat masih gelap gulita di malam sebelumnya. Bangunan yang sebenarnya sangat ia benci karena merupakan tempatnya dieksekusi karena difitnah oleh majikannya empat abad yang lalu.
Tulisan ‘soft opening’ terpampang di papan pengumuman di depan toko.
Arani Patisserie
Oh. Toko kue. Not my things.
Tanpa menoleh dua kali, Sunwoo berjalan melewati toko kue itu sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jaket. Berjalan lurus menuju tempatnya bekerja.
Bar tempatnya bekerja merupakan bar yang lebih eksklusif dibandingkan dengan bar lain yang sangat ingar bingar. Sunwoo sengaja membuatnya seperti itu karena ia tidak suka keramaian.
Eh? Apa aku menyebutkan bahwa Sunwoo yang sengaja membuatnya seperti itu?
Well, kalian tidak salah membacanya. Tidak ada yang tahu—kecuali Moonie dan manajer bar-nya, Hyunjae—bahwa Sunwoo lah yang memiliki bar itu. Hasil kerjanya selama empat ratus tahun lebih membuatnya memiliki banyak uang yang tidak pernah habis walaupun ia gunakan untuk berfoya-foya. Bukannya ia gemar menghabiskan uang, tentu saja, ia hanya bingung untuk apa lagi harus ia gunakan uang itu.
Berasal dari keluarga yang berkekurangan dan menjadi budak semasa kehidupan mortal-nya, Sunwoo terbiasa tidak memiliki apa-apa, pun terbiasa untuk tidak meminta lebih dari apa yang telah ia miliki. Setelah berkonsultasi dengan Moonie, akhirnya penolongnya itu setuju untuk membeli beberapa saham, aset, properti, whatever you named it, untuk menjadi investasi atua senior itu.
“Tapi nanti uang lo makin banyak, deh. Terus lo jadi makin bingung ngabisinnya.” Moonie berargumen terhadap keinginannya.
“Bisa gue sumbangin ke badan amal. Bisa juga gue sumbangin ke atua lain yang mungkin nggak seberuntung gue,” jawabnya waktu itu.
Menjadi immortal bukan berarti serta merta mereka menjadi kaya raya, terutama manusia yang baru saja menjadi atua dan masih harus beradaptasi dengan kondisi mereka. Untuk para atua yang seperti itu lah Sunwoo mengulurkan tangannya.
Aku akan membicarakan perkara atua dan lainnya ini di kesempatan berikutnya, sekarang mari kita kembali ke Sunwoo dan malamnya.
“Mysterious as always, Mr. Bartender?” goda tamu wanita di depannya. Sedikit tersenyum sehingga membuat matanya menyipit, Sunwoo menelengkan kepalanya tanda ia bertanya kepada tamu tersebut.
“Black shirt, black pants, black apron, and of course the black mask.” Wanita itu memutar-mutar gelas cocktail di tangannya.
Gelas ke tiga. Sunwoo mencatat dalam hati. Setelah ini, ia akan menolak jika tamunya itu meminta gelas ke empat.
“Bukankah kalian para tamu akan lebih senang jika dilayani oleh bartender misterius? Bukankah akan terasa seperti kalian benar-benar berada di dunia lain? Dunia di mana penat tidak diterima di dalamnya?”
Karena tepat seperti itu lah nama dan motto dari bar yang ia dirikan.
Other World, where you can leave your bad day at the door.
Tamu wanita itu terkekeh samar.
“Bener juga.” Menenggak habis minuman di gelasnya, wanita itu menutup matanya sebentar. “Lo punya teh anget? Rasanya gue agak pusing.”
Mengangguk, Sunwoo segera menyiapkan permintaan wanita itu.
“Yang punya bar ini siapa, sih? Kok kepikiran bikin bar yang cozy gini, ya? Nggak ada musik yang jedag-jedug, nggak ada cewek-cewek binal seliweran, nggak ada cowok-cowok yang suka iseng ngegodain. Bener-bener other world.”
“Yang punya tuh orangnya unik banget, agak-agak preman tapi nggak suka keramaian, tapi yang jelas sih dermawan banget!” Sunwoo memutar bola matanya saat suara yang sudah sangat ia kenal itu muncul dari sebelah kirinya.
“Oh! Mr. White Hair!” seru wanita itu riang. Mr. White Hair yang ia panggil adalah Moonie. Ia memang terkadang datang ke Other World dan membantu—dibaca: merecoki—pekerjaan Sunwoo.
“Lune, baby. My name is Lune.”
“Because you’re a lunatic,” gumam Sunwoo yang membuatnya mendapatkan tepukan pelan di bokongnya.
Sunwoo membelalakkan mata dengan terkejut kepada Moonie, yang malah mengedipkan mata dengan genit ke arahnya. Menggeleng tak habis pikir, Sunwoo pergi ke arah pengunjung lain yang baru datang untuk menerima pesanannya, meninggalkan Moonie dan tamu wanita itu mengobrol dengan seru.
Dan malam itu berjalan seperti malam-malam biasanya, tanpa Sunwoo tahu bahwa ia akan mendapatkan kejutan saat pagi datang.
©️aratnish'22