Bersama — 36. normalitas

⚠️ content warning : cursing words


Sunwoo menuntun Haknyeon menuju lift untuk membawa pria itu ke unit apartemen miliknya. Setelah mereka berjalan agak jauh dari unit apartemen Haknyeon, Sunwoo dapat mendengar isakan lolos dari bibir pria itu.

“Sayang ….” Dada Sunwoo seakan ditusuk saat mendengar isakan memilukan itu.

“Diem, Kim Sunwoo!” bentak Haknyeon dengan suara yang lebih serak dari biasanya.

“Iya. Maaf.”

Dan mereka sama sekali tidak bersuara—selain suara isakan dari Haknyeon—selama perjalanan menuju ke unit apartemen Sunwoo.


Sunwoo membuka kunci pintu unit apartemennya dalam diam. Begitu pintu itu tertutup di belakang mereka setelah mereka masuk, ia langsung membawa Haknyeon ke dalam pelukannya, sementara tangis pria itu semakin pecah.

“Sayang ….” Sunwoo tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Kenapa lo bilang kalo gue pacar lo, Sun?! Hiks … kenapa?!” amuk Haknyeon sambil memukul dada Sunwoo dengan kepalan tangannya.

“Maaf, sayang ….”

“Dia ngehina gue di sana, Sun! Dia ngehina gue karena gue gay! Dan lo malah memperjelas kalo gue gay! Kenapa?!”

Sunwoo mengangkat Haknyeon dengan mudah ke dalam gendongannya dan membawanya menuju sofa. Mendudukkan dirinya sendiri di sofa itu, ia memosisikan Haknyeon di pangkuannya. Pria itu masih memeluknya dan menangis di bahunya.

“Kenapa gue harus jadi gay, Sun? Kenapa gue nggak bisa jadi normal kayak mereka aja? Salah gue apa?”

“Lo nggak salah apa-apa, sayang. Kita nggak salah apa-apa.”

“Gue pengen jadi normal juga, Sun! Hiks ….”

“Normal yang kayak gimana, Hak? Normal di mata siapa?”

“Normal kayak mereka! Suka ke lawan jenis, nggak harus nyembunyiin identitas diri! Gue capek sembunyi terus! Gue capek dihina dan dicemooh orang!”

Bahu Sunwoo sudah benar-benar dibasahi oleh air mata Haknyeon. Sunwoo tidak mengatakan apa-apa, ia hanya mengelus punggung Haknyeon dengan penuh perasaan, berharap perasaannya itu sampai ke pria yang sedang menangis di dekapannya. Berharap pria itu tahu bahwa tidak peduli seberapa normal—atau tidak normalnya—Haknyeon di mata orang lain, ia tetaplah yang terindah dan termanis di dunia Sunwoo.

“Tapi kalo gue jadi normal, gue nggak bisa bareng-bareng sama lo kayak gini … hiks ….” Haknyeon mulai meracau, membuat Sunwoo mau tidak mau tersenyum geli.

“Di mata gue, lo itu normal, Hak.”

“Lo subyektif!”

“Enggak. Di mata gue, lo normal. Di mata gue, Kak Jacob juga normal. Makanya gue tanya, normal di mata siapa?” Haknyeon terdiam. Isakannya sedikit mereda.

“Lo inget nggak gue pernah bilang bahwa cara gue menerima jati diri gue itu destruktif?” Sunwoo merasakan anggukan Haknyeon di bahunya.

“Gue waktu itu marah sama diri sendiri, karena gue nggak bisa suka ke lawan jenis. Gue marah sama Tuhan, karena nyiptain gue yang kayak gini. Gue marah sama orang tua gue, kenapa gen yang mereka turunin ke gue kayak gini. Gue marah ke dunia, gue ngelawan dunia, gue berusaha mengingkari eksistensi gue sendiri.

“Gue sensitif banget, gampang tersinggung, dikit-dikit ngajak orang berantem—mau orang asing, temen, atau keluarga sendiri. Gue banyak ngerokok dan sering mabok-mabokan, because when I’m sober I realized that I ain’t like other people, and that pissed me off. Gue juga tidur sama banyak orang karena gue frustrasi.

“Gue … gue bikin diri gue sendiri terlihat brengsek biar orang-orang nggak ngedeketin dan nyakitin gue. Gue cuma terbuka sama circle gue aja, karena gue tau mereka sama ‘ma gue.”

“Sampe lo ketemu Eric …,” lanjut Haknyeon pelan. Sunwoo mengangguk.

“Sampe gue ketemu Eric. Pertama kali gue ketemu Eric, dia lagi nolak seorang cewek dengan ngomong, ‘Sorry, gue nggak suka cewek’. Gue kagum sama dia yang kayaknya nyaman—dan cenderung bangga—sama preferensinya. Eric ngajarin gue untuk ngeliat diri gue dulu, apa yang gue mau, apa yang bikin gue nyaman. Fuck with everyone else, they didn’t fed you. Gitu katanya.”

Sunwoo mendengar Haknyeon tertawa kecil dan ia sedikit tersenyum lega.

“Kata Eric, kita lahir bukan untuk menyenangkan semua orang. Gimana kita bisa nyenengin orang lain kalo kita sendiri nggak nyaman sama diri kita? Kalo kita nggak bisa menerima diri kita sendiri?

“Dan dia ada benernya sih, gue waktu itu terlalu sibuk untuk marah sama dunia, sampe gue lupa apa yang bisa gue syukuri dari hidup gue. Gue bersyukur punya circle yang positif dan gue mulai me-maintain itu. Gue beralih ke keluarga gue, gue kesampingkan prasangka gue.”

“Prasangka apa?” bisik Haknyeon penasaran. Sunwoo senang karena sepertinya ia sudah berhasil menarik Haknyeon dari rasa mengasihani diri sendiri.

“Bahwa mereka bakal menolak gue kalo mereka tau gue kayak gini, bahwa gue—kata orang kebanyakan—nggak normal.”

“Nggak taunya?”

“Mereka nangis, Hak … tapi bukan karena mereka kecewa sama gue, bukan karena mereka jijik sama gue, tapi karena mereka bahagia bahwa pada akhirnya gue mau terbuka sama mereka. Mereka sedih why it took me long enough to tell them, kenapa gue menjauh dari mereka, kenapa gue berburuk sangka ke mereka.

“Sejak saat itu, keluarga gue selalu ada di garda paling depan kalo ada orang yang mencemooh gue. Awalnya gue nggak enak karena gue bener-bener bikin malu keluarga, tapi Ayah bilang, ‘Sekali menjadi keluarga, sampai akhir kita akan tetap bersatu sebagai keluarga’.

“Sejujurnya, dari situ gue nggak peduli lagi orang mau ngomong apa tentang gue. Selama orang-orang yang gue sayang ada untuk mendukung gue, itu udah lebih dari cukup.”

“Kalo orang-orang mencemooh lo … emangnya nggak sakit?” tanya Haknyeon pelan.

“Sakit. Banget. Tapi gue nggak mau terpaku di rasa sakit itu. Gue rasain sakitnya untuk kemudian gue jadiin cambuk untuk gue berkarya lebih baik di bidang lain. Mereka bisa menghina seksualitas gue, tapi gue pastikan mereka nggak akan bisa semudah itu menghina otak dan karya gue.”

Lagi, Sunwoo merasakan Haknyeon mengangguk di bahunya. Sesaat keduanya terdiam.

“Makasih, Sun ….”

“Makasih kenapa, sayang?”

“Udah mau ceritain borok lo ke gue.” Sunwoo tertawa kecil.

“Udah gue bilang, ‘kan? Untuk lo, apa sih yang nggak akan gue lakuin?”

“Iya.” Haknyeon memeluk Sunwoo semakin erat. “Lo bakal terus ada buat gue?” tanyanya pelan.

“Selama yang lo butuhkan. Selama lo memperbolehkan gue ada di sisi lo, gue bakal selalu ada buat lo. Intinya, kalo lo nggak nyuruh gue pergi, gue nggak akan pergi.”

“Kalo gue minta lo untuk pergi?”

Well, karena gue orangnya keras kepala, gue tetap nggak akan mau pergi sih.” Haknyeon memukul pelan lengan atas Sunwoo yang hanya membalasnya dengan tawa kecil.

“Ngantuk, Sun …. Kebanyakan nangis,” ucap Haknyeon pelan.

“Ya udah, tidur aja.”

“Tapi sambil dipeluk gini tidurnya, boleh?”

“Boleh, sayang ….”

“Lo manggil gue sayang terus.”

“Soalnya gue emang sayang sama lo, Haknyeon.”

“Hm-mm … gue juga … sayang sama … lo, Sun ….” Sunwoo tercekat saat mendengar penuturan Haknyeon itu.

“Hak?” Hening.

“Haknyeon?” Tetap tidak ada jawaban.

Sunwoo menoleh dan melihat bahwa Haknyeon sudah tertidur pulas.

‘Yah anjir, gue ditinggal tidur!’ rutuknya geli dalam hati.


—aratnish’21