Bukan Perpisahan
Bagian 40 dari “Eternity”
“Bang, gue udah ngobrol sama Haknyeon.” Sunwoo mengirimkan telepati kepada Moonie siang harinya.
Hari itu adalah hari kerjanya di Other World, maka dari itu ia tidak membantu Haknyeon di Arani. Lagipula, karena hari itu adalah hari Sabtu, Sunwoo berniat untuk datang ke rumahnya dan memberitahukan perihal keinginannya kepada Chanhee dan Changmin. Haknyeon sebenarnya ingin ikut, namun Sunwoo mengatakan bahwa ia ingin melakukannya sendiri terlebih dulu. Bagaimanapun, mereka sudah menjalani ratusan tahun bersama dan tentunya emosi yang akan muncul pun akan beragam. Sunwoo tidak ingin kedua keluarga atuanya itu menahan diri atau menjadi canggung karena kehadiran Haknyeon.
“Oh? Terus?”
“Gue sama Haknyeon sepakat untuk ngejalanin ritual itu.” Moonie tidak menjawab. “Bang?” panggil Sunwoo perlahan.
“Hm?”
“Boleh 'kan gue balik lagi jadi manusia?” tanya Sunwoo hati-hati.
Moonie tertawa sumbang. Kalau boleh jujur, ia tidak ingin Sunwoo kembali menjadi manusia. Moonie ingin terus bersama dengan atua itu selamanya. Karena … kembali menjadi manusia, mengharuskan Moonie untuk menghapus semua ingatan Sunwoo tentang keberadaan atua dan yang lainnya. Yang berarti, Sunwoo juga akan melupakan Moonie. Moonie tidak siap untuk dilupakan oleh atua kesayangannya ini.
“Ini hidup lo, Sun. Lo bebas mau bikin hidup lo jadi kayak gimana.”
“Tapi ... lo yang ngasih kehidupan kedua ini ke gue, Bang.”
Moonie terhenyak di kursi kerjanya di Araf. Dalam hati, ia menggerutu. Sial! Harus banget ya anak ini jadi mellow kayak gini?!
“Nggak mengubah fakta bahwa hidup itu udah jadi milik lo sekarang.”
Sunwoo tidak menjawab untuk sesaat.
“Kalo ini berhasil—enggak, ini pasti berhasil, harus berhasil—gue … jadi gimana?”
“Ya jadi manusia, lah! Emangnya lo pikir jadi apa? Jadi kodok? Terus nanti Haknyeon harus nyium lo biar berubah jadi pangeran?” goda Moonie.
“Maksud gue … tentang lo, tentang Kak Chanhee dan Kak Changmin … tentang yang lainnya. Gue … apa gue masih inget?” tanya Sunwoo pelan. Moonie memejamkan matanya.
“Enggak, Sun. Gue harus hapus semua.”
“Nggak ada dispensasi buat gue?” Penuh harap, Sunwoo bertanya.
“Gue udah terlalu sering ngelanggar aturan, Sunwoo … tega lo sama gue?” Sunwoo tertawa kering.
“Iya Bang … maaf.”
“Chanhee sama Changmin udah tau?”
“Hari ini gue mau ngasih tau mereka.”
“Good luck.”
“Thank you, Bang.”
“Oh, why you look so sad? Tears are in your eyes. Come on and come to me now. Don't be ashamed to cry. Let me see you through, 'cause I've seen the dark side too.”
Di tengah rasa muramnya, mau tidak mau Moonie tersenyum mendengar kata-kata Angello yang disenandungkan itu.
“Lagi latihan mau konser, Ange?”
“Iya, buat ngehibur kamu.” Angello duduk di hadapan Moonie. “Kusut banget? Ada apa lagi? Ada atua yang mau jadi manusia lagi?” Moonie menggeleng.
“Sunwoo barusan ngasih tau kalo dia dan Haknyeon sepakat mau ngejalanin ritualnya.”
“Terus? Kamu takut kalo gagal?”
“Satu; itu … soalnya ini 'kan baru kejadian pertama kalinya. Aku bukannya nggak percaya sama mereka atau sama Haknyeon, tapi ya … nggak tau deh, nggak tenang aja rasanya. Dua; aku ….”
“Kamu kenapa?” tanya Angello saat Moonie berhenti berbicara.
“Aku … aku kayaknya belom siap untuk pisah sama Sunwoo. Dia udah kayak adikku sendiri.”
“Ini bukan perpisahan, 'kan? Kamu 'kan masih bisa tetep ketemu dia, masih bisa ngobrol sama dia.”
“Aku harus menghapus semua ingatannya tentang kita, Ange.”
“Well, tetep aja, kamu masih bisa ketemu dia.” Angello berkeras dengan ekspresi yang tidak bisa Moonie baca.
“Angello! Kamu denger nggak sih omonganku? Aku harus menghapus semua ingatan dia!” Moonie memicingkan matanya saat melihat Angello hanya tersenyum penuh arti.
“Kamu nyuruh aku untuk melanggar aturan lagi? Enggak, Ange … di saat terakhir gini, aku mau ngasih yang terbaik untuk Sunwoo.” Angello hanya diam sambil mengangkat bahunya.
“Duh. Gini kali ya perasaan orang tua yang ngelepas anak gadisnya untuk nikah?” keluh Moonie sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
“Eeeeh … pengantin baru dateeeng!” sambut Changmin sambil memukul-mukul bahu Sunwoo yang berjalan melewatinya memasuki rumah.
“Adudududuh … pengantin baru apaan, sih? Udah, Kak! Sakit ini!” protes Sunwoo sambil berusaha menjauhkan diri dari jangkauan tangan Changmin.
“Min, kalo kangen tuh bilang, jangan dipukul-pukul anaknya.” Chanhee memperingatkan dari arah basement.
“Ya abisan ini anak setelah pindah ke tempatnya Haknyeon, jadi jarang banget dateng ke sini. Dateng juga cuma buat ngambil baju sama bahan-bahan buat bikin serum,” protes Changmin sambil mengikuti Sunwoo ke arah ruang keluarga.
“Haknyeon mana, Sun? Kok nggak ikut?” tanya Chanhee yang bergabung ke ruang keluarga.
“Hakkie kerja … dan lagi … mm ….”
“Apa?”
“Ada yang mau gue omongin ke kalian,” ucap Sunwoo serius.
“Oh?”
“Lo mau minta restu karena mau nikah sama Haknyeon? Gue restuin!” celetuk Changmin girang.
“Gue mau balik lagi jadi manusia.”
Keheningan terasa mencekam di ruangan itu.
“Nggak lucu, Sun.” Chanhee memecah keheningan.
“Gue nggak lagi becanda, Kak.”
“Emang bisa?”
Sunwoo mengangguk dan menceritakan pertemuan antara dirinya, Haknyeon, Moonie, Angello, dan Honey untuk menjawab pertanyaan Changmin.
“NGGAK! GUE NGGAK SETUJU!” seru Chanhee saat Sunwoo menyelesaikan penjabarannya.
“Gue nggak minta persetujuan, Kak. Gue ngasih pengumuman.”
“Risikonya gede banget, Sun. Gue juga sama kayak Chanhee. Gue nggak setuju. Kalo gagal, gimana? Lo bakal jadi kehua! Jadi kehua itu lebih buruk dari kematian! Lo hidup, tapi di saat bersamaan lo juga mati.”
“Jangan cuma gara-gara lo ketemu Haknyeon yang notabene inkarnasinya Haeseong lo jadi gegabah mutusin untuk balik lagi jadi manusia!” tegur Chanhee dengan berapi-api. “Yang lo pertaruhkan di sini besar banget! Dan lagi … apa lo bilang? Kalo berhasil, lo nggak akan inget sama kita semua?! Bullshit, anjir!”
“Kak ... dari awal, alasan gue jadi atua itu bukan untuk bales dendam ke yang udah ngejahatin gue, atau untuk ngerasain hal-hal yang belom pernah gue rasain waktu gue hidup. Alasan gue jadi atua … gue nggak mau pisah sama Haeseong, walaupun waktu itu Haeseong cuma nganggap gue sahabat aja.”
Chanhee dan Changmin terdiam. Beratus tahun mereka hidup bersama, mereka baru menyadari bahwa Sunwoo tidak pernah memberitahukan alasan ia menjadi atua. Dalam hati, mereka memaki diri sendiri karena mereka tidak berinisiatif untuk menanyakan hal itu kepada Sunwoo, padahal mereka tahu bahwa lelaki itu tidak seterbuka mereka dalam bersosialisasi.
“Kak Chanhee … Kak Changmin … gue juga nggak mau pisah sama kalian, nggak mau ngelupain ratusan taun kita tinggal bareng, tapi … tapi gue perlu bersama Hakkie, gue butuh bersama Hakkie.”
“Lo curang, ah! Kenapa jadi sentimentil gini, sih?!” Chanhee terlihat sekali sedang menahan air matanya menetes.
“Gue tau kalo pertanyaan gue bakal terkesan nggak sensitif, tapi … kalo lo balik lagi jadi manusia biasa, gue sama Chanhee gimana? Maksud gue … barrier dan yang lainnya? Kalo ada rapunga, gimana? Selama ini ‘kan lo yang ngurusin semuanya—well, salah gue sama Chanhee juga nggak berusaha belajar dari lo.”
“Gue yakin Bang Moonie bakal ngatur semuanya. Entah dia sendiri yang in-charge di sini, atau mungkin ada atua lain yang ngegantiin gue—”
“NGGAK! NGGAK MAU!” teriak Chanhee memotong kata-kata Sunwoo. “Nggak ada yang bisa ngegantiin lo, Sunwoo! Gue nggak mau ada orang lain di rumah ini. Lagipula … ini rumah lo. Kalo lo lupa sama kita semua … rumah ini gimana?”
“Bukan rumah gue aja, tapi rumah kita bareng-bareng. Kalo gue nggak ada, ada kalian berdua yang ngerawat rumah ini.”
“Sunwoo ngeseliiin!!!” Chanhee merengek sambil berlari menuju kamarnya.
Changmin menatap Sunwoo dengan intens.
“Keputusan lo udah bulat.” Itu adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan.
Sunwoo mengangguk. “Gue nggak pernah merasa sehidup ini sebelom gue ketemu Hakkie.”
Changmin menghela napas berat. “Gue sama Chanhee nggak bisa apa-apa, ‘kan?”
“Maaf, Kak ….”
“Nggak perlu minta maaf. Ini hidup lo, lo yang ngejalanin. Walaupun jujur, gue amat menyayangkan dan nggak seratus persen yakin sama keputusan ini, tapi … biar gimana juga ini keputusan yang lo ambil untuk hidup lo, jadi … gue nggak punya hak apa-apa juga.”
Sunwoo menunduk, berusaha menyembunyikan tetesan air mata yang hampir lolos dari netranya.
“Nggak usah nangis. Ini bukan perpisahan. Selama lo jadi manusia dan masih tinggal di daerah ini, pasti ada kesempatan buat kita ketemu lagi.”
“Tapi gue nggak akan inget sama kalian,” bisik Sunwoo dengan suara serak.
“Tapi kita masih inget sama lo. Kita bisa bikin hubungan yang lain. Like, mungkin gue sama Chanhee bisa tiba-tiba dateng ke Other World sepulang kerja, kita bisa ngobrol-ngobrol dan tiba-tiba jadi temenan. Atau, gue sama Chanhee bisa jadi pelanggan tetap di Arani dan temenan sama lo dan Haknyeon. Atau kita nggak sengaja ketemu di jalan, gue nabrak lo karena buru-buru mau ke kantor, gue numpahin kopi yang lagi lo bawa, terus janji mau ngegantiin kopi lo sepulang kerja. Masih banyak jalan selama kita emang mau ketemu lagi, Sun.”
“Rasanya pasti nggak akan sama.”
“Pastinya, tapi ini keputusan lo, demi kebahagiaan lo dan Haknyeon. Walaupun Chanhee lagi tantrum gitu, tapi gue yakin perasaannya sama ‘ma gue … kita cuma pengen lo bahagia.”
Kini Sunwoo tidak malu lagi untuk mengeluarkan tangisnya. Sambil menunduk, ia terisak di tempatnya duduk. Changmin mendekati lelaki itu, duduk di sebelahnya, dan melingkarkan lengan di bahunya.
“Kim Sunwoo … ini waktunya untuk mengejar kebahagiaan lo.”
Sunwoo merasakan seseorang memeluknya dari belakang beberapa detik setelah Changmin berhenti berbicara. Chanhee.
“Be happy, Sunwoo.”
©️aratnish'22