Dongeng Sebelum Tidur

Bagian 26 dari “Eternity”

Hari itu adalah hari libur lainnya yang dihabiskan oleh Sunwoo dan Haknyeon di apartemen Haknyeon.

Berdua.

Seperti yang dikatakan oleh Changmin sebelumnya, kalau berdua, yang ketiga biasanya adalah setan, maka kencan hari itu pun membuat mereka kembali berakhir di tempat tidur. Yang membedakan dengan yang sebelumnya, kali ini Sunwoo akan bermalam di sana karena Eric—yang tahu bahwa pasangan itu akan melakukan baking date lagi—memutuskan untuk menginap di tempat Juyeon, yang baru-baru ini menjadi kekasihnya.

Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Haknyeon dan Sunwoo berbaring bersisian dengan napas memburu dan peluh memenuhi tubuh. Mereka baru saja menyelesaikan sesi horizontal tango untuk yang kesekian kalinya. Sambil berusaha mengatur napasnya, Haknyeon mengaitkan kakinya dengan kaki Sunwoo, dan lengan kanannya melingkari tubuh lelaki itu. Puas karena performa Sunwoo sudah semakin baik. Sunwoo sendiri memeluk Haknyeon yang terbaring di sisi kanannya dan dengan ritme yang menenangkan, mengelus rambut yang lembap karena keringat itu.

Tangan Haknyeon bermain di pinggang Sunwoo dan baru pada saat itulah ia melihat tattoo yang tercetak di perut bagian kiri kekasihnya. Dengan gerakan malas, Haknyeon menyentuh tattoo itu dan mengelusnya perlahan.

Tersentak, Sunwoo menjauhkan tubuhnya dari tangan Haknyeon, yang berarti juga menjauhkannya dari tubuh lelaki di sampingnya.

“Nu? Kenapa?” tanya Haknyeon bingung. Ada rasa takut dan panik di mata Sunwoo saat balas menatap Haknyeon.

Sunwoo berdeham. “Nggak apa-apa,” elaknya sambil kembali mendekatkan diri pada Haknyeon, walaupun Haknyeon bisa merasa bahwa tubuh kekasihnya itu menjadi sedikit kaku.

“Nu … beneran, kamu kenapa?”

“Nggak apa, Hakkie.”

“Sunwoo!” Sunwoo menoleh ke arah Haknyeon yang menatapnya dengan kesal. “Jangan bilang nggak apa-apa terus! Aku tau pasti ada yang kamu sembunyiin. Tattoo-nya kenapa? Ada nama mantan kamu di situ?”

“Astaga! Enggak! Kamu tau sendiri kalo kamu yang pertama buat aku, Hak.”

“Ya terus kenapa disembunyiin gitu banget, sih?!”

“Aku nggak nyembunyiin!”

“Tapi kelakuan kamu itu mencurigakan, tau! Kayaknya kita pernah janji deh nggak akan nyembunyiin apapun. Janji bakal cerita kalo ada apa-apa.”

Sunwoo terdiam. Batinnya berperang antara apakah ia harus menceritakan statusnya kepada Haknyeon atau tidak.

“Nu? Aku bentar lagi marah beneran, lho.”

What do you think about being an immortal?” Sunwoo akhirnya bertanya pelan setelah sebelumnya menghela napas berat.

“Hah? Apa hubungannya?”

“Jawab aja, sayang.”

Well, I would love to, sih. Bayangin gimana serunya bisa hidup lebih lama dari yang lain. Ngeliat perkembangan zaman dan ngalamin semua perubahannya sendiri. Ngeliat perkembangan cake dari waktu ke waktu.” Sunwoo terkekeh kecil mendengar jawaban itu.

“Dan … nggak perlu khawatir soal kematian.” Yang lebih muda terdiam mendengar jawaban terakhir itu.

“Apa hubungannya sama tattoo, Nu?” Pertanyaan Haknyeon membawanya kembali ke kenyataan.

“Kita bersih-bersih dulu, yuk. Abis itu aku cerita.”

“Cerita sekarang aja.”

“Bersih-bersih dulu, Hakkie. Badan kita lengket semua ini, seprainya juga perlu diganti.” Haknyeon memajukan bibirnya karena kesal. “Siapa coba tadi yang bilang nggak mau pake kondom?” goda Sunwoo yang membuat wajah Haknyeon memerah.

“Iya. Iya. Iya.”


“Jadi? Apa ceritanya?”

Setelah membersihkan diri—yang membutuhkan waktu lebih lama dari yang diperkirakan karena Sunwoo masih ingin mengeksplorasi dan Haknyeon dengan senang hati dijadikan subjek eksplorasi oleh Sunwoo—mereka akhirnya kembali berbaring bersisian. Kali ini dengan pakaian lengkap di atas seprai bersih.

Once upon a time ….” Haknyeon terkekeh sambil memukul dada Sunwoo main-main. “Eh ini seriusan!”

“Iya … iya … lanjut.”

“Lebih dari empat ratus taun yang lalu, waktu dunia masih chaos karena perang dan perbudakan masih merajalela, ada satu anak yang dijual sama keluarganya supaya mereka bisa makan. Sebenernya keluarga majikannya ini baik sama dia, terutama anak laki-laki mereka, tapi makin budak ini beranjak remaja lalu dewasa, perlakuan nyonya majikan ke dia jadi beda.”

“Jadi jahat?” tanya Haknyeon takut-takut. Sunwoo menggeleng.

“Jadi terlalu baik.”

“Bukannya bagus?”

Sunwoo menggeleng dan menatap dalam-dalam ke arah Haknyeon. “Dia ngeliat budak ini sebagai objek seksual, Hakkie.”

Haknyeon terkesiap. “Kasian. Eh tapi, kalo budaknya pengen ada kenaikan kasta, bisa kali ngeladenin si nyonya,” goda Haknyeon yang membuat Sunwoo tertawa kecil.

“Bisa, asal nggak ketauan tuan majikan.” Haknyeon ikut tertawa. “Tapi tanpa itu pun, budak ini nggak mau, karena dia udah punya orang yang dia suka. Anak laki-laki majikannya.”

“Oooh … I love this kind of bed time story.” Haknyeon beringsut semakin mendekat ke arah Sunwoo—jika itu masih memungkinkan, mengingat posisi mereka sekarang sudah sangat menempel bagai warna putih pada nasi. Sunwoo tersenyum sedih sambil mengecup kening kesayangannya itu.

“Budak ini berkali-kali menolak tawaran—yang kemudian jadi paksaan—nyonya majikan. Tampaknya nyonya majikan itu lebih suka cowok usia belasan, karena sejak budak ini menginjak usia duapuluhan, nyonya majikan nggak terlalu sering maksa lagi. Masih sering ngedeketin sih, tapi nggak separah waktu dia masih usia belasan.

“Sampai pada suatu saat, kayaknya nyonya majikan udah pengen banget, tapi tuan majikan lagi nggak di rumah—mereka keluarga saudagar, ngomong-ngomong. Nyonya majikan maksa budak ini dan budak ini nggak sengaja ngedorong nyonya sampe jatoh dari ranjang.”

“Dih. Cewek gatel! Harusnya budak itu ngelaporin aja ke tuan majikan!”

“Nggak semudah itu, Hakkie … tuan pasti lebih percaya sama nyonya daripada sama a— sama budak itu. Lagipula, si budak nggak mau ngebuat anak laki-laki majikannya—anak laki-laki yang dia suka—punya pandangan negatif tentang ibunya.”

“Lah tapi kelakuan ibunya udah beneran negatif gitu! Ngeselin, tau! Oke, lanjut.” Sunwoo tersenyum.

“Udah bisa ditebak, nyonya majikan kesel banget sama budak ini. Dia langsung mikir gimana caranya ngasih hukuman ke budak ini. Lalu, akhirnya dia ngefitnah si budak udah nyuri perhiasan punya dia dan anak perempuannya.” Sunwoo merasakan tubuh Haknyeon menjadi kaku di pelukannya. “Hak?”

Haknyeon menggeleng. “Lanjutin, Nu. Aku siap-siap ngedenger bagian angst.”

Kenapa cerita Sunwoo mirip sama mimpi gue selama ini?

“Lanjutannya singkat dan udah bisa ditebak, kok. Budak itu dihukum gantung karena berani mencuri harta benda majikannya. Sebelum dia bener-bener dihukum, dia liat kalo anak majikannya dateng. Mukanya sedih banget, ngerasa bersalah, padahal itu bukan salah dia. Walaupun budak ini benci banget sama nyonya yang udah ngefitnah dia dan tuan yang nggak percaya sama dia, tapi dia sayang banget sama cowok ini dan nggak mau cowok ini sedih. Jadi, untuk terakhir kalinya, dia senyum ke arah cowok ini.”

“Nu ….”

“Budak ini kira, kematian itu akhir dari segalanya.” Sunwoo terus bercerita tanpa mengindahkan interupsi dari Haknyeon. “Tapi ternyata enggak, Hak. Waktu dia berada di alam antara dunia ini dan dunia setelahnya, dia didatengin sama seorang … apa ya namanya? Malaikat? Mungkin itu. Dia nawarin hidup abadi untuk si budak, dan karena budak ini masih polos banget, dia nggak bisa mikir apa-apa selain kalo dia pengen ketemu lagi sama anak laki-laki majikannya. Singkat cerita, dia nerima tawaran malaikat itu dan dia hidup sampai sekarang.”

“Budak itu .…” Sunwoo tersenyum pedih.

“Aku. Tattoo ini tanda bahwa aku immortal. Aku bukan manusia biasa, Hak.”

“Anak laki-laki majikan kamu itu … apa namanya … Seongie?” tanya Haknyeon perlahan. Sunwoo menoleh ke arah Haknyeon secepat kilat.

“Kamu … dari mana kamu tau nama itu?” tuntutnya.

“Aku mimpi ….” Haknyeon menceritakan mimpi-mimpinya kepada Sunwoo. “... dan di mimpi itu, aku dipanggil Seongie.” Sunwoo memeluk Haknyeon dengan erat.

“Nu?”

“Namanya Jang Haeseong, tapi yang deket sama dia memang manggil dia Seongie. Dia udah berkali-kali minta aku manggil Seongie, tapi aku nggak bisa. Aku nggak berani.”

“Dia itu ….” Haknyeon ragu-ragu.

“Kamu. Kamu empat ratus tahun yang lalu, lebih tepatnya.”

“Kok kamu bisa yakin banget?”

“Karena Haeseong punya tanda lahir yang sama, Hak.” Haknyeon terdiam.

“Jadi … kamu ngedeketin aku dan mau pacaran sama aku karena aku adalah Haeseong? Was Haeseong?” ucap Haknyeon pelan dengan nada sakit hati yang tidak berusaha ia tutupi.

“Astaga! Kok gitu? Enggak, Hak!”

“Kalo aku bukan reinkarnasi Haeseong, kamu nggak akan mau ngedeketin aku, ‘kan?”

“Haknyeon, baby … nggak gitu!”

“Nu, kayaknya sekarang mending kamu pulang aja, deh ya? Nggak usah nginep.”

“Hak … kamu marah karena aku bukan manusia? Karena kamu reinkarnasi?”

“Enggak, Nu. Bukan karena itu. Mungkin juga karena itu. Nggak tau, Nu. Aku nggak bisa mikir. Kamu pulang aja, ya.” Sunwoo menatap Haknyeon dengan sedih sebelum akhirnya beranjak turun dari ranjang.

“Nu …,” panggil Haknyeon saat ia akan membuka pintu. Segera ia berbalik, mengira bahwa Haknyeon berubah pikiran. “... kita jangan ketemu atau kontakan dulu, ya?”

“Sayang …,” keluh Sunwoo memelas.

Please?”

“Oke.” Dengan pasrah, Sunwoo mengiyakan dan beranjak ke luar kamar.

Haknyeon mendengarkan saat pintu depan unit apartemennya terbuka dan tertutup kembali, kemudian suasana menjadi hening. Perlahan, ia menutupi tubuhnya dengan selimut, berusaha menahan air mata, namun tak mampu. Satu demi satu butiran air mata lolos dari kedua netranya.

Jadi selama ini cuma karena gue reinkarnasi dari orang yang dia suka dulu?


©️aratnish'22