Garis Akhir

Bagian Penutup dari “Eternity”

Satu dekade sejak saat itu ….

“Kamu beneran bisa sendiri? Aku anter deh, ya?” tawar Chanhee pada pria di depannya.

“Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri, kok.”

“Bener?” tanya Chanhee sangsi.

“Iyaaa … bener. Nggak akan tiba-tiba pingsan juga.”

“Kata yang tiba-tiba ambruk waktu lagi jalan-jalan di mall,” sindir Chanhee dengan ekspresi menuduh. Pria di depannya tertawa rikuh.

“Iya, maaf … enggak lagi.” Chanhee menghela napas kesal. Pria di depannya ini memang sering menjadi keras kepala di waktu yang tidak tepat. “Tapi sekarang janji nggak bakal kenapa-napa, Kak.”

Chanhee berdecak. “Aku udah ngasih tau Bang Hyunjae kalo kamu mau ke sana. Kalo dalam waktu satu jam aku nggak dapet kabar dari dia kamu udah sampe sana, aku susulin kamu.”

“Iya Kak, boleh.” Pria di depannya tertawa geli atas sikap protektif Chanhee.

“Ya udah sana pergi, keburu malem nanti.”

“Iya. Aku pergi dulu, ya.”

“Hati-hati!”

“Lho? Haknyeon pergi sendiri ke OW?” tanya Changmin saat Chanhee menutup pintu depan rumah itu.

“Iya.”

“Kalo dia dapet vision lagi, gimana? Kalo pingsan di tengah jalan lagi kayak waktu itu, gimana?” cecar Changmin.

“Kamu tau sendiri anaknya keras kepalanya kayak gimana.”

“Tapi kamu udah kasih tau Bang Hyunjae kalo dia mau ke sana, 'kan? Udah titip ke dia kalo Haknyeon udah sampe, harus ngabarin kamu, ‘kan?”

“Udaaah Changmiiin … bawel, ih!”

“Aku heran kenapa Haknyeon kadang masih bisa inget kejadian sepuluh taun yang lalu. Padahal kata Moonie, seharusnya ingatan Haknyeon tentang kaum atua hilang semuanya.”

Chanhee mengedikkan bahunya. “Mungkin fakta bahwa dia inkarnasi dan pernah kontak sama sperma Sunwoo berpengaruh juga.”

“Sunwoo, ya ….” Changmin berhenti sejenak. “Aku—”

Chanhee menepuk bahu Changmin sebelum pria itu bisa melanjutkan apapun. “Udah, ngelamunnya nanti aja dulu, sekarang kita beresin persiapan pestanya, keburu tamunya pada dateng.”

“Iyaaa …. Bawel. Untung sayang,” bisik Changmin.

I hear that, Ji Changmin!” seru Chanhee yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya.


Haknyeon berjalan perlahan menuju Other World. Udara petang itu tidak begitu dingin ataupun berangin, tidak pula begitu panas. Pas. Sejuk. Ia pernah mendengar dari Chanhee dan Changmin, bahwa Sunwoo juga selalu menikmati perjalanan menuju ke tempat kerjanya setiap hari.

Kala itu.

Satu dekade yang lalu.

Haknyeon menghela napas panjang.

Langkahnya perlahan berhenti saat ia sampai di seberang sebuah coffee shop. Sepuluh tahun yang lalu, coffee shop itu adalah Arani, patisserie kebanggaan dan kesayangannya. Tidak lama setelah menjalankan ritual sepuluh tahun yang lalu, Haknyeon memutuskan untuk menutup Arani dan pindah ke kota sebelah. Ia tidak sanggup bersinggungan dengan kenangan-kenangan yang ada di kota itu setiap harinya. Well, walaupun di tempat tinggalnya yang baru ia juga membuka patisserie dengan nama Arani, sih.

Senyum kecil terbit di bibir Haknyeon saat mengingat pertemuan pertamanya dengan Sunwoo. Bagaimana Sunwoo membantunya memunguti jeruk pagi itu. Bagaimana ia membantu Sunwoo yang mengalami PTSD—yang ia kira hanya penyakit lambung biasa—malam harinya. Bagaimana mereka menjadi cepat dekat satu sama lain. Bagaimana—

Haknyeon menggelengkan kepala untuk mengusir potongan-potongan kejadian yang mulai memenuhi benaknya. Melihat arlojinya, pria itu memutuskan untuk bergegas, tidak mau kalau Hyunjae mengadukannya kepada Chanhee dan membuat pria yang lebih tua itu mengerahkan tim SAR untuk mencarinya. Karena … masih ada satu tempat lagi yang ingin ia kunjungi.

“Oi! Akhirnya dateng juga! Kok lama amat, Nyeon? Aku hampir aja ngasih tau Chanhee kalo kamu belom dateng sampe jam segini,” sambut Hyunjae saat ia mendekati area bar.

Di balik meja bar itu berdiri seorang bartender muda. Bukan Hyunjun, karena Hyunjun sudah pindah bersama dengan istrinya ke kota lain. Dan yang pasti … bukan Sunwoo. Haknyeon lagi-lagi menghela napas pelan dengan sembunyi-sembunyi.

“Ah alasan. Palingan kamu cuma mau modus aja biar bisa chatting sama Kak Chanhee,” balas Haknyeon sambil menerima sebuah tas berisi dua botol champagne pesanan Chanhee yang disodorkan oleh Hyunjae. Yang disindir hanya tertawa kecil.

“Namanya juga usaha.”

“Nggak akan berhasil. Kak Chanhee udah sehidup semati sama Kak Changmin.”

Itu benar. Semenjak mereka mereka praktis hanya tinggal berdua di rumah itu, keduanya menjadi sangat dekat dan saling mengisi lubang yang ditinggalkan oleh Sunwoo. Entah sejak kapan hubungan persaudaraan itu berubah menjadi hubungan romantis, tapi Haknyeon senang karena kedua keluarga atua Sunwoo itu tidak lagi merasa kesepian.

“Hhh … nasib,” keluh Hyunjae main-main, membuat Haknyeon tertawa. Ia tahu bahwa Hyunjae tidak serius mendekati Chanhee—bos Other World kini—ia hanya senang menggoda Chanhee. Sama seperti ia menggoda Sunwoo dulu, meskipun kehadiran Sunwoo di ingatan Hyunjae kini sudah tidak ada. Perlahan ia mengernyitkan dahi.

Hari ini keinget yang dulu-dulu terus, deh. Apa karena hari ini hari ulang taunnya Sunu, ya?

“Ya udah, aku duluan ya, Bang … daripada nanti makin dicariin sama Kak Chanhee. Kak Chanhee kalo ngomel bisa nggak beres-beres sampe taun baru.” Hyunjae tertawa.

“Iya. Hati-hati di jalan, kamu. Jangan tiba-tiba pingsan.”

“Iyaaa.”

Ada kalanya Haknyeon merasa kesal karena Chanhee mengumbar kondisinya yang terkadang tiba-tiba pingsan, tapi Haknyeon tahu bahwa itu dilakukan Chanhee hanya karena ia khawatir dengan kondisi Haknyeon. Apalagi jika Haknyeon harus bepergian seorang diri tanpa ada yang menemani.

Dan ... kini Haknyeon berdiri di depan bangunan itu. Masih bangunan apartemen yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu, hanya catnya yang sedikit berubah. Bangunan apartemen yang dulu bercat putih gading, kini berwarna abu-abu muda.

Jadi lebih keren, sih.

Haknyeon mengarahkan pandangannya ke salah satu jendela di lantai tiga. Unit apartemennya dulu.

Unit apartemen mereka dulu.

Unit yang menjadi saksi bisu keseharian dan hari terakhir Haknyeon dan Sunwoo … sang atua.

Napas Haknyeon mulai memburu saat ia lagi-lagi mengingat hari terakhir itu. Bagaimana rasanya Sunwoo berada dalam dirinya, berat hoari di tangannya, bagaimana rasanya saat ia menusuk Sunwoo dengan hoari di tangannya, bagaimana—

Oke. Stop sampai di situ, Hakkie. You will not remember that day now.

Haknyeon memblokir ingatan itu. Memvisualisasikan dalam benaknya bahwa ia mengumpulkan kenangan hari terakhir itu, memasukkannya ke dalam sebuah kotak imajiner, menutupnya, menguncinya, dan membuang kuncinya jauh-jauh. Memejamkan mata, Haknyeon berusaha mengatur kembali napasnya.

Dering telepon genggam mengembalikan Haknyeon ke masa kini.

“Halo?”

“Kamu di mana?”

“Lagi di jalan pulang.”

“Kok lama?! Kamu nggak kenapa-kenapa, ‘kan?” Haknyeon tertawa mendengar nada menuntut namun penuh kekhawatiran itu.

“Enggak, aku baik-baik aja, kok. Sebentar lagi sampe.”

“Ya udah, hati-hati.”

“Siap, jendral!”

Sambil tersenyum, Haknyeon memutuskan sambungan telepon dan memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celananya.

Selamat tinggal, masa lalu.

Menatap bekas jendela unitnya sekali lagi, Haknyeon berbalik dan melangkah pergi menuju kediaman Chanhee dan Changmin.


“Papi ke mana, sih?! Kok pergi nggak bilang-bilang?!” protes anak perempuan berusia tujuh tahun yang berkacak pinggang saat ia baru saja memasuki rumah itu.

“Iya! Papi ke mana, sih?!” Si pria kecil berusia lima tahun mengikuti gerakan kakak perempuannya.

Haknyeon tertawa. “Papi ke kantornya Uncle Chanhee barusan, ngambil barang pesenan Uncle.”

“Kok nggak bilang-bilang, sih? ‘Kan Misun mau ikut juga!”

“Daehyun juga!” Lagi-lagi si bungsu mengikuti kakaknya.

“Ayah juga mau ikut padahal.” Suara rendah pria dewasa bergabung dengan mereka di ruang kecil di pintu depan itu. Haknyeon tersenyum melihat keluarga kecilnya.

“Kalian itu kalo ikut, bukannya ngebantuin, tapi malah ngerepotin. Papi jadi kayak punya tiga anak kalo kalian semua ikut.”

“Padahal kita mau bantu beneran, ya?” Si pria dewasa mencari dukungan dari dua anak kecil di kiri dan kanannya.

“Iyaaa,” jawab kedua bocah itu bersamaan.

“Ayah, kamu nggak usah aneh-aneh, deh,” gelak Haknyeon. Tawanya menular pada Sunwoo—pria itu—yang kemudian maju mendekati Haknyeon dan mengecup bibirnya.

“Euuuw … get a room, please!” protes si sulung sambil mengintip di balik jemari yang menutupi mukanya.

“Euuuw … iya, getget … gimana Kak ngomongnya?” Kali ini si bungsu gagal mengikuti kakaknya.

“Heh! Kalian nggak usah berbuat asusila di depan anak kecil, ya! Misun! Kamu tau dari mana istilah get a room?!” Moonie—yang baru keluar dari ruang keluarga—memperingatkan kedua sejoli itu, sekaligus memarahi keponakan perempuannya.

“Iya nih Uncle Kevin … di rumah juga gitu terus!”

“Iya, Uncle … gitu terus!”

Moonie—yang kini menggunakan nama Kevin di depan para manusia—memutar bola matanya dengan geli. “Kalian nggak berubah ya dari dulu. Sukanya ciuman di muka umum. Glad to know that some things didn’t change,” gumamnya saat mengingat hari pertemuan mereka saat membahas ritual pengembalian.

“Ini semuanya mau pada di depan pintu aja? Nggak mau masuk dan mulai bakar-bakar? Yang lain udah pada ngambil makanan, lho. Nanti bisa-bisa kalian cuma kebagian sayuran aja.” panggil Angello—yang dikenal sebagai Jacob—dari arah halaman belakang, tempat kegiatan barbeque dalam rangka merayakan hari ulang tahun Sunwoo diadakan.

“Maaauuu!” teriak Misun sambil berlari ke arah Uncle Jacob, sudah tentu diikuti oleh si kecil Daehyun. Angello tertawa kecil saat berpapasan dengan kedua bocah itu.

“Mereka tuh nggak ada habisnya ya energinya.”

“Iya. Persis kayak Sunwoo waktu kecil,” timpal Moonie.

“Kak Kevin nggak usah buka rahasia, deh. Udah setua ini tetep aja malu tau kalo dibongkar aibnya,” protes Sunwoo walaupun dengan nada geli.

“Udah sana ke halaman belakang, jagain tuh anak-anak kalian, kasian Misun sama Daehyun dari tadi nyariin Haknyeon.” Dengan saling merangkul pinggang masing-masing, Haknyeon—yang menyandarkan kepala ke bahu suaminya—dan Sunwoo mengikuti perintah Moonie untuk pergi ke halaman belakang.

See? I was right, right? Yang dulu itu bukan perpisahan. Kamu masih tetep bisa ketemu dan ngobrol sama Sunwoo, ‘kan?” ujar Angello saat memperhatikan kedua insan itu berjalan pergi. Moonie menggeleng kecil.

“Aku masih nggak percaya, bisa-bisanya aku nggak kepikiran cara ini.” Angello tertawa.

“Karena kamu terlalu deket sama sumber masalah, jadi nggak bisa ngeliat secara obyektif.”

Should I saythank youagain?”

You always did with your moan, my Moon.”

“ANGELLOOO!!!”

Ya, berkat Angello, Sunwoo masih tetap dapat berinteraksi dengan Moonie dan yang lainnya setelah ritual itu berhasil. Sunwoo kini dikenal sebagai adik angkat dari Moonie, karena orangtuanya sudah meninggal karena kecelakaan pesawat waktu ia masih balita. Chanhee dan Changmin adalah ‘Kakak Tetangga’ yang tinggal di sebelah rumah sedari mereka kecil, sehingga Sunwoo dan keduanya memiliki hubungan yang sangat akrab. Angello, Younghoon dan Sangyeon dikenal Sunwoo sebagai teman-teman kampus Moonie. Walaupun, Angello dikenal juga sebagai suami Moonie oleh Sunwoo. Memang tidak sama seperti interaksi mereka sebelumnya, namun Moonie sangat berterima kasih kepada Angello karena telah membantunya melihat jalan keluar itu.


“Kok kamu tadi pergi nggak bilang-bilang dulu sama aku, sih?” tanya Sunwoo sambil memeluk suaminya dari belakang pada saat mereka tidur di kamar untuk tamu—kamarnya dahulu, walaupun ia tidak ingat—malam itu.

“Kamu lagi asik main bola sama Misun dan Daehyun. Kasian, mereka kangen banget karena kamu tinggal lumayan lama, aku jadi nggak tega ngeganggu kalian.”

Pekerjaan Sunwoo sebagai pelatih klub sepak bola ternama mengharuskannya untuk sering bepergian pada musim pertandingan. Namun demikian, musim ini adalah musim terakhirnya sebagai pelatih klub sepak bola tersebut, karena ia akan berhenti dan beralih profesi menjadi pelatih sepak bola anak-anak, agar ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga kecilnya.

“Jadi kamu nggak kangen sama aku? Kamu kok tega banget sih, Kim Haknyeon?” rajuk Sunwoo sambil mengusap-usap tengkuk Haknyeon dengan ujung hidungnya. Haknyeon tertawa.

“Ya kangen, Nu … tapi aku lebih bisa ngontrol kangen aku. Misun sama Daehyun ‘kan nggak bisa—belom bisa—kayak gitu.”

“Lain kali ajak aku juga, ya … Misun sama Daehyun juga pasti mau pergi bareng-bareng. Aku nggak mau kamu pergi sendirian, nanti kalo vertigo kamu kumat di tengah jalan, terus pingsan in the middle of nowhere, gimana? Nggak ada aku yang bisa nolongin kamu,” kata Sunwoo khawatir.

Haknyeon terdiam. Sunwoo tidak tahu bahwa kilasan masa lalu merekalah, bukan vertigo, yang membuatnya sering merasa pusing sampai pingsan. Haknyeon sudah mengkonsultasikan masalahnya dengan Moonie dan beberapa kali anahera itu sudah berusaha memodifikasi ingatannya.

Tidak ada yang berhasil.

Setelah modifikasi ke sekian, Moonie tidak mau lagi melakukannya karena ia takut hal itu akan semakin memengaruhi kesehatan Haknyeon. Akhirnya, secara berkala Moonie mengirimkan sari bunga kehidupan yang hanya tumbuh di Araf untuk Haknyeon minum dengan tujuan untuk menetralisir efek samping dari penglihatan-penglihatan masa lalu yang diterimanya.

Baby ….” Suara Sunwoo menyadarkan Haknyeon dari lamunannya.

“Hm?”

“Janji ya … lain kali nggak akan pergi sendiri kalo ada aku yang bisa nemenin kamu?”

“Iya, Ayah … aku janji.” Ada senyum dalam suara Haknyeon. Pria itu berbalik dalam pelukan Sunwoo dan melihat bahwa suaminya itu sudah mulai memejamkan mata.

“Nu?”

“Hm?” Kelopak mata itu terbuka dan Haknyeon dapat melihat mata indah Sunwoo yang tidak pernah bosan ia kagumi.

I love you,” bisik Haknyeon dengan suara yang sarat emosi, teringat bahwa itulah kata-kata terakhir dari atua Sunwoo yang dengan jelas ditujukan padanya di malam ritual. Sunwoo tersenyum sayang dan mengecup dahi suami tercintanya.

I love you more, baby.”

Till death do us part?”

Till death do us part,” tegas Sunwoo. “And even if that’s the case, I’ll find you again in our next life and in the life after that, and in every life after that.”[]


©️aratnish'22