I Just Want to Live My Life With You

Bagian 39 dari “Eternity”

“Sayang … udah malem. Keluar dulu, yuk. Kamu belom makan dari pagi. Tadi siang juga cuma makan buah aja,” bujuk Sunwoo saat waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam dan Haknyeon belum keluar kamar sejak pukul tiga sore. Awalnya, Sunwoo hanya berniat memberikan waktu bagi Haknyeon untuk berpikir dan menenangkan diri, namun karena semakin malam Haknyeon tidak beranjak dari kamar tidur, ia pun menjadi khawatir. Masalahnya, Haknyeon mengunci pintu kamar mereka.

“Hakkie, kamu tidur? Bangun dulu, yuk. Nggak baik kalo perutnya kosong kelamaan, nanti kamu sakit.”

“Nggak mau.” Sunwoo samar-samar mendengar suara penolakan Haknyeon dari dalam kamar.

“Harus mau, baby … kalo enggak, nanti kamu bisa sakit. Tenang aja, aku delivery makanan kok, nggak masak sendiri. Kalo masak sendiri sih iya, mending kamu nggak makan daripada malah makin parah.” Sunwoo berusaha bercanda. Ia diam dan mendengarkan. Perlahan terdengar suara orang bergerak di dalam. Lelaki itu perlahan menghela napas lega saat pintu di hadapannya membuka, namun segera ekspresinya menjadi khawatir saat melihat kondisi Haknyeon.

Mata bengkak dan merah, ujung hidung memerah, rambut berantakan, dan bekas air mata di kedua pipi. Sudah dapat dipastikan bahwa Haknyeon tidak berhenti menangis sejak ia masuk ke kamar.

“Cuci muka dulu, yuk. Terus kita makan, aku juga udah laper, tapi nggak enak makan sendirian,” bujuk Sunwoo lembut.

“Aku nggak mau, Sunu …,” bisik Haknyeon.

“Nanti kamu sakit, Hakkie. Kalo kamu sakit, siapa yang mau bikin cake untuk Arani? Nggak mungkin aku, ‘kan? Nanti pada sakit perut semua.”

“Bukan itu!”

“Terus?” Sunwoo pura-pura tidak mengerti.

“Aku nggak mau terlibat di ritual ngebalikin kamu jadi manusia lagi … aku … aku nggak sanggup,” lirihnya. Sunwoo tersenyum sayang.

“Iya, baby … nggak apa-apa.”

“Jadi kamu bakal having sex sama orang lain?” tanya Haknyeon sedih, yang disambut dengan tawa geli dari Sunwoo.

“Ya enggak lah, sayang. 'Kan percuma kalo nggak sama kamu, cinta sejati aku. Udah, nggak perlu dipikirin. Yuk aku bantu cuci muka, terus kita makan, terus istirahat. Hari ini bikin capek banget, 'kan?”

“Tapi kamu pengen jadi manusia,” desak Haknyeon sambil membiarkan dirinya digiring oleh Sunwoo ke arah kamar mandi.

“Ralat. Aku pengennya bareng-bareng sama kamu. Kalaupun nggak sebagai manusia juga nggak apa-apa, selama kamu nggak masalah kalo aku tetep jadi atua.”

“Tapi—”

“Ssh … sayang, udah. Kita nggak usah ngobrolin itu dulu, ya? Yang penting sekarang kita makan dulu, lalu istirahat. Aku nggak mau kamu sakit. Ya?”

“Maaf, Sunu … aku ngerepotin kamu. Aku juga ninggalin Moonie gitu aja, nggak sopan banget,” keluh Haknyeon saat mereka sudah duduk di ruang makan.

“Enggak, Hakkie … kamu nggak ngerepotin apa-apa atau siapa-siapa. Moonie juga udah biasa kok datang dan pergi tanpa disambut dan dianterin sama tuan rumah.” Haknyeon tertawa hambar.

“Soal yang tadi—”

“Ju Haknyeon … aku beneran marah loh lama-lama. Malem ini, kita lupain dulu semuanya, ya? Nanti kalo kamu udah siap untuk ngobrol, ayo kita obrolin. Tapi kalo kamu nggak mau bahas topik ini lagi, nggak apa-apa, nggak akan ada yang berubah, aku bakal selalu ada buat kamu sampe kapanpun. Rest assured.”

Haknyeon menunduk sambil memainkan pasta di piringnya.

“Dimakan, dong … jangan dimainin aja, kasian nanti pastanya nangis.”

“Udah kenyang.” Haknyeon menyodorkan piringnya ke arah Sunwoo.

“Nggak. Kamu harus makan. Kamu baru makan dua suap. Minimal makan setengahnya dulu.”

“Nggak nafsu makan.”

“Mau aku suapin?” tawar Sunwoo.

“Mau.”


“Hakkie … tidur …,” perintah Sunwoo dengan mengantuk saat ia merasakan Haknyeon terus bergerak-gerak gelisah di sebelahnya.

“Nggak bisa tidur. Masih kepikiran yang tadi siang.”

“Kamu nih, yaaa ….” Sunwoo memarahi dengan lembut sambil menggigit-gigit kecil pipi Haknyeon dengan bibirnya. Saat Haknyeon terkekeh kecil sambil berusaha menjauhkan diri, Sunwoo melihat jam yang ada di atas nakas.

Pukul dua dini hari. Sunwoo menghela napas dengan sembunyi-sembunyi. Tidak akan ada tidur nyenyak malam ini. Dinyalakannya lampu tidur di dinding sebelah ranjang.

“Ya udah … kepikiran apa?”

“Ritualnya. Aku pengen bantu kamu biar jadi manusia lagi, biar kita bisa sama-sama terus dengan normal, dengan manusiawi. Tapi … kalo aku gagal, gimana? Gimana kalo yang dibilang Bang Honey itu keliru? Bahwa aku bukan cinta sejati kamu, bahwa kita nggak dihubungin sama benang merah takdir? Gimana—”

Sunwoo menghentikan celotehan Haknyeon dengan sebuah lumatan di bibir.

“Kamu nih apa-apa langsung main cium aja. Ini tuh lagi mode serius akunya!” gerutu Haknyeon walaupun sambil bergelung semakin dekat ke arah Sunwoo.

“Ini juga aku lagi serius. Serius bikin kamu bahagia, serius pengen bikin kamu ngelupain yang bikin pusing dan takut.”

“Aku nggak percaya diri. Aku takut aku nggak tega nusuk kamu,” cicit Haknyeon.

“Hakkie ….”

“Gimana kalo tusukan aku kurang dalem? Atau malah terlalu dalem? Atau meleset? Nggak pas di tattoo-nya? Atau aku narik belatinya sebelum waktunya? Nanti … nanti kamu jadi kehua gara-gara aku. Aku … aku nggak bisa maafin diri aku sendiri kalo kamu bener-bener jadi kehua.”

“Hakkie … sayang … baby … aku rela jadi kehua di tangan kamu. Dari awal, aku jadi atua karena nggak pengen pisah sama kamu—walaupun waktu itu kamu berwujud Haeseong. Kalo memang takdir aku harus jadi kehua, karena pilihan yang aku ambil empat ratus tahun yang lalu, I want it to be done with your hand. Tapi aku tau bahwa itu nggak gampang. Tanggung jawab yang kamu pegang besar banget, bahkan bisa dibilang semuanya tergantung sama kamu. Makanya, nggak apa-apa kalo kamu kamu nggak mau. Aku ngerti banget. Kita bisa gini aja terus kayak rencana kita semula. Aku nggak masalah.”

Haknyeon terdiam mendengar pernyataan Sunwoo itu. Ia juga ingin Sunwoo menjadi manusia biasa, tapi ia terlalu takut untuk gagal. Jika gagal, bagaimana ia bisa melanjutkan sisa hidupnya dengan bayangan dan rasa bersalah bahwa ia telah membunuh sang kekasih dengan tangannya sendiri?

“Kalo kamu jadi kehua … aku … gimana?” Sunwoo terdiam sejenak.

“Semua ingatan kamu tentang aku dan yang lainnya bakal hilang. Kamu nggak akan inget tentang atua, anahera, atau yang lainnya.”

Haknyeon merasakan matanya kembali memanas. Melupakan semua ini? Semua kenangan indah bersama Sunwoo ini? The heck. Memangnya Haknyeon sanggup?

“Aku takut,” bisiknya.

“Aku juga takut. Tapi aku percaya sama kamu. Percaya sama kita, bahwa kita bakal baik-baik aja.”

How come? I don't even believe in myself.”

Do you love me?”

Too much for me to handle.”

Same here. And that's what matters to me. I just want to live my life with you, baby.”

Haknyeon terdiam. “Me too, Sunu … me too. Damn, God knows I want it so much.”

That's all I need to know. Now, go to sleep, baby. We'll talk about this further in the daylight, okay?”

Haknyeon mengangguk kecil dan memeluk Sunwoo. Kakinya dikaitkan dengan kaki kekasihnya dengan nyaman.

“Oh.” Sunwoo kembali bersuara, walaupun ia sudah memejamkan matanya. “Also, please let me know if you want to give it a try, okay? At least we will enjoy the first half of the process.”

Haknyeon mendengus geli. “Pervert.”

But you love it.”

Haknyeon menepuk-nepuk pelan dada Sunwoo dengan senyum di wajah.

Good night, my love.”

Sunwoo tercengang. Tidak seperti dirinya, Haknyeon sangat jarang memanggilnya dengan sebutan kesayangan, bahkan pada saat mereka sedang bercinta sekalipun. Sunwoo berharap—walaupun ia tahu bahwa ia cukup egois—bahwa ini merupakan pertanda bagus dari lelaki dalam pelukannya itu.

Good night, baby.”

Setelah mengecup dahi Haknyeon, Sunwoo pun membiarkan dirinya terlelap.


Pagi harinya, saat Sunwoo sedang membuat dua cangkir kopi untuk mereka ….

“Nu …,” panggil Haknyeon sambil berjalan mendekati Sunwoo.

“Pagi, sayang,” jawab Sunwoo sambil tersenyum.

Let's give it a try.”

Sunwoo perlahan meletakkan cangkir kopinya di meja pantry. Dengan hati-hati ia mendekati Haknyeon yang berdiri gugup sambil memilin-milin ujung sweatshirt yang dipakainya.

“Kamu yakin?” bisik Sunwoo sambil mencari keraguan di manik mata Haknyeon. Yang ia temukan adalah kesungguhan.

“Aku yakin.”

“Ini bukan cuma tentang aku, atau cuma tentang kamu. Ini tentang kita. Apa kamu bener-bener yakin kalo ini yang kamu pengen buat kita?”

“Kalo Sunu, gimana? Yakin?”

“Sunu yakin kalo ini yang Sunu pengen buat kita.”

Haknyeon mengangguk mantap. “Hakkie juga yakin. Hakkie percaya sama kita.”

Dengan lembut, Sunwoo merengkuh Haknyeon ke dalam pelukannya.

Thank you, baby. Thank you so much.”


©️aratnish'22