Kandang Kucing

Bagian 05 dari “Ghost Story”

“Bener, sih. Garasi juga nggak kalah nyeremin dari kamar mandi,” celetuk Joshua ketika Rizqi sudah selesai bercerita.

“Lo punya pengalaman serem juga di garasi?” tanya Sandi.

Joshua mengangguk. “Di kandang kucing lebih tepatnya.”

“Oh? Kandang kucing lo yang di garasi itu?” Kenan memastikan.

“Iya.”

“Yang ngalamin kejadiannya itu lo, atau kucing-kucing lo?”

“Ya gue, lah!” Joshua menjawab pertanyaan Elang dengan sedikit kesal bercampur geli.

“Gimana ceritanya? Lo ngeliat? Atau denger? Atau ngerasain?” tanya Rizqi bertubi-tubi.

“Ngedenger doang sih, tapi sebelumnya ngerasain sesuatu juga.”

“Ceritaaa!” seru Henry penuh semangat.

“Gue pengen pulaaang,” rengek Saka. “Garaaa ... nanti temenin tiduuur.”

“Ogah.”


“Mau ke mana, Jo? Udah malem, lho.”

“Mau liat kucing.” Joshua menjawab pertanyaan ibunya sambil berjalan menuju pintu depan. Samar-samar ia mendengar suara tawa ibunya.

“Awas ada setan!” goda kakaknya, yang dijawab dengan dengusan Joshua (walaupun ia yakin kakaknya itu tidak bisa mendengarnya).

Jangan salahkan Joshua, ia memang sangat menyukai kucing dan saat ini ia sedang sangat bahagia karena pada akhirnya ia dapat memelihara makhluk-makhluk lucu itu di rumah. Sang ibu, satu-satunya orang di keluarga itu yang tidak menyukai kucing, akhirnya menyerah kepada pesona makhluk berbulu berkaki empat itu. Kini, mereka memelihara lima kucing di rumah, tiga di antaranya ada di kandang di garasi rumah mereka.

Joshua memasuki garasi rumah mereka dan menuju kandang kucing yang terpasang di sepanjang dinding di salah satu sisi garasi indoor itu.

“Halo Tango, Oreo, Milo,” sapa laki-laki itu kepada tiga kucing domestik yang berusia kurang dari satu tahun itu. Ketiga kucing itu bangkit dari posisi tiduran mereka dan berbondong-bondong mendekati Joshua.

Joshua tersenyum senang dan memasukkan jemari panjangnya ke sela-sela jeruji kandang untuk mengelus ketiga kucing itu secara bergantian. Ia tertawa saat kucing-kucing itu berebut untuk menggesekkan badan mereka ke tangannya.

“Gantian, dong … jangan rebutan,” kata Joshua geli melihat tingkah ketiganya.

Tiba-tiba, gerakan ketiga kucing itu terhenti dan mereka menatap Joshua dengan mata bulat mereka. Ralat, menatap satu titik di atas bahu kanan Joshua lebih tepatnya. Laki-laki itu menelengkan kepalanya sedikit dan melambaikan tangan kanannya ke arah pandangan ketiga kucing itu.

Ketiganya tetap bergeming, tidak satupun yang mengalihkan pandangannya kepada Joshua.

Joshua mulai sedikit panik. Sesuatu yang tidak menyenangkan mulai merayapi tulang punggungnya.

“Hei! Tango, Oreo, Milo!” panggil Joshua sambil tetap melambaikan tangannya.

Tetap tidak ada tanggapan. Bulu kuduk Joshua mulai meremang.

Ada yang nggak bener, nih.

Joshua ingin berbalik untuk melihat apa yang membuat ketiga kucingnya bergeming tidak menanggapinya, tapi sesuatu dalam hati kecilnya memerintahkannya untuk mengurungkan niatnya itu. Yang memperburuk keadaan, Joshua merasa tubuhnya kaku dan ia tidak dapat menggerakkan kakinya untuk beranjak dari tempatnya berdiri saat itu.

Ah anjir, nggak bener banget ini!

“Tanggo, Oreo, Milo.” Joshua tidak menyerah, ia kembali memanggil ketiga kucingnya, namun tetap mendapatkan respons yang sama, alias, tidak mendapatkan respons apapun.

Udara di sekeliling Joshua mulai terasa sangat mencekik dan ia benar-benar ingin lari dari tempat itu.

Tepat pada saat itu, Joshua merasakan keberadaan sebuah objek di belakangnya yang kemudian bersuara,

“Mas ….”

Suara seorang perempuan muda yang terdengar seperti sedang tersenyum. Tepat di telinga kanannya.

Kini Joshua benar-benar panik. Tidak mungkin ada orang yang memasuki garasi karena pintu depan garasi itu terkunci, yang berarti hanya ada satu kemungkinan … suara itu bukan milik makhluk kasat mata.

Memaksakan tubuhnya untuk bergerak, Joshua perlahan bergerak ke arah pintu masuk ke rumah di arah kirinya. Tubuhnya tampak tidak mengikuti keinginannya, karena kakinya terasa sangat berat untuk digerakkan dan dorongan untuk berbalik ke arah sumber suara sangat besar.

Joshua tidak mau kalah. Dengan tekad yang kuat dan sibuk berdoa di dalam hati, ia tetap maju selangkah demi selangkah sampai ia dapat meraih gagang pintu masuk rumah dengan tangannya.

Seakan ada beban yang diangkat dari tubuhnya, begitu ia membuka pintu rumah, ia dapat bergerak dengan bebas dan langkahnya menjadi lebih ringan. Joshua berlari ke arah ruang tengah.

“Ngapain lari-lari, dah?” tanya kakaknya bingung saat melihat Joshua terengah-engah di sebelahnya.

“Ada mbak-mbak manggil.”

Kakaknya berdecak kesal. “Kalo cuma mau pamer popularitas mending lo diem aja deh.”

“Di dalem garasi!”

“Ya maka—” Mata kakaknya terbelalak. “Bloody hell! Pintu garasi ‘kan udah dikunci!”

Joshua mengangguk-angguk seperti boneka rusak.

“Jangan lagi-lagi ke garasi malem-malem deh.”

Joshua kembali mengangguk dengan wajah masih pucat pasi.[]


©️aratnish’22