kejutan pagi
Bagian 03 dari “Eternity”
Meregangkan badannya, Sunwoo mengerang saat otot-otot punggungnya memprotes.
“Nggak usah yang aneh-aneh gerakannya, lo tuh udah tua, nanti salah urat,” goda Moonie dari belakangnya.
“Pret. Masih tuaan lo, ya Looney.” Yang diejek hanya tertawa geli.
“Mau langsung pulang?”
Sunwoo mengangguk. “Bentar lagi matahari terbit, gue nggak mau jadi abu.”
“Lo bukan vampir, sinting!”
“Tapi gue punya taring.”
“Hiasan aja itu! Biar keliatan keren!”
“TAPI BIKIN SUSAH KALO MAU MAKAN APEL, KAMPRET!”
Moonie tertawa keras mendengar protesan Sunwoo yang selalu sama sejak empat abad silam.
“Udah gue bilang, lo bisa pake serum biar taring lo nggak keluar selama satu minggu, 'kan? Chanhee sama Changmin aja selalu pake itu.”
“Males. Serumnya nggak enak. Terus pas taringnya tumbuh lagi rasanya linu banget.”
“Ya itu sih derita lo. No pain, no gain, baby.”
Mendengus—walaupun tidak dengan sepenuh hati—Sunwoo melepas apron-nya.
“Lagi nggak ada kerjaan, Bang? Tumben lo ngerecokin gue sampe jam tutup bar. Moonie menggeleng. Kali ini dengan ekspresi serius.
“Perasaan gue nggak enak dari kemaren.”
Sunwoo mengangkat sebelah alisnya. “Emang lo punya perasaan? ADUH! Nanti gue gegar otak!” Laki-laki itu memprotes saat Moonie memukul kepalanya dengan kotak cerutu yang ada di atas meja bar.
“Emang lo punya otak?” balas Moonie sebal.
“Ya lagian, perasaan lo yang nggak enak, kok bilangnya ke gue?” Sunwoo masih mengelus bagian kepalanya yang dipukul oleh Moonie.
“Karena itu tentang lo.” Seketika Sunwoo terdiam.
“Ada rapunga di sekitar sini? Gue rasanya udah pasang barrier biar nggak ada rapunga yang bisa masuk.”
Merupakan salah satu dari atua senior dan menjadi atua favorit Moonie, ia diperbolehkan untuk mempelajari satu atau dua sihir tingkat tinggi dari anahera unik tersebut. Sihir pertama yang ia pelajari dan ia kuasai adalah membuat barrier untuk melindungi daerah tempat tinggalnya supaya tidak diserang oleh rapunga.
“Bukan.” Moonie menjawab disertai sebuah gelengan.
“Terus?”
“Nggak tau, tapi gue jadinya nggak bisa tenang. Gue harus liat lo dengan mata kepala gue sendiri. Telepati aja nggak cukup.”
Sunwoo tidak terbiasa mendapat perhatian dari orang lain. Mungkin itu dipengaruhi oleh pengalamannya semasa menjadi manusia, namun setiap ada orang yang memberi perhatian padanya, Sunwoo akan cenderung tidak percaya dan menarik diri. Hanya kepada Moonie ia membiarkan dirinya sedikit percaya akan perhatian yang diberikan. Bagaimanapun, Moonie lah yang membantunya sehingga ia bisa ada di titik ini saat ini.
“Gue nggak apa-apa, Bang.” Sunwoo meyakinkan sang anahera. Moonie mengernyitkan dahinya, masih merasa tidak nyaman dengan perasaan yang dimilikinya.
“Bang … seriusan deh, apaan sih yang bakal lebih buruk daripada kalah dari rapunga? Gue udah nggak selemah dulu, gue udah bisa bela diri sekarang, gue nggak akan kalah segampang dulu lagi.”
“Pokoknya kalo ada apa-apa, kapanpun itu, hubungi gue!” Sunwoo memutar bola matanya dengan malas.
“Janji dulu sama gue, Kim Sunwoo!” desak Moonie. Ada nada putus asa di dalam suaranya yang membuat Sunwoo mulai berpikir bahwa ini bukan masalah sepele, karena tidak biasanya anahera nyentrik itu memaksanya seperti ini.
“Iya, Bang. Gue janji.”
Melangkah menyusuri jalan pulang, Sunwoo berjalan lebih lambat daripada saat ia berangkat kerja. Jalanan yang masih cukup lengang, udara yang segar, dan semburat malu-malu sang mentari yang perlahan muncul di ufuk timur sangat sayang untuk dilewatkan.
Dan sampailah ia di sana, di seberang toko kue yang baru mengadakan soft opening sehari sebelumnya. Satu sosok, yang tengah berusaha membuka pintu toko dengan tangan kanan sambil membawa kantong kertas yang penuh dengan jeruk di tangan kirinya, menarik perhatian Sunwoo.
Toko kue emang biasanya buka jam berapa, sih? Kok jam segini pegawainya udah ada yang masuk? pikir Sunwoo setelah melirik arlojinya. Pukul lima lebih duapuluh lima menit.
Satu buah jeruk menggelinding keluar dari kantong kertas yang dibawa oleh sosok itu. Bahkan dari seberang jalan, Sunwoo dapat mendengar gerutuan dari pemuda yang usianya tampak tidak beda jauh dengan usia manusianya.
“Uh-oh! Bad idea,” kata Sunwoo pelan saat dilihatnya pemuda itu membungkuk untuk mengambil jeruk yang sebelumnya terjatuh. Benar saja, saat sang pemuda membungkuk, lebih banyak jeruk yang berhamburan keluar dari kantong kertas yang dipeluknya dengan dengan tangan kiri.
Suara gerutuan semakin keras terdengar, membuat Sunwoo melepaskan tawa yang tiba-tiba ingin keluar dari kerongkongannya. Mendengar ada suara lain selain dirinya, pemuda itu menoleh dan melihat Sunwoo di seberang jalan.
“Daripada ngetawain di situ, mending bantuin gue, nggak sih?” seru pemuda itu kesal, dan mungkin malu, sambil menunjuk beberapa buah jeruk yang menggelinding ke arah Sunwoo. Tersenyum kecil di balik masker hitamnya, Sunwoo pun bergerak untuk mengambil jeruk-jeruk itu.
“Nih.” Sunwoo menyodorkan jeruk-jeruk yang telah dipungutnya kepada si pemuda yang masih membungkuk dan memasukkan jeruk-jeruk yang berhasil dipungutnya sendiri ke dalam kantong.
“Thanks,” jawab pemuda itu sambil menatap Sunwoo.
Dan waktu seakan berhenti bagi Sunwoo saat itu.
Suara pintu dibanting dan suara berisik seseorang pada saat berlari menaiki tangga rumah itu membuat Chanhee dan Changmin terlonjak dari kursi masing-masing.
“Sunwoo?”
“Sunwoo.” Chanhee menjawab setelah melihat jam dinding.
Mengabaikan sarapan masing-masing, Chanhee dan Changmin bergerak bersamaan menuju kamar Sunwoo di lantai dua.
“Sun?” panggil Changmin sambil mengetuk pintu kamar itu. Tidak ada jawaban.
“Sunwoo? Lo nggak apa-apa?” Kini giliran Chanhee yang bertanya.
Masih tidak ada jawaban, Chanhee mencoba untuk membuka pintu kamar itu. Tidak bisa. Terkunci.
“Sun … seriusan, deh! Lo kenapa, sih?! Jangan bikin khawatir gini!” Chanhee mulai meninggikan nada suaranya.
“Gue nggak apa-apa.” Akhirnya Sunwoo menjawab. Dengan suara yang—sangat kentara—bergetar. Chanhee dan Changmin bertukar tatapan terkejut dan bingung. Sunwoo yang mereka kenal adalah orang yang tegas, percaya diri, dan tidak pernah gentar, maka suara yang bergetar itu sangatlah out of character.
“Sunwoo, lo … nangis?”
“MANA ADA?!” bentak Sunwoo dari dalam kamar. Kedua pemuda yang ada di depan pintu terkekeh kecil. Ini Sunwoo yang mereka kenal.
“Ya terus kenapa? Kok dateng-dateng langsung lari ke kamar? Nggak nyapa atau sarapan dulu?” Changmin tidak kapok untuk bertanya
“Nggak laper.”
“Ya kapan sih atua ngerasa laper? Tapi terlepas dari laper atau nggak, kegiatan kita makan bareng itu ‘kan bisa kita manfaatin untuk ngobrol-ngobrol.”
“Lo nggak bosen apa ngobrol-ngobrol sama gue ratusan taun lebih?” Sunwoo menentang Chanhee dari dalam kamar. Yang lebih tua umur manusianya itu menghela napas sambil menggeleng kecil.
“Lo itu kalo cranky gini biasanya kalo lagi tiba-tiba keinget sama masa lalu, deh. Lo pasti ngelewatin bekas tempat eksekusi lo lagi, ‘kan? Udah gue bilang, cari jalan lain ke tempat kerja! Senengnya kok nyakitin diri sendiri?!” balas Chanhee tidak kalah kesal.
Denting notifikasi dari ponselnya membuat Chanhee kembali menghela napas dan memeriksanya. Ia semakin terkejut saat mendapati siapa yang mengiriminya pesan teks.
©️aratnish'22