Lantai Sepuluh

Bagian 06 dari “Ghost Story”

“Kenapa sih kalian semua pada pernah ngalamin kejadian serem-serem kayak gitu? Dan kenapa kalian ceritanya masih bisa santai gitu?!” ucap Saka tidak habis pikir. Wajah laki-laki muda itu semakin pucat pasi seiring cerita yang disampaikan oleh teman-temannya.

“Loh? Kita juga ‘kan pernah punya pengalaman mistis kayak gitu, Ka?” respons Hanggara sambil menoleh ke arah Saka dengan heran.

“Hah?! Masa? Kok aku nggak inget?”

“Itu … waktu zaman kita ngerjain skripsi di kampus hampir tiap hari itu.”

“Yang manaaa? Aku beneran nggak inget ih, Garaaa!”

“Yang kita ke perpus di lantai sepuluuuh, Sakaaa!”

“Yak, dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak,” goda Henry yang disambut dengan tawa geli dari teman-teman mereka yang lain. Walaupun sudah biasa digoda teman-teman mereka, tetap saja wajah Hanggara dan Saka bersemu merah.

“Udah, udah, mendingan cerita,” ujar Sandi, mengasihani rasa jengah yang dialami kedua temannya itu.


Salah satu keuntungan dari punya pacar yang satu angkatan, satu jurusan, lebih-lebih satu kelas, adalah ia bisa mengerjakan semua tugasnya dengan lebih sedikit tekanan karena ia bisa mengerjakannya dengan sang pacar. Saka bukanlah orang yang rapi atau terorganisir, maka memiliki Hanggara yang rapi dan teratur sebagai pacarnya adalah anugerah terindah yang pernah ia miliki. Terlebih, di masa-masa menyelesaikan skripsi seperti hari itu.

“Capeeek, Raaa …,” rengek Saka sambil menyurukkan kepalanya di atas textbook di sebelah laptopnya.

Hari itu, sama seperti hari-hari lainnya selama beberapa bulan ke belakang, Saka, Hanggara, dan beberapa teman sejurusan dan seangkatan mereka berkumpul di lantai sepuluh gedung perkuliahan mereka untuk menyelesaikan skripsi. Alasannya sederhana, agar mereka tidak terlena dengan ‘kebosanan’ saat mengerjakan skripsi sendiri, agar mereka memiliki teman diskusi, dan karena di lantai sepuluh ada perpustakaan mini khusus untuk jurusan mereka. Ada juga sekumpulan skripsi dari para alumni untuk mereka jadikan referensi.

Hanggara melihat jam tangannya saat mendengar rengekan Saka. Beberapa teman mereka terkekeh geli melihat betapa manjanya Saka kalau ada Hanggara (padahal kalau tidak ada Hanggara, Saka terkenal garang).

“Eh iya … udah hampir magrib, nih. Kita nggak akan pulang?” tanya Hanggara kepada yang lainnya yang ada di ruang kelas yang mereka pinjam.

“Oh iya. Anak Manajemen kelas malem bentar lagi masuk. Ini ruangan yang biasa mereka pake, ‘kan?” timbrung Roni. Menyetujui perkataan Roni, para mahasiswa yang ada di kelas itu, termasuk Hanggara dan Saka, segera membereskan barang-barang mereka.

“Ini siapa aja yang minjem skripsi ke perpus? Ayo dibalikin, jangan ditinggal di sini!” kata Kristi sambil membawa dua skripsi tebal di tangannya. Saka segera mendekati perempuan itu.

“Sini, gue aja yang bawa, Kris. Yang lainnya juga nanti sekalian gue yang balikin ke perpus.”

“Eh tapi itu banyak Ka skripsinya.”

“Nggak apa-apa, gue yang bakal bantuin Saka,” sahut Hanggara dari pojok kelas.

Well, if you insist.”

We insist.”

* * *
Dengan demikian, lima menit kemudian, Hanggara dan Saka berjalan beriringan menuju perpustakaan sambil masing-masing membawa lima skripsi di tangan mereka.

“Kayaknya baru kali ini ya kita di kampus sampe magrib gini?” Hanggara membuka pembicaraan.

Saka mengangguk. “Mana dari pagi pula nongkrongnya. Gimana skripsi kamu? Udah banyak kemajuan?”

“Mayan. Kayaknya nanti di rumah mau buka lagi bentar untuk baca-baca. Rasanya tadi pembahasannya masih ada yang kurang pas.”

“Jangan dipaksain, nanti otaknya ngebul terus kamu jadi botak.”

Hanggara tertawa saat mereka memasuki perpustakaan. “Eh? Kak Lisa udah pulang, gitu ya?” katanya saat melihat ruang perpustakaan kosong.

“Nggak mungkin, lah. ‘Kan pintunya belom dikunci. Itu tasnya juga masih ada.” Saka menanggapi sambil menunjuk tote bag di samping meja penjaga perpustakaan setelah ia meletakkan skripsi-skripsi yang dibawanya di meja.

“Oh iya ya, bener juga.” Hanggara pun meletakkan bawaannya di meja. “Sekalian kita beresin aja kali ya? Kasian kalo Kak Lisa harus beresin sendirian.”

Saka mengangguk sebagai jawaban.

* * *
Lima belas menit kemudian mereka keluar dari perpustakaan sambil tetap mendiskusikan skripsi masing-masing. Azan magrib pun sudah terdengar dari masjid di belakang kampus mereka.

Ting … ting … ting ….

Keduanya terdiam.

“Itu … suara mangkok yang dipukul pake sendok, bukan sih?” ucap Saka perlahan.

Hanggara mengangguk. “Tukang bakso?”

Kini giliran Saka yang mengangguk. “Kita … di lantai sepuluh, ‘kan ya?”

Sesaat keduanya terdiam, kemudian terburu-buru berlari menuju ruang kelas untuk mengambil barang-barang mereka dan bergegas pulang.

Karena … tidak mungkin ada tukang bakso yang suara denting mangkuknya terdengar sejauh sepuluh lantai ke atas, ‘kan?[]


©️aratnish’22