penyebab latah
— bagian 1 dari “Latah”
Haknyeon tidak tahu sejak kapan ia jadi memiliki kecenderungan automatic obedience atau melaksanakan perintah yang disampaikan oleh orang lain secara spontan. Ia bahkan tidak sadar bahwa ia adalah orang yang latahan.
‘Kayaknya dulu nggak gini, deh,’ pikir Haknyeon bingung saat ia menarik napas lelah setelah dikerjai oleh teman-temannya untuk lari menuju kelas sebelah pada saat istirahat.
Siapa bilang latah itu lucu? Bagi orang yang mengerjai, mungkin lucu, tapi bagi yang orang dikerjai—Haknyeon, latah itu melelahkan. Selain degup jantung yang jadi lebih cepat dari biasanya, ia juga lelah secara fisik karena harus menuruti perintah orang-orang yang mengerjainya.
Pernah suatu kali, ada teman sekelasnya yang ‘memerintahkannya’ untuk loncat dari lantai dua sekolah, tempat kelas mereka berada. Untung saat itu ada Changbin dan San yang segera menariknya serta memarahi si pemberi perintah, kalau tidak, mungkin saat ini Haknyeon tidak akan berada di kantin pinggir lapangan ini bersama kedua sahabatnya itu.
“Lo sejak kapan jadi latahan gini sih, Hak?” tanya San bingung.
“Iya, Hak. Gue udah barengan sama lo dari SMP, tapi baru pas kelas sebelas ini gue tau kalo lo latahan,” sambung Changbin tidak kalah bingung.
“Gue juga baru tau kalo gue latah,” keluh Haknyeon sedih sambil memainkan nasi di piringnya.
“Lo lagi ada kepengen apa gitu?” tanya San lagi.
“Hah?”
“Atau cemas apa gitu?”
“Apaan sih?” respons Haknyeon semakin bingung.
“Katanya sih, latah itu bisa muncul karena alam bawah sadar lo berusaha menekan keinginan-keinginan tertentu, atau ada kecemasan yang nggak lo sadari,” jelas San. Haknyeon mengernyitkan dahinya sambil berpikir keras.
“Kayaknya nggak ada, deh,” ucapnya kemudian sambil menghela napas dengan kecewa.
“Makan!” perintah Changbin agak keras karena gemas melihat Haknyeon hanya memainkan nasi di piringnya, sementara jam istirahat sebentar lagi akan berakhir.
“Iya. Makan. Makan,” latah Haknyeon sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.
Sementara San tertawa geli, Changbin malah melongo menatap Haknyeon.
“Tuh ‘kaaan … lo jangan ikut-ikutan yang lainnya deh, Bin!” protes Haknyeon setelah menelan suapannya.
“Siapa yang ikut-ikutan?! Gue nyuruh lo makan karena istirahat bentar lagi selesai, bukan niatnya ngelatahin lo!” balas Changbin tidak terima.
“Lo ngomongnya terlalu ngegas, Bin. Jadi kaget dianya,” lerai San, masih dengan geli.
“Udah lah anjir, gue capek banget sumpah sama latah-latahan ini. Gimana cara nyembuhinnya, sih?!” gerutu Haknyeon kesal.
“Harus ke dokter, nggak sih? Atau ke psikolog gitu?”
“Hm-mm.” Changbin menyetujui usulan San.
“Ya ampuuun.” Haknyeon mengacak-acak rambutnya dengan kesal.
Sunwoo tertawa tertahan di tengah kegiatan makannya.
“Kenapa, Nu?” tanya Eric bingung. Sunwoo menggeleng.
“Nggak apa-apa, cuma ada yang manis lagi lucu,” jawab Sunwoo sambil mengalihkan pandangannya ke arah makanan di piringnya, membuat Eric dan Bomin yang makan bersamanya saling menatap dengan bingung.
Tapi, saat malam itu Haknyeon mencoba merenungkan pertanyaan San siangnya, pikirannya mengarah ke satu sosok yang akhir-akhir ini masuk ke benaknya tanpa permisi dan berlari-lari di sana.
Sosok si kapten sepak bola dari kelas sepuluh.
Sosok Kim Sunwoo.
Kalau bicara tentang keinginan tertentu, Haknyeon sangat ingin mengenal Sunwoo lebih dekat.
Oke, ralat. Ingin berkenalan dengan Sunwoo, lebih tepatnya, karena sampai detik ini mereka belum pernah sekalipun bertegur sapa. Setelah berkenalan, Haknyeon ingin mengenal Sunwoo lebih dekat, karena ia tertarik dengan laki-laki tersebut.
Pertanyaan San nomor dua. Kecemasan.
Haknyeon tidak bisa menampik bahwa kecemasannya juga masih berkaitan dengan Sunwoo. Cemas kalau Sunwoo tidak menyukainya. Sangat cemas kalau Sunwoo tidak menyukai sesama lelaki.
“Astagaaa … tapi masa gara-gara gitu doang gue jadi latah, sih?!” gerutu Haknyeon kesal sambil mencoba untuk berkonstrasi kembali kepada tugas-tugas sekolahnya.
“Jadi, udah ketemu belom lo kepengen apa atau cemas kenapa?” tanya San beberapa hari kemudian saat mereka sedang menunggu kegiatan ekstrakurikuler dimulai.
“Mmm ….” Haknyeon menggumam dengan ragu-ragu.
“Berarti ada, ya?” Changbin menyemangati. “Ayo cerita, mungkin aja kita bisa bantu, jadi lo nggak usah capek latah terus.”
“Tapi jangan ketawa, ya?” ucap Haknyeon pelan.
“Emangnya ada yang lebih lucu dari lo salah bikin nasi goreng pake wet food kucing gara-gara lo kira itu kornet?” goda San.
“Anjir! Nggak usah diinget-inget kenapa, sih?!” protes Haknyeon kesal, sementara Changbin dan San sudah terbahak-bahak di kursi mereka.
“Jadi … kenapa, sih?” Changbin mengembalikan topik pembicaraan setelah ia puas tertawa.
“Hmm … gue kepikiran seseorang,” sahut Haknyeon pelan.
“Hah?” Changbin dan San mengernyitkan dahi. Bingung. Masa iya, kepikiran sama seseorang bisa bikin latah?
“Siapa?” San akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
“Anak kelas sepuluh yang kapten sepak bola itu.”
Setelah berpikir sejenak, San menebak, “Sunwoo? Kim Sunwoo?”
“Iya.”
“Emangnya dia kenapa? Dia nge-bully lo?” tanya Changbin cemas.
“Eh, enggak! Beneran enggak!”
“Terus kenapa?”
“Eng … itu …. Aduuuh gimana ya bilangnya?” Haknyeon bergerak-gerak gelisah.
“Bilang, nggak?!” gertak San.
“Iya! Iya! Bilang! Gue suka Sunwoo!” Hening.
“Anjing, San! Lo ngapain pake ngagetin gue, sih?!!!” bentak Haknyeon panik saat dilihatnya Changbin dan Sanha sudah kembali tertawa terbahak-bahak.
“Anjir! Ada enaknya juga dia latah, dikagetin dikit langsung nyerocos,” gelak San.
“NGGAK SOPAAAN!!!”
“Jadi, lo suka sama Sunwoo, trus lo jadi latah? Yang bener aja, lah!” Changbin ikut tergelak.
“JANGAN KERAS-KERAS, SAT!!”
“Oke. Oke. Oke. Serius sekarang. Kenapa lo bisa mikir gara-gara itu lo jadi latah?” Changbin bertanya setelah ia dan San (berusaha) berhenti dari tawa mereka.
Awalnya ragu-ragu, Haknyeon pun menceritakan hasil pemikirannya beberapa hari sebelumnya.
“Hmm … kalo gue bilang kekhawatiran lo nggak berdasar, gimana? I mean, lo belom juga kenalan sama dia, belom tau orangnya kayak gimana, tapi udah keburu takut duluan,” komentar San.
“Yang gue tau juga dia belom ada pacar, cewek ataupun cowok,” tambah Changbin.
Haknyeon memajukan bibirnya beberapa sentimeter ke depan.
“Kalo kata gue, mending lo coba kenalan dulu sama dia, deh,” lanjut Changbin.
“Gimana kenalannya, ogeb? Gue sama dia nggak pernah ada kepentingan yang sama juga.”
“Tuh. Ada anaknya. Kenalan, gih.” Changbin menunjuk ke satu arah dengan gerakan kepalanya. Saat San dan Haknyeon menoleh ke arah yang ditunjukkan, di situlah mereka melihat Sunwoo sedang berjalan bersama Eric.
“Ya nggak segampang itu juga, Changbin!” protes Haknyeon dengan suara pelan, karena posisi Sunwoo dan Eric sudah mendekati posisi mereka duduk.
“Gampang, kok,” jawab Changbin tenang.
“Gima—”
“Sana sapa Sunwoo!” perintah Changbin sambil sedikit menggebrak meja.
“Eh! Iya. Sapa. Sapa Sunwoo. Hai, Sunwoo!” seru Haknyeon ke arah Sunwoo yang menatapnya dengan bingung.
“Eh? Hai …?” balas Sunwoo tidak yakin, sementara Changbin dan San sudah berusaha menahan tawanya.
“Eh. Maaf,” ucap Haknyeon pelan dengan wajah bersemu merah.
Kepada kedua sahabatnya, Haknyeon mendesis geram, “Changbin … lo belom pernah keselek bulldozer, ya?”
“Belom,” jawab Changbin geli.
“Kenalan sana sama Sunwoo!” San ikut mengagetkan Haknyeon.
“Kenalan. Iya. Ajak kenalan. Kenalin, gue Haknyeon.” Haknyeon mengulurkan tangannya kepada Sunwoo yang kini sudah berada di depan meja mereka.
Dengan ragu-ragu, Sunwoo menjabat tangan itu. “Sunwoo,” katanya pelan. Eric, yang mulai mengerti apa yang sedang terjadi, mulai terkekeh geli.
“Ah … San kampret!” desis Haknyeon geram. “Maaf, ya!”
“Iya, nggak apa-apa,” jawab Sunwoo pelan.
“Kalian tuh, bukannya ngebantuin gue nyembuhin ini latah, malah ikutan maenin gue! Gimana sih jadi temen?!” gerutu Haknyeon ketika ia kembali menghadap kedua temannya, meninggalkan Sunwoo yang masih berdiri mematung dengan bingung.
Bukannya menjawab gerutuan Haknyeon, San dan Changbin sepertinya memiliki pemikiran yang sama tanpa harus berunding terlebih dulu, karena ….
“Cium Sunwoo!” perintah keduanya geli secara bersamaan.
“Iya. Cium. Ayo cium Sunwoo!” ulang Haknyeon sambil berbalik dan berjalan ke arah Sunwoo.
Terkejut, Sunwoo hanya bisa terbelalak saat Haknyeon menarik bagian depan seragam sepak bolanya. Rasa terkejutnya tidak berlangsung lama, karena ia segera menahan bahu kakak kelas yang lebih pendek darinya itu dengan kedua tangan agar tidak bisa lebih mendekat lagi.
“Stop!” perintahnya tegas.
Tersadar, Haknyeon berhenti dan menatap mata Sunwoo dalam-dalam. Sedetik kemudian ia merasa sangat sedih saat melihat emosi yang terpampang di mata laki-laki yang diam-diam disukainya itu. Tidak suka, tidak setuju, dan … marah?
“Jangan dikit-dikit diturutin.” Laki-laki di depannya itu membuka suara. Dingin.
Haknyeon sudah cukup melihat dan mendengar, dan ia memutuskan bahwa segera pergi dari situ adalah jalan keluar terbaik.
“Maaf.”
Melepaskan kedua bahunya dari tangan Sunwoo yang masih menahannya, Haknyeon berbalik dan berlari sekencang mungkin.
“Hak?!” panggil San.
“Haknyeon! Tunggu!” San dan Changbin pun berlari mengejar sahabat yang sempat mereka kerjai itu.
Satu lirikan Changbin lemparkan ke belakang—ke arah Sunwoo—dan ia terkejut saat melihat adik kelas mereka itu berjongkok sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, sementara Eric menepuk-nepuk bahunya dengan ekspresi bingung.
‘Oh? Menarik,’ pikir Changbin sambil kembali mengejar Haknyeon bersama San.
(bersambung ke bagian 2)
—aratnish'22