kabur

— bagian 2 dari “Latah”

Beberapa hari berselang setelah kejadian Haknyeon hampir mencium Sunwoo karena dikerjai oleh Changbin dan San. Walaupun ia masih kesal dengan kelakuan kedua sahabatnya itu, namun ia tidak dapat berlama-lama marah kepada mereka.

Lain halnya dengan persoalan Sunwoo. Entah kenapa, sejak kejadian itu, Haknyeon merasa ia selalu bertemu dengan Sunwoo di manapun. Di kantin—padahal kantin sekolah sangat luas, di jalan menuju ke laboratorium, di depan lapangan—yah, yang ini karena Sunwoo sedang latihan sepak bola, sih. Di dekat perpustakaan, di lorong kelas sebelas—padahal daerah kelas sebelas dan sepuluh cukup jauh, di parkiran mobil—padahal Sunwoo mengendarai motor ke sekolah.

Dan Haknyeon selalu berbalik arah sebelum ia sempat berpapasan dengan adik kelasnya itu.

Apa yang kalian harapkan? Haknyeon sudah kepalang malu. Kepalang sakit hati juga saat melihat emosi negatif di netra indah Sunwoo.

Jadi, jalan satu-satunya yang dapat Haknyeon pikirkan hanyalah … kabur.


Hari lainnya datang lagi. Hari dimana Haknyeon melihat Sunwoo di kejauhan dan memiliki tingkat probabilitas cukup tinggi untuk berpapasan dengannya.

Seperti hari-hari lainnya, Haknyeon segera berbalik untuk mengambil langkah seribu.

Tidak seperti hari-hari lainnya, Sunwoo berteriak memanggilnya.

“Haknyeon hyung!”

‘Hah?! Apa-apaan, deh?! Kok dia manggil gue??’ pikir Haknyeon panik sambil sedikit melirik ke belakang.

“Tunggu, hyung!”

‘EH?! Kok dia ngejar gue?!’ Semakin panik, Haknyeon mempercepat langkahnya.

Hyung! Jangan kabur dulu! Gue mau ngomong!”

Semakin Sunwoo memanggilnya, semakin cepat Haknyeon berjalan dan berakhir dengan ia berlari untuk memperlebar jarak antara dirinya dan Sunwoo yang juga berlari mengejarnya.

Hyung! Tunggu! Jangan lari, elah!”

Haknyeon berlari tidak tentu arah, hanya mengikuti ke mana kakinya membawanya. Sampai akhirnya ia sampai di salah satu sudut halaman belakang sekolah yang jarang didatangi oleh siswa ataupun guru. Haknyeon berhenti untuk melihat ke belakang dan merasa lega karena Sunwoo tidak lagi mengejarnya. Menyandarkan punggung di tembok gudang yang sudah tidak terpakai, Haknyeon memejamkan mata dan mengatur napasnya yang berantakan.

“Akhirnya ketangkep juga!” sahut sebuah suara dengan napas yang sama tidak beraturannya dengan dirinya.

Haknyeon tidak perlu membuka mata untuk mengetahui bahwa Sunwoo sudah berhasil mengejarnya. Ia mengerang pelan tanda kesal.

‘Dasar kapten sepak bola!’ gerutunya dalam hati.

“Kenapa lari, sih?” tanya Sunwoo bingung.

“Nggak apa-apa,” jawab Haknyeon masih dengan mata terpejam.

“Kok merem terus?”

“Nggak apa-apa.”

“Nggak mau melek dan memastikan bahwa kaki gue napak di tanah?” Tersentak, Haknyeon segera membuka mata dan melihat ke arah kaki Sunwoo yang sudah pasti menapak di tanah. Reaksinya itu membuat sang adik kelas terkekeh geli.

Hyung lucu banget, sih.”

“Berisik!” omel Haknyeon dengan wajah bersemu merah.

“Kenapa sih lo selalu lari kalo mau papasan sama gue? Padahal waktu itu lo sok-sokan mau nyium gue,” goda Sunwoo.

Stop!!! Nggak usah diungkit lagi! Lo nggak suka, ‘kan? Iya, udah, gue minta maaf.”

Hyung—”

“Gue tau gue ngeselin. Gue minta maaf, deh.”

“Haknyeon hyung—”

“Lo nggak usah khawatir, gue janji nggak akan ada kejadian kayak gitu lagi. Gue bakal jaga jarak dari lo.”

“Haknyeonie ….” Haknyeon berhenti berceloteh saat mendengar panggilan Sunwoo padanya.

“Tadi … manggil apa?” tanya Haknyeon linglung.

“Haknyeonie,” jawab Sunwoo sambil tersenyum kecil.

“Kenapa?”

“Karena gue suka.”

“Hah?!”

“Gue suka elo.”

Haknyeon mengangkat sebelah alisnya sebagai respons dan melihat Sunwoo dengan tatapan skeptis.

“Oke. Lo ngelantur. Gue pergi. Yang penting gue udah minta maaf, ya.”

Haknyeon berhenti saat tangan kiri Sunwoo menahan langkahnya. Menatap adik kelasnya dengan bingung, Haknyeon berbalik untuk pergi dari arah sebaliknya. Lagi, ia dihentikan oleh tangan Sunwoo—kini tangan kanan—membuat ia kini terkunci di antara kedua tangan sang adik kelas dan tembok gudang di belakangnya.

Ya. Sunwoo melakukan kabedon kepada Haknyeon.

“Apa-apaan?”

“Biar lo nggak kabur lagi. Gue mau lo ngedengerin gue sebentar aja.”


“Gue udah tau dari awal kalo lo latah,” kata Sunwoo membuka percakapan—masih dengan mengungkung Haknyeon di antara dirinya dan tembok.

“Kok bisa?”

“Gue pernah liat lo disuruh tiba-tiba hormat ke tiang bendera waktu lagi pelajaran olahraga.”

“Anjir?! Kok lo bisa tau?!”

“Gue kebetulan lagi izin ke toilet waktu itu,” jawab Sunwoo sambil tersenyum geli melihat wajah Haknyeon yang memerah. ‘Izin ke toilet karena gue tau kelas lo lagi pelajaran olahraga,’ lanjut Sunwoo dalam hati.

“Gue juga pernah liat lo disuruh lari ke kelas di sebelah kelas lo. Atau waktu lo disuruh nari di lorong kelas. Atau ….” Sunwoo menyebutkan satu per satu kejadian yang pernah Haknyeon alami terkait dengan latahnya.

“… Beberapa bisa dikategoriin sebagai bullying lho, Nyeonie. Contohnya, waktu lo disuruh lompat dari lantai dua. Sumpah waktu itu gue rasanya marah banget. Pengen langsung lari ke tempat lo, tapi untung Changbin hyung dan San hyung udah nolongin lo.” Sunwoo merapikan rambut Haknyeon yang berantakan karena disibakkan oleh angin nakal.

“Kok lo bisa tau semuanya, sih?” tanya Haknyeon malu. Apalagi saat ia mendengar nama panggilan yang diberikan oleh Sunwoo padanya.

“Karena gue selalu merhatiin lo.” Sunwoo berhenti sejenak. “Karena gue suka sama lo, Haknyeonie.”

“Lo ngelantur lagi.” Sunwoo menghela napas lelah.

“Gue nggak ngelantur, Nyeonie.”

“Terus kemaren kenapa marahin gue?”

“Gue nggak marah. Gue ‘kan cuma bilang jangan dikit-dikit diturutin, nanti semuanya pada ngelunjak ngerjain lo.”

“Tapi—”

“Gue nggak suka kalo lo nyapa gue, ngajak gue kenalan, sama mau nyium gue cuma karena disuruh sama orang.”

“Hah??”

“Nggak tulus.”

“Tapi ….” Haknyeon mengurungkan niatnya.

“Tapi apa?” Sunwoo menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di mata kiri Haknyeon, membuat wajah kakak kelasnya itu kembali bersemu merah.

“Tapi … waktu itu mereka ngerjain gue karena mereka tau kalo gue suka sama lo.” Sunwoo mengangkat sebelah alisnya dengan tertarik.

“Oh?”

Yeah.”

Sunwoo seketika berjongkok di depan Haknyeon, menunduk, kemudian menghela napas panjang.

“Eh? Sunwoo? Kenapa?” tanya Haknyeon bingung sambil ikut berjongkok.

“Gue kira lo cuma main-main aja. Gue kira lo nggak punya perasaan apa-apa sama gue. Gue kira gue cuma jadi salah satu subjek ngejailin lo.”

Haknyeon terkekeh mendengar kata-kata Sunwoo itu.

“Siapa sih yang nggak akan suka sama lo? Kapten sepak bola paling ganteng gini,” goda Haknyeon sambil mengacak-acak surai hitam pemuda di depannya. Sunwoo mendongak dan menatap lurus ke arah Haknyeon.

“Gue nggak peduli sama yang lainnya. Gue pedulinya cuma sama lo.”

“Ah gombal!” Haknyeon menggerutu untuk menutupi rasa malunya.

Sunwoo menjepit dagu kakak kelasnya itu dengan telunjuk dan ibu jarinya saat sang kakak kelas memalingkan wajah. Setelah Haknyeon kembali menatapnya, Sunwoo berkata dengan serius,

“Nyeonie ... pacaran, yuk.”

“Lo ngajak pacaran kayak ngajak gue beli pisang goreng aja.”

(bersambung ke epilog)

—aratnish'22