lo boleh cerita, kok
Bagian 05 dari “Eternity”
Chanhee memperlihatkan percakapannya dengan Moonie kepada Changmin. Temannya itu mengangkat bahu dengan tatapan bingung.
“Ya udah deh, mending kita siap-siap berangkat kerja aja dulu kali, ya? Nanti sore kita tanyain lagi anaknya,” usul Changmin yang langsung disetujui oleh Chanhee.
Setelah membereskan meja makan yang mereka gunakan untuk sarapan sebelumnya dan mempersiapkan perlengkapan kerja mereka, Chanhee dan Changmin kembali ke depan kamar Sunwoo.
“Sun, gue sama Chanhee pergi kerja dulu. Lo istirahat aja, ya. Sarapan bagian lo ada di kulkas, nanti kalo lo mau makan, tinggal dipanasin aja. Buat makan siang nanti, delivery aja. Jangan coba-coba masak! Lo hampir ngeledakin dapur terakhir kali lo nyoba masak.”
Tidak ada jawaban lagi dari dalam kamar.
“Sun?” panggil Changmin lagi.
“Iya.” Akhirnya atua itu menjawab dengan suara serak. Entah karena menangis, entah karena mengantuk.
Yakin tidak akan mendapatkan jawaban apa-apa lagi dari Sunwoo, dengan berat hati Chanhee dan Changmin akhirnya pergi untuk bekerja.
Sunwoo bohong kalau ia bilang ia tidak menangis. Well, tidak sepenuhnya menangis, sih … hanya saja jujur ia sangat ingin menangis sampai dadanya terasa sesak dan kerongkongannya terasa panas.
“Nggak mungkin ‘kan itu dia?” bisik Sunwoo sambil mengusap wajahnya dengan kalut.
Semasa ia hidup, benda bernama foto memang belum ditemukan, namun Sunwoo dapat mengingat dengan pasti wajah seseorang dari masa lalunya. Bagaimana tidak? Ia hidup hampir satu dekade di bawah atap yang sama dengannya. Oke, tidak sepenuhnya di bawah atap yang sama karena Sunwoo tinggal di bawah atap pondok budak, sementara orang itu tinggal di bawah atap kediaman tuan rumah.
Tapi Sunwoo bisa mengingat dengan jelas matanya. Mata yang bersinar teduh dan—Sunwoo rasa—mampu melihat ke kedalaman jiwanya.
Dan pemuda yang tadi ditemuinya memiliki mata itu.
Mata yang sama.
Paras yang sama.
“Nggak mungkin orang yang sama, ‘kan?” lirihnya.
Tidak mungkin orang yang sama, karena Sunwoo melihat sendiri bagaimana orang itu menutup usia di masa tuanya. Dikelilingi oleh istri, anak-anak, serta cucu-cucu yang ia kasihi dan mengasihinya.
“Mungkin Kak Chanhee bener, gue cuma terlalu sering lewat jalan itu makanya jadi berhalusinasi.” Mendadak merasa lelah, Sunwoo pun memejamkan mata tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu.
Ketukan yang cukup kencang di pintu kamar membangunkan Sunwoo dari tidurnya. Dengan mata yang masih sebelah terpejam, ia melihat jam dinding di kamarnya. Pukul tiga sore. Chanhee dan Changmin belum akan pulang sampai pukul enam petang. Mengerang, karena mengetahui bahwa mungkin yang mengetuk pintu kamarnya adalah Moonie, Sunwoo bangkit dari posisinya.
“Apaan sih, Moon—” Kata-katanya terhenti di ujung lidah saat melihat orang-orang yang berdiri di depan kamarnya. “Eh? Kalian kenapa jam segini udah pulang?” tanya Sunwoo bingung.
“Gue nggak bisa tenang kerjanya. Kepikiran lo terus.” Changmin menyetujui pernyataan Chanhee itu dengan sebuah anggukan tegas.
“Gue nggak apa-apa,” respons Sunwoo sambil dengan rikuh menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Kita bakal liat nanti. Sekarang lo mandi dulu. Bersih-bersih, ganti baju. Lo pasti langsung tidur ‘kan tadi? Abis itu makan. Gue tadi beli burger sama ayam goreng kesukaan lo,” cerocos Changmin sambil mendorong Sunwoo menuju kamar mandi di kamarnya.
“Gue nggak laper.”
“Ya, ya, ya. Gue bakal nyekokin itu burger ke mulut lo sampe lo nggak bisa napas!”
Terkekeh geli, Sunwoo akhirnya menyetujui perkataan Changmin saat ia akhirnya menutup pintu kamar mandi.
“Lo tuh nggak harus nyimpen semuanya sendiri, Sun.” Chanhee membuka pembicaraan saat mereka duduk mengelilingi meja makan dengan burger, kentang, dan ayam goreng di hadapan mereka masing-masing. Oh! Jangan lupakan juga minuman soda dan satu gallon es krim rocky road di dalam lemari pendingin sebagai dessert.
“Gue cuma butuh waktu untuk mencerna semua,” elak Sunwoo.
“Trus rencananya sharing ke kita kapan?” tantang Changmin. Sunwoo terdiam. “Nah ‘kan? Berarti nggak akan sharing, ‘kan?”
“Sorry.”
“Lo tuh bikin khawatir, Sun. Kita udah tinggal bareng beratus taun … and still counting. Kita tuh keluarga, kita harus saling ngejaga. Nggak bisa kalo cuma lo doang yang ngejaga kita berdua dari serangan rapunga atau yang lainnya. Well … kalo yang itu sih emang lebih baik diserahkan ke lo karena memang lo yang paling kuat. Tapi kalo misal ada masalah lain, ayolah dibicarain.”
Sunwoo terdiam mendengar ocehan Chanhee itu. Bukannya ia tidak mau bercerita kepada mereka berdua, tapi Sunwoo masih sulit memahami konsep dari ‘keluarga’ dan ‘berbagi’.
“Sorry.” Lagi-lagi ia hanya bisa meminta maaf.
Chanhee dan Changmin menghela napas. Lelah akan kekeraskepalaan atua yang lebih senior dari mereka itu.
“Sunwoo …,” panggil Changmin pelan pada Sunwoo yang menunduk dan memainkan kentang goreng di piringnya. Saat Sunwoo mengangkat kepalanya, Changmin melanjutkan, “Lo boleh cerita, kok.”
“Gue ….”
“Ya?” Kedua teman serumahnya menyemangati.
“Gue nggak tau caranya cerita.” Sunwoo menunduk malu. Tidak percaya akan pendengaran mereka, Chanhee dan Changmin saling menatap dengan pandangan terenyuh.
“Bebas mau ceritanya kayak gimana, Sun. Nanti kalo ada yang gue atau Changmin nggak ngerti, kita pasti nanya. Yang penting lo cerita sesuai keinginan lo aja dulu, kita ngikutin.”
Hening bersemayam di antara mereka cukup lama, sampai-sampai Chanhee dan Changmin mengira bahwa Sunwoo tetap tidak akan bercerita.
“Bekas tempat eksekusi gue dulu ternyata sekarang jadi toko kue,” cetus Sunwoo dengan suara pelan, lima menit berselang.
“Oh?” komentar Changmin saat Sunwoo tidak berkata lebih lanjut.
“Tadi pagi waktu gue lewat sana, ada pegawainya yang udah dateng. Dia lagi bawa satu kantong gede penuh jeruk, sambil mau buka pintu toko. Terus ada jeruknya yang jatuh. Dia lalu ngebungkuk untuk ngambil, tapi jadinya lebih banyak jeruk yang jatuh.”
Pada wajah yang masih muram beberapa menit sebelumnya itu kini tertoreh sebuah senyum kecil saat mengingat kejadian konyol pagi tadi. Senyum yang menular kepada Chanhee dan Changmin.
“Terus gue ketawa, eh kedengeran sama dianya, terus dia nyuruh gue bantuin mungutin jeruk. Waktu gue ngasihin jeruk yang udah gue pungutin, dia bilang makasih sambil ngeliat ke arah gue. Terus ….”
Mendung kembali meliputi wajah tampan Sunwoo dan ia pun tidak melanjutkan kata-katanya.
“Terus … kenapa, Sun?” tanya Chanhee perlahan, tahu bahwa mereka telah sampai di inti cerita Sunwoo. Perlahan pemuda itu menggeleng. Kembali menutup diri.
“Nggak sekarang nggak apa-apa?” Akhirnya ia bertanya. Menyembunyikan desah kecewa, Chanhee dan Changmin mengangguk bersamaan.
“Nggak apa-apa. Take your time, Sun.”
“Gue mau tidur sebentar, ya. Makasih makanannya.”
Setelah melihat anggukan dari kedua teman serumahnya, Sunwoo pun beranjak menuju kamarnya lagi.
“Gue jadi makin penasaran,” gerutu Chanhee pelan saat ia yakin Sunwoo sudah masuk ke kamarnya.
“Nggak apa-apa. Dia masih butuh waktu untuk terbuka.”
©️aratnish'22