Maaf dan Terima Kasih

Bagian 30 dari “Eternity”

Entah sudah berapa lama Haknyeon dan Sunwoo duduk berhadapan dalam diam di café itu. Haknyeon tidak dapat membuat dirinya sendiri memulai pembicaraan, karena … ia terlalu jengah akan tatapan mata Sunwoo kepadanya dan genggaman yang tidak dapat—juga tidak mau—ia lepaskan. Sementara Sunwoo, ia tidak peduli apakah mereka akan mengobrol atau tidak, yang penting ia bisa melihat dan menyentuh Haknyeon saat itu.

“Nu?”

“Iya, sayang?”

“Jangan ngeliatin terus, bisa?” tanya Haknyeon akhirnya.

“Nggak bisa. Kalo nggak aku liatin, takutnya kamu tiba-tiba ilang.”

Haknyeon tertawa dengan kikuk. “Enggak, aku nggak akan ilang. Ehm … aku ‘kan belom minta maaf ke kamu.”

“Minta maaf kenapa?”

“Karena marah-marah dan ngusir kamu tengah malem waktu itu. Harusnya waktu itu kita bisa ngobrol baik-baik, tapi aku malah ngusir kamu. Maaf ya, aku childish banget.”

Sunwoo menggeleng sementara ibu jarinya membuat pola lingkaran-lingkaran di punggung tangan Haknyeon.

“Nggak apa-apa, Hakkie. Aku juga salah, harusnya kemaren itu aku nggak cerita—”

“Tapi ‘kan kamu cerita karena aku yang maksa!” potong Haknyeon.

“Iya, tapi harusnya aku bisa lebih bijak ceritanya, nggak keburu-buru kayak kemarin itu. Wajar aja kamu jadi marah sama aku. Dan lagi … aku waktu itu nggak pulang, kok. Aku pulang waktu Eric udah pulang. Aku nggak bisa ninggalin kamu sendiri dengan keadaan nggak tenang kayak gitu.”

“Hah?! Terus waktu itu kamu tidur di mana?!”

“Nggak tidur. Nggak bisa tidur. Lagian, biasanya 'kan aku tidurnya dari pagi ke siang, bukan dari malem ke pagi.”

“Tapi—!”

“Sshh … Hakkie, sayang … kita udah ketemu gini sekarang, nggak usah bahas yang kemaren-kemaren, ya? Aku minta maaf, aku nggak peka, harusnya aku nggak cerita segamblang itu.”

“Aku yang salah, Sunu. Aku yang nggak open minded. Padahal aku yang minta kamu cerita, tapi malah aku yang marah-marah, aku nggak nyoba ngertiin kondisi kamu. Padahal seharusnya aku malah berterima kasih karena kamu udah mau percaya sama aku untuk nyeritain semua. I know that’s not easy for you.”

Tersenyum kecil, Sunwoo berkata, “Ya udah, biar adil, kita sama-sama salah, ya?” yang dibalas Haknyeon dengan sebuah tawa.

Lelaki yang lebih tua satu tahun itu membalik tangannya di atas meja agar dapat balas menggenggam tangan lelaki di depannya.

“Maaf ya, Sunu ….”

“Udah, nggak usah minta maaf lagi.” Sunwoo mengecup tangan di dalam genggamannya. “Jadi … kita baikan?”

“Kita nggak pernah marahan. Aku cuma butuh waktu untuk mikir.”

“Jadi … kita tetep pacaran?”

“Iya, Sunu … kita tetep pacaran.”

Setelah melihat kekasihnya dengan intens selama beberapa detik, Sunwoo pun melepaskan genggamannya dengan enggan.

“Aku ke toilet dulu bentar, ya?” pamitnya. Haknyeon mengangguk sambil tersenyum kecil.

Haknyeon sedang menikmati iced chocolate-nya saat Sunwoo datang beberapa menit kemudian dan segera membereskan semua pesanan serta barang mereka di atas meja.

“Eh? Eh? Eh? Kenapa, Nu? Kok diberesin? Nu?” Haknyeon bertanya dengan bingung saat Sunwoo mengisyaratkan agar Haknyeon membawa gelas minumannya dan mengikutinya.

“Pindah tempat duduk.”

“Eh? Kenapa? Ada apa?” Walaupun bingung, Haknyeon menuruti keinginan Sunwoo dan mengikutinya ke bagian belakang café.


Haknyeon baru tahu bahwa di bagian belakang café itu masih terdapat area yang diperuntukkan bagi pengunjung. Bedanya, area itu terkesan lebih eksklusif dan intim karena setiap meja dibatasi oleh partisi yang tinggi dan dengan motif yang cukup rapat.

“Kenapa pindah ke sini?” tanya Haknyeon heran seraya duduk di salah satu sofa yang ada di bilik yang mereka tempati. Haknyeon kira, Sunwoo akan duduk di sofa seberangnya seperti biasa, tapi ternyata tidak. Sunwoo menghempaskan tubuhnya di sebelah Haknyeon dan memeluk lelaki itu erat-erat dari samping.

“Nu?”

“Kangen bangeeet, Hakkie …. Nanti lagi jangan diem-dieman lama-lama ya, aku nggak sangguuup,” rengeknya dari balik bahu Haknyeon. Sang kekasih terkekeh geli sambil menepuk-nepuk lengan kokoh yang memeluknya.

“Iya, Nu … nggak akan diem-dieman lagi. Jadi … ini pindah ke sini biar bisa peluk-pelukan?” godanya. Sunwoo mengangguk. “Di depan tadi malu?” Sebuah gelengan diberikan. “Terus kenapa?”

“Di depan tadi banyak orang jahat.”

“Eh?!”

“Yang cewek pada bisik-bisik pengen ngajak kamu kenalan. Yang cowok pada bilang kamu manis, terus pada niat ngajak aku berantem—karena aku keliatan lemah—biar bisa bawa kamu pulang. Mereka nggak tau aja, aku tiup aja mereka bisa patah tulang semua,” gerutu Sunwoo sambil tetap memeluk Haknyeon.

“Kok kamu bisa tau semua itu?” Haknyeon bertanya dengan terkejut. Sunwoo terdiam cukup lama dan kali ini Haknyeon tidak mendesaknya untuk menjawab.

“Pendengaran aku lebih tajem dari manusia biasa,” jawabnya pelan sambil melepaskan pelukannya pada yang terkasih. “Intinya, pancaindraku lebih tajem dari manusia biasa,” lanjutnya.

“Bisa baca pikiran juga, nggak?”

Sunwoo menggeleng. “Kalo sama manusia biasa, enggak. Tapi kalo ke sesama atua sih bisa.”

“Atua?”

“Makhluk immortal kayak aku disebutnya atua, Hak ….”

“Oooh … I see.” Haknyeon terdiam. Sesungguhnya ia ingin bertanya lebih lanjut, ingin diceritakan lebih banyak, tapi ia tidak yakin Sunwoo ingin melakukannya.

“Kenapa? Pengen tau lebih banyak?” tanya Sunwoo geli.

“Katanya nggak bisa baca pikiran?!” seru Haknyeon terkejut.

“Nggak perlu bisa baca pikiran untuk tau kalo kamu penasaran. Kebaca banget di muka kamu,” kekeh Sunwoo geli. Haknyeon memajukan bibirnya, antara malu dan kesal. Sunwoo tidak melewatkan kesempatan itu dan mengecupnya singkat.

“Coba, kamu pengen tau apanya? Tanya aja, nggak apa-apa.”

Setelah ragu selama beberapa saat, akhirnya Haknyeon bertanya,

“Kamu sendirian?”

“Hah? Apanya?”

“Jadi … atua?”

“Nggak sendiri. Ada cukup banyak atua di dunia, tapi di daerah kita ini cuma ada tiga. Aku nggak suka keramaian.”

“Tiga? Kamu nggak suka keramaian? Gimana maksudnya?”

“Tiga atua. Aku, Kak Chanhee, dan Kak Changmin.”

“OH! Aku kira mereka bener-bener kakak kamu!”

“Umur mereka waktu masih jadi manusia lebih tua dari aku, jadi aku manggil mereka kakak.”

“Ooo. Terus? Apa hubungannya sama kamu nggak suka keramaian?”

“Hmm … singkat cerita, setiap daerah dipimpin sama satu atua, kayak semacam penanggung jawab gitu deh. Kebetulan aku cukup lama ada di sini, jadi secara nggak langsung, daerah ini jadi tanggung jawabku. Nah, para penanggung jawab ini bebas mau ‘masukin’ berapa banyak atua ke daerah mereka.”

“Dan karena kamu nggak suka keramaian, jadi kamu cuma ngebolehin Kak Chanhee dan Kak Changmin yang gabung di sini?”

“Yap. Lagian, makin banyak atua, makin banyak konflik juga. Biar gimana juga kami hidup di zaman yang berbeda-beda sebelum akhirnya jadi atua.”

“Mm … kalo aku tanya kamu umur berapa, kamu tersinggung nggak?” tanya Haknyeon hati-hati.

“Enggak lah. Aku dulu hidup sampe umur duapuluh tiga taun. Setelah itu, aku udah hidup selama 412 taun sebagai atua.”

“KAMU TUA, IH!” seru Haknyeon terkejut yang membuat Sunwoo terbahak.

“Tapi aku awet muda. Energi aku juga masih bisa diadu sama yang muda-muda,” responsnya sambil mengedipkan mata dengan genit. “Ayo, mau nanya apa lagi?”

“Jadi immortal itu … gimana rasanya?”

“Hmm … nggak gimana-gimana, sih. Biasa aja.”

“Gimana rasanya nggak takut sama kematian?” Sunwoo terdiam. “Nu?”

“Atua bisa mati, Hak.”

“Lah katanya immortal?”

Sunwoo melihat ke arah kiri dan kanan dengan tatapan serius sebelum menjawab Haknyeon dengan suara pelan, “Tattoo yang atua punya, jadi titik kelemahan kami. Nggak semua manusia bisa nerima kehadiran atua di dunia dan mereka berusaha untuk menghilangkan kami dari sini.”

“Jadi ada manusia yang ngincer kalian?” Haknyeon ikut berbisik.

“Hm-mm.”

“Terus, kalo atua meninggal … gimana? Maksud aku, apa yang bakal terjadi?”

“Singkatnya, kami bener-bener ilang. Jadi bayangan, tapi tetep di sini, nggak bisa ke mana-mana, nggak bisa minta tolong ke siapa-siapa. Sampe kiamat.” Haknyeon menampakkan ekspresi ketakutan.

“Makanya waktu itu kamu panik waktu aku pegang tattoo kamu?” Sunwoo mengangguk. “Kamu kira aku salah satu dari manusia yang ngejar atua?”

“Aku percaya kalo kamu bukan salah satu dari mereka, tapi tetep aja aku refleks menghindar. Maaf, ya?”

Haknyeon menggeleng sambil memeluk Sunwoo lagi. “Nggak ada yang perlu dimaafin. Aku ngerti kok.”

“Makasih, sayang,” ucap Sunwoo sambil mengecup puncak kepala Haknyeon.

“Tugasnya atua tuh sebenernya apa, sih? I mean, you’re not immortal without any duty, right?”

Sunwoo tersenyum sambil mengecup rahang Haknyeon. “Kamu pinter. Aku suka.” Ia terkekeh melihat wajah Haknyeon yang mulai memerah.

“Jadi, tugas atua adalah membantu Bang Sangyeon—malaikat maut—untuk membimbing jiwa orang-orang yang udah meninggal menuju Araf. Ah, itu tuh yang kata aku dunia antara dunia ini dan dunia setelahnya.”

“Kenapa harus dibimbing? Bukannya harusnya malaikat maut udah punya jadwal tentang siapa meninggal kapan?”

“Pertanyaan bagus. Sebenernya sampe sekarang aku juga nggak tau kenapa, tapi biasanya yang atua bimbing itu jiwa-jiwa yang meninggalnya bukan karena natural death. Jadi misalnya karena kecelakaan, atau bunuh diri, atau dibunuh.”

“Kenapa?”

“Karena terkadang mereka nggak sadar kalo mereka udah meninggal dan jadinya malah mengganggu manusia yang masih hidup di sini.”

“Aaah … jadi kamu kayak pemburu hantu gitu? Padahal kamu takut hantu.” Sunwoo tertawa.

“Tuntutan pekerjaan, sayang. Anehnya, kalo sama mereka, aku nggak takut, tapi kalo aku disuruh nonton film horror atau ditakut-takutin sama Kak Changmin, aku malah takut.”

“Dasar aneh.”

“Tapi kamu suka.” Haknyeon mengedikkan bahu. “Ada lagi?”

“Kamu … kapan kamu tau kalo aku reinkarnasi dari Haeseong?” Setelah terdiam agak lama, Haknyeon bertanya dengan suara pelan.

“Waktu liat tattoo kamu.” Haknyeon membelalakkan matanya.

“Beneran?!”

“Hm-mm. Buat apa aku bohong? Awalnya aku emang kaget waktu ketemu kamu pagi itu, karena kamu mirip banget sama Haeseong. Lalu akhirnya aku pengen memastikan lagi, jadi aku dateng ke Arani malemnya.”

“Padahal kamu lagi nggak enak badan.”

“Atua nggak bisa sakit. Itu karena PTSD.”

What?!”

“Arani itu bekas tempat eksekusi aku dulu.”

“Oke. Besok aku tutup Arani dan pindah ke lokasi lain.”

“Nggak gitu juga.” Sunwoo terbahak.

“Tapi bukannya kamu bakal tersiksa setiap kali dateng ke Arani?” tanya Haknyeon sedih.

“Awalnya iya, tapi sekarang udah nggak apa-apa, kok. Soalnya ada yang lebih indah di sana, jadi buat apa aku mikirin hari terakhir aku dulu?”

“Kamu gombal. Seriusan,” gerutu Haknyeon dengan bibir dimajukan dan wajah memerah. “Terus? Setelah kamu ke Arani pertama kali itu, gimana?”

“Aku masih tetep nggak dapet jawaban, tapi aku nggak perlu jawaban. Aku nggak peduli. Ju Haknyeon udah lebih dari cukup, aku nggak perlu nyari bayang-bayang Jang Haeseong.”


©️aratnish'22