Maaf Lagi

Bagian 34 dari “Eternity”

Hari selanjutnya berlangsung sangat lambat bagi Sunwoo, padahal ia sudah menghabiskan pagi dan siangnya untuk membereskan semua pecahan kaca yang ada, mengidentifikasi ukuran dan jumlah kaca yang dibutuhkan, serta menghubungi toko bahan bangunan dan memesan kaca baru, namun saat ia melihat jam dinding, waktu baru menunjukkan pukul tiga sore.

Kalo jam segini ke Arani, aneh nggak, ya? Ngeganggu nggak, ya?

Sunwoo berjalan mengitari rumahnya dengan gelisah. Berkali-kali melihat jam dinding dan berkeluh kesah karena menurutnya waktu berjalan sangat lambat.

Ya udah deh gue berangkat sekarang aja. Bodo amat kalo diusir, daripada nggak tenang gini.

Setelah melindungi rumahnya, yang masih tanpa kaca, dengan mantra pelindung agar tidak ada orang jahat yang datang, Sunwoo pun beranjak menuju Arani.


Haknyeon tidak ada di sana. Sunwoo mengedarkan pandangannya, namun ia hanya melihat Eric—yang menatapnya dengan cukup kesal—dan satu orang lagi yang sedang berusaha Sunwoo ingat namanya.

Oh. Juyeon. Pacar Eric.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Eric galak saat Sunwoo menghampiri tempatnya berdiri di balik konter.

“Mau ketemu Haknyeon. Ada?” tanya Sunwoo takut-takut di balik masker hitamnya.

“Nggak ada.”

“Di mana?” tanya Sunwoo bingung.

“Nggak tau.”

“Ric—”

“Juhak tadi siang pulang duluan, Sunwoo. Katanya nggak enak badan,” potong Juyeon.

“Kak Juyeon ih! Kok dikasih tau, sih?!” protes Eric.

“Emangnya Juhak bilang jangan kasih tau Sunwoo?” tanya Juyeon bingung.

“Ya enggaaaak! Tapi ‘kan ngapain juga ngasih tau ke orang yang udah bikin Kak Juhak sakit?!” seru Eric kesal.

“Haknyeon sakit?!” ucap Sunwoo panik.

“Gara-gara lo! Lo apain Kakak gue semalem?! Pulang-pulang dari rumah lo—dianter sama orang lain—dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma diem aja, tapi gue tau dia lagi sedih banget. Gue juga tau kayaknya dia nggak bisa tidur, karena waktu gue bangun jam lima pagi, di dapur banyak banget cookies buatan Kak Juhak. Dan Kak Juhak-nya udah nggak di apart! Yang berarti dia udah ada di Arani dari nggak tau jam berapa! Gue juga denger dia berkali-kali ngebego-begoin dirinya sendiri. Lo apain, sih? Lo gaslighting?!”

“Astaga, Eric!” Juyeon terkesiap dengan tuduhan yang Eric tujukan pada Sunwoo.

“Enggak! Sumpah! Gue … gue semalem emang sempet emosi, tapi— Oke, gue nggak punya pembelaan. Semua salah gue. Haknyeon ada di apart, ‘kan? Gue mau ke sana dan jelasin semuanya ke dia.” Eric hanya diam sambil mempelajari ekspresi dan gerak-gerik Sunwoo.

Please, Ric. Izinin gue ketemu Haknyeon,” pinta Sunwoo dengan memelas.

Eric hampir saja menyemburkan tawanya.

Dia tuh bisa aja langsung pergi dari sini terus ke apart, tapi dia masih sempet-sempetnya minta izin ke gue. He’s really something, Kak Juhak. Jangan dilepas, ya.

Sedikit berdeham untuk mempertahankan wibawanya, Eric akhirnya mengangguk kecil.

“Iya, Kak Juhak ada di apart. Awas kalo lo nyakitin Kakak gue!”

Senyum semringah mengembang di wajah Sunwoo saat ia mendapatkan izin. “Not in a million years! Thanks, Ric!”

Eric tidak bisa lagi menahan senyumnya saat melihat Sunwoo berbalik dan berjalan—hampir berlari—ke arah pintu masuk.

“Sun!” panggilnya.

“Ya?” tanya Sunwoo sambil berbalik dengan tangan kanan tetap memegang gagang pintu.

Take your time, gue nggak akan pulang hari ini.” Eric tersenyum penuh makna, sehingga Sunwoo dapat menangkap apa yang diimplikasikan oleh pemuda itu.

Thanks.” Tanpa berlama-lama lagi, Sunwoo segera keluar dari Arani.

“Kamu nggak akan pulang? Mau ke mana?” tanya Juyeon bingung.

“Mau nginep di tempat Kakak. Boleh, ‘kan?” tanya Eric manja sambil menarik tali apron Juyeon yang berdiri di depannya. Juyeon tersenyum sampai matanya membentuk pola bulan sabit.

“Apa sih yang nggak boleh buat Eric?” balas Juyeon sebelum menunduk dan mengecup singkat dahi yang lebih muda.


Adonan brownies di depannya tidak melakukan kesalahan apapun, tapi Haknyeon menatapnya dengan wajah ditekuk. Seharian ini—tidak, dari tadi malam, lebih tepatnya, ia merasa tingkah lakunya sangat bodoh. Wajar saja jika Sunwoo marah padanya. Itu bukanlah sesuatu yang bisa dibicarakan di depan orang lain, seharusnya Haknyeon membicarakannya berdua saja dengan Sunwoo, sehingga mereka bisa berdiskusi dengan leluasa. Tapi tidak, sifat Haknyeon yang impulsif, dipadukan dengan beberapa gelas red wine menghasilkan tindakan bodoh yang—menurut Haknyeon—membuat hubungan mereka berada di ujung tanduk.

Haknyeon menghela napas panjang dan melirik ponselnya untuk ke sekian kalinya. Tidak ada notifikasi apapun dari Sunwoo, baik itu pesan teks, ataupun panggilan tak terjawab.

Jadi gini ya perasaan Sunu waktu kemaren-kemaren nggak ada kontak sama gue? Haaah … gue udah mengacaukan semuanya kayaknya, keluh Haknyeon dalam hati bertepatan dengan bunyi bel unit apartemennya.

“Siapa, lagi? Gue lagi males nerima tamu,” monolog Haknyeon sambil melepas apron yang dipakainya.

“Sebentar!” serunya saat bel pintu kembali berbunyi. Dikarenakan pikirannya sedang kalut, Haknyeon langsung membuka pintu tanpa melihat dulu siapa yang datang melalui peephole.

“Hakkie, kamu harus lebih hati-hati kalo ada tamu. Diintip dulu siapa yang dateng, baru buka pintunya,” sahut sang tamu dengan nada geli dalam suaranya.

Tidak percaya dengan penglihatannya, Haknyeon hanya menatap Sunwoo—sang tamu—dengan mulut sedikit terbuka. Sunwoo terkekeh pelan.

“Kok malah bengong? Aku nggak akan diajak masuk?” godanya. Tersadar, Haknyeon pun menjadi salah tingkah.

“Eh. Iya. Maaf. Ayo masuk.” Sunwoo melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya, hanya untuk diterjang oleh Haknyeon satu detik kemudian dalam sebuah pelukan.

“Hakkie? Kenapa?” Haknyeon menggeleng di dada Sunwoo. Rasa lega karena di depannya kini berdiri sang kekasih hati dengan suasana hati yang baik, membuat Haknyeon mulai terisak.

“Eh? Kok nangis? Kenapa? Kamu nggak suka aku dateng? Aku pulang aja, gitu?” tanya Sunwoo panik sambil tetap mengelus punggung kekasihnya dengan lembut. Sibuk dengan isakannya, Haknyeon hanya bisa menjawab dengan gelengan panik.

“Terus kenapa? Ada yang ngejahatin kamu? Coba bilang siapa orangnya, biar aku datengin!” Haknyeon dapat merasakan tubuh Sunwoo berubah kaku, sehingga ia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan dirinya.

“Aku ….” Haknyeon menghirup cairan yang keluar dari hidungnya. “... aku seneng kamu dateng, berarti kamu udah nggak marah lagi sama aku, ‘kan?” tanyanya sambil menatap Sunwoo dengan mata berkaca-kaca. Sunwoo tersenyum sayang seraya menghapus sisa air mata yang masih bersemayam di netra Haknyeon, membuat bulu mata lentik pemuda manis itu seperti disinggahi embun pagi.

“Harusnya kamu yang marah sama aku, nggak sih? Aku udah ngebentak kamu gitu kemaren, hampir bikin kamu celaka juga karena aku nggak bisa ngontrol emosi dan kekuatanku. Maaf ya, sayang?” ucap Sunwoo lembut sambil mengecup kening Haknyeon yang kembali terisak.

“Aku yang salah. Aku ngomongnya nggak pake mikir.” Haknyeon menghirup cairan hidungnya lagi. “Kak Changmin tadi malem udah ngasih tau banyak hal ke aku dan aku ngerasa bego banget karena aku ngomong pengen jadi atua tanpa pikir panjang dulu.”

“Bersihin dulu itu idungnya, yuk. Kamu pusing nanti kalo nyedot ingus terus.” Sunwoo membimbing Haknyeon menuju kamar mandi, merasa unit apartemen itu sudah menjadi rumahnya sendiri. “Abis itu baru kita ngobrol,” lanjutnya.

“Hm-mm.” Haknyeon tidak menolak, karena toh ia senang diurus oleh Sunwoo.


“Kata Kak Juyeon, kamu sakit?” tanya Sunwoo saat mereka saling berpelukan di sofa. Hmm … lebih tepatnya Haknyeon yang memeluk Sunwoo erat-erat. Yang ditanya menggeleng pelan.

“Cuma nggak enak badan karena kurang tidur. Kebanyakan mikir juga.”

“Kasian, sayangnya Sunu.” Sunwoo memeluk erat Haknyeon. “Malem ini harus tidur nyenyak ya, aku kelonin. Tadi udah dapet izin dari Eric untuk nginep.”

Haknyeon tertawa geli membayangkan adik sepupunya memberi izin kepada Sunwoo untuk menginap.

“Aku harus bikinin Eric ice cream cake buat ucapan terima kasih.”

“Nanti aku bantuin, tapi kamu harus tidur cukup dulu.”

“Hm-mm.” Haknyeon bergelung semakin merapat kepada Sunwoo, sampai-sampai jika satu inci lagi ia bergerak mendekat, ia akan duduk di pangkuan lelaki itu.

“Kamu hari ini ada taringnya,” gumam Haknyeon.

“Iya. Aslinya emang semua atua itu punya taring, Hak.”

“Buat ngisep darah?” Sunwoo tertawa.

“Bukan. Buat seru-seruan aja kayaknya.”

“Kok kemaren-kemaren nggak ada taringnya?”

“Karena pake serum. Serumnya itu cuma tahan selama satu minggu. Nah, satu minggunya aku itu tadi malem, tapi saking aku pusingnya, aku nggak kepikiran untuk bikin serum. Jadi ya udah … terima aja ya cowok bertaring kamu ini.”

Haknyeon tertawa pelan. Kalo ciuman ada taringnya, gimana rasanya, ya? Haknyeon sedikit bergidik karena merasakan antusiasme atas pemikirannya mengalir di tubuhnya bagai sengatan listrik.

“Kak Changmin tadi malem ngasih tau apa aja?” tanya Sunwoo setelah mereka terdiam beberapa saat dan menghayati presensi masing-masing.

“Ngasih tau suka dukanya jadi atua, dari culture shock sampe nyesel jadi atua.” Sunwoo mengangguk tanda ia setuju dengan apa yang diberitahukan Changmin pada kekasih manisnya itu. “Maaf, Sunu …,” lanjut Haknyeon pelan.

“Iya, dimaafin.”

“Kok tumben kamu nggak bilang ‘nggak apa-apa, Hakkie’?” tanya Haknyeon sambil menatap Sunwoo dengan heran.

“Enggak. Soalnya kalo aku bilang ‘nggak apa-apa’, itu jadi mengecilkan nilai pentingnya apa yang dikasih tau Kak Changmin, padahal itu penting banget. Kalo aku bilang ‘nggak apa-apa’, berarti aku membenarkan omongan kamu kemaren, padahal itu salah banget.” Haknyeon terdiam.

Sunu ini kayak orang tua yang lagi ngedidik anaknya, deh … bukan kayak lagi ngobrol sama cowoknya.

“Kamu tau kenapa aku marah kemaren?”

“Hm-mm. Karena aku pengen jadi atua, padahal aku belom tau apa-apa tentang kerasnya hidup kalian.” Sunwoo tersenyum kecil.

“Syukurlah kalo kamu udah tau tanpa aku harus ngasih tau.”

“Tapi aku dikasih tau sama Kak Changmin.”

“Dikasih tau susahnya hidup jadi atua, ‘kan? Bukan tentang aku marah kenapa, ‘kan?” Sunwoo merasakan Haknyeon mengangguk di bahunya. “Itu udah cukup. Yang penting kamu udah tau aku marahnya karena apa dan kamu tau sikap kamu yang bikin aku marah kemaren itu apa.”

“Hmm …,” gumam Haknyeon yang kini memainkan tali hoodie hitam yang dikenakan Sunwoo.

“Aku juga minta maaf karena kemaren ngebentak kamu kayak gitu. Aku kesel banget denger kamu segitu entengnya pengen jadi atua. Aku tau, jadi atua atau enggak itu pilihan setiap orang, kalo kamu emang beneran pengen jadi atua setelah kamu tau semua suka dukanya, aku juga nggak bisa ngelarang apa-apa. Tapi … kamu pengen jadi atua cuma karena pengen bareng-bareng aku selamanya. Itu … jujur, itu beban juga buat aku, karena kesannya aku yang ngambil hidup kamu. Hidup normal kamu.”

Haknyeon kembali mengangguk. “Aku paham. Kemaren kata-kata Kak Changmin juga udah nampar aku. Abadi itu waktu yang lama banget, never ending story kayaknya, nggak menjamin perasaan kita akan selalu sama selama itu, pasti ada naik turunnya. Nggak menutup kemungkinan juga hubungan ini bakal selesai di tengah-tengah dan … mungkin kalau saat itu tiba, aku bakal nyesel kenapa aku mau jadi atua dan … mungkin ngebenci kamu juga.”

“Itu dia. Itu yang aku takutin kemaren. Aku nggak mau dibenci sama kamu, sayang. Aku nggak mau jadi orang—makhluk—yang ngerusak hidup kamu.”

“Aku paham sekarang. Aku nggak akan ngulangin lagi.” Sunwoo mengecup pelipis Haknyeon sebagai tanggapan. “Tapi, Nu ….”

“Hm?” gumam Sunwoo saat Haknyeon tidak melanjutkan kalimatnya.

“Kita usahain bersama selama mungkin, ya? Kalaupun nanti akhirnya kita pisah karena aku meninggal, tolong cari aku lagi di kehidupanku selanjutnya, ya?”


©️aratnish'22