Mata
Bagian 02 dari “Ghost Story”
“AAA!!!” Saka berteriak, sambil memeluk Hanggara yang duduk di sebelahnya, setelah Yeremia selesai bercerita.
“Jadi sebenernya kakek lo mau ngasih tau apa?” tanya Rizqi bersemangat.
“Jangan diterusiiin!” Kini Saka menutup telinganya.
“Nggak tau deh, ‘kan gue udah keburu bangun.”
“Kamu memang punya sixth sense gitu, Yer?” tanya Jodi tenang, walaupun duduknya sudah mulai mendekat ke arah Sandi.
“Enggak juga sih. Mungkin kakek nenek negur gue gara-gara gue ketiduran waktu doa malem.”
“Tapi ya, ngomong-ngomong soal sixth sense, gue juga kayaknya ada pengalaman kayak gitu,” cetus Kenan tiba-tiba.
“Gimana? Gimana? Gimana?” tanya Rizqi (tetap) penuh semangat.
“Ini kenapa malah pada cerita serem gini sih?” rengek Saka kesal.
“Biarin dong, Ka … namanya juga Halloween, masa kumpul-kumpul nggak ada cerita seremnya?” jawab Henry sambil tertawa geli.
“Kapan tuh kejadiannya, Nan?” tanya Joshua.
“Waktu gue masih SD. Hmm … sekitar kelas lima kalo nggak salah.”
Kenan kecil paling tidak suka pergi ke toilet sekolah sendirian. Bukannya Kenan penakut, tapi toilet sekolahnya memberi kesan aneh dan membuat perut Kenan melilit serta dadanya berdebar kencang jika ia ke sana seorang diri. Itulah sebabnya Kenan selalu menghindari izin ke toilet di tengah jam pelajaran.
“Lo kayak cewek ih, ke toilet aja harus rame-ramean,” goda Toni, temannya, suatu hari.
“Toiletnya nggak seru, Ton!” sergah Kenan sambil sedikit bergidik.
“Kalo seru sih namanya pasar malem!” gelak Toni. Kenan tidak memedulikan godaan temannya itu. Pokoknya, Kenan bertekad tidak akan pergi ke toilet sekolah seorang diri.
Suatu hari di kelas 5 SD, Kenan tidak mampu menahan hasratnya untuk buang air kecil walaupun sebenarnya bel pulang akan berdering tidak lama lagi.
Duuuh ... gimana dong, nih? Kebelet pipis bangeeet!
Kenan bergerak-gerak dengan gelisah di tempat duduknya. Kakinya pun bergerak-gerak untuk mengurangi keinginannya.
“Lo kenapa, sih?” desis Toni di sebelahnya.
“Kebelet pipiiis!”
“Ya pipis lah sana! Daripada nanti jadi penyakit!”
“Males ke toilet sendiriaaan,” rengek Kenan yang membuat Toni memutar bola matanya dengan malas.
“Mau gue temenin?” Kenan tampak berpikir.
“Bakal jadi aneh nggak, sih? Mana kita sebangku, nanti dikiranya mau bolos.”
“Bolos apaan di setengah jam sebelom pulang?!” Kenan mengerucutkan bibirnya. “Udah cepetan, mau gue anterin, nggak?”
“Nggak usah deh, gue tahan aja.”
“Kalo lo kena ISK jangan salahin gue loh, ya!”
“Nggak tahan! Pengen pipis!”
“Ya udah sana pipiiis!!”
Sebelum Toni menyelesaikan perintah bernada kesalnya, Kenan sudah berdiri dan berjalan menuju sang guru untuk meminta izin. Biasanya, guru tidak akan membiarkan muridnya untuk izin ke belakang di setengah jam menuju bel pulang, namun sepertinya wajah memelas Kenan meluluhkan hati sang guru.
Setengah berlari, Kenan menuju toilet yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan area kelasnya. Kenan dengan segera menuju pintu masuk area toilet dan berjalan dengan mantap menuju bilik yang terletak di tengah. Entah kenapa Kenan selalu menggunakan bilik itu. Entah kenapa Kenan merasa tidak nyaman untuk menggunakan bilik lain.
Entah kenapa ....
Kenan kini menatap sebuah mata yang sangat besar di bilik itu.
Mata berwarna merah dan memenuhi bilik berukuran 1,5 x 1,5 meter itu.
Mata besar itu menatap Kenan yang mematung, kemudian perlahan berkedip.
Kenan ingin kabur. Sungguh. Ia bahkan sudah kehilangan keinginannya untuk buang air kecil. Tapi, kaki kecil Kenan tidak mau diajak kompromi, membuat anak laki-laki itu berdiri kaku di depan fenomena yang ia tidak tahu apa namanya.
Hingga ….
Suara Toni menyadarkan Kenan dan ia langsung berbalik ke arah sahabatnya.
“TON! ITU!” Kenan berseru dan menunjuk bilik tempat mata besar itu berada.
“Apaan?”
“ADA MATA!!! GEDE BANGEEET!!!”
“Mata apaan dah? Mata angin?”
“IT—” Kenan terdiam saat bilik yang ditunjuknya kosong.
Tidak ada mata besar.
Tidak ada mata merah.
Tidak ada mata yang berkedip pelan menatapnya.
“Ngelindur, lo?”
“Enggak!! Beneran tadi tuh ada mata gedeee banget di situ ngeliatin gue!”
“Ya. Ya. Ya. Jadi, udah selesai belom lo pipisnya? Gue disuruh Bu Irene nyari lo, soalnya lo kelamaan ke toiletnya, takutnya kenapa-kenapa.” Toni mengoceh tanpa memedulikan wajah Kenan yang pucat pasi.
“Ton—”
“Lo masih mau pipis, nggak? Gue tungguin. Cepetan.”
Seketika Kenan kembali merasakan keinginannya untuk buang air kecil dan ia pun segera menuju bilik yang paling dekat dengan pintu masuk.
“Eh? Nan?”
“Apaan?”
“Tumbenan nggak di tengah?” Kenan sedikit bergidik membayangkan mata besar yang sebelumnya berada di sana.
“Enggak. Mau ganti suasana.” Dan Toni hanya mendengus mendengar jawaban aneh Kenan itu.
Sejak saat itu, Kenan benar-benar tidak pernah pergi ke toilet seorang diri, baik di sekolah, sampai saat ia kerja saat ini. Ia lebih baik mengantri untuk menggunakan toilet daripada harus pergi seorang diri.[]
Begini kira-kira denah area kamar mandi sekolah Kenan. Kotak bertanda bintang adalah bilik tempat Kenan melihat mata merah besar.
©️aratnish’22