memastikan

Bagian 06 dari “Eternity”

Petang itu, Sunwoo berangkat lebih awal lagi dari hari sebelumnya.

“Udah mau pergi?” tanya Chanhee bingung. “Lo mau ke toko kue itu?” lanjutnya menginterogasi.

Yang diinterogasi mengangguk. “Gue mau memastikan beberapa hal aja.”

“Sun, jangan nyakitin diri sendiri,” pinta Chanhee.

“Enggak, Kak. Gue janji.”

“Ya udah. Hati-hati. Eh tapi kalo ada salted caramel cake, gue mau, ya!”

“Gue mau choco cake, Sun.”

Menggeleng dengan geli, Sunwoo tersenyum.

“Iya. Iya. Nanti gue beliin kalo ada. Gue juga ‘kan belom tau itu toko kue yang kayak gimana.”

Sepanjang perjalanan, batin Sunwoo terus bergelut apakah ia harus datang ke toko kue itu dan memastikan penglihatannya, ataukah ia harus melupakannya begitu saja. Tanpa ia sadari, ia sudah sampai di depan Arani.

Masih bingung akan apa yang harus ia lakukan, Sunwoo hanya memandangi pintu kaca di depannya, membuat beberapa orang yang ada di belakangnya menggerutu karena ia menghalangi satu-satunya akses masuk ke toko.

“Selamat datang!”

Terlalu terserap ke dalam pemikirannya, Sunwoo sampai tidak menyadari bahwa pintu sudah dibuka dari dalam oleh …. Sial. Oleh pemuda yang ditemuinya pagi tadi.

“Kalo dari luar situ, lo nggak bakal bisa liat ada kue apa aja yang dijual. Ayo masuk,” kata pemuda di depannya geli, mungkin karena melihat mata Sunwoo terbelalak dengan terkejut.

“Oh. Eh. Iya.” Ragu-ragu, Sunwoo melangkahkan kaki memasuki toko. Seketika, bayangan saat ia melangkah menaiki panggung eksekusi memenuhi benaknya dan mual mulai merayap menaiki kerongkongannya. Pemuda di depannya, yang memiliki paras sangat mirip dengan masa lalunya, sama sekali tidak membantu usaha mandirinya untuk meredakan gejala PTSD yang ia alami.

“Eh? Kenapa?” tanya pemuda itu bingung saat Sunwoo tiba-tiba berhenti dan sedikit membungkukkan badannya.

“Eugh … toilet … di mana?” Sunwoo bertanya dengan terbata di balik masker hitam andalannya.

“Eh? Aduh. Sini. Sini … ke sini.” Pemuda itu menggiring Sunwoo ke bagian belakang toko dan menunjukkan bilik kecil di mana Sunwoo bisa menumpahkan isi perutnya.

Setelah mengosongkan perutnya, Sunwoo menempelkan dahinya di dinding dingin toilet itu. Matanya terasa panas dan berair. Setelah berhasil mengumpulkan kembali ketenangannya, Sunwoo melangkah keluar dari bilik toilet itu.

“Emm … itu … maaf,” sahut Sunwoo malu-malu pada pemuda di balik konter yang tadi mengantarnya. Pemuda itu mencermati sosok Sunwoo.

“Udah lebih enak?” tanyanya khawatir.

Sunwoo mengangguk. “Terima kasih. Maaf merepotkan.”

“Coba lo duduk di sana dulu.” Pemuda itu menunjuk satu set meja dan kursi di sebelah jendela.

“Eh? Kenapa?”

“Udah. Nurut aja.”

Dengan bingung, Sunwoo berjalan menuju kursi yang ditunjukkan sebelumnya dan duduk di sana. Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu datang dan meletakkan satu cangkir teh, yang menurut penciuman Sunwoo adalah teh jahe, dan satu piring kecil berisi beberapa keping biskuit. Sunwoo menatap penolongnya petang itu dengan tatapan bertanya.

“Ini teh jahe sama biskuit tawar, mudah-mudahan bisa ngobatin mual lo. Ada sakit mag?” Pemuda itu bertanya dengan khawatir.

“Iya.” Sunwoo memutuskan untuk menyetujui usulan yang diberikan karena enggan—dan tidak tahu bagaimana caranya—untuk menceritakan kondisi sebenarnya.

“Ya udah itu dimakan sama diminum dulu. Gue tinggal bentar, ya.”

“Iya. Makasih. Maaf udah ngerepotin.”

Pemuda itu melambaikan tangannya sebagai jawaban, seolah berkata, ‘Santai aja, nggak usah dipikirin.’


“Gimana? Udah bener nggak apa-apa?” tanya pemuda itu beberapa menit kemudian seraya duduk di kursi seberang Sunwoo. Yang ditanya mengangguk sebagai jawaban.

“Kalo lagi sakit, lebih baik nggak keluar-keluar, apalagi udah hampir malem gini, udaranya nggak bagus.”

“Hm-mm,” gumam Sunwoo sambil menghirup teh jahenya dengan mulut yang sebisa mungkin dirapatkan untuk menyembunyikan taringnya.

Moonie sialan! Tak lupa ia merutuk dalam hati.

“Tadi pagi juga ‘kan lo langsung lari habis bantuin gue mungutin jeruk. Badan lo udah nggak enak dari pagi, ya?”

“Hm-mm.” Sunwoo kembali menggumam dan salut akan daya ingat si pemuda.

“Jadi? Hari ini mau nyari kue apa ke sini?”

“Eh. Itu ….” Sunwoo mengernyitkan dahinya untuk mencoba mengingat pesanan Chanhee dan Changmin, yang cukup sulit diingat dibawah tatapan hangat dan senyum menenangkan pemuda di depannya.

“Uhm … caramel … errr … salted caramel cake!” ucapnya bangga pada daya ingatnya. “Sama choco cake.” Pemuda di depannya terkekeh geli.

“Gue nggak sedia salted caramel cake di sini, tapi choco cake ada. Mau berapa?”

“Mmm … tiga.”

“Hah?! Buat lo sendiri?!”

“Bukan. Buat kakak-kakak gue. Tadi itu pesenan mereka berdua.”

“Oooh. Oke. Ric! Tolong bungkusin choco cake tiga, ya!” seru pemuda itu kepada pemuda lain yang berada di belakang konter.

“Eh? Ini nggak apa-apa lo nemenin gue? Nggak akan dimarahin?” tanya Sunwoo tidak enak hati. Si pemuda tertawa sebagai tanggapan.

“Nggak akan. Bukannya sombong, tapi toko ini punya gue. Yang gue panggil tadi adik sepupu gue, namanya Eric.” Sunwoo mengangguk sambil menggumamkan kata ‘oh’ tanda ia mengerti.

Sementara Sunwoo menunduk sambil menghirup tehnya lagi, pemuda di depannya mencermati gerak-geriknya dengan ekspresi berpikir.

Kok kayaknya gue nggak asing sama dia, ya?

“Nama lo siapa?” Akhirnya ia bertanya. Sempat terdiam selama beberapa detik, Sunwoo menjawab pelan,

“Kim. Kim Sunwoo.”

“Gue Haknyeon. Ju Haknyeon.”


Namanya mungkin beda— Ya iya lah, Nu! Tapi … yang lainnya, bahkan suaranya sama seperti yang gue inget dari Jang Haeseong dari masa gue hidup, pikir Sunwoo selama perjalanan menuju bar, dengan menjinjing cake box berisi tiga potong choco cake dan satu potong cheesecake—hadiah semoga lekas sembuh dari Haknyeon.

Oh. Dan sebuah janji akan menyediakan salted caramel cake keesokan harinya, yang berarti besok Sunwoo diminta untuk datang kembali dan mengambilnya.

“Wah! Bawa oleh-oleh, nih!” sambut Hyunjae girang saat Sunwoo memasuki kantornya di bagian belakang bar.

“Enak aja. Ini punya Kak Chanhee sama Kak Changmin,” balasnya sambil membuka kulkas kecil di ruangan itu dan memasukkan kotak itu ke sana.

“Dih. Pelit. Nggak ada gitu lo ngebeliin buat gue?”

“Lo nitip duit, nggak?”

“Lo tajir tapi pelit, anjir.”

“Mau gue potong gaji bulan ini?”

“Enggak. Enggak. Ampun.”

“Becanda. Lo suka choco cake nggak, Bang?”

“Suka aja, sih. Kenapa emangnya?”

“Itu choco cake-nya ada tiga, buat lo satu. Gue bingung mau pilih apa buat lo, jadi gue samain aja.”

“Eh beneran?!”

“Iya. Sana ambil dulu sebelum gue berubah pikiran.”

Sambil bersiul senang, Hyunjae membuka kulkas dan mengambil box itu.

“Eh? Arani?”

“Tau?”

“Mmm … yang baru buka itu, ‘kan?”

“Iya. Kok tau?”

“Kemaren ada tamu yang cerita, katanya cake-nya enak.”

“Oooh.”

“Thanks ya, Sun.”

“Iya. Sama-sama,” jawabnya sambil beranjak menuju area kerjanya.

“Lo nggak apa-apa?” Sebuah pertanyaan menyambut Sunwoo begitu ia menginjakkan kaki di belakang meja bar.

“Lo lowong banget ya, Bang? Jam segini udah nongkrong aja lagi di sini.”

Sunwoo mengarahkan pandangannya ke seluruh ruangan. Agak sepi. Sedikit disayangkan, memang, tapi Sunwoo bersyukur karena dengan begitu ia bisa sedikit beristirahat dan mengorganisir pikirannya yang kacau balau.

“Gue denger tadi pagi lo ngurung diri di kamar?” Sunwoo menghela napas lelah.

“Nggak ngurung diri, gue cuma langsung istirahat aja begitu sampe rumah. Kak Chanhee sama Kak Changmin berlebihan,” elaknya.

“Kenapa?”

“Nggak apa-apa. Agak capek aja. Kenapa, sih?” cecar Sunwoo saat ia melihat Moonie hanya menaikkan sebelah alisnya sebagai tanggapan.

“Capek? Seorang Kim Sunwoo, yang bisa nggak tidur tujuh hari tujuh malem untuk ngelawan rapunga, bisa ngerasa capek?” Moonie bertanya dengan sinis.

“Bang—”

“Sebenernya ada apa, Kim Sunwoo?”

“Gue juga nggak tau, Bang. Ini gue lagi mau mikir, tapi kalo lo terus ngerecokin gue, gue nggak bisa mulai mikir.”

Memicingkan matanya, Moonie menatap atua di depannya dengan intens—berusaha membaca pikirannya—namun usahanya itu dipatahkan dengan mantra pelindung yang digunakan oleh Sunwoo. Salah satu mantra tingkat tinggi yang ia ajarkan kepada atua itu untuk melindungi pikiran dan batinnya agar tidak bisa dibaca oleh anahera atau atua lain.

Menghela napas kesal, Moonie menyerah dan mencabut mantranya.

Promise me you’ll tell me if anything happened?” pintanya.

I promise you.”


©️aratnish'22