Mimpi
Bagian 01 dari “Ghost Story”
“Lah katanya lo nggak bisa ikutan?” tanya Saka pada Harsya yang datang terakhir ke kafe tempat mereka akhirnya berkumpul Senin malam itu.
Yang ditanya hanya tersenyum cuek sambil mengambil posisi duduk di sebelah Rizqi. Cool seperti biasa.
“Lo mau pesen apa?” tanya Elang sambil menyodorkan menu kepada Harsya.
“Yang lain udah pada pesen?” Harsya bertanya sambil mulai membaca menu di hadapannya.
“Kok suara lo aneh gitu?” Narendra mengernyit bingung saat mendengar suara Harsya yang serak.
“Kurang tidur gue, jadi gini.” Harsya berdeham untuk sedikit ‘memperbaiki’ suaranya.
“Ngomong-ngomong soal kurang tidur, tadi malem gue juga kurang tidur,” cetus Yeremia setelah mereka semua memberikan pesanan mereka kepada pramusaji.
“Kenapa? Banyak kerjaan? Lembur?” Joshua menanggapi.
Yeremia menggeleng. “Bukan. Gue kayak mimpi tapi nggak mimpi gitu waktu subuh-subuh.”
“Eh? Mimpi gimana?” sambung Rizqi antusias.
“Tunggu! Ini bukan cerita serem, ‘kan?!” Saka menyela sambil mengerucutkan bibirnya.
“Nggak sih. Nggak terlalu. Mungkin?”
“Remi, kamu tidak akan tidur, Nak?” tanya ibunya pada pukul sebelas malam.
“Iya, Ma … nanggung sebentar lagi.” Yeremia tetap memfokuskan pandangannya pada desain flyover yang sedang dihitungnya di laptop.
“Mama tidur duluan, ya?”
“Iya, Ma.”
“Jangan lupa berdoa sebelum tidur!”
Yeremia memutar bola mata tanpa diketahui oleh sang ibu. “Iya, Mama.”
Ada alasan lain selain pekerjaan sehingga Yeremia tidur lebih lambat dari ibunya. Yeremia adalah anak satu-satunya dan sang ayah bekerja di luar pulau, sehingga praktis peran sebagai penjaga jatuh kepada Yeremia sedari laki-laki itu kecil. Dan malam ini, sama seperti malam-malam yang telah lalu, Yeremia hanya ingin memastikan bahwa keadaan rumah dan sekitarnya aman sebelum ia pergi tidur.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari saat Yeremia merasa matanya sudah tidak bisa diajak kompromi. Sambil menguap lebar, ia mematikan laptopnya. Yeremia mengelilingi rumahnya untuk memastikan bahwa semua pintu dan jendela sudah terkunci, memastikan bahwa tidak ada listrik yang masih digunakan, memastikan bahwa kompor sudah dimatikan. Setelah yakin bahwa semuanya aman, pria muda itu pun melakukan ritualnya sebelum tidur.
Yeremia mengembuskan napas puas saat ia sudah berhasil merebahkan diri di ranjang. Sesaat sebelum terlelap, Yeremia teringat kata-kata ibunya untuk tidak lupa berdoa sebelum tidur. Maka, dengan kelopak mata yang sudah sangat berat, Yeremia memulai doa sebelum tidurnya.
Ia tidak pernah tahu kapan ia menyelesaikan doa malam itu.
Terkadang Yeremia merasa tidak enak karena ibunya masih mengemudi saat mereka bepergian, namun kali itu ia merasa agak tertolong karena ada beberapa email pekerjaan yang harus diperiksa dan dibalasnya. Mobil itu diliputi keheningan, hanya suara lagu dari radio mobil yang berkumandang dan suara Yeremia atau ibunya yang sesekali bersenandung pelan.
Tiba-tiba ponsel Yeremia berdering. Nama nenek dari pihak sang ayah terpampang pada caller ID.
“Ma, Nenek telpon nih.”
“Ya dijawab dong, Re. Mama ‘kan lagi nyupir.”
Yeremia mengangguk. “Tumben Nenek telpon. Ada apa, ya? Halo, Nek?”
“Yeremia! Apa kabar, Nak?”
“Eh? Lho? Kok Kakek?” tanya Yeremia bingung sambil melihat layar ponselnya. Di sebelahnya, ibunya tertawa kecil.
“Remi nggak kangen sama Kakek, ya?” rajuk sang kakek.
Yeremia terkekeh kecil. “Kangen kok. Kakek apa kabar?”
“Kabar baik. Kamu apa kabar? Gimana kuliahnya?” Di belakang suara kakeknya, Yeremia bisa mendengar suara sang nenek yang meminta kakek supaya tidak basa-basi.
“Kek, Remi ‘kan udah lulus kuliah dari dua tahun lalu, sekarang Remi udah kerja.”
“Ah masa?! Kok cepet banget?!” Yeremia tergelak.
“Ya masa Remi kecil terus?” Lagi-lagi Yeremia mendengar sang nenek mendesak kakeknya untuk berbicara to the point.
“Iya. Iya. Sebentar, dong.” Yeremia dengar kakeknya menjawab. “Mamamu apa kabar, Nak?”
“Kabar baik, Kek. Masih gagah perkasa.”
“Kakek! Cepet dong anaknya dikasih tau! Keburu abis waktunya!” Yeremia mengernyit heran saat mendengar ucapan neneknya di antara suara tawa yang terdengar.
“Iya! Iya! Jadi gini, Nak ….”
Wajah kakeknya.
Hanya berjarak kurang dari sepuluh sentimeter.
Hanya wajahnya.
Dan ….
Shit! Shit! Shit! Kakek nenek gue ‘kan udah lama meninggal![]
©️aratnish’22