Perasaan Orang Tua

Bagian 4 dari “Special”

“Jadi … ada hubungan apa antara kamu dan anak saya? Dan jangan bilang kalau kalian hanya teman kuliah, saya tidak akan percaya!” Papa Sunwoo berkata straight to the point saat Haknyeon sudah duduk di seberang meja kerjanya. Di belakangnya, ibunda Sunwoo menepuk-nepuk bahu suaminya supaya berbicara lebih lembut.

“Saya pacaran sama Sunu, Om,” jawab Haknyeon tegas.

Hening menggantung di antara mereka. Haknyeon yang tadinya tenang, kini mulai gelisah seiring dengan waktu yang berlalu dalam keheningan. Pria dewasa di depan Haknyeon kemudian mengangguk dua menit setelahnya.

“Kamu percaya diri. Saya suka itu.”

Mereka kembali terdiam.

“Sudah berapa lama?”

“Sekitar satu bulan, Om.”

Lagi, pria dewasa itu mengangguk.

“Titip Sunu, ya. Jaga dia baik-baik.”

“Eh? Gimana, Om?” Bersiap untuk mendengar yang terburuk, Haknyeon tidak menyangka bahwa ia akan mendapatkan respons seperti itu dari ayah Sunwoo.

“Titip Sunu. Jagain dia. Walaupun dari luar dia keliatan kuat, keras, galak, tapi sebenarnya hatinya lembut, anaknya perasa, gampang terharu.”

“O— om tau kalo … kalo Sunu …?” Ayah dan ibu Sunwoo tertawa kecil.

“Saya gagal sebagai orang tua kalau saya sampai tidak menangkap apa yang dirasakan oleh anak saya. Kami sudah lama tahu, tapi kami menghormati privasi Sunu. Kami tidak akan bertanya apapun sampai Sunu sendiri yang siap mengatakannya kepada kami. Kami ingin Sunu merasa nyaman dan percaya, lalu mengatakannya sendiri kepada kami.”

“Sunu … Sunu takut membuat kalian kecewa,” kata Haknyeon hati-hati.

Sang ayah mengangguk. “I've guessed it that much. Yang membuat kami kecewa bukanlah karena Sunu menyukai sesama lelaki, tapi karena ia tidak cukup memercayai kami untuk membagi keadaannya.” Papa Sunwoo terdiam sejenak. “Ya, Nu? Paham ‘kan Papa ngomong apa?”

Haknyeon dan sang ibu langsung melihat ke arah pintu—yang ternyata, tanpa mereka sadari—sedikit terbuka. Di sana lah Sunwoo berdiri, mematung menatap kedua orang tuanya dengan nanar.

“Sini masuk, nggak usah ngintip-ngintip kayak maling.”

“Tapi tadi Papa nyuruh Sunu nunggu di luar,” elaknya pelan.

“Ya sekarang kamu udah di sini, jadi kenapa nggak sekalian aja masuk?”

Dengan perlahan, Sunwoo memasuki ruangan itu.

“Duduk.”

Dengan patuh, anak laki-laki yang berulang tahun itu duduk di sebelah Haknyeon.

“Jadi … kamu takut kalau kamu mengecewakan kami?” tanya sang kepala keluarga. Sunwoo mengangguk. “Words, Sunwoo?”

“Iya, Papa.”

“Kenapa, Nak?”

“Sunu anak laki-laki satu-satunya, tapi Sunu … Sunu nggak normal ….” Sunwoo menunduk di akhir kalimat.

“Siapa yang bilang Sunu nggak normal?! Bilang sama Papa, biar Papa hukum orangnya!”

“Papa ….” Sang istri berusaha menenangkannya.

“Sunu anak Papa sama Mama itu normal, sama normalnya sama anak-anak orang lain.” Sunwoo tercengang. “Ingat, Nak … Sunu itu istimewa, bukan nggak normal. Apapun pilihan Sunu, kamu selalu menjadi yang paling berharga buat Papa dan Mama, selalu jadi harta kami berdua, jadi, jangan ragu untuk mengatakan atau mengutarakan apapun kepada kami, ya?”

“Papa … sama Mama … nggak marah sama Sunu?” tanya Sunwoo pelan.

“Marah. Papa marah soalnya Sunu nggak pernah cerita apa-apa. Tentang bingungnya Sunu, mungkin? Atau takutnya Sunu? Atau apapun. Papa marah karena Sunu nggak mau sharing apa-apa sama kami, orang tua Sunu.”

“Mama nggak marah, Mama sedih. Mama yang paling banyak menghabiskan waktu sama Sunu di rumah, tapi Sunu juga nggak percaya sama Mama untuk cerita.”

“Maaf ….”

Sang ibu mendekati putranya dan memeluknya.

“Nggak apa-apa, semua akan berubah mulai saat ini, ya? Cerita kalau ada apa-apa. Cerita kalau perlu apa-apa. Don’t put us in the dark anymore, okay?”

Sunwoo mengangguk sambil terisak dan balik memeluk wanita paruh baya itu. Sang ibu tidak mengatakan apapun, hanya menepuk-nepuk punggung putranya dengan lembut. Sang ayah juga hanya melihat mereka berdua sambil tersenyum.

“Su— Sunu nggak dimarahin karena nangis?”

“Kenapa harus dimarahin?” tanya papanya bingung.

“Ka— karena Sunu co— cowok?”

“Memangnya kalau cowok nggak boleh nangis? Boleh, Nu … Papa kamu juga suka nangis, apalagi kalau habis nonton film Message in a Bottle.”

“Eh! Mama jangan buka kartu, dong!”

Sunwoo tertawa kecil sebelum menoleh ke arah Haknyeon. “Nanti kita cari filmnya ya, ?”

“Siaaap.” Walaupun tersenyum, tapi sejujurnya Haknyeon juga sedang berusaha menahan air matanya melihat penerimaan kedua orang tua kekasihnya itu.

“Sunu udah beres-beres? Katanya mau nginep di apartemennya Juhak?” tanya mamanya.

“Oh iyaaa! Belom selesai masukin baju kuliahnyaaa!” seru Sunwoo antusias sambil melepaskan pelukan sang mama.

“Sunu benar tidak akan merepotkan, Hak?” tanya papanya. Haknyeon menggeleng sambil tersenyum.

“Enggak, Om. Kebetulan Juhak ‘kan udah nggak ada kelas teori atau praktikum, cuma tinggal nyelesein revisi dari hasil seminar kemarin, jadi bisa lah ngemong Sunu.”

“Nunu bukan anak kecil iiih!”

“Nah ‘kan … keluar deh anak kecilnya. Udah sana selesein dulu beres-beresnya, biar kita bisa sama-sama perginya nanti,” perintah sang papa geli.

“Siaaap!” Dengan bersemangat, Sunwoo berdiri dari kursinya dan berlari kecil ke luar ruang kerja papanya.

Kedua kaum adam itu mengernyit bersamaan.

“Dia mabok,” ucap mereka bersamaan akhirnya. Dengan terpana, mereka menatap satu sama lain lalu tertawa kecil.

“Kami titip Sunwoo ya, Haknyeon. Tolong jaga dia, walaupun kami yakin, dia berada di tangan yang tepat.”

“Baik, Om.”


©️aratnish'22