Pertemuan Keluarga

Bagian 31 dari “Eternity”

“Kalo misalnya kemaren itu ternyata aku bukan reinkarnasi dari Haeseong … gimana?”

“Nggak gimana-gimana, sayang. ‘Kan tadi aku udah bilang, Ju Haknyeon udah lebih dari cukup buat aku. Aku nggak butuh yang lain lagi.”

“Aku … aku takut kamu cuma ngeliat bayang-bayang Haeseong di aku …,” bisik Haknyeon.

“Enggak, Hakkie sayang … aku ngeliat Haknyeon, aku nggak liat—dan nggak berusaha mencari bayang-bayang Haeseong—di kamu. Jangan takut ya … aku butuhnya kamu, bukan Haeseong.”

“Hm-mm.”

“Masih ada lagi yang pengen kamu tau?” Haknyeon menggeleng. “Kalo gitu, sekarang boleh giliran aku yang nanya?”

“Nanya apaan?” tanya Haknyeon penasaran.

“Kamu … akhir-akhir ini ada mimpi apa, nggak? Maksudnya … tentang masa lalu?”

“Oh! Iya! Aku sampe lupa mau cerita! Jadi, mimpinya tuh so far masih seputar kehidupan Haeseong dari awal ketemu kamu dan selalu diakhiri sama kejadian kamu di … di ….”

“Dieksekusi,” bantu Sunwoo.

“Iya. Itu. Tapi, sempet ada satu mimpi yang aku ngeliatnya dari sudut pandang kamu.”

“Oh ya? Apa tuh?”

“Waktu kamu ngeliat aku meninggal.”

“Oh?”

“Kamu … sedih banget waktu itu karena nggak bisa ngeliat aku lagi.”

“Ya siapa sih yang nggak sedih karena nggak bisa ngeliat temen baiknya lagi?”

“Kita beneran cuma temenan waktu itu? Nggak lebih?”

Sunwoo tersenyum geli. “Kalo dari sisi aku sih, aku sayang sama Haeseong lebih dari sekadar temen, tapi aku nggak tau gimana perasaan Haeseong ke aku. Gimana menurut kamu? Kamu yang pernah ngeliat dunia dari mata Haeseong.”

Haknyeon terdiam sesaat. “Kayaknya Haeseong ngeliat kamu sebagai sahabat. Dia juga ngerasa bersalah karena nggak bisa ngebela kamu,” jawabnya pelan.

“Nah, berarti aku bertepuk sebelah tangan. Eh? Kenapa?” tanya Sunwoo bingung saat Haknyeon memeluknya tiba-tiba.

“Haeseong bego karena cuma nganggep kamu sebagai sahabat!” gerutu Haknyeon.

“Nggak masalah, yang penting kamu nggak cuma nganggep aku sebagai sahabat,” ucap Sunwoo sambil tertawa kecil.


“Nu, aku pengen deh ketemu Kak Chanhee sama Kak Changmin,” celetuk Haknyeon saat mereka berjalan dengan bergandengan tangan menuju apartemen Haknyeon untuk pulang.

“Eh? Kenapa?”

“Ya … pengen kenalan aja. Kamu udah kenal Eric, ya masa aku nggak kenal sama keluarga kamu?” Mata Sunwoo berbinar.

“Ini maksudnya kita mau nikah dalam waktu deket?” tanyanya sambil menunduk dan mendusel leher Haknyeon.

“Nggak gitu konsepnya!” Haknyeon menggerutu walaupun dengan wajah memerah.

“Iya … iya …. Aku sih terserah kamu, kamu kapan libur lagi? Tapi kalo weekday sih Kak Chanhee sama Kak Changmin baru bisanya diatas jam enam sore karena mereka baru pulang kerja jam segitu. Kalo weekend bisa bebas.”

“Kamu liburnya kapan?”

“Aku mau besok libur lagi juga nggak apa-apa. Mau cuma di rumah terus juga bisa sebenernya.”

“Kok gitu?! Nggak akan dimarahin Kak Hyunjae?” Sunwoo tersenyum kecil.

To be honest, that bar is mine, baby. Bang Hyunjae is my employee.”

“HAH?! Kok kamu nggak bilang-bilang?! Pantesan … aku bingung, kok kamu enak banget dapet liburnya. Kapan aja diajak pergi pasti bisa.” Haknyeon menggeleng tidak habis pikir.

“Nggak ada momen juga sih yang ngebuat aku harus bilang-bilang.”

“Iya juga.” Sesaat mereka berjalan dalam keheningan yang penuh dengan kehangatan. “Kalo ketemu Kak Chanhee sama Kak Changmin-nya lusa, boleh nggak?”

“Kamu lusa libur?”

“Aku owner Arani, kalo kamu lupa,” goda Haknyeon yang membuat Sunwoo terbahak.

“Dih dia bales dendam,” cetus Sunwoo geli. “Boleh kalo mau lusa, tapi … kok buru-buru amat? Nggak mau nunggu sampe weekend aja biar santai ngobrol-ngobrolnya?”

Haknyeon mengedikkan bahunya. “Kalo weekend, toko suka rame, kasian Eric sama Kak Juyeon kalo ditinggal cuma berdua. Aku kadang harus dadakan bikin cake tambahan juga soalnya.”

“Oke. Lusa kalo gitu. Nanti aku kasih tau Kak Chanhee sama Kak Changmin, ya.”

Tidak lama, mereka pun sampai di depan pintu unit apartemen Haknyeon.

“Mau mampir?” tanya Haknyeon. Ada sesuatu yang tersirat dari pertanyaannya. Dan Sunwoo menangkap itu. Lelaki itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.

“Udah jam delapan, aku langsung pulang aja, ya?”

“Sunu, ih!” protes Haknyeon kesal.

“Kenapa?”

“Ngeselin banget!”

Dengan kesal, Haknyeon membuka pintu unitnya dan menarik Sunwoo masuk. Lelaki itu mendorong Sunwoo ke arah pintu masuk dengan maksud untuk menyudutkannya sekaligus menutup pintu itu sendiri.

“Ha—”

Haknyeon tidak membiarkan Sunwoo untuk menyelesaikan kalimatnya, karena ia langsung menempelkan bibirnya dan mencium Sunwoo dengan tempo dan gerakan yang nyaris mendekati putus asa, seakan tidak ada waktu lagi bagi mereka untuk berciuman.

“Kenapa, sayang?” tanya Sunwoo dengan terengah setelah Haknyeon melepaskan pagutannya.

“Aku tuh kangen! Kamu ngerti, nggak sih? Ketemu di café gitu tadi doang nggak cukup!” rengek Haknyeon sambil menyembunyikan wajahnya di leher Sunwoo yang kini mengelus punggungnya.

“Aku ngerti, Hakkie ….”

“Terus kenapa pura-pura nggak ngerti?!”

“Karena aku nggak bawa kondom. Dan nggak tau kenapa, aku yakin kamu juga belom beli.”

Haknyeon mengernyitkan dahinya. “Kok tiba-tiba masalahin kondom? Biasanya juga kita nggak pernah pake.”

Sunwoo menjawil hidung Haknyeon dengan sayang. “Itu yang bikin kamu mimpiin semua kejadian di masa lalu, sayang.”

“HAH?” Sunwoo pun menceritakan apa yang diberitahukan Changmin padanya. “Wow … sperma kalian sakti, ya?” cetus Haknyeon kagum.

Sunwoo tertawa dengan sangat keras. “Aku pengen hidup di masa sekarang sama kamu, bukan di masa lalu sama bayang-bayang yang lain. So, please help me? Mulai saat ini kita pake pengaman, ya?”

“Ada yang pengen kamu sembunyiin dari masa lalu kamu?” tanya Haknyeon pelan.

“Bukan gitu, sayang. Kalo kamu mau tau tentang masa lalu aku, kamu tinggal tanya ke aku, aku jawab sejujur-jujur dan sebener-benernya. Aku nggak akan nutupin apa-apa. Aku cuma nggak mau kamu ngeliat aku dieksekusi terus di mimpi kamu.”

Iya sih, gue stres banget tiap bagian itu.

“Ya udah, kalo gitu tunggu apa lagi?”

“Gimana, Hak?”

“Sana beli kondom dulu!”

Tertawa keras, Sunwoo mencium Haknyeon dengan panas sebelum keluar dari unit apartemen itu sambil tetap tertawa geli.


“Kak Chanhee sama Kak Changmin bakal suka sama dessert-nya, nggak ya?” tanya Haknyeon tidak percaya diri saat Sunwoo menjemputnya di apartemen dua hari kemudian. Sunwoo tersenyum sambil mengusap rambut Haknyeon dengan lembut.

“Bukannya harusnya kamu lebih khawatir kalo mereka bakal suka sama kamu atau nggak? Kok malah dessert-nya sih yang dipentingin?”

“Eh iya, ya?! Aduh aku deg-degan banget!”

“Mana rasa percaya dirinya kemaren?” kekeh Sunwoo.

“Nggak tau. Nggak sengaja kecampur sama adonan terus kejual di toko kayaknya.” Sunwoo tertawa keras. Kalau dipikir-pikir, dalam beberapa bulan terakhir ini jumlah Sunwoo tertawa lebih banyak dibandingkan dengan kehidupannya selama empat ratus tahun lebih.

“Udah, nggak usah takut. Ada aku. Aku udah lebih lama jadi atua dibanding mereka.”

“Nggak nyambung!”

Selama perjalanan, Haknyeon terus berceloteh tidak tentu arah untuk menutupi rasa gugupnya. Walaupun sudah tahu akan hal itu, Sunwoo tetap meladeni celotehan Haknyeon, yang kemudian berhenti pada saat mereka sampai di depan rumahnya. Haknyeon terdiam dan menatap rumah bergaya Georgian berlantai tiga itu.

“Ini …. Aku pernah liat rumah ini di mimpi aku. Ini … rumah Haeseong, ‘kan?” tanya Haknyeon pelan.

“Ya dan tidak. Lebih tepatnya ini rumah tempat para budak tinggal. Masih bagian dari properti keluarga Jang, itu betul.”

“Kenapa kamu tinggal di sini?”

Sunwoo mengedikkan bahunya. “Awalnya karena aku nggak tau lagi harus tinggal di mana, aku capek pindah sana sini, dan aku cukup akrab sama bangunan ini karena sebagian besar waktu aku hidup, emang tinggal di sini. Lalu beberapa taun setelah Haeseong meninggal, keturunannya menjual properti ini dan pindah dari daerah sini. Waktu itu tabunganku masih sedikit, jadi aku cuma bisa beli bangunan ini. Tapi ini udah cukup bagus sih untuk ditinggalin.”

Haknyeon termenung. “Bukan karena nggak bisa move on dari Haeseong?” tanyanya pelan.

“Bukan, baby. Aku cukup ngeliat Haeseong dari jauh aja. Setelah dia nggak ada, ya udah. Aku tinggal di sini praktis cuma karena aku paling familier sama daerah dan bangunan ini.”

“Tapi kamu nggak pernah punya hubungan sama siapa-siapa lagi kayaknya selama ini?”

“Emang nggak pernah pengen deket sama orang lain, sayang. Baru sama kamu aja aku pengen deket-deket terus.”

“Kalian mau berdiri di luar berapa lama lagi? Gue udah laper, ini!” seru sebuah suara dari arah jendela depan dengan gusar.

Sunwoo tertawa kecil. “Itu Kak Chanhee. Yuk, kita masuk. Dia kalo laper jadi galak. Makin galak.”

Sambil tertawa gugup sebagai respons, Haknyeon mengikuti Sunwoo melangkah menuju pintu depan rumah itu.


©️aratnish'22