tamu
Bagian 11 dari “Eternity”
“KAK CHANGMIIIN!!!” teriak Sunwoo dari lantai dua, membuat Changmin terlonjak dari duduknya di sofa ruang keluarga mereka.
“DI RUANG TV, SUN!” balas Changmin juga dengan berteriak.
“Kak! Kak! Kak!” seru Sunwoo sambil terengah karena ia berlari menuruni tangga.
“Kenapa? Kenapa? Kenapa? Coba itu napasnya diatur dulu. Lagian lo pake lari-lari, nanti kalo jatoh dari tangga, gimana?” omel Changmin khawatir.
“Hari ini makan enak yuk, Kak? Gue yang traktir! Kak Changmin mau makan apaaaa aja, bilang ke gue, nanti gue beliin. Mau dari appetizer sampe dessert juga nggak apa-apa. Ayo berangkat! Terus nanti kita tanya Kak Chanhee juga, dia mau apa, nanti kita bungkusin. Yuk, Kak! Yuk! Yuk! Yuk!” ajak Sunwoo sambil menarik-narik tangan Changmin supaya pemuda itu berdiri.
Yang ditarik tangannya malah menatap Sunwoo dengan tatapan horror.
“Lo siapa? Lo pasti rapunga yang nyamar jadi Sunwoo biar bisa mancing gue lalu ngebunuh gue, ya?! Di mana lo sumputin Sunwoo yang asli?! Sun! SUNWOO!”
“Ini gue, Kak! Ini Kim Sunwoo yang asli! Hadeuuuh … salted caramel cake-nya ada alkoholnya gitu, ya? Kok lo jadi mabok gini?”
Oke. Cuma Sunwoo yang tau kalo tadi gue makan salted caramel cake. Tapi, mungkin aja rapunga itu ngebaca pikiran Sunwoo.
“Siapa nama lengkap gue, umur tahuti gue, dan umur atua gue?” cecar Changmin masih tidak percaya bahwa yang di depannya saat itu adalah Kim Sunwoo yang asli.
“Apaan, sih?!”
“Jawab aja!” Menghela napas kesal, Sunwoo pun menjawab,
“Ji Changmin. Duapuluh lima taun. Seratus limabelas taun. Udah, ‘kan? Bener, ‘kan? Sekarang ayo kita berangkat.”
“Lo kenapa sih, Sun?” tanya Changmin bingung sambil mengikuti atua itu keluar rumah.
“Nggak apa-apa. Lagi seneng aja, pengen nraktir-nraktir, tapi Kak Chanhee-nya kerja, kalo malem, guenya yang nggak bisa.”
“Lo aneh.”
“Aneh kenapa?”
“Nggak tau. Pokoknya aneh!”
Mengangkat bahunya dengan tak acuh, Sunwoo mengalihkan pembicaraan. “Jadi, ini kita mau ke mana dulu? Mau ke mall aja atau gimana?”
“Ke mall aja deh, biar one stop shopping.”
“Oke. To the mall we go!” seru Sunwoo riang, membuat Changmin semakin mengernyitkan dahinya dengan bingung.
Seorang pengunjung memasuki Arani pada pagi menjelang siang hari itu. Eric menyikut Haknyeon yang berdiri di sebelahnya saat melihat siapa yang datang. Jangankan Eric, beberapa pengunjung yang ada di dalam toko pun ikut memutar kepala mereka ke arah pengunjung yang baru masuk tersebut.
“Kak … Kak!” bisik Eric sambil menarik-narik lengan baju Haknyeon.
“Sht! Eric! Jangan nggak sopan di depan pelanggan!” Haknyeon memperingatkan dengan sebuah bisikan juga.
Sesuatu dalam diri pengunjung yang baru masuk itu mengusik Haknyeon. Bukan karena rambut putihnya, bukan juga karena pakaian serba putih dan coat panjang berwarna putihnya. Mata. Mata pengunjung itu menarik perhatian Haknyeon, karena walaupun penampilannya tampak seperti pemuda berusia awal dua puluhan, mungkin hanya terpaut satu atau dua tahun dari dirinya sendiri, namun matanya menunjukkan bahwa pengunjung itu sudah melihat jauh lebih banyak.
“Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu?” sapa Haknyeon sambil tersenyum sopan.
Pengunjung itu menatapnya tepat di mata. Dan Haknyeon sempat melihat rasa terkejut yang dengan cepat dihilangkan dalam satu kedipan mata.
“Hai!” jawab pengunjung itu ramah.
“Eh … hai?” balas Haknyeon dan Eric bersamaan dengan heran.
“Rekan kerja saya hari ini berulangtahun, apa ada cake ulang tahun yang ready stock?”
“Hmm … kami hari ini sedia strawberry frozen cheesecake. Apakah tidak apa-apa?” jawab Haknyeon.
“Oh! Perfect! I’ll take that. Bisa ditulis Happy Birthday juga, ‘kan ya? Dan lilin?”
“Bisa, dong!” Kini Eric yang menjawab sambil tersenyum lebar, serta bersiap untuk mengambil lilin. “Lilinnya angka berapa?”
“Empat, satu, dua.”
“Hah? Umurnya berapa, deh? Kok lilinnya banyak banget?”
“Eric.” Si pengunjung tertawa saat mendengar pertanyaan Eric dan juga peringatan yang dilontarkan oleh Haknyeon.
“It’s only for a joke. Umurnya duapuluh empat, tapi kami sering menambahkan satu angka lagi sebagai bahan candaan, biar terkesan umurnya sudah beratus-ratus tahun.”
“Oh! Ide bagus!”
“Gue buang cake dari lo kalo lo berani becanda gitu di hari ulang taun gue!”
“Ah lo nggak asik deh, Kak,” gerutu Eric sambil meletakkan lilin-lilin yang dimaksud di atas konter. Si pengunjung tertawa kecil mendengar interaksi antara kedua penjaga toko itu.
“Maaf, ya. Sebentar saya siapkan dulu cake-nya,” kata Haknyeon meminta maaf kepada pengunjung itu.
“It’s okay. Kalau begitu, bolehkah saya memesan minuman sambil menunggu?”
“Boleh, dong! Mau pesen apa?” tanya Eric sementara Haknyeon beranjak menuju ke bagian belakang toko.
“Apapun yang direkomendasikan.”
“Oke.”
“Lo kesurupan?” tanya Hyunjae bingung saat ia lihat Sunwoo memasuki ruang kantor mereka sambil bersiul-siul pelan.
“Ada deeeh.” Hyunjae semakin mengernyit saat mendengar nada ceria itu.
“Nyeremin banget,” gumam Hyunjae sambil menggelengkan kepala.
“Oh iya, Bang ….”
“Hmm?”
“Nanti temen gue ada yang mau ke sini.”
“Si Lune? Bukannya akhir-akhir ini dia emang rajin main ke sini?”
“Bukan. Ini temen yang lain. Dia mau dateng sama adik sepupunya.”
“Oooh. Terus?”
“Terus gue mau nraktir mereka minum. Boleh, nggak?” Hyunjae terbahak. “Kok ketawa?”
“Ya ini 'kan barnya punya lo, bebas lah lo mau nraktir satu atau dua temen. Mau nraktir satu kampung juga terserah.”
“Ya tapi 'kan yang bikin laporan keuangan sama neraca tiap bulan itu lo.”
“Kondisi kita aman, Sun … tenang aja. Nggak apa-apa kalo sekali-sekali lo mau pake hak istimewa lo sebagai owner. Lo juga boleh loh ngambil cuti, atau ngambil lebih dari satu hari libur setiap minggunya. Walaupun sebenernya, kalo lo mau duduk-duduk manis di rumah sambil nerima laporan juga nggak masalah sih. You’re the fu— freaking owner, anyway.”
“Nggak ah. Gue pengen kerja.”
“Baru kali ini gue nemu anak yang terlahir dengan silver spoon pengen kerja. Yah … good for you lah. Nggak selamanya kita bisa ngandelin duit ortu.”
Sunwoo hanya tersenyum sebagai respons.
Seandainya dia tau kondisi ortu gue kayak gimana, batin Sunwoo geli.
“Lo nanti kalo ngintip-ngintip ke bar, jangan bilang ke temen gue kalo gue yang punya bar, ya!” ancam Sunwoo.
“Iyaaa. Heran gue. Orang lain tuh pengennya pamer, lah lo pengennya under the radar terus.”
“Aku 'kan pemalu,” balas Sunwoo manja.
“Kampret!”
Tertawa, Sunwoo mengenakan apron hitam dan maskernya—kini bukan untuk menutupi taring, tapi sebagai pelengkap penampilan kerjanya—kemudian berjalan memasuki area bar.
Lagi-lagi Moonie berkunjung ke Other World malam itu, namun tidak seperti hari-hari lainnya, anahera itu kini hanya diam dan menyesap minuman yang dipesannya. Red wine.
“Kok tumben diem aja, Bang?” tanya Sunwoo saat ia telah selesai meracik minuman seorang tamu yang kini sedang dibawa oleh seorang waiter ke meja sang tamu.
“Lagi mikir mau ngomong apa di depan Angello.” Sunwoo terkekeh pelan.
“Lo ada bikin salah apa lagi dah kali ini?”
“Bukan gue yang salah, justru gue pengen nanya Angello ngapain hampir 350 taun yang lalu.”
“Hah? Maksudnya?”
“Udah, anak kecil nggak perlu tau. Sana kerja lagi yang bener, ngumpulin pundi-pundi.”
“Gilirannya gini aja lo ngebuang gue. Dasar kau tak berperasaan!”
“Nggak usah lebay,” komentar Moonie datar sambil mengibaskan sebelah tangan, isyarat ia menyuruh Sunwoo pergi.
Netra hitam Sunwoo berbinar saat ia melihat siapa yang memasuki bar pada hampir pukul setengah sebelas malam itu.
Haknyeon.
Oh, jangan lupa, ada Eric juga—yang hanya sedikit masuk ke area penglihatan Sunwoo, kalau boleh jujur.
Sunwoo melambaikan tangannya saat ia lihat Haknyeon menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, entah untuk mencari Sunwoo, entah ia terpesona dengan kondisi bar itu. Eric, yang pertama melihat lambaian tangan Sunwoo, langsung menarik lengan jaket Haknyeon dan menunjuk ke arah bar. Binar senang memenuhi wajah pemuda itu saat sosok Sunwoo memasuki lingkup penglihatannya.
Di tempatnya duduk, Moonie merasa bulu kuduknya meremang. Dengan segera, ia menoleh ke arah Sunwoo yang masih tersenyum—jika dilihat dari matanya yang menyipit. Perlahan ia memutar badannya untuk mengikuti arah pandang Sunwoo dan ….
“Shit! Kenapa mereka ada di sini?!” desis Moonie agak panik. Tergesa, ia menggunakan mantra untuk mengubah penampilannya agar tidak dikenali oleh para tahuti itu.
“Barnya cozy banget!” puji Eric saat ia dan Haknyeon sampai di depan Sunwoo yang meresponsnya dengan tawa kecil.
“Iya loh beneran! Gue kira bakal berisik kayak bar lainnya. Eh tapi gue nggak banyak pergi ke bar sih, soalnya males sama berisiknya. Tapi kalo barnya kayak gini sih gue betah mau ke sini tiap hari juga. Eh tapi bukan berarti gue minta ditraktir tiap hari loh ya,” cerocos Haknyeon yang membuat Sunwoo tertawa semakin keras.
Kak Juhak kalo udah cerewet gini biasanya karena ada sesuatu sama lawan bicaranya, deh, pikir Eric geli. Tapi Sunwoo ini emang cakep, sih.
“Jadi? Mau pada pesen apa?” tanya Sunwoo.
“Yang affordable aja di kantong lo,” jawab Haknyeon pelan sambil mencondongkan badannya ke arah Sunwoo.
Atua itu menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa ia bisa membelikan mereka minuman paling mahal di situ, karena … bukankah saat itu ia hanya seorang bartender biasa? Bukan owner dari Other World.
“Kalian kuat minum, nggak?”
“Lumayan,” jawab Haknyeon dan Eric bersamaan.
“Oke. Gue bikinin yang mild aja lah ya, biar aman.”
“Oke!” jawab Eric riang.
“Yang affordable buat lo, Sun!” Haknyeon memperingatkan dengan nada mendesak. Sunwoo mengambil daftar menu, meletakkannya di depan kedua tamunya, dan menunjuk sebuah nama minuman di sana.
“Gue bikin ini untuk kalian.”
Haknyeon memperhatikan angka yang tertera di sebelah nama minuman itu dan mengangguk menyetujui.
“Oke.”
“Sun! Gue butuh— Eh? Haknyeon? Eric? Kok di sini?”
“Kak Hyunjae??” balas yang ditanya bersamaan saat Hyunjae memasuki area bar lima belas menit kemudian.
“Kenal?” tanya Sunwoo tertarik, begitu juga dengan Moonie.
Sumpah, hidup Sunwoo ini kayak benang kusut banget, pikir Moonie sambil menggeleng kecil.
“Eh … itu, anu ….” Hyunjae memijat tengkuknya dengan rikuh.
“Mantan gue,” jawab Haknyeon singkat.
“Yang berani-beraninya jalan sama gue di belakang Kak Juhak,” tambah Eric dengan nada sebal.
“Gue 'kan udah—”
PRAAANG!!!
Suara kaca pecah, sebuah benda yang lewat tepat di sebelah kepalanya, serta pekikan terkejut dari Haknyeon dan Eric membuat Hyunjae menghentikan kata-katanya.
“Aaah … pasti kerjaan pesaing lagi. Tuh liat, ada yang ngelempar batu.” Moonie segera masuk di antara percakapan mereka dan mengangkat batu yang lumayan besar dari sebelah Sunwoo, yang berdiri berhadapan dengan Hyunjae.
“Sun, lo nggak apa-apa?” Moonie menepuk tangan atua yang berdiri mematung sambil menatap Hyunjae.
“Kim Sunwoo! Control yourself!” maki Moonie keras melalui telepati saat Sunwoo tidak menggubris tepukannya.
Tersentak, Sunwoo melihat sekelilingnya. Melihat perbuatan yang telah ia lakukan dengan kekuatan atuanya.
“Kalian nggak apa-apa?” tanya Sunwoo pada Haknyeon dan Eric yang terlihat sedikit pucat. Keduanya menjawab dengan sebuah gelengan.
“Nggak apa-apa,” jawab Eric pelan.
“Lo berdarah!” Haknyeon menunjuk pelipis Sunwoo yang kini mengeluarkan sedikit darah. Sepertinya ia terkena pecahan kaca yang ikut terbawa dengan batu yang jatuh di sebelahnya.
“Yuk sini gue obatin.” Tanpa menunggu respons dari Sunwoo, Moonie pun segera menarik atua itu menuju kantor.
©️aratnish'22