Tanpa Komunikasi

Bagian 27 dari “Eternity”

“Loh? Kok udah bangun, Sun?” tanya Eric bingung saat ia memasuki apartemen itu pada pukul lima pagi. “Eh? Kenapa?” Eric semakin bingung saat Sunwoo meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.

“Jangan keras-keras. Haknyeon nggak tau kalo gue masih di sini,” bisik Sunwoo.

“Hah?! Kalian berantem?”

“Nggak tau. Iya. Enggak. Mungkin. Ya, pokoknya gitu. Dia nyuruh gue pulang, tapi gue nggak bisa ninggalin dia sendirian, jadi gue pura-pura pulang. Karena lo udah pulang, jadi gue pulang sekarang. Jangan kasih tau dia kalo gue baru pulang pagi, ya?” pinta Sunwoo.

Eric ingin memprotes, namun melihat lingkaran hitam di bawah mata Sunwoo, ia pun mengangguk.

“Ya udah sana lo cepet pulang, Kak Juhak biasanya bentar lagi bangun.”

Thanks, Ric.”

Anytime. Jangan kelamaan berantemnya.” Sunwoo hanya membalasnya dengan senyum miring sebelum akhirnya keluar dari apartemen itu.

Belum sampai lima menit Sunwoo keluar, Haknyeon pun keluar dari kamarnya.

Jesus Christ! Sumpah Kak, gue kira lo zombie!” Eric menekan dadanya yang masih berdegup kencang saat melihat sosok Haknyeon yang baru keluar dari kamar. Messy is really an understatement.

“Oh? Udah pulang, Ric?” tanya Haknyeon seakan tanpa jiwa.

“Lo kenapa, Kak?”

“Nggak apa-apa. Gue mandi dulu.”

“Sunwoo mana? Katanya dia mau nginep?” pancing Eric.

“Pulang. Ada urusan.”

“Oh.”

Oke. Fix mereka berantem.


Haknyeon tetap bertahan untuk tidak menghubungi Sunwoo berhari-hari kemudian. Tetap mempertahankan tekad—atau kekeraskepalaannya—untuk memikirkan semuanya seorang diri. Tidak efektif, tentu saja, karena yang ia dapat hanyalah pemikiran-pemikiran negatif. Eric saja sampai kesal karena Haknyeon lebih sering tidak fokus atau uring-uringan.

“Lo tuh kenapa sih, anjir?!” maki Eric suatu hari saat Haknyeon membentak Juyeon, yang bekerja sambilan di Arani, untuk kesalahan yang sebenarnya dilakukan oleh Haknyeon sendiri.

“Dia salah!”

“Lo yang salah! Lo yang nyimpen cake yang salah di tag yang salah!”

“Dia harusnya meriksa dulu sebelom ngejual!”

“Dan lo harusnya fokus dulu sebelom kerja!”

“Eh … itu … anu … guys, we’re still in the middle of the operational hour,” kata Juyeon menengahi dengan takut-takut. “Dan … eugh … ada beberapa calon pelanggan yang nggak jadi masuk karena kalian saling teriak.”

“DIEM!” bentak Haknyeon dan Eric bersamaan ke arah Juyeon yang hanya bisa mengangkat tangan tanda menyerah. Tanpa banyak bicara lagi, ia pergi ke pintu masuk toko dan memasang tanda ‘sorry, we’re close’.

“Kak, lo tuh kalo ada masalah, tolong diselesein dulu deh sama sumbernya, jangan uring-uringan nggak jelas, semua jadi kena getahnya.” Haknyeon terdiam. “Sana lo baikan dulu sama Sunwoo, deh.”

“Gue nggak berantem sama Sunwoo!”

“Oh, ya? Terus kenapa dia nggak pernah ke sini? Kenapa waktu lo libur kemaren kalian nggak nge-date kayak biasa? Kenapa nggak pernah ada lagi late video call sama Sunwoo?” cecar Eric yang membuat Haknyeon hanya membuka dan menutup mulutnya, seperti ikan, tanpa mengeluarkan suara apapun.

“Nah? Bener ‘kan kata gue? Lo berantem ‘kan sama dia?”

“Nggak berantem …,” jawab Haknyeon lirih. Kalah.

“Nggak berantem, tapi lo ngediemin Sunwoo. Gitu?”

Haknyeon terdiam sambil memajukan bibirnya. Kebiasaan yang sudah sangat Eric hafal dari kakak sepupunya yang enggan mengakui bahwa dirinya sudah kalah telak.

“Kak, lo sama Sunwoo tuh udah bukan anak kecil lagi. Kalo ada yang nggak beres itu diomongin berdua, bukannya malah diem-dieman gini.”

“Gue kalo ngomong sama dia, bawaannya nanti malah emosi, Ric. Gue pengennya ngedinginin kepala dulu, baru ngobrolin sama dia.”

“Terus? Apa kepala lo udah dingin? Enggak, ‘kan? Yang ada malah makin panas, ‘kan? Dan panasnya malah nyebar ke mana-mana. Akuin aja, Kak … you’re really like a mess lately.” Eric menggeleng melihat kekeraskepalaan Haknyeon.

“Mulai detik ini sampe lo nyelesein masalah lo sama Sunwoo, lo dilarang menginjakkan kaki ke Arani,” putus Eric akhirnya.

“EEEH?! KOK GITU?! Terus gue bikin kuenya gimana?!”

“Di apart aja, biar gue sama Kak Juyeon yang bolak balik ngambil. Itu lebih baik daripada lo uring-uringan terus di sini. Pusing kepala gue!”

“Tapi—”

“Nggak ada tapi-tapian! Sekarang mending lo pulang, dinginin kepala lo bener-bener.”

Haknyeon memang keras kepala, tapi Eric bisa lebih keras kepala dari kakak sepupunya itu. Dan Haknyeon selalu kalah. Tak terkecuali hari itu. Melepas apron-nya, Haknyeon berjalan menuju kantornya.

“Ric,” panggilnya sebelum memasuki kantor.

“Apa?”

“Gue nggak berantem sama Sunwoo. Gue cuma butuh waktu buat mikir.”

Eric memutar bola matanya dengan ekspresi bosan. “Iya. Iya. Percaya. Sana pulang. Mikir di apart aja, jangan di sini.”

“Kak Juyeon?”

“Ya?”

“Maaf ya gue tadi ngebentak-bentak Kakak.”

Juyeon tersenyum. “Nggak apa-apa, Haknyeon. Gue juga salah nggak double check tadi.”

Dengan satu anggukan terakhir, Haknyeon menghilang di balik pintu kantornya.

“Ini papannya aku balik lagi ya, Ric?”

“Iya, Kak. The show must go on.”


“Libur, Sun?” tanya Changmin saat melihat Sunwoo masih ada di rumah pada pukul tujuh malam itu.

Sunwoo mengangguk.

“Kok tumben nggak nge-date? Haknyeon nggak libur? Biasanya lo nyamain hari libur sama dia?” Changmin bertanya lagi.

Sunwoo mengedikkan bahu.

Changmin menatap Chanhee, yang pulang lebih cepat dari dirinya, dengan bingung.

“Berantem kayaknya.” Chanhee menjawab tanpa suara.

“Nggak berantem.” Sunwoo bersuara dengan nada kesal. Emosi membuat pancaindranya semakin peka. Bahkan walaupun Chanhee tidak bersuara, perubahan gelombang udara membuatnya bisa menangkap apa yang dikatakan pemuda itu.

Chanhee menghela napas. “Ya terus kalo nggak berantem, apa namanya? Udah berapa hari ini lo uring-uringan terus. Gue jadi ikutan kesel bawaannya kalo di rumah.”

Sunwoo tidak menjawab apapun.

“Sun? Kenapa?” Changmin mencoba bertanya.

“Gue … kemaren sempet cerita ke Haknyeon.” Akhirnya Sunwoo menjawab pelan.

“Cerita apa?”

“Kalo gue immortal. Gue nggak bilang kalo gue atua! Gue cuma bilang kalo gue immortal!” Sunwoo buru-buru menambahkan saat melihat Chanhee dan Changmin membuka mulut untuk melakukan protes.

“Kenapa, Sun? Kenapa lo bilang ke dia?” Chanhee berkata dengan lemas. “Gimana kalo ada apa-apa?”

“Udah gue bilang, dia bukan rapunga. Dan feeling gue, dia nggak punya hubungan apa-apa sama rapunga.”

If you said so,” jawab Changmin pasrah setelah ia bertukar tatap dengan Chanhee.

“Tapi … dia tau tentang Haeseong.”

“Kok bisa?” tanya keduanya bersamaan.

“Dia bilang dia mimpi. Tentang keseharian gue sama Haeseong dulu. Dan dia ngeliat semuanya dari sudut pandang Haeseong.”

“Tunggu sebentar … lo waktu HS sama Haknyeon, pake kondom nggak?”

“Kok tiba-tiba Kak Chanhee nanya gitu, sih?!” seru Sunwoo panik karena malu.

“Udah, jawab aja.”

“Mmm … waktu pertama kali itu nggak pake.” Akhirnya Sunwoo menjawab dengan malu-malu.

“Itu dia yang bikin Haknyeon mimpi masa lalunya.”

“Kok bisa?!”

Well, kayaknya Moonie cuma ngasih tau gue sama Chanhee aja sih, karena yang aktif secara seksual itu cuma kita berdua. Moonie bilang, kalo mau HS sama tahuti, wajib hukumnya bagi atua cowok untuk pake kondom, karena sprema kita bisa membuat mereka ngeliat kehidupan sebelumnya, entah kehidupan mereka sendiri, atau kehidupan atua pasangannya sebelum jadi atua.”

“Jangan bercanda, Kak!”

“Ngapain gue bercanda?! Lagian, gue kira lo udah dikasih tau juga sama Moonie.”

Sunwoo menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kalo sekali nggak pake kondom aja udah ngebuat dia mimpi sedetail itu, gimana ceritanya sama date yang terakhir kemaren?! Hakkie mimpi apa aja akhir-akhir ini?! pikirnya panik.

“Jangan bilang lo nggak pake kondomnya lebih dari satu kali.” Chanhee memancing dengan tatapan takjub.

No comment,” jawab Sunwoo dari balik telapak tangannya.

“Balik lagi. Jadi, Haknyeon marah karena lo bukan manusia dan dia mimpi tentang hidup Haeseong?” Sunwoo mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Changmin.

“Dia bilang, gue pasti ngedeketin dia cuma karena dia adalah Haeseong di kehidupan sebelumnya. Terus gue diusir dari apartemennya.”

Did you?”

“Apa? Ngedeketin dia karena dia Haeseong?” Chanhee dan Changmin mengangguk. “Awalnya mungkin iya, tapi setelah makin kenal sama Haknyeon, gue sadar kalo dia dan Haeseong bukan orang yang sama. Mereka masih sama-sama baik sama gue, tapi Haknyeon lebih … gimana ya bilangnya … lebih hidup? Lebih terbuka, lebih ceria. Mungkin karena zaman yang udah beda juga. Sebelom gue pacaran sama Haknyeon pun, gue udah nggak mikirin kalo dia itu reinkarnasi dari Haeseong. Gu—”

“Yak. Cukup!” potong Chanhee sambil mengangkat tangan kanannya.

“Kenapa, Kak?”

“Bilang gitu ke Haknyeon, jangan ke kita.”

“Tapi Haknyeon bilang nggak mau ketemu atau kontakan dulu.” Sunwoo kembali murung.

“Ditunggu aja. Semua butuh proses,” kata Changmin menenangkan.


©️aratnish'22