Tengah Malam
Bagian 07 dari “Ghost Story”
“Eh anjir iya bener juga! Saking takutnya aku sampe lupa kalo kita pernah ngalamin kejadian itu!” seru Saka sambil bergidik saat Hanggara sudah menyelesaikan ceritanya.
“Asli itu creepy banget! Kalian tau sendiri ‘kan kalo kampus gue sama Saka itu bener-bener jauh dari jalan raya atau perumahan di belakang kampus? Mana kita lagi ada di lantai sepuluh, nggak mungkin ‘kan kalo suara mangkok tukang baso kedengeran sampe lantai sepuluh?!”
“Suara orang bikin mie instan di pantry, kali?” usul Elang.
“Nggak mungkin! Waktu itu kita pas banget di seberang pantry dan pantrynya kosong, bener-bener lagi nggak ada orang!” sergah Saka. “Mana anak desain juga ‘kan nggak ada kuliah sampe sore,” imbuhnya sambil menyebutkan jurusan yang berbagi lantai dengan jurusannya dan Hanggara.
“Ngomong-ngomong soal tukang bakso, gue juga pernah ngalamin sih,” celetuk Henry.
Salah satu hal yang Henry suka dari hari Jumat adalah ia tidak harus bekerja keesokan harinya (kecuali kalau bos memanggil untuk lembur). Untuk merayakan ‘kebebasannya’ Henry pun mencanangkan hari Jumat adalah harinya untuk begadang. Seperti hari itu.
“Udah gede kamu tuh. Masih aja suka ngegame,” tegur ayahnya saat melongok ke dalam kamar si bungsu yang tidak keluar sedari mereka makan malam bersama. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
“Hiburan, Yah,” jawab Henry sambil melemparkan cengiran nakalnya. Sang Ayah menggeleng tidak habis pikir.
“Jangan terlalu pagi tidurnya.”
“Saya besok libur, Yah.”
“Matamu rusak nanti ngeliatin layar TV terus!”
“Iya. Iya. Nggak terlalu pagi tidurnya. Maksudnya siang, tidurnya,” tambah Henry nakal dalam hati. Mengetahui pikiran jail anaknya, sang Ayah kembali menggeleng kecil.
“Ayah sama Bunda tidur duluan, ya. Semua jendela sama pintu sudah Ayah periksa. Inget, jangan terlalu pagi!”
“Iyaaa Ayaaah.”
Seperginya sang Ayah dari ambang pintu kamarnya, Henry kembali mengenakan headphones yang tadi sempat dilepasnya, untuk kembali melanjutkan permainan peperangan yang sedang menjadi fokusnya sebelumnya.
Suara desingan peluru dan ledakan bom terdengar cukup keras di headphonesnya, seperti yang Henry suka, terkesan ia benar-benar berada di medan perang (walaupun ia tidak pernah tahu seperti apa sebenarnya medan perang itu). Situasi itu berlangsung selama sekitar lima belas menit sampai Henry mendengar sebuah suara yang seharusnya tidak ada di medan peperangan di game yang sedang dimainkannya.
Suara denting mangkuk yang dipukul dengan sendok.
Henry berkedip dan kedua tangannya berhenti mengoperasikan konsol.
Anjir. Ini suara gamenya kenceng banget. Nggak mungkin suara tukang bakso kedengeran sama gue.
Henry melihat jam dinding di kamarnya.
Kampret! Jam setengah satu malem?! Mana ada tukang bakso jualan keliling jam setengah satu malem?! Iya! Iya! Iya! Gue tidur sekarang!
Terburu-buru, Henry mematikan game dan televisi di kamarnya sebelum bersiap-siap untuk tidur.
Malam itu, doa malam Henry lebih panjang dari biasanya.[]
©️aratnish’22