Thunder
please remember that : • this au is a fiction • character's personality and developments are solely for au purposes only • what is in this au, stays in this au
Sunwoo melihat langit yang mulai menghitam dari jendela kamar kosnya dengan sedikit gelisah.
'Kayaknya bakal ujan gede, nih,' pikirnya sambil menggigit-gigit bibir bawahnya. Kebiasaannya kalau sedang berpikir atau gelisah.
Suara guntur terdengar di kejauhan. Tidak begitu keras, namun mampu membuat Sunwoo sedikit terlonjak dari kursinya.
Sudah. Cukup. Ia tidak akan pernah bisa menyelesaikan tugas kuliahnya dengan keadaan seperti ini.
Ia menoleh ke arah jam dinding. Pukul tiga sore.
Hari apa sekarang? Rabu.
Ah.
Rabu pukul tiga sore, kakak pacar masih kerja sambilan di toko kue sampai pukul setengah empat sore.
Kakak pacar yang selalu menjadi safe haven-nya setiap ada hujan dengan guntur menderu seperti saat ini. Kakak pacar yang selalu memeluknya dengan hangat dan Sunwoo akan merasa tenang serta aman karena kehangatan dan aroma manis kue yang kadang masih melekat di tubuhnya.
Suara guntur kembali terdengar, kali ini semakin dekat, disertai beberapa tetesan air hujan di jendela kamar kosnya.
'Aduuuh ... jangan ujan dulu, dong! Plis tunggu sampe Kak Hakkie pulang kerja sambilan,' doa Sunwoo sedikit panik dalam hati. Namun doanya tidak terkabul, karena dalam hitungan detik, hujan deras langsung mengguyur kota itu.
“Kak Hakkie ... uuuh ... pulang cepet dooong.” Sunwoo sudah hampir menangis. Selain karena suara keras dari guntur yang bersahut-sahutan, Sunwoo takut dengan hujan deras karena ... well ... katanya takut rumah kosnya runtuh.
Suara dering ponselnya membuat Sunwoo kembali terlonjak. ID Kakak Pacar tertera di layar ponselnya.
“KAKAAAK ...!” rengek Sunwoo tanpa sapaan pembuka apapun.
“Di sana ujan juga, Nu?” Suara Haknyeon terdengar agak keras untuk menyaingi suara hujan yang menjadi suara latar sesi panggilan telepon mereka saat itu.
“Iyaaa! Kakak di manaaa? Masih kerja?”
“Aku udah pulang, tapi ini masih di jalan karena macet.”
“Kakak cepet pulaaang.”
“Nunu takut banget, ya?”
“Iy— AAAAAAK!!!” Tepat pada saat itu, suara guntur yang sangat keras terdengar cukup dekat dengan rumah kos itu. “Kakaaak ... cepet pulang, pliiis. Nunu takuuut,” isaknya.
“Sabar ya Nu, kalo ujan banyak geluduknya gitu biasanya cepet redanya.” Haknyeon berusaha menenangkan pacarnya.
“Kata siapa? Valid nggak? Udah ada label halalnya?” Haknyeon tertawa.
“Kok pake label halal segala? Lupa sih kata siapa, tapi banyak yang bilang gitu. Mudah-mudahan aja bener.”
“Kok mudah-mudahan siiih? Yang bener yang mana, Kakaaak?!”
Haknyeon tertawa saat mendengar protesan, yang kemudian disusul dengan teriakan panik, dari pacarnya yang satu tahun lebih muda itu.
“Kakaaak! Ini gimana kalo rumahnya runtuuuh?” rengek Sunwoo.
“Astaga. Ya nggak mungkin lah, Nu. Kosan kita tuh bangunannya baru, kokoh juga keliatannya.”
“Ya 'kan cuma keliatannya aja! Gimana kalo ternyata pondasinya nggak kuat? Kalo ternyata kontraktornya mainin bahan bangunannya, jadi pake yang grade-nya rendah dan nggak sesuai sama spek?”
Haknyeon tertawa dengan keras mendengar overthinking si yang lebih muda.
“Nunu, jangan mikir yang serem-serem gitu, nanti malah makin takut.”
“AAAK!!! ADA LAGI GELUDUKNYAAA!!!”
Iya, Haknyeon tahu, karena ia sendiri sudah berada di parkiran rumah kos mereka dan mendengar gemuruh guntur itu. Agak tergesa, ia turun dari mobilnya dan berhati-hati supaya tidak terpeleset saat menyeberangi lahan parkir kosan.
“Nunu mau tau nggak gimana caranya biar nggak takut?”
“Gi— hiks ... gimana?”
Aaah ... ternyata si pacar sudah benar-benar menangis sekarang.
“Mikirin hal-hal yang kamu suka.”
“Hah??”
“Jaman dulu tuh ada film yang judulnya The Sound of Music. Kamu tau, nggak?”
“Enggak.”
Suara di seberang ponsel Haknyeon terdengar agak stabil. Walaupun baru saja terdengar suara guntur di dekat mereka, tapi Sunwoo tidak berteriak-teriak dengan panik.
“Di film itu ada insert song yang judulnya My Favorite Things, yang ngajarin kita untuk mikirin hal-hal yang kita suka kalo kita lagi takut atau sedih, atau ngalamin hal yang nggak enak.”
“Hmm ....” Nada suara adik pacar sepertinya masih agak sangsi. Atau mungkin tidak sepenuhnya mengerti.
“Misalnya nih ... aku 'kan suka makan, ya—” Perkataannya itu dipotong oleh kekehan Sunwoo.
“Iya, kalo itu aku tau banget.” Haknyeon tersenyum.
“Nah, tiap aku lagi takut atau bete, aku mikirin makanan. Misalnya nih, aku inget-inget lagi makanan yang paling aku suka waktu kita first date. Rasanya gimana, beli di mana, trus ujung-ujungnya pengen beli lagi. Lupa deh sama betenya.” Sunwoo tertawa bersamanya.
“Kalo Nunu gimana?”
“Hmm ... aku suka sepakbola.” Sunwoo menjawab dengan ragu-ragu.
“Hm-mm. Gimana sukanya?” Haknyeon menyemangati.
“Mainnya seru, seneng juga mikirin strategi yang mau dipake waktu tanding. Waktu SMP posisi aku jadi gelandang tengah, tapi sebenernya aku pernah main semua posisi selain penjaga gawang.”
“Kenapa?” Haknyeon kini berjalan menaiki tangga kos menuju kamar Sunwoo di lantai tiga.
“Kayaknya bosen aja gitu cuma nungguin bola sendirian di belakang. Kesepian banget kayaknya.”
“Eit. Nggak boleh mikir yang nggak bikin seneng. Ayo, apa lagi yang bikin kamu seneng?”
“Oh iya. Mmm ... aku suka nonton anime. Aku udah nonton Kimi no Nawa delapan kali! Hahaha ... aduh, jadi pengen ngulang nonton lagi.”
Haknyeon ikut tertawa mendengarnya. Ia kini sudah berada di depan pintu kamar Sunwoo, namun mendengar pemuda itu tampaknya sedang seru bercerita mengenai kesukaannya, Haknyeon mengurungkan niatnya untuk memasuki kamar Sunwoo. Apalagi saat ia tahu bahwa Sunwoo tidak panik saat ada guntur yang lumayan keras berbunyi, padahal ia saja cukup terlonjak saat mendengarnya. Alih-alih berbalik untuk kembali ke kamarnya di lantai dua, Haknyeon memutuskan untuk duduk di lantai dan bersandar di pintu kamar Sunwoo.
“Terus, aku suka banget sama peppero, tapi aku sukanya yang rasa original. Oh! Aku juga suka McD sama BR. Sabtu ini ke sana yuk, Kak! Kangen chicken tender sama mom is an alien,” ajak Sunwoo dengan semangat.
“Iya. Ayo kita ke sana nanti.”
“Terus ... terus ....”
Tanpa henti, Sunwoo terus mengoceh tentang hal-hal yang ia suka, yang 90% sudah diketahui dengan jelas dan dihafal oleh Haknyeon. Namun tetap ia mendengarkan sambil sesekali menggumamkan 'hm-mm' atau mengatakan 'oke' dan 'oh ya?' sebagai tanda bahwa ia masih menyimak kata-kata Sunwoo.
“Lah? Lo ngapain di situ, Hak?” tanya Hyunjae, penghuni kamar kos di seberang kamar Sunwoo, tiba-tiba. Panik, Haknyeon meminta Hyunjae diam dengan menempelkan telunjuk tangan kirinya di depan bibir.
“Apaan sih? Lo berantem sama Sunwoo trus nggak dibolehin masuk kamarnya?” tanya Hyunjae dengan suara yang tidak bisa dibilang pelan. Haknyeon bahkan curiga bahwa Hyunjae sengaja menaikkan volume suaranya agar terdengar oleh Sunwoo.
Di kamarnya, Sunwoo berhenti bercerita dan mengernyitkan dahi, bingung karena suara yang ia dengar di telepon dan di luar kamarnya mengucapkan kalimat yang sama.
'Kok bisa sama?' pikirnya bingung sambil berjalan menuju pintu.
Dengan penasaran, Sunwoo membuka pintu kamarnya dengan satu kali tarikan mantap. Satu tarikan yang membuat Haknyeon—yang masih duduk bersandar ke pintu—terjengkang di depannya.
“Kakak ngapain di situ?!!”
“Err ... telponan sama kamu?” jawab Haknyeon sambil melemparkan senyum kekanak-kanakan.
“Lah kalian deketan gitu ngapain pake telpon-telponan?” tanya Hyunjae bingung.
“Lo diem aja deh, Kak!” gerutu Haknyeon kesal karena tadi Hyunjae tidak menangkap isyaratnya dengan benar.
“Kakak dari kapan ada di situ?”
“Dari ... mm ... dari kamu cerita tentang Kimi no Nawa.”
“Itu 'kan setengah jam yang lalu! Kenapa nggak masuk aja, ih?! Aku 'kan pengen dipeluk Kakak kayak biasanya! Kenapa malah nyuruh aku cerita panjang lebar?!”
“Tapi kamu jadi nggak takut lagi, 'kan?”
“Eh? Iya juga, ya? Aku sampe nggak sadar kalo ujannya udah berhenti.”
“Nah 'kan? Berarti kamu sebenernya bisa sendiri ngatasin rasa takut kamu, nggak harus dipeluk sama aku.”
“Tapi aku pengennya dipeluk!”
“Iya, boleh ... tapi kamu juga harus belajar untuk mandiri, aku 'kan belom tentu ada terus untuk meluk kamu.”
“KAKAK MAU NINGGALIN NUNUUU?!!! NUNU NGGAK MAUUU!!”
“Lho? Kok kesimpulannya jadi gitu??”
“Itu tadi katanya Kakak belom tentu ada terus untuk Nunu?!”
“Ya 'kan jaga-jaga aja, Nu. Mungkin aja pas ujan Nunu lagi di luar kota, atau akunya lagi kerja sambilan, atau kita sama-sama lagi ada kelas. 'Kan nggak bisa kalo cuma ngandelin aku peluk aja.”
“Tapi Nunu nggak mau ditinggalin Kakaaak!”
“Nggak akaaan, Nunuuu!”
“Kakak nggak boleh pergi dari Nunuuu!”
“Iyaaa!”
“Huwaaa ...!”
“Nunu jangan nangiiis!”
“Mau peluuuk!”
“Iyaaa ayo siniii!”
“Ah udahlah. Gue emang nggak bisa ngadepin duo bulol ini,” kata Hyunjae sambil menggelengkan kepala dan beranjak menuruni tangga, meninggalkan Haknyeon dan Sunwoo yang sedang duduk berpelukan di lantai.
But they're kinda cute, right, Hyunjae? —aratnish'21