warnings: major character death, terminal illness, euthanasia, mentioned suicide, bisexual major character, angst
Sunwoo sudah menduga bahwa berakhirnya hubungannya dengan Haknyeon tidak akan mudah, namun ia tidak menyangka bahwa akan seberat ini. Pria itu mengembuskan napasnya dengan berat. Memejamkan mata, ia berusaha mengusir sesak yang bersarang di dadanya semenjak perpisahan mereka.
Aroma parfum memasuki indera penciumannya. Aroma parfum dari wanita yang selama beberapa bulan terakhir dekat dengannya, menjadi pelipur lara dan tempat curahan hatinya yang patah pasca putus dengan Haknyeon.
Ia berbalik.
Benar saja, wanita itu berjalan mendekatinya.
Eun Jisoo.
“Lo tau,” tuduh Sunwoo tanpa tedeng aling-aling, bahkan pada saat Jisoo masih berjarak beberapa langkah jauhnya. Wanita itu mengangkat sebelah alis indahnya dengan tatapan geli.
“Tau apa?” balasnya saat sudah berhadapan dengan Sunwoo.
“Lo tau apa maksud gue, Jii!” sergah Sunwoo tidak sabar.
“Tau bahwa semuanya itu rencana dan akal-akalan Hakkie? Iya, gue tau. Tau bahwa semuanya bakal kayak gini? Enggak, gue nggak tau.”
Sesaat keduanya terdiam, bersisian menatap laut lepas dari tanjung di mana mereka berdiri, menikmati embusan angin yang membelai wajah, seolah menghibur mereka.
“I miss Hakkie,” bisik Jisoo dengan nada penuh kerinduan. Pria di sebelahnya mengangguk.
“You miss your childhood friend, I miss the love of my life,” balas Sunwoo tidak kalah pelan.
Jisoo tidak menjawab, namun perlahan ia menatap Sunwoo. Hanya menatap, tidak mengatakan apapun, namun ekspresinya mengatakan bahwa saat itu ia sedang mengalami pergulatan batin.
“Apa?” tanya Sunwoo bingung saat balas menatap wanita itu.
“Gue lagi mikir, lebih baik gue ngasih tau lo atau enggak, ya?”
“Apaan, sih?! Lo bikin gue makin penasaran!”
Setelah mempertimbangkan selama beberapa saat, akhirnya Jisoo berucap,
“He’s also the love of my life, Sun.” Jisoo terdiam untuk membiarkan kalimat itu meresap ke dalam kesadaran Sunwoo. Perlahan mata pria itu membulat dengan terkejut.
“All this time?!” pekiknya. Jisoo mengangguk dengan sorot mata sedih.
“All this time. Forever,” tegas wanita itu.
“Terus? Yang kemaren— Damn. Hakkie, ya?” Keterkejutan di mata Sunwoo berganti dengan kesedihan. Jisoo kembali mengangguk.
“Iya. Hakkie.”
Enam bulan sebelumnya ....
“Itu nggak seperti yang kamu kira, Hakkie!”
“Aku tau apa yang aku liat, Nu. You. Half naked. In our bed. With my childhood friend. Kissing. Apa lagi yang nggak seperti yang aku kira, Sunwoo?”
Sunwoo mengusap wajahnya dengan frustrasi. Well, kalau dijabarkan seperti itu, memang ia tampak berada dalam posisi yang salah. Tidak, bukan ‘tampak’, tapi ia memang berada dalam posisi yang salah.
Ia memang telanjang dari pinggang ke atas. Ia memang berada di tempat tidur mereka. Ia memang bersama dengan Jisoo. Mereka memang berciuman.
Tapi sungguh tidak sesederhana itu kejadiannya.
-
Hari itu Jisoo memang datang ke apartemen Sunwoo dan Haknyeon karena mereka berdua berniat untuk membuat makan malam kejutan untuk Haknyeon yang baru saja mendapatkan promosi jabatan di kantornya. They’re not the best cook, jadi sudah dapat dipastikan kegiatan masak memasak itu cukup berantakan, belum lagi Sunwoo memiliki ide gila untuk membuat cake.
Setelah mereka selesai mempersiapkan semua makanan dan cake untuk Haknyeon, Sunwoo memutuskan untuk mandi, sementara Jisoo mengatakan bahwa ia akan beristirahat sejenak dan menonton televisi.
Terbiasa hanya berdua dengan Haknyeon di apartemen mereka, Sunwoo keluar dari kamar mandi di kamar tidur hanya dengan mengenakan celana boxer sambil mengeringkan rambutnya yang baru saja dikeramas dengan handuk. Ia tidak memperhitungkan bahwa Jisoo ada di kamar itu dan duduk di atas tempat tidurnya dan Haknyeon.
Dengan panik, Sunwoo berusaha menutupi bagian bawah tubuhnya dengan handuk yang dipegangnya. Lagi-lagi, ia tidak memperhitungkan bahwa Jisoo akan berdiri dari duduknya dan mendekati pria itu, berusaha untuk menenangkannya sambil tertawa geli. Semakin panik, Sunwoo berusaha menjauh, namun kakinya terlilit oleh keset yang diletakkan di depan kamar mandi. Berusaha untuk menyelamatkan Sunwoo, Jisoo menarik lengan pria itu.
Namun tindakan Jisoo itu membuat mereka berdua terjatuh di atas ranjang dengan posisi Sunwoo mengungkung wanita itu di bawahnya.
Orang-orang bilang, setan ada kapanpun dan di manapun, terutama pada saat pria dan wanita berdua saja di dalam satu ruangan, terlebih di kamar tidur, di atas ranjang.
Sunwoo mengamati paras Jisoo yang—menurutnya—tanpa cela. Sunwoo tahu bahwa bulu mata indah yang menaungi mata bulat berwarna cokelat itu adalah asli, karena Haknyeon selalu bercerita bahwa Jisoo bukan tipe wanita yang suka berdandan. Tatapannya turun pada pipi merona wanita itu dan Sunwoo berpikir apakah itu merupakan riasan atau karena perempuan itu merasa malu.
Bibir. Sejak pertama kali Haknyeon mempertemukan mereka berdua, Sunwoo sudah menaruh perhatian lebih kepada bibir mungil menggoda itu. Bibir yang kini sedikit merekah karena empunyanya merasa sedikit terkejut dengan posisi mereka.
Sunwoo tahu bahwa ia seharusnya lekas bangkit, namun matanya tetap terpaku kepada bibir itu dan ia mulai berpikir bagaimanakah rasanya jika ia menciumnya. Dalam keterpakuannya, Sunwoo merasa bahwa kedua tangan Jisoo perlahan terangkat dari ranjang dan ditempatkan dengan nyaman di bahunya. Ia juga merasa bahwa Jisoo memberi sedikit tarikan supaya Sunwoo semakin mendekat kepadanya.
Hanya tarikan kecil itulah yang dibutuhkan Sunwoo untuk kehilangan kontrol dirinya.
Tanpa pikir panjang, Sunwoo menunduk untuk menempelkan bibirnya pada bibir Jisoo dan menciumnya.
Dan Jisoo membalas ciumannya.
Dan Haknyeon memilih saat itu untuk memasuki kamar mereka.
-
“Sayang, itu kecelakaan. Aku sama Jisoo nggak berniat kayak gitu!”
“Hmm ... kecelakaan, tapi kalian ciuman, Sunwoo. Kamu nyium Jisoo dan aku tau dia juga ngebales ciuman kamu. Kamu nggak tau ‘kan kalo Jisoo selama ini sebenernya suka sama kamu?”
“Itu nggak berpengaruh apa-apa ke aku, Hakkie. I love you and you only!”
Haknyeon menelengkan kepalanya. “Sunwoo, kamu bi, how am I supposed to believe you? Not to mention kamu pernah bilang kalo Jisoo termasuk cewek yang bisa bikin kamu tertarik.”
“Itu ‘kan cuma obrolan selewat aja, sayang. Aku nggak serius tertarik sama Jisoo! Aku cuma cinta sama kamu!”
Haknyeon menggeleng dengan mimik lelah.
“Aku nggak tau, Sunwoo. You kinda hurt me.” Haknyeon mengenakan jaketnya.
“Hakkie ... tunggu. Kamu mau ke mana? Aku minta maaf, Hakkie. Tolong jangan pergi.”
“Aku mau pulang ke rumah orang tuaku dulu. Aku perlu mendinginkan pikiran.”
“Aku anterin. Ini udah malem, aku nggak mau ada apa-apa sama kamu.”
“Aku nggak apa-apa. Aku cowok, Sunwoo. Aku bisa jaga diri.”
Sejak saat itu, Haknyeon lebih sering menghabiskan waktu di rumah orang tuanya dibandingkan di apartemen mereka. Pada saat Haknyeon berada di apartemen mereka pun, mereka tidak banyak berinteraksi karena Haknyeon lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya.
Tidak peduli seberapa sering Sunwoo meminta maaf dan meminta Haknyeon untuk kembali ke apartemen mereka sepenuhnya, pria itu selalu bersikap dingin padanya. Bahkan Jisoo juga sudah berbicara kepada Haknyeon bahwa semua itu hanya salah paham dan berjanji tidak akan ada kejadian seperti itu lagi di kemudian hari. Haknyeon tetap tidak tergoyahkan, namun hanya kepada Sunwoo ia bersikap dingin.
Sunwoo selalu berpikiran positif bahwa seiring dengan berjalannya waktu, sikap Haknyeon akan berubah dan mereka akan kembali seperti sebelumnya. Iya, ia tahu bahwa ia salah karena terbawa suasana, tapi Sunwoo sungguh-sungguh tidak memiliki perasaan apapun kepada Jisoo, hatinya benar-benar hanya untuk Haknyeon seorang.
Karena itu, Sunwoo akan menunggu, menunggu dengan sabar sampai Haknyeon-nya kembali.
Namun demikian ....
My Baby <3
Sunwoo, I can’t do this anymore
Let’s end this relationship
Thank you for all these years
Setelah hari itu, Haknyeon memblokir semua kontaknya dengan Sunwoo.
Tentu saja Sunwoo tidak tinggal diam. Ia berusaha menghubungi Haknyeon, menghubungi orang tua dan kakak-kakaknya, tapi nihil. Tidak ada yang mau membuka jalur komunikasi dengan Sunwoo.
Sunwoo mendatangi rumah Haknyeon, tapi mereka sekeluarga sudah tidak lagi tinggal di alamat yang diketahui Sunwoo.
Sunwoo mendatangi tempat kerja Haknyeon, tapi ternyata Haknyeon pun sudah tidak bekerja lagi di sana, bahkan sebelum ia mengakhiri hubungan mereka.
Keberadaan Haknyeon bagaikan ditelan bumi.
“Jii ... gue nggak tau harus nyari Hakkie ke mana lagi,” ucap Sunwoo putus asa pada saat ia dan Jisoo bertemu di sebuah coffee shop untuk membahas ‘hilangnya’ Haknyeon.
Jisoo menatap pria di depannya itu dengan prihatin.
“Gue juga nggak tau, Sun. Gue masih kontakan sama dia, tapi tiap gue tanya dia di mana, dia pasti nggak mau jawab.”
Sunwoo menunduk dan mengacak-acak rambutnya.
“Semua salah gue! Harusnya waktu itu gue nggak nyium lo.” Jisoo menepuk-nepuk kepala Sunwoo yang tertunduk.
“Gue ada andil salah juga, Sunwoo.”
“Gue nggak mau putus, Jisoo .... Gue sayang sama Hakkie, gue cinta sama Hakkie. Gue nggak mau pisah sama dia. Gue cuma mau dia, gue cuma butuh dia ....”
“Sun, lo punya passport?” tanya Jisoo suatu hari di telepon. Suaranya tidak seceria biasanya, cenderung tegang kalau Sunwoo boleh berpendapat.
“Lo nyepelein gue nih ceritanya? Lo lupa kalo kita bertiga pernah liburan ke Hongkong bareng?” Sunwoo mencoba untuk bercanda.
“Oh iya. Gue lupa.” Jisoo tertawa getir. Sunwoo mengernyitkan dahinya.
“Kenapa sih, Jii?”
“Em ... sebenernya gue baru aja dichat sama Hakkie ....”
“Terus? Terus? Terus?! Dia ngomong apa?! Dia ngasih tau nggak dia ada di mana? Dia nanyain gue, nggak?” cecar Sunwoo sambil mengambil posisi duduk lebih tegak.
“Em ... dia minta kita ke Swiss. Dia mau ketemu lo di sana ....”
“Swiss? Nggak salah? Nggak kurang jauh? Mereka sekeluarga pindah ke sana jadinya selama ini? Buka bisnis perhotelan baru?”
“Gue kurang tau sih yang itu, tapi Hakkie bilang kita harus ke sana sebelum akhir bulan ini, kayaknya urgent banget.”
“Oh? Ada apaan, ya?”
“Gue juga nggak tau, Sun ... tapi setidaknya dia udah mau ketemu lo. Itu yang paling penting, ‘kan?”
“Oh iya! Bener juga!”
“Gue yang bakal urus semua akomodasinya, well ... Hakkie sih yang bayar semuanya, just send me all the informations needed, okay?”
“Okay. Thanks ya, Jii.”
“Untuk apa, Sun?” Jujur, Sunwoo bisa bersumpah bahwa ia mendengar tangis di balik kata-kata Jisoo itu.
“Untuk semuanya. Lo udah mau selalu nemenin gue yang galau selama ini karena ditinggal Hakkie.” Sunwoo tertawa sumbang. “Lemah banget ya gue?” bisiknya sedih.
“Nggak lemah. Itu artinya memang lo segitu sayangnya sama Hakkie. Mungkin Hakkie akhirnya ngeliat itu dan akhirnya mau ketemu lagi sama lo.” Tangis itu lagi. Sunwoo bisa mendengar tangis tanpa suara itu lagi.
“Lo kenapa, sih? Kok kayak yang sedih banget?”
“Gue lagi nonton drama, Sunwoo ...! Sumpah ini ceritanya sedih bangeeet!” Jisoo tidak menyembunyikan tangisnya lagi. Sunwoo tertawa keras.
“Ya kenapa lo nggak selesein nonton dulu baru nelpon gue, sih?”
“Nggak bisaaa! Gue terlalu excited karena Hakkie pengen ketemu lo, jadi gue langsung nelpon lo!”
“Dasar! Yaudah sana lanjutin lagi nontonnya, thanks ya udah ngasih tau gue.”
“Anytime.”
“Woaaa ... as expected from the Ju family, ya ...,” gumam Sunwoo saat mengamati pemandangan dari jendela mobil sewaan yang membawa mereka dari hotel ke tempat Haknyeon ingin bertemu.
“Hmm ...,” gumam Jisoo yang memejamkan matanya.
“Lo kok malah tidur, sih? Nggak pengen liat pemandangan, apa?” protes Sunwoo saat melihat tingkah Jisoo. Wanita itu membuka sebelah matanya dan menatap Sunwoo dengan tatapan sedikit kesal.
“Lo pikir siapa yang maksa gue begadang ngedengerin ocehan dia yang nggak sabar untuk ketemu sama ‘love of my life’?” sindir Jisoo.
“Ehehehe ... sorry, gue terlalu excited.” Sunwoo menggaruk tengkuknya dengan jengah.
“Never mind, gue ngerti kok. Tapi sekarang, gue mau bobo cantik. Lo nggak usah ganggu!”
“Iya. Iya.”
Sekitar satu jam kemudian mereka sampai di sebuah bangunan indah yang ada di pinggir sebuah danau.
“Cantik,” bisik Jisoo dengan penuh kekaguman. Sunwoo mengangguk menyetujuinya.
“Ini villa mereka, kah?”
“Bisa jadi.”
Mereka turun dari mobil dan disambut oleh seorang pria paruh baya di pintu depan yang membawa mereka ke depan sebuah ruangan dengan pintu tertutup. Pria paruh baya itu mengetuk pintu dan mengumumkan kedatangan mereka.
“Tuan Kim dan Nona Eun sudah datang.”
Tidak lama kemudian, orang tua Haknyeon keluar dari ruangan itu dan menutup pintu di belakang mereka sebelum Sunwoo sempat melirik ke dalamnya. Nyonya Ju segera memeluk Sunwoo, sementara Tuan Ju menepuk bahu pria muda itu dengan hangat.
“Maaf ya Sunwoo, kami mendadak memanggilmu ke sini.” Nyonya Ju membuka pembicaraan.
“Tidak apa-apa, Tante.”
“Maaf juga kami tidak menghubungimu sebelumnya, kepindahan kami ke sini cukup mendadak dan menyita perhatian.”
“Sunwoo mengerti, Om.” Sunwoo merasakan sesuatu yang tidak beres. Bukan saja Tuan dan Nyonya Ju tampak tidak bersemangat saat bertemu dengannya, tapi mereka juga tampak sangat lelah.
“Uh ... Haknyeon?” Akhirnya Sunwoo memberanikan diri untuk bertanya.
“Oh! Betul! Haknyeon ada di dalam. Take your time.” Nyonya Ju mendorong pelan tubuh pria muda itu.
“Jii?” tanya Sunwoo heran saat ia tahu Jisoo tidak mengikutinya. Wanita itu menggeleng dengan senyum sedih.
“Hakkie mau ketemu sama lo, Sun. Seperti kata Tante, take your time.”
Firasat buruk semakin menggerogoti Sunwoo, tapi ia membulatkan tekadnya dan membuka pintu besar di depannya. Di dalam ruangan besar yang satu sisinya berupa sebuah pintu kaca besar yang menghadap langsung ke arah danau, Sunwoo dapat melihat sebuah ranjang diletakkan di sana, membelakanginya, menghadap ke arah danau. Ia dapat melihat bahwa seseorang berada di atas ranjang itu. Haknyeon-nya ada di atas ranjang itu.
Sunwoo melihat ke balik bahunya dan melihat orang tua Haknyeon serta Jisoo mengangguk untuk menyemangatinya. Maka, dengan penuh keyakinan, Sunwoo melangkahkan kaki dan menutup pintu di belakangnya.
“Hakkie?” panggilnya pelan.
“Oh? Sunu?” jawab seseorang di atas ranjang.
Suaranya suara Hakkie, tapi kok ... kayak ada yang aneh, ya? pikir Sunwoo sambil mendekati ranjang.
“Hai!” sapa Haknyeon—yang duduk bersandar di kepala ranjang—sambil mengangkat tangan kirinya untuk melambai. Sunwoo sedikit tercengang saat melihat lambaian lemah itu.
“Duduk, Nu.” Kalaupun Haknyeon melihat tatapan bingung Sunwoo, ia memilih untuk tidak memperlihatkan atau membahasnya lebih lanjut. Setelah Sunwoo duduk di kursi yang ada di sebelah kanan ranjangnya, Haknyeon melanjutkan dengan perlahan,
“Maaf ya, tiba-tiba manggil kamu ke sini. Maaf juga kalau kata-kata aku nanti agak kurang jelas didengernya.”
“Itu yang pengen aku tanyain. Kamu kenapa, sayang?” Dengan susah payah, Haknyeon mengangkat tangan kanannya yang langsung digenggam dengan senang hati oleh Sunwoo.
Setidaknya dia masih mau gue panggil ‘sayang’. Mungkin ini nggak seburuk apa yang gue pikirin.
Haknyeon terdiam selama beberapa saat. “Kamu tau sekarang hari apa?”
Sunwoo memicingkan mata atas pertanyaan yang tidak menjawab pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya, namun ia putuskan untuk menjawabnya, tidak ingin membuat Haknyeon kesal dan mengusirnya keluar dari ruangan itu.
“Hari anniversary kita yang ke lima. Makanya gue sekalian bawa cincin yang udah gue siapin dari berapa bulan yang lalu.” Sunwoo menambahkan kalimat terakhir dalam hati. Haknyeon mengangguk dengan senyum semringah.
“Kamu masih inget!”
“How can I forget that, baby?” Ia mengecup tangan di dalam genggamannya dengan sayang. Oh. Dia kurusan sekarang.
“Kirain karena udah sama Jisoo, kamu jadi ngelupain aku,” goda Haknyeon. Sunwoo menggeleng sedih.
“Sayang, harus berapa kali aku bilang? Aku sama Jisoo nggak ada apa-apa. Iya, aku akui aku salah karena sempet nyium dia, tapi itu cuma ketertarikan sesaat aja. Hati aku cuma buat kamu.”
“Bukan ketertarikan sesaat juga nggak apa-apa kok Nu. Jisoo cewek baik dan dia juga suka sama kamu.” Haknyeon berkata perlahan, berusaha membuat pengucapannya dapat didengar jelas oleh Sunwoo.
“Hakkie ... baby ... kamu kenapa?” tanya Sunwoo khawatir. Ia merasa Haknyeon menggenggam tangannya sedikit lebih erat. Masih lemah, tapi sedikit lebih erat.
“Aku sakit, Nu ...,” ucap Haknyeon pelan pada akhirnya. Sunwoo tercekat saat mengetahui bahwa firasat buruknya benar-benar terjadi.
“Oh my baby.” Sunwoo setengah bangkit untuk mencium pelipis Haknyeon. “Kamu sakit apa, sayang?”
Haknyeon menunduk dan kemudian menjawab dengan pelan, sangat pelan, “ALS.”
“ALS?” tanya Sunwoo bingung karena merasa asing dengan nama penyakit yang disebutkan.
“Singkatnya, itu penyakit sistem syaraf yang menyebabkan hilangnya kontrol otot.”
Oh. Pantesan genggaman Hakkie nggak seerat biasanya. But, it looks like the disease is not that serious, isn’t it?
Sunwoo mengangguk tanda ia paham. “Jadi kamu ke sini untuk berobat?”
Lagi, Haknyeon menunduk. Namun saat ia mengangkat kepalanya, bukannya menjawab, ia malah menatap Sunwoo lekat-lekat dan berkata dengan tegas,
“Nu ... I love you. So much.” Sunwoo tersenyum bahagia penuh cinta.
“I love you too, Hakkie. So much more than you can imagine.” Haknyeon tersenyum sendu.
“Maaf kemarin aku ngelakuin kesalahan, tapi aku sungguh-sungguh waktu aku bilang bahwa cuma ada kamu, bahwa aku cuma pengen kamu aja di hidupku.” Sunwoo mengelus pipi Haknyeon. “So, kita baikan?” tanyanya penuh harap.
Harapannya sirna saat ia lihat Haknyeon menggeleng dengan sedih.
“Kenapa, sayang?”
“Seperti yang aku bilang tadi ... aku sakit, Nu.”
“Dan kamu ke sini untuk berobat, ‘kan?”
Haknyeon menghela napas. “Aku ke sini untuk mengakhiri hidup, Nu ....”
“Hakkie! Kamu nggak boleh ngomong gitu!” Haknyeon meraih satu map di kiri ranjangnya dan memberikannya pada Sunwoo. “Apa ini?”
“Baca aja.”
Sunwoo membuka map itu dan langsung mengumpat begitu membaca judul yang terdapat di atas kertas di dalamnya. Prosedur Euthanasia.
“Apa-apaan ini, Ju Haknyeon?!”
“Nu—”
“Kamu pasti sembuh!”
“Sunu—”
“Pokoknya jangan bilang kamu mau mengakhiri hidup!”
“Sunwoo!” Sunwoo terdiam dan melihat Haknyeon yang menatapnya dengan sendu. “Tolong kamu cari dulu apa itu ALS, sayang,” pintanya pelan.
Walaupun takut dengan apa yang akan diketahuinya, Sunwoo menuruti Haknyeon dan mengambil ponsel dari saku celananya.
Amyotrophic lateral sclerosis (a-my-o-TROE-fik LAT-ur-ul skluh-ROE-sis), or ALS, is a progressive nervous system disease that affects nerve cells in the brain and spinal cord, causing loss of muscle control.
ALS is often called Lou Gehrig's disease, after the baseball player who was diagnosed with it. Doctors usually don't know why ALS occurs. Some cases are inherited.
ALS often begins with muscle twitching and weakness in a limb, or slurred speech. Eventually, ALS affects control of the muscles needed to move, speak, eat and breathe. There is no cure for this fatal disease.
The rate at which ALS progresses can be quite variable, as well. Although the mean survival time with ALS is two to five years, some people live five years, 10 years or even longer.
Symptoms can begin in the muscles that control speech and swallowing or in the hands, arms, legs or feet. Not all people with ALS experience the same symptoms or the same sequences or patterns of progression. However, progressive muscle weakness and paralysis are universally experienced.
*) sumber: mayoclinic.org dan als.org
Sunwoo terdiam. Ia tidak yakin mampu membaca sampai akhir. Ia tidak bisa, saat seseorang yang sangat ia sayang melebihi dirinya sendiri jelas-jelas sedang mengalami seperti apa yang tertulis.
Hakkie emang keliatan lemes banget, kata-katanya juga mulai nggak jelas. Terus nanti dia bakal ngalamin kesulitan menelan? Bernapas? Kayak apa? Kayak kalo orang asma, kah?
Sebuah goyangan kecil dari tangan yang masih digenggamnya membawa Sunwoo kembali ke kenyataan.
“Udah selesai bacanya?”
“Ini ... bohong, ‘kan? Ini prank untuk anniversary kita aja, ‘kan?” pinta Sunwoo memelas, walaupun ia tahu Haknyeon tidak akan sekejam itu untuk mempermainkannya. Orang yang ia kasihi itu tertawa kecil.
“Aku nggak mungkin nge-prank kamu sekejam ini, Sunu.”
Sunwoo menelungkupkan wajahnya di kasur. Tangan kirinya masih menggenggam tangan kanan Haknyeon, sementara tangan kanannya melintang memeluk tubuh pria itu.
“Nggak mau! Ini pasti bohong! Nggak mungkin kamu sakit! Kamu nggak boleh ninggalin aku!” Suara Sunwoo terbekam oleh kasur, sehingga Haknyeon tidak dapat memastikan apakah pria itu menangis atau tidak.
“Sunu ...,” panggilnya pelan. Sunwoo mengangkat wajahnya perlahan dan ya, pria itu menangis.
“Jangan tinggalin aku, Hakkie … jangan pergi, jangan dengan cara ini. Katanya lifespan-nya ‘kan bisa aja sepuluh tahun atau lebih, let’s stay together until the very end!”
Haknyeon memejamkan matanya dengan sedih. Ini yang tidak diinginkannya. Perpisahan seperti ini yang sangat ingin ia hindari. Maka dari itu, beberapa bulan sebelumnya ia meminta Jisoo untuk mengatur sandiwara dengannya. Namun ternyata tidak bisa semudah itu, karena hati kecilnya yang paling dalam tidak dapat dibohongi. Ia menginginkan Sunwoo. Ia membutuhkan Sunwoo.
“Kondisi aku bakal terus menurun, Nu .... Sekarang aja aku udah ke mana-mana pake kursi roda, I can’t even bake my favorite cupcake. Aku harus lebih hati-hati kalo makan atau minum karena aku bakal sering tersedak.” Haknyeon terdiam. “Pada akhirnya nanti aku akan mengalami gangguan pernapasan. Aku harus selalu bergantung sama orang lain—”
“Aku nggak peduli! Kamu bisa bergantung ke aku sampai kapanpun! I will take care of you until forever!”
“Saat aku mulai susah untuk bernapas, aku bisa mendiamkannya sampai aku berhenti bernapas dengan sendirinya, atau aku bisa operasi untuk memasang respirator permanen. Tapi ... itu berarti aku nggak akan bisa ngomong lagi, kamu—atau yang lainnya—nggak bisa denger suara aku lagi. Aku ... aku cuma bakal jadi seonggok tulang dan daging yang nggak bisa apa-apa, yang bisanya cuma ngerepotin orang lain—”
“Hakkie! Jangan ngomong gitu! Aku rela kamu repotin sampai kapanpun!” Sunwoo terisak. “Just please ... please stay with me ....”
“Aku nggak bisa, Sunu … daripada aku ngerasa kalo aku ngerepotin orang lain, lebih baik aku pergi sekarang, disaat aku masih bisa ngomong pake suara aku—walaupun mulai nggak jelas, disaat aku masih bisa bernapas dengan organ tubuhku sendiri.”
“Itu sama aja bunuh diri, sayang ....” Sunwoo tidak tahu lagi harus berkata apa, ia terlalu tidak percaya dan terlalu sedih menghadapi kenyataan itu.
“Terserah apa kata kamu, Nu ... tapi, aku nggak mau ngalamin sakit ini lebih lama lagi. Untuk apa aku lama menderita kalau pada akhirnya penyakit ini nggak bisa disembuhin? You can say that I’m a coward, tapi aku udah nggak sanggup lagi, Nu. Ini juga untuk harga diri aku, aku nggak mau seumur hidup diurus sama orang dan nggak bisa melakukan apa-apa. Aku udah mikirin semua ini dengan matang.”
“Kamu bahkan nggak mau diurus sama aku?” tanya Sunwoo sedih.
“Terutama sama kamu, sayang .... Karena aku tau kamu berhak dapet yang lebih baik dari aku, yang cuma bisa menghitung hari menuju akhir.”
“Kita semua menghitung hari menuju akhir, Hakkie.”
Haknyeon tertawa getir sementara setetes air mata jatuh di pipinya. “Nggak gitu konteksnya, Sunu.”
“Hakkie ... jangan pergi ....” Tangis Sunwoo kembali pecah, kini di pangkuan Haknyeon.
Dengan tangan lemahnya, Haknyeon berusaha mengangkat Sunwoo, memindahkan pria itu agar duduk di sebelahnya di ranjang. Sunwoo menurut dan membawa Haknyeon ke dalam pelukannya.
“Aku nggak bisa mengubah pikiran kamu,” bisiknya pada akhirnya. Haknyeon mengangguk kecil.
“Aku pengen ketemu kamu untuk terakhir kalinya. Aku kangen.” Sunwoo terdiam, namun semakin mengeratkan pelukannya. Danau di depan mereka terlihat begitu indah terkena sinar matahari yang mengintip dari rimbunnya dedaunan, namun Sunwoo tidak dapat menikmati keindahan itu.
“Aku juga kangen sama kamu, sayang. Kangen banget.”
“Kiss me? For the last time?”
“I’ll kiss you a thousand times even if it’s not for the last time.” Sunwoo mengecup ujung hidung Haknyeon setelah mereka masing-masing menarik diri.
“Kamu mau tau sesuatu?” kata Sunwoo pelan saat ia menopangkan pipinya pada kepala Haknyeon saat mereka kembali menikmati pemandangan danau.
“Apa?”
“Aku kira hari ini kita bakal baikan, aku kira hari ini aku bakal bisa pulang bareng sama kamu, makanya ....” Sunwoo merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kotak berlapis beledu. “aku bawa ini buat kamu.”
Haknyeon menerima kotak itu dengan ternganga. “Ini ....”
“Cincin. Aku udah berniat melamar kamu dari jauh-jauh hari, bahkan sebelum hari penuh bencana itu.”
Haknyeon membuka kotak itu dan mendapati sebuah cincin berlapis emas putih di dalamnya. Bukan barang murah, apalagi murahan.
“Ask me then?” pintanya sambil menyodorkan cincin itu ke arah Sunwoo. Pria itu tersedak oleh air matanya.
“Really? Right now?”
“Aku pengen pake cincin itu di alam sana.”
Sunwoo memejamkan mata saat menerima cincin dari tangan Haknyeon. Setelah menarik napas untuk menenangkan diri, ia berucap,
“Ju Haknyeon, cincin ini memang sebuah perhiasan, tapi lebih dari itu, cincin ini adalah bagian dari hatiku, bagian dari jiwaku. Aku memberikannya padamu karena ini bukan dan nggak akan bisa jadi milik orang lain selain kamu.” Sunwoo kembali menghela napas.
“Baby, will you marry me? Will you, the most perfect person I know in my life, the love of my life, marry this imperfect person and spend the rest of your life with me?”
Haknyeon mengangguk dengan air mata yang tidak berhenti mengalir. “Yes, Kim Sunwoo ... I would love to marry you.”
Sunwoo memasangkan cincin itu di jari manis Haknyeon dan memeluknya erat.
“Udah aku lamar gini, kamu masih mau tetep ninggalin aku?” tanyanya sedih. Haknyeon tertawa dengan penuh kerapuhan.
“Maaf, Sunu ... maaf aku egois ....”
“Prosedurnya ... kapan?”
“Today.”
“Are you kidding me, Sir?!” Sunwoo tersentak. “On our anniversary day?! For real, baby?!”
“I’m really sorry, Sunu ... aku egois, aku pengen kamu inget aku terus, inget kita terus, makanya ... maaf, Sunu ....” Haknyeon semakin menangis.
“Sssh ... nggak apa-apa, baby ... nggak apa-apa. Tanpa itu pun aku pasti inget kamu terus. Gimana bisa aku ngelupain kamu?” Sunwoo meluapkan tangisnya di lekukan leher Haknyeon.
“Sunu ...,” panggil Haknyeon saat tangis mereka mereda.
“Ya, sayang?”
“Terima kasih karena telah bersamaku selama ini. Maaf karena aku nggak sempurna, maaf karena akhirnya harus seperti ini.”
“Aku yang harusnya berterima kasih sama kamu karena kamu udah ngebolehin aku masuk ke hidup kamu. In our next life … let’s meet again?”
“Yes ... and fall in love with each other again?”
“Absolutely.” Sunwoo tersenyum sedih. “Would you like to seal it with a kiss?”
Masing-masing sadar bahwa itu mungkin adalah ciuman mereka yang terakhir, sehingga keduanya tidak lagi menahan diri. Mereka mengerahkan semua perasaan mereka dalam ciuman itu. Cinta, sayang, rindu ... putus asa.
“Sunu ... bisa tolong panggil orang tua aku?”
‘I love you’ adalah hal terakhir yang diucapkan Haknyeon pada Sunwoo sebelum ia menutup mata untuk selamanya. Sunwoo kembali menghela napas saat mengingat hal itu.
“Gue udah lama banget sayang sama Hakkie, tapi gue tau banget kalo Hakkie nggak akan pernah bisa ngebales perasaan gue. Waktu pertama kali Hakkie coming out dan nangis di depan gue, I fell into the hardest broken heart, tapi gue nggak bisa ngebenci dia. Jadi, gue berjanji bahwa gue bakal selalu ada untuk dia, untuk selalu ngelindungin dia. Well, Hakkie nggak lemah, gue tau dia bisa jaga diri, tapi ... gue ... gue cuma pengen ada buat dia.”
“I know that feeling.”
“Waktu dia bilang kalo dia pacaran sama lo, sumpah gue benci banget sama lo karena mikir kalo lo udah ngerebut Hakkie dari gue. Not to mention waktu gue tau kalo lo itu bi. Gue mikir kemungkinan lo ninggalin Hakkie karena orang lain pasti lebih besar. Iya, gue berpikiran sempit waktu itu. Sorry,” potong Jisoo saat ia lihat Sunwoo akan melontarkan protes.
“Makanya waktu awal-awal gue pacaran sama Hakkie lo ngintilin terus?” Jisoo tertawa sumbang.
“Iya. Gue nggak mau lo nyakitin Hakkie. Hakkie gue. Tapi ternyata lo sayang banget sama Hakkie. I want to thank you for that.” Wanita itu terdiam sejenak. “Hakkie sempet bingung kenapa gue ngintilin kalian terus, akhirnya dia nanya apa gue suka sama lo. Gue panik, akhirnya gue iyain aja. Gue nggak mau dia tau kalo gue tergila-gila sama dia.”
“Aaah ... jadi itu sebabnya Hakkie selalu ngomong kalo lo suka sama gue?”
Jisoo mengangguk. “Sorry.”
“Never mind.”
Mereka kembali terdiam sambil memandang laut lepas di hadapan mereka.
“Sejak kapan Hakkie sakit?”
“Sekitar satu tahun yang lalu kayaknya. Awalnya cuma tangannya lemes aja, nggak bisa ngangkat barang lebih tinggi dari bahunya. Dia kira cuma kecapekan aja, tapi lama-lama kakinya juga jadi sering kram.”
“Kenapa dia nggak ngasih tau gue, sih?!”
“Dia nggak mau bikin lo khawatir.” Jisoo menghela napas. “Lalu, waktu simptomnya semakin parah, dia terpikir untuk pisah sama lo karena dia nggak mau ngebebanin lo. Kejadian kita kissing itu ... itu sandiwara yang dirancang sama Hakkie.”
“What the heck?! Kenapa?!!”
“Karena gue pernah bilang kalo gue suka sama lo dan lo katanya pernah bilang ke Hakkie kalo lo tertarik sama gue. Dia mau ninggalin, lo tapi dia harus tau bahwa lo nggak akan sendirian.”
Sunwoo memijat pangkal hidungnya dengan lelah. Cintanya itu memang selalu berpikir out of the box.
“Gue nembak Hakkie di sana.” Sunwoo menunjuk sebuah titik di bawah tanjung tempat mereka berdiri.
“And just like Hakkie, dia pengen abunya ditabur di sini. Dasar cowok romantis.” Jisoo menghapus air mata di ujung netranya.
Sunwoo menatap pasu di tangannya. Masih ada sedikit sisa abu kremasi Haknyeon di sana.
“Haruskah kita membaginya jadi dua?”
“Apa? Abunya Hakkie? No, that’s all yours. Lo yang lebih butuh dibanding gue.” Jisoo terdiam. “Gue rasa ... ini saatnya kita pisah?”
“Really? Are we not going to be together like Hakkie’s wish?” goda Sunwoo. Jisoo tertawa.
“No, thanks.”
“Makasih, Jii ... untuk semuanya. Untuk jadi penopang Hakkie disaat gue nggak bisa ada di sebelah dia. Untuk jadi penopang gue disaat Hakkie nggak ada di sebelah gue. I love you.” Sunwoo memeluk Jisoo dengan rasa persaudaraan. Jisoo membalas pelukan itu dengan rasa yang sama.
“I love you too, Sunwoo. Baik-baik, ya.”
“Lo juga.”
“See you when I see you.”
Dengan satu pelukan terakhir, Jisoo pergi dari tanjung itu, meninggalkan Sunwoo dengan pasu di tangannya.
©️aratnish’22
A/N:
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup dengan bantuan medis yang bertujuan untuk mengakhiri penderitaan atas penyakit yang dialami. Swiss adalah salah satu negara yang melegalkan praktik ini.