aratnish

~ I write the story I want to read ~

Bagian 03 dari “Ghost Story”

“Kenapa? Kenapa? Kenapaaa? Kenapa kalian semua malah jadi cerita serem-sereeem?!” rengek Saka di pelukan Hanggara yang mengelus punggungnya pelan.

Tidak ada yang memedulikan Saka. Semuanya terlalu asyik mendengarkan cerita Kenan.

“Itu tuh beneran mata, Nan?” tanya Narendra penasaran.

“Iya! Bulu matanya juga lentik! Nggak habis pikir gue, setan kok bulu matanya bisa lentik gitu.” Kenan menggelengkan kepalanya.

“Kenapa malah kagum, siiih?!!” Saka menutup telinga dengan kedua tangannya.

“Eh tapi jujur, ya ... kamar mandi sama pipis tuh beneran suka membawa cerita serem,” celetuk Elang tiba-tiba.

“Lo juga pernah ngalamin kejadian gitu, Lang?” tanya Sandi setelah menyesap hot lemon teanya.

Elang mengangguk dengan semangat. “Waktu itu tuh kejadiannya waktu ortu gue masih jadi kontraktor.”

“Kontraktor? Bukannya ortu lo dua-duanya akuntan?” tanya Hanggara bingung.

“Maksudnya, rumahnya masih ngontrak sana-sini,” jelas Elang.

“Oooh.”


Elang tidak pernah suka dengan rumah yang ditinggalinya, namun saat ini hanya rumah itulah yang mampu disewa oleh keluarganya saat itu. Jangan salah, rumah itu cukup besar dan memiliki loteng untuk menjemur pakaian dan lahan bagi Elang untuk bermain layangan. Yang tidak Elang suka hanyalah aura dari rumah itu. Mungkin itu efek dari lahan pemakaman umum yang ada di belakang rumahnya.

Elang bukannya penakut, tapi sungguh terkadang atmosfer rumah itu terkadang membuat Elang tidak nyaman. Terutama, mulai dari ruang keluarga ke belakang, yang berarti meliputi kamar tidurnya, kamar mandi, dapur, dan juga tangga menuju ke loteng. Kalau hari mulai gelap, Elang paling malas untuk beranjak ke area itu kecuali kalau tidak amat sangat terpaksa.

* * *
Elang berjalan menuju kamar mandi siang itu dengan perasaan tidak nyaman. Ya, walaupun siang hari, Elang terkadang tetap merasa tidak nyaman di rumah itu. Elang memasuki kamar mandi dan melihat ember berisi rendaman pakaian. Saat itu mesin cuci mereka memang sedang rusak, jadi mbak ART harus mencuci pakaian mereka secara manual.

“Mbak! Elang pake dulu kamar mandinya bentar, ya!” teriak Elang sebagai peringatan supaya ARTnya tidak sekonyong-konyong memasuki kamar mandi.

“Iya, Mas!” balas sang ART dari arah dapur.

Elang melakukan aktivitasnya sambil memandangi ember penuh air dan pakaian di sebelahnya. Pikirannya penuh dengan tugas sekolah yang harus ia selesaikan akhir pekan itu, sampai ….

Sebuah bayangan hitam di ember mengganggu pikiran Elang. Sebuah bentuk setengah lingkaran muncul di seberang bayangan kepalanya di ember.

Bentar … kalo itu bayangan kepala gue, harusnya bayangannya ada di bagian sini, ‘kan? Bukan di bagian sana?

Elang merapikan celananya dan secara perlahan bergerak menghadap ember sepenuhnya.

Bayangan setengah lingkaran itu masih ada dan tidak bergerak sama sekali walaupun Elang mencoba untuk menggoyang ember itu sehingga air di dalamnya bergerak. Perlahan, dengan takut-takut, Elang mengangkat kepalanya, berusaha melihat benda apa di atas sana yang membentuk bayangan itu.

Kosong.

Ruang di antara tembok, yang memisahkan kamar mandi dan toilet, dan langit-langit di hadapannya, kosong. Tidak ada benda apapun yang bisa membentuk bayangan setengah lingkaran.

Elang kembali menatap ember rendaman cucian. Bayangan itu masih ada di tempatnya.

Elang menggosok matanya, berharap bahwa semuanya adalah tipuan yang mata lelahnya lakukan padanya.

Bayangan itu masih ada di sana.

Elang menyerah. Ia berlari keluar dari kamar mandi.[]


©️aratnish’22

Bagian 02 dari “Ghost Story”

“AAA!!!” Saka berteriak, sambil memeluk Hanggara yang duduk di sebelahnya, setelah Yeremia selesai bercerita.

“Jadi sebenernya kakek lo mau ngasih tau apa?” tanya Rizqi bersemangat.

“Jangan diterusiiin!” Kini Saka menutup telinganya.

“Nggak tau deh, ‘kan gue udah keburu bangun.”

“Kamu memang punya sixth sense gitu, Yer?” tanya Jodi tenang, walaupun duduknya sudah mulai mendekat ke arah Sandi.

“Enggak juga sih. Mungkin kakek nenek negur gue gara-gara gue ketiduran waktu doa malem.”

“Tapi ya, ngomong-ngomong soal sixth sense, gue juga kayaknya ada pengalaman kayak gitu,” cetus Kenan tiba-tiba.

“Gimana? Gimana? Gimana?” tanya Rizqi (tetap) penuh semangat.

“Ini kenapa malah pada cerita serem gini sih?” rengek Saka kesal.

“Biarin dong, Ka … namanya juga Halloween, masa kumpul-kumpul nggak ada cerita seremnya?” jawab Henry sambil tertawa geli.

“Kapan tuh kejadiannya, Nan?” tanya Joshua.

“Waktu gue masih SD. Hmm … sekitar kelas lima kalo nggak salah.”


Kenan kecil paling tidak suka pergi ke toilet sekolah sendirian. Bukannya Kenan penakut, tapi toilet sekolahnya memberi kesan aneh dan membuat perut Kenan melilit serta dadanya berdebar kencang jika ia ke sana seorang diri. Itulah sebabnya Kenan selalu menghindari izin ke toilet di tengah jam pelajaran.

“Lo kayak cewek ih, ke toilet aja harus rame-ramean,” goda Toni, temannya, suatu hari.

“Toiletnya nggak seru, Ton!” sergah Kenan sambil sedikit bergidik.

“Kalo seru sih namanya pasar malem!” gelak Toni. Kenan tidak memedulikan godaan temannya itu. Pokoknya, Kenan bertekad tidak akan pergi ke toilet sekolah seorang diri.

* * *
Tekad Kenan goyah siang itu.

Suatu hari di kelas 5 SD, Kenan tidak mampu menahan hasratnya untuk buang air kecil walaupun sebenarnya bel pulang akan berdering tidak lama lagi.

Duuuh ... gimana dong, nih? Kebelet pipis bangeeet!

Kenan bergerak-gerak dengan gelisah di tempat duduknya. Kakinya pun bergerak-gerak untuk mengurangi keinginannya.

“Lo kenapa, sih?” desis Toni di sebelahnya.

“Kebelet pipiiis!”

“Ya pipis lah sana! Daripada nanti jadi penyakit!”

“Males ke toilet sendiriaaan,” rengek Kenan yang membuat Toni memutar bola matanya dengan malas.

“Mau gue temenin?” Kenan tampak berpikir.

“Bakal jadi aneh nggak, sih? Mana kita sebangku, nanti dikiranya mau bolos.”

“Bolos apaan di setengah jam sebelom pulang?!” Kenan mengerucutkan bibirnya. “Udah cepetan, mau gue anterin, nggak?”

“Nggak usah deh, gue tahan aja.”

“Kalo lo kena ISK jangan salahin gue loh, ya!”

* * *
Lima menit kemudian ….

“Nggak tahan! Pengen pipis!”

“Ya udah sana pipiiis!!”

Sebelum Toni menyelesaikan perintah bernada kesalnya, Kenan sudah berdiri dan berjalan menuju sang guru untuk meminta izin. Biasanya, guru tidak akan membiarkan muridnya untuk izin ke belakang di setengah jam menuju bel pulang, namun sepertinya wajah memelas Kenan meluluhkan hati sang guru.

Setengah berlari, Kenan menuju toilet yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan area kelasnya. Kenan dengan segera menuju pintu masuk area toilet dan berjalan dengan mantap menuju bilik yang terletak di tengah. Entah kenapa Kenan selalu menggunakan bilik itu. Entah kenapa Kenan merasa tidak nyaman untuk menggunakan bilik lain.

Entah kenapa ....

Kenan kini menatap sebuah mata yang sangat besar di bilik itu.

Mata berwarna merah dan memenuhi bilik berukuran 1,5 x 1,5 meter itu.

Mata besar itu menatap Kenan yang mematung, kemudian perlahan berkedip.

Kenan ingin kabur. Sungguh. Ia bahkan sudah kehilangan keinginannya untuk buang air kecil. Tapi, kaki kecil Kenan tidak mau diajak kompromi, membuat anak laki-laki itu berdiri kaku di depan fenomena yang ia tidak tahu apa namanya.

Hingga ….

* * *
“Nan! Heh! Udah belom pipisnya? Kok malah bengong aja?”

Suara Toni menyadarkan Kenan dan ia langsung berbalik ke arah sahabatnya.

“TON! ITU!” Kenan berseru dan menunjuk bilik tempat mata besar itu berada.

“Apaan?”

“ADA MATA!!! GEDE BANGEEET!!!”

“Mata apaan dah? Mata angin?”

“IT—” Kenan terdiam saat bilik yang ditunjuknya kosong.

Tidak ada mata besar.

Tidak ada mata merah.

Tidak ada mata yang berkedip pelan menatapnya.

“Ngelindur, lo?”

“Enggak!! Beneran tadi tuh ada mata gedeee banget di situ ngeliatin gue!”

“Ya. Ya. Ya. Jadi, udah selesai belom lo pipisnya? Gue disuruh Bu Irene nyari lo, soalnya lo kelamaan ke toiletnya, takutnya kenapa-kenapa.” Toni mengoceh tanpa memedulikan wajah Kenan yang pucat pasi.

“Ton—”

“Lo masih mau pipis, nggak? Gue tungguin. Cepetan.”

Seketika Kenan kembali merasakan keinginannya untuk buang air kecil dan ia pun segera menuju bilik yang paling dekat dengan pintu masuk.

“Eh? Nan?”

“Apaan?”

“Tumbenan nggak di tengah?” Kenan sedikit bergidik membayangkan mata besar yang sebelumnya berada di sana.

“Enggak. Mau ganti suasana.” Dan Toni hanya mendengus mendengar jawaban aneh Kenan itu.

Sejak saat itu, Kenan benar-benar tidak pernah pergi ke toilet seorang diri, baik di sekolah, sampai saat ia kerja saat ini. Ia lebih baik mengantri untuk menggunakan toilet daripada harus pergi seorang diri.[]


Begini kira-kira denah area kamar mandi sekolah Kenan. Kotak bertanda bintang adalah bilik tempat Kenan melihat mata merah besar.

denah


©️aratnish’22

Bagian 01 dari “Ghost Story”

“Lah katanya lo nggak bisa ikutan?” tanya Saka pada Harsya yang datang terakhir ke kafe tempat mereka akhirnya berkumpul Senin malam itu.

Yang ditanya hanya tersenyum cuek sambil mengambil posisi duduk di sebelah Rizqi. Cool seperti biasa.

“Lo mau pesen apa?” tanya Elang sambil menyodorkan menu kepada Harsya.

“Yang lain udah pada pesen?” Harsya bertanya sambil mulai membaca menu di hadapannya.

“Kok suara lo aneh gitu?” Narendra mengernyit bingung saat mendengar suara Harsya yang serak.

“Kurang tidur gue, jadi gini.” Harsya berdeham untuk sedikit ‘memperbaiki’ suaranya.

“Ngomong-ngomong soal kurang tidur, tadi malem gue juga kurang tidur,” cetus Yeremia setelah mereka semua memberikan pesanan mereka kepada pramusaji.

“Kenapa? Banyak kerjaan? Lembur?” Joshua menanggapi.

Yeremia menggeleng. “Bukan. Gue kayak mimpi tapi nggak mimpi gitu waktu subuh-subuh.”

“Eh? Mimpi gimana?” sambung Rizqi antusias.

“Tunggu! Ini bukan cerita serem, ‘kan?!” Saka menyela sambil mengerucutkan bibirnya.

“Nggak sih. Nggak terlalu. Mungkin?”


“Remi, kamu tidak akan tidur, Nak?” tanya ibunya pada pukul sebelas malam.

“Iya, Ma … nanggung sebentar lagi.” Yeremia tetap memfokuskan pandangannya pada desain flyover yang sedang dihitungnya di laptop.

“Mama tidur duluan, ya?”

“Iya, Ma.”

“Jangan lupa berdoa sebelum tidur!”

Yeremia memutar bola mata tanpa diketahui oleh sang ibu. “Iya, Mama.”

Ada alasan lain selain pekerjaan sehingga Yeremia tidur lebih lambat dari ibunya. Yeremia adalah anak satu-satunya dan sang ayah bekerja di luar pulau, sehingga praktis peran sebagai penjaga jatuh kepada Yeremia sedari laki-laki itu kecil. Dan malam ini, sama seperti malam-malam yang telah lalu, Yeremia hanya ingin memastikan bahwa keadaan rumah dan sekitarnya aman sebelum ia pergi tidur.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari saat Yeremia merasa matanya sudah tidak bisa diajak kompromi. Sambil menguap lebar, ia mematikan laptopnya. Yeremia mengelilingi rumahnya untuk memastikan bahwa semua pintu dan jendela sudah terkunci, memastikan bahwa tidak ada listrik yang masih digunakan, memastikan bahwa kompor sudah dimatikan. Setelah yakin bahwa semuanya aman, pria muda itu pun melakukan ritualnya sebelum tidur.

Yeremia mengembuskan napas puas saat ia sudah berhasil merebahkan diri di ranjang. Sesaat sebelum terlelap, Yeremia teringat kata-kata ibunya untuk tidak lupa berdoa sebelum tidur. Maka, dengan kelopak mata yang sudah sangat berat, Yeremia memulai doa sebelum tidurnya.

Ia tidak pernah tahu kapan ia menyelesaikan doa malam itu.

* * *
Yeremia berada di dalam mobil, di kursi penumpang, bersama ibunya. Walaupun ia sudah fasih mengendarai mobil, namun sang ibu terkadang masih enggan untuk ‘disupiri’ oleh putranya itu. Seperti hari itu.

Terkadang Yeremia merasa tidak enak karena ibunya masih mengemudi saat mereka bepergian, namun kali itu ia merasa agak tertolong karena ada beberapa email pekerjaan yang harus diperiksa dan dibalasnya. Mobil itu diliputi keheningan, hanya suara lagu dari radio mobil yang berkumandang dan suara Yeremia atau ibunya yang sesekali bersenandung pelan.

Tiba-tiba ponsel Yeremia berdering. Nama nenek dari pihak sang ayah terpampang pada caller ID.

“Ma, Nenek telpon nih.”

“Ya dijawab dong, Re. Mama ‘kan lagi nyupir.”

Yeremia mengangguk. “Tumben Nenek telpon. Ada apa, ya? Halo, Nek?”

“Yeremia! Apa kabar, Nak?”

“Eh? Lho? Kok Kakek?” tanya Yeremia bingung sambil melihat layar ponselnya. Di sebelahnya, ibunya tertawa kecil.

“Remi nggak kangen sama Kakek, ya?” rajuk sang kakek.

Yeremia terkekeh kecil. “Kangen kok. Kakek apa kabar?”

“Kabar baik. Kamu apa kabar? Gimana kuliahnya?” Di belakang suara kakeknya, Yeremia bisa mendengar suara sang nenek yang meminta kakek supaya tidak basa-basi.

“Kek, Remi ‘kan udah lulus kuliah dari dua tahun lalu, sekarang Remi udah kerja.”

“Ah masa?! Kok cepet banget?!” Yeremia tergelak.

“Ya masa Remi kecil terus?” Lagi-lagi Yeremia mendengar sang nenek mendesak kakeknya untuk berbicara to the point.

“Iya. Iya. Sebentar, dong.” Yeremia dengar kakeknya menjawab. “Mamamu apa kabar, Nak?”

“Kabar baik, Kek. Masih gagah perkasa.”

“Kakek! Cepet dong anaknya dikasih tau! Keburu abis waktunya!” Yeremia mengernyit heran saat mendengar ucapan neneknya di antara suara tawa yang terdengar.

“Iya! Iya! Jadi gini, Nak ….”

* * *
Yeremia bergerak dalam tidurnya dan sedikit membuka mata. Sedetik kemudian, mata kantuknya langsung membelalak sempurna dan tubuhnya langsung kaku saat ia lihat apa yang ada di tembok di depan wajahnya.

Wajah kakeknya.

Hanya berjarak kurang dari sepuluh sentimeter.

Hanya wajahnya.

Dan ….

Shit! Shit! Shit! Kakek nenek gue ‘kan udah lama meninggal![]


©️aratnish’22

“Kenapa sih harus nginep?” tanya Haknyeon dengan lelah kepada laki-laki di depannya. Itu adalah hari Jumat ke-sekian dimana ia dan pacarnya berselisih paham tentang apa yang harus mereka lakukan untuk mengisi weekend mereka.

“Kamu nggak mau quality time sama aku?!”

Quality time lagi, quality time lagi. Emangnya quality time itu harus nginep di hotel bintang lima?!

“Bukannya gitu, tapi ‘kan quality time nggak harus nginep, apalagi di hotel berbintang.”

“Hotel itu ‘kan masih salah satu hotel di group keluarga kamu, pasti bisa dong dapet potongan harga, atau gratis sekalian.”

“Ya nggak bisa gitu juga, dong. Lagian, kenapa sih kita quality time-nya nggak bisa jalan-jalan biasa aja? Ke café gitu, atau nonton?”

“Pacaran sama lo itu kayak pacaran sama anak SD! Paling jauh cuma cium pipi doang! Lo pikir kita umur berapa, sih?!” Laki-laki di depan Haknyeon berdecih kesal. “Ngedatenya ke perpustakaan, makan di pujasera atau warung tenda. Apaan banget sih, Haknyeon?! Ngeliat latar belakang keluarga lo, setidaknya gue berharap kalo kita bakal ngedate di hotel bintang lima atau restoran mewah! Nggak taunya ... cih!”

Haknyeon memejamkan matanya, menahan amarah. Gue nggak bawa lo ke sana karena emang gue udah feeling lo cuma ngincer duit gue aja.

“Percuma gue ngedeketin lo. Asal lo tau ya, gue ngedeketin lo cuma karena body sama duit lo aja. Selebihnya, lo nggak ada apa-apanya di mata gue. Worthless.”

“Udah?” tanya Haknyeon tetap sambil menutup mata. Saat ia tidak mendengar jawaban apapun dari sosok di depannya, Haknyeon melayangkan tangan kanannya untuk menampar lelaki berengsek itu.

* * *
Sunwoo memasukkan laptopnya setelah kuliah Geologi Struktur sore itu selesai.

“Woo! Mau ikut nongkrong di rumahnya Felix, nggak? Katanya dia punya game baru,” ajak Hyunjin yang sudah sampai di pintu kelas. Sunwoo mengangkat wajahnya dan menggeleng.

Pass. Gue ada jadwal futsal sama Hwall dan Eric.”

Hyunjin terlihat mengingat-ingat. “Oh iya. Sekarang hari Jumat, ya?”

Sunwoo mengangguk. “Oke. Have fun, ya!” Dengan satu lambaian tangan, Hyunjin keluar dari ruang kelas mereka.

“Simpenin browniesnya!” seru Sunwoo.

You wish!” balas Hyunjin sambil tertawa.

“Sialan,” gumam Sunwoo geli sambil lanjut membereskan barang-barangnya. Sambil sesekali bersenandung pelan, Sunwoo melangkahkan kaki menuju gedung futsal tempat Hwall dan Eric sudah menunggunya.

Itu cowok ngapain dah berdiri sambil merem gitu? Ketiduran? pikir Sunwoo dalam hati saat ia melihat seorang laki-laki berdiri di depan gedung futsal. Mengedikkan bahu tanda tidak terlalu peduli, Sunwoo berjalan di depan lelaki itu, tepat pada saat lelaki yang memejamkan matanya itu melayangkan tangan kanannya dan ....

* * *
PLAAAK!!!

WHAT THE HECK?! Apa-apaan, lo?!” maki Sunwoo terkejut sambil memegang pipi kirinya yang terkena tamparan.

“Ya lo ngapain di depan gue?!” maki Haknyeon balik.

“Ya gue cuma lewat! Emang gue ngapain lagi?!”

Haknyeon mengedarkan pandangannya dan melihat bahwa pacar— mantan pacarnya sudah berjalan jauh meninggalkannya.

Sorry. Nggak sengaja. Itu tamparan bukan buat lo.” Haknyeon meminta maaf kepada Sunwoo yang masih terpana. “Tapi tetep aja lo salah karena udah lewat di depan gue,” lanjut Haknyeon sebelum melangkah pergi, meninggalkan Sunwoo yang kini sedikit membuka mulutnya karena bingung.

“Merah amat pipi lo. Kenapa?” tanya Hwall saat Sunwoo mendekati kedua temannya semasa SMA itu.

“Ditampar orang nggak jelas,” jelas Sunwoo sambil menggerutu.

“Lo apain anak orang?” timbrung Eric geli.

“Nggak gue apa-apain, ya ampun! Gue cuma lewat di depan dia, terus tiba-tiba dia nampar gue. Mana dia nyalahin gue karena lewat di depannya, lagi! Aneh banget tuh orang!”

Hwall dan Eric tertawa geli sebelum Hwall memberikan sebotol air mineral dingin ke arah lelaki yang masih menggerutu itu.

“Nih dikompres dulu pake ini biar nggak makin merah.”

Thanks.”

* * *
Jumat sore minggu berikutnya, Sunwoo agak berlari menuju gedung futsal.

Sialan si Bomin! Ngapain sih nanya-nanyanya harus di akhir kuliah? ‘Kan jadi makin lama selesainya! rutuk Sunwoo dalam hati sambil terus berlari tanpa melihat sekelilingnya. Terus berlari sampai ia tidak memperhatikan sesosok lelaki yang berdiri di depan pintu gedung.

“Hei!” panggil sosok itu saat Sunwoo hanya berlari melewatinya. Sunwoo berhenti dan menoleh ke arah laki-laki itu. Ia menoleh ke kiri dan kanan sebelum menunjuk dirinya sendiri.

“Gue?”

“Iya,” jawab Haknyeon sambil mengangguk dengan mimik serius.

“Ada apa?”

Sorry.”

“Hah?”

“Minggu kemaren.”

“Minggu kemaren? Ada apa?” tanya Sunwoo semakin bingung. Ini anak ngomong apa sih? Gue udah telat banget nih.

“Gue nampar lo? Di sana?” Haknyeon menunjuk ke titik di mana mereka bertemu minggu lalu. Sunwoo mengikuti arah yang ditunjuk Haknyeon, berpikir sejenak, kemudian teringat.

“Oh! Iya, iya, gue inget.”

Sorry,” ulang Haknyeon pelan.

It’s okay, nggak fatal juga, kok.”

“Tapi gue nggak enak, sumpah! Mana gue sempet nyalahin lo juga. Maaf banget, gue nggak mikir panjang kemaren.”

“Hei, hei, seriusan nggak apa-apa, kok. Gue bukannya jadi gegar otak juga karena ditampar sama lo,” jawab Sunwoo geli.

“Gue traktir, ya?”

“Astaga! Nggak usah!”

“Tapi gue nggak enak!”

“Nggak apa-apa, beneran!”

“Gue beliin minuman, ya? Makanan? Atau gue bawain barang-barang lo ke dalem?”

“Nggak apa-apaaa!” Sunwoo mulai agak putus asa menolak Haknyeon dan semakin gelisah karena ia semakin terlambat.

“Tapi—”

“Kalo lo terus maksa, gini aja deh. Gue sekarang ada latian futsal, tapi gue lupa nggak bawa minum. Lo beliin gue air mineral aja gimana?”

“Bener cuma itu aja cukup?” Haknyeon memicingkan matanya dengan curiga.

“Iya. Cukup banget.”

“Oke. Kalo gitu gue beli minum dulu,” sahut Haknyeon setelah terdiam sesaat. Sunwoo mengangguk dan berbalik ke arah pintu.

“Haknyeon.”

“Hah? Gimana?” tanya Sunwoo bingung sambil kembali berbalik.

“Nama gue Haknyeon.”

“Oh. Gue Sunwoo.”

Haknyeon mengangguk dan berbalik untuk pergi membeli air mineral.

Anak aneh.

* * *
“KIM SUNWOO!!!” Teriakan Eric mengganggu indera pendengarannya saat ia sedang berbaring di pinggir lapang untuk mengambil napas.

“Apaan sih, Ric?” balasnya lesu.

“Sejak kapan lo kenal sama dia?!!!” desak Eric sambil berusaha menarik Sunwoo ke posisi duduk.

“Siapa?”

“Ju Haknyeon,” jawab Hwall yang datang kemudian.

“Siapa?”

“Ituuu!” Eric menunjuk ke sisi lapang yang kini lumayan ramai.

“Oh. Haknyeon.”

“KENAL DARI KAPAAAN?!!”

“Baru tadi.”

“BOHONG! Kok bisa dia langsung bawain lo minum?!”

“Dia orang yang nampar gue minggu lalu, trus dia mau minta maaf gitu.” Sunwoo berdiri. “Emangnya kenapa sih? Dia artis?”

“Lo ga tau dia?” tanya Hwall penawaran. Sunwoo menggeleng. “Dia tuh primadona dari jurusan Arsitektur. Cakep, pinter, kaya lagi.”

Sunwoo mengangkat sebelah alis tebalnya. “Oh,” komentarnya singkat sebelum beranjak mendekati tempat Haknyeon menunggunya.

“Beneran ini aja cukup?” tanya Haknyeon sambil menyodorkan plastik belanjaan ke tangan Sunwoo. Laki-laki itu mengintip isi plastik itu sebelum tertawa kecil.

“Ini lebih dari cukup. Gue ‘kan tadi cuma minta air mineral aja, ini lo sampe beliin jus, ada cemilan juga.”

“Kasirnya nggak punya kembalian tadi,” jawab Haknyeon santai. Sunwoo mengangguk-angguk sambil mengambil botol air mineral dari dalam plastik.

Thanks.” Haknyeon mengangguk.

“Kalo gitu gue pergi dulu.”

“Oke.”

Tanpa berkata apapun lagi, Haknyeon berbalik dan keluar dari gedung futsal itu.

* * *
“Terus kenapa sekarang kita ada di sini?” tanya Sunwoo pada Haknyeon yang duduk di hadapannya di coffee shop yang baru dibuka itu.

“Karena gue mau ‘nraktir lo untuk minta maaf.”

Sunwoo menghela napas lelah. “Haknyeon, kejadian itu tuh udah hampir tiga bulan yang lalu, kenapa lo masih terus minta maaf, sih?”

“Hehehe.” Haknyeon tertawa kecil.

Don’t ‘hehehe’ me!”

“Ya ... lo asik aja sih Woo diajak jalan sama ngobrol. Seru aja hangout sama lo.”

“Lo nggak punya temen lain emangnya?”

“Punya lah, tapi once in a while pengen juga hangout sama yang di luar circle jurusan.” Haknyeon menjelaskan sementara Sunwoo menggeleng kecil sambil memainkan es di dalam gelas caramel lattenya.

“Eh! Eh! Eh! Ada Hwiyoung!” bisik Haknyeon heboh sambil memukul-mukul pelan tangan Sunwoo.

“Hm? Siapa itu?”

“Anak jurusan gue.”

“Nggak tau.”

“Iya tau, makanya gue ngasih tau.”

“Buat apa?”

“Nggak tau, pengen ngasih tau aja.”

Sunwoo menarik napas dengan penuh kesabaran. Aneh. Anak ini super duper aneh.

“Lo suka sama si Hwiyoung ini?”

Seketika wajah Haknyeon memerah. “Dikit,” jawabnya pelan.

Sunwoo menggeleng geli. “Kalo lo suka sama dia, lo harusnya ngajakin dia hangout, bukan ngajakin gue.”

“Gue awkward kalo sama dia.”

“Ya makanya ajak jalan, ngobrol-ngobrol, membiasakan diri biar nggak awkward.”

Haknyeon memajukan bibirnya sambil mengangkat bahu dengan mimik tidak peduli.

* * *
“Terus ini nonton juga sebagai permintaan maaf?” tanya Sunwoo saat ia sudah sampai di hadapan Haknyeon, yang menunggunya di bioskop, beberapa minggu kemudian. Haknyeon menatap Sunwoo sambil bergerak-gerak gelisah.

“Kenapa?”

“Woo ... bantuin gue ...,” kata Haknyeon memelas.

“Bantuin apaan?”

“Kemaren tuh ‘kan Hwiyoung ngajakin nonton, tapi ‘kan lo tau sendiri ya kalo gue nervous banget kalo ngobrol sama dia? Gue susah ngomong gitu, deg-degan banget bawaannya, mau ngomong lidah rasanya berat, napas—”

“Iya, iya. Lo diajak nonton sama Hwiyoung, terus?” potong Sunwoo tidak sabar.

“Gue ... gue deg-degan.”

“Hm.”

“Terus gue bilang kalo gue udah ada acara.”

“Oke.”

“Dia tanya ada acara apa.”

“Ya.”

“Terus gue bilang gue udah janji mau nonton sama lo.”

“O— HAH?! Lo bilang apa?!”

“Gue bilang udah janji mau nonton sama lo.” Sunwoo menepuk dahinya dengan mimik lelah. “Terus dia akhirnya nanya boleh nggak dia ikut nonton ... terus gue jawab boleh ....” Haknyeon menunduk untuk memainkan jemari tangannya. Sunwoo memejamkan mata dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri.

“Jadi, singkat cerita, sekarang kita bakal nonton bertiga sama Hwiyoung ini?”

“Iya ....”

“Gue pulang aja lah, ya? Gue males jadi obat nyamuk.”

“Woo! Jangan! Temenin gue, please. Gue beneran awkward kalo cuma berdua aja sama dia!” tahan Haknyeon sambil menarik lengan Sunwoo.

“Ta—”

“Haknyeon.” Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara Hwiyoung.

“Hwii. Kenalin, ini Sunwoo, anak pertambangan. Woo, kenalin ini Hwiyoung, temen sekelas gue.” Kedua laki-laki itu bersalaman untuk berkenalan.

Today will be a long and awkward day, pikir Sunwoo sambil menepuk-nepuk tangan dingin Haknyeon yang melingkar erat di lengannya.

* * *
Sejak mereka menonton bertiga saat itu, perlahan Haknyeon dan Hwiyoung semakin dekat, tidak jarang mereka hangout bertiga dan terlihat Haknyeon semakin nyaman berada di sekitar Hwiyoung.

Ini seriusan gue jadi kayak obat nyamuk, deh. Sunwoo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal saat melihat Haknyeon dan Hwiyoung meninggalkan meja mereka untuk memesan minuman. Sunwoo tersenyum geli saat mengingat ‘sejarah’ perkenalannya dengan Haknyeon hampir satu tahun yang lalu. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan merasa nyaman untuk berteman dengan Haknyeon yang sebelumnya ia nilai sebagai orang aneh.

Haknyeon meletakkan segelas jus semangka di depan Sunwoo.

“Esnya sedikit, ‘kan?”

“Mhm. Thanks, gue tadi lupa ngomong.”

“Ke coffee shop kok minumnya jus?” tanya Hwiyoung geli.

“Dia besok ada tanding futsal, kalo minum kopi nanti dia nggak bisa tidur, terus besoknya dateng kesiangan ke lapangan, terus dimarahin Eric deh,” gelak Haknyeon, menjawab untuk Sunwoo. Laki-laki yang duduk di sebelahnya itu hampir tersedak.

Aduh anjir. Jantung gue pindah ke perut. Kok nih anak udah hapal aja gitu kebiasaan gue?

“Oh,” jawab Hwiyoung canggung.

You know what? Lo udah nggak awkward kalo ada di deket Hwiyoung. Hayo ... lo udah mulai pacaran sama dia, yaa? Kok nggak ngasih tau gue?” goda Sunwoo saat Hwiyoung pamit terlebih dulu karena ada kerja kelompok. Wajah Haknyeon bersemu merah.

“Apaan sih?! Gue nggak pacaran sama dia! Gue cuma seneng temenan sama dia, dia enak diajak diskusi,” elak Haknyeon.

“Terus ngapain dong lo selalu deket-deket dia atau caper ke dia? Suka ‘kaaan?” goda Sunwoo lagi. Kok ada yang ‘nyuuut’ ya rasanya?

“Enggak ih, Sunwoo!”

“Suka juga nggak apa-apa, ‘kan? Pacaran juga nggak apa-apa. Tapi gue mau request satu hal, boleh?”

“Lo ngelantur, tapi gue penasaran lo mau request apa.”

“Kalo kalian mau putus nanti, kasih tau gue tempatnya biar gue nggak lewat situ dan kena tampar lo lagi.”

“GUE NGGAK PACARAAAN!!!”

* * *
“Lo beneran nggak apa-apa pulang sendiri, Hak?” tanya San saat melihat Haknyeon membereskan laptop dan diktatnya. Yang ditanya hanya mengangguk.

“Ini udah hampir tengah malem, lho. Mana mobil lo juga lagi di bengkel,” timbrung Subin.

“Nggak apa-apa, gue udah minta dijemput kok, tapi emang supir gue nunggu di jalan gede, soalnya kalo masuk sini ‘kan susah lagi nanti muternya.”

“Iya deh, maaf kos-kosan gue tempatnya nggak bisa buat mobil bagus masuk,” goda San.

“San! Ih! Bukan gitu maksudnya!” San dan Subin tertawa.

“Iya, iya, ngerti. Ya udah gue anterin ke depan.”

“Nggak usah, gue bisa sendiri, kok. Lo sama Subin beresin aja ini maketnya, jangan sampe besok jadi berantakan, lo tau sendiri Subin kalo tidur lasak.”

“Mulut, ya!” Haknyeon tergelak.

“Gue duluan, ya! Sampe besok!” pamit Haknyeon setelah melihat pesan teks di ponselnya.

“Yo!”

“Ati-ati, Hak! Lampu gangnya ada yang mati, jadi pasti bakal gelap banget.” Haknyeon hanya menanggapi peringatan San dengan acungan jempol.

Angin dingin menyapa Haknyeon saat ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah kos San.

Sepi yaaa ... serem juga, tau gitu gue minta tolong San atau Subin nganterin gue, batin Haknyeon sambil merapatkan jaketnya.

Ini jalan ke depan kok jaraknya jauh banget ya perasaan?

Tiba-tiba Haknyeon merasa ada yang mengikutinya dari belakang.

O-ow.

Haknyeon mempercepat langkahnya dan ia mendengar bahwa langkah kaki orang yang mengikutinya juga bertambah cepat. Haknyeon kini sedikit berlari dan karena suasana yang cukup gelap, ia tidak melihat bahwa ada lubang di depannya, yang membuat Haknyeon jatuh tersungkur. Orang yang mengikutinya meraih lengan Haknyeon saat laki-laki itu berusaha untuk bangkit.

“AAA! Pergi! Pergi! Pergi!” Haknyeon berteriak sambil berusaha berdiri dan menjauhkan diri dari orang yang memegangnya.

“Eh! Tunggu! Jangan teriak!”

“AAA!!!” Haknyeon memukul-mukul orang itu dan melayangkan beberapa tamparan.

“Hak! Astaga! Bentar dulu! Berhenti dulu!”

“Nggak maaauuu!!! Eh? Dia barusan manggil nama gue?

“Haknyeon! Astaga! Ini gue, Sunwoo!”

“Bohooong! Sunwoo rumahnya nggak di deket siniii!” Satu tamparan telak mengenai pipi Sunwoo.

“Astaga, gue ditampar lagi. Ju Haknyeon!”

“Nggak tau! Gue bukan Ju Haknyeon! AAA!” Tamparan lainnya mengenai pipi Sunwoo walaupun tidak setelak sebelumnya.

“Ini anak, yaaa! HEH!” Kedua tangan orang itu kini memegang kedua sisi wajah Haknyeon dan memaksa untuk menatapnya. “Buka dulu matanya!”

Haknyeon membuka matanya perlahan dan setelah beberapa kali berkedip, matanya mulai menyesuaikan dengan pencahayaan sekitarnya, sehingga ia bisa melihat Sunwoo sedang berjongkok di depannya.

“Huwaaa Sunwoo! Gue kira lo orang jahaaat!” rengek Haknyeon sambil serta merta memeluk Sunwoo.

“Makanya dengerin dulu kalo orang ngomong! Pake nampar, lagi!”

“Ya lagian lo bukannya manggil, malah ngikutin doang, ‘kan bikin takut!”

Sunwoo membantu Haknyeon untuk berdiri dan membersihkan celana dan bajunya.

“Lo ngapain di sini jam segini?” tanya Sunwoo sambil memapah Haknyeon yang ternyata kakinya terkilir.

“Baru selesai kerja kelompok di kosannya San. Lo sendiri ngapain? Rumah lo nggak di daerah sini, ‘kan?”

“Abis ngegame di rumah Hwall. Pelan-pelan jalannya. Atau mau gue gendong aja?”

“NGGAK!”

“Sampe rumah dikompres.”

“Iya.”

“Kenapa lo nggak minta tolong cowok lo nganterin, sih? Bahaya tau pulang sendiri jam segini. Kalo ada orang jahat, gimana?”

“Udah gue bilang, gue sama Hwiyoung nggak pacaran!!” sergah Haknyeon kesal.

Sunwoo terdiam sejenak. Kemudian ....

“Kalo gitu ayo kita pacaran.”

Haknyeon berhenti berjalan dan menatap Sunwoo yang melihatnya dengan tenang (walaupun hatinya tidak setenang tampilannya).

“Ya udah,” jawabnya akhirnya sambil mulai kembali berjalan.

“Ya udah apa?”

“Ya udah ayo kita pacaran.” Terima kasih kepada gang yang gelap, baik Sunwoo maupun Haknyeon tidak melihat rona merah di pipi lawan bicaranya.

Sunwoo kembali terdiam.

“Oke.”

— fin —


©️aratnish'22


warnings: major character death, terminal illness, euthanasia, mentioned suicide, bisexual major character, angst

Sunwoo sudah menduga bahwa berakhirnya hubungannya dengan Haknyeon tidak akan mudah, namun ia tidak menyangka bahwa akan seberat ini. Pria itu mengembuskan napasnya dengan berat. Memejamkan mata, ia berusaha mengusir sesak yang bersarang di dadanya semenjak perpisahan mereka.

Aroma parfum memasuki indera penciumannya. Aroma parfum dari wanita yang selama beberapa bulan terakhir dekat dengannya, menjadi pelipur lara dan tempat curahan hatinya yang patah pasca putus dengan Haknyeon.

Ia berbalik.

Benar saja, wanita itu berjalan mendekatinya.

Eun Jisoo.

“Lo tau,” tuduh Sunwoo tanpa tedeng aling-aling, bahkan pada saat Jisoo masih berjarak beberapa langkah jauhnya. Wanita itu mengangkat sebelah alis indahnya dengan tatapan geli.

“Tau apa?” balasnya saat sudah berhadapan dengan Sunwoo.

“Lo tau apa maksud gue, Jii!” sergah Sunwoo tidak sabar.

“Tau bahwa semuanya itu rencana dan akal-akalan Hakkie? Iya, gue tau. Tau bahwa semuanya bakal kayak gini? Enggak, gue nggak tau.”

Sesaat keduanya terdiam, bersisian menatap laut lepas dari tanjung di mana mereka berdiri, menikmati embusan angin yang membelai wajah, seolah menghibur mereka.

I miss Hakkie,” bisik Jisoo dengan nada penuh kerinduan. Pria di sebelahnya mengangguk.

You miss your childhood friend, I miss the love of my life,” balas Sunwoo tidak kalah pelan.

Jisoo tidak menjawab, namun perlahan ia menatap Sunwoo. Hanya menatap, tidak mengatakan apapun, namun ekspresinya mengatakan bahwa saat itu ia sedang mengalami pergulatan batin.

“Apa?” tanya Sunwoo bingung saat balas menatap wanita itu.

“Gue lagi mikir, lebih baik gue ngasih tau lo atau enggak, ya?”

“Apaan, sih?! Lo bikin gue makin penasaran!”

Setelah mempertimbangkan selama beberapa saat, akhirnya Jisoo berucap,

He’s also the love of my life, Sun.” Jisoo terdiam untuk membiarkan kalimat itu meresap ke dalam kesadaran Sunwoo. Perlahan mata pria itu membulat dengan terkejut.

All this time?!” pekiknya. Jisoo mengangguk dengan sorot mata sedih.

All this time. Forever,” tegas wanita itu.

“Terus? Yang kemaren— Damn. Hakkie, ya?” Keterkejutan di mata Sunwoo berganti dengan kesedihan. Jisoo kembali mengangguk.

“Iya. Hakkie.”


Enam bulan sebelumnya ....

“Itu nggak seperti yang kamu kira, Hakkie!”

“Aku tau apa yang aku liat, Nu. You. Half naked. In our bed. With my childhood friend. Kissing. Apa lagi yang nggak seperti yang aku kira, Sunwoo?”

Sunwoo mengusap wajahnya dengan frustrasi. Well, kalau dijabarkan seperti itu, memang ia tampak berada dalam posisi yang salah. Tidak, bukan ‘tampak’, tapi ia memang berada dalam posisi yang salah.

Ia memang telanjang dari pinggang ke atas. Ia memang berada di tempat tidur mereka. Ia memang bersama dengan Jisoo. Mereka memang berciuman.

Tapi sungguh tidak sesederhana itu kejadiannya.

-

Hari itu Jisoo memang datang ke apartemen Sunwoo dan Haknyeon karena mereka berdua berniat untuk membuat makan malam kejutan untuk Haknyeon yang baru saja mendapatkan promosi jabatan di kantornya. They’re not the best cook, jadi sudah dapat dipastikan kegiatan masak memasak itu cukup berantakan, belum lagi Sunwoo memiliki ide gila untuk membuat cake.

Setelah mereka selesai mempersiapkan semua makanan dan cake untuk Haknyeon, Sunwoo memutuskan untuk mandi, sementara Jisoo mengatakan bahwa ia akan beristirahat sejenak dan menonton televisi.

Terbiasa hanya berdua dengan Haknyeon di apartemen mereka, Sunwoo keluar dari kamar mandi di kamar tidur hanya dengan mengenakan celana boxer sambil mengeringkan rambutnya yang baru saja dikeramas dengan handuk. Ia tidak memperhitungkan bahwa Jisoo ada di kamar itu dan duduk di atas tempat tidurnya dan Haknyeon.

Dengan panik, Sunwoo berusaha menutupi bagian bawah tubuhnya dengan handuk yang dipegangnya. Lagi-lagi, ia tidak memperhitungkan bahwa Jisoo akan berdiri dari duduknya dan mendekati pria itu, berusaha untuk menenangkannya sambil tertawa geli. Semakin panik, Sunwoo berusaha menjauh, namun kakinya terlilit oleh keset yang diletakkan di depan kamar mandi. Berusaha untuk menyelamatkan Sunwoo, Jisoo menarik lengan pria itu.

Namun tindakan Jisoo itu membuat mereka berdua terjatuh di atas ranjang dengan posisi Sunwoo mengungkung wanita itu di bawahnya.

Orang-orang bilang, setan ada kapanpun dan di manapun, terutama pada saat pria dan wanita berdua saja di dalam satu ruangan, terlebih di kamar tidur, di atas ranjang.

Sunwoo mengamati paras Jisoo yang—menurutnya—tanpa cela. Sunwoo tahu bahwa bulu mata indah yang menaungi mata bulat berwarna cokelat itu adalah asli, karena Haknyeon selalu bercerita bahwa Jisoo bukan tipe wanita yang suka berdandan. Tatapannya turun pada pipi merona wanita itu dan Sunwoo berpikir apakah itu merupakan riasan atau karena perempuan itu merasa malu.

Bibir. Sejak pertama kali Haknyeon mempertemukan mereka berdua, Sunwoo sudah menaruh perhatian lebih kepada bibir mungil menggoda itu. Bibir yang kini sedikit merekah karena empunyanya merasa sedikit terkejut dengan posisi mereka.

Sunwoo tahu bahwa ia seharusnya lekas bangkit, namun matanya tetap terpaku kepada bibir itu dan ia mulai berpikir bagaimanakah rasanya jika ia menciumnya. Dalam keterpakuannya, Sunwoo merasa bahwa kedua tangan Jisoo perlahan terangkat dari ranjang dan ditempatkan dengan nyaman di bahunya. Ia juga merasa bahwa Jisoo memberi sedikit tarikan supaya Sunwoo semakin mendekat kepadanya.

Hanya tarikan kecil itulah yang dibutuhkan Sunwoo untuk kehilangan kontrol dirinya.

Tanpa pikir panjang, Sunwoo menunduk untuk menempelkan bibirnya pada bibir Jisoo dan menciumnya.

Dan Jisoo membalas ciumannya.

Dan Haknyeon memilih saat itu untuk memasuki kamar mereka.

-

“Sayang, itu kecelakaan. Aku sama Jisoo nggak berniat kayak gitu!”

“Hmm ... kecelakaan, tapi kalian ciuman, Sunwoo. Kamu nyium Jisoo dan aku tau dia juga ngebales ciuman kamu. Kamu nggak tau ‘kan kalo Jisoo selama ini sebenernya suka sama kamu?”

“Itu nggak berpengaruh apa-apa ke aku, Hakkie. I love you and you only!” Haknyeon menelengkan kepalanya. “Sunwoo, kamu bi, how am I supposed to believe you? Not to mention kamu pernah bilang kalo Jisoo termasuk cewek yang bisa bikin kamu tertarik.”

“Itu ‘kan cuma obrolan selewat aja, sayang. Aku nggak serius tertarik sama Jisoo! Aku cuma cinta sama kamu!”

Haknyeon menggeleng dengan mimik lelah.

“Aku nggak tau, Sunwoo. You kinda hurt me.” Haknyeon mengenakan jaketnya.

“Hakkie ... tunggu. Kamu mau ke mana? Aku minta maaf, Hakkie. Tolong jangan pergi.”

“Aku mau pulang ke rumah orang tuaku dulu. Aku perlu mendinginkan pikiran.”

“Aku anterin. Ini udah malem, aku nggak mau ada apa-apa sama kamu.”

“Aku nggak apa-apa. Aku cowok, Sunwoo. Aku bisa jaga diri.”


Sejak saat itu, Haknyeon lebih sering menghabiskan waktu di rumah orang tuanya dibandingkan di apartemen mereka. Pada saat Haknyeon berada di apartemen mereka pun, mereka tidak banyak berinteraksi karena Haknyeon lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya.

Tidak peduli seberapa sering Sunwoo meminta maaf dan meminta Haknyeon untuk kembali ke apartemen mereka sepenuhnya, pria itu selalu bersikap dingin padanya. Bahkan Jisoo juga sudah berbicara kepada Haknyeon bahwa semua itu hanya salah paham dan berjanji tidak akan ada kejadian seperti itu lagi di kemudian hari. Haknyeon tetap tidak tergoyahkan, namun hanya kepada Sunwoo ia bersikap dingin.

Sunwoo selalu berpikiran positif bahwa seiring dengan berjalannya waktu, sikap Haknyeon akan berubah dan mereka akan kembali seperti sebelumnya. Iya, ia tahu bahwa ia salah karena terbawa suasana, tapi Sunwoo sungguh-sungguh tidak memiliki perasaan apapun kepada Jisoo, hatinya benar-benar hanya untuk Haknyeon seorang.

Karena itu, Sunwoo akan menunggu, menunggu dengan sabar sampai Haknyeon-nya kembali.

Namun demikian ....

My Baby <3 Sunwoo, I can’t do this anymore Let’s end this relationship Thank you for all these years

Setelah hari itu, Haknyeon memblokir semua kontaknya dengan Sunwoo.

Tentu saja Sunwoo tidak tinggal diam. Ia berusaha menghubungi Haknyeon, menghubungi orang tua dan kakak-kakaknya, tapi nihil. Tidak ada yang mau membuka jalur komunikasi dengan Sunwoo.

Sunwoo mendatangi rumah Haknyeon, tapi mereka sekeluarga sudah tidak lagi tinggal di alamat yang diketahui Sunwoo.

Sunwoo mendatangi tempat kerja Haknyeon, tapi ternyata Haknyeon pun sudah tidak bekerja lagi di sana, bahkan sebelum ia mengakhiri hubungan mereka.

Keberadaan Haknyeon bagaikan ditelan bumi.


“Jii ... gue nggak tau harus nyari Hakkie ke mana lagi,” ucap Sunwoo putus asa pada saat ia dan Jisoo bertemu di sebuah coffee shop untuk membahas ‘hilangnya’ Haknyeon.

Jisoo menatap pria di depannya itu dengan prihatin.

“Gue juga nggak tau, Sun. Gue masih kontakan sama dia, tapi tiap gue tanya dia di mana, dia pasti nggak mau jawab.”

Sunwoo menunduk dan mengacak-acak rambutnya.

“Semua salah gue! Harusnya waktu itu gue nggak nyium lo.” Jisoo menepuk-nepuk kepala Sunwoo yang tertunduk.

“Gue ada andil salah juga, Sunwoo.”

“Gue nggak mau putus, Jisoo .... Gue sayang sama Hakkie, gue cinta sama Hakkie. Gue nggak mau pisah sama dia. Gue cuma mau dia, gue cuma butuh dia ....”


“Sun, lo punya passport?” tanya Jisoo suatu hari di telepon. Suaranya tidak seceria biasanya, cenderung tegang kalau Sunwoo boleh berpendapat.

“Lo nyepelein gue nih ceritanya? Lo lupa kalo kita bertiga pernah liburan ke Hongkong bareng?” Sunwoo mencoba untuk bercanda.

“Oh iya. Gue lupa.” Jisoo tertawa getir. Sunwoo mengernyitkan dahinya.

“Kenapa sih, Jii?”

“Em ... sebenernya gue baru aja dichat sama Hakkie ....”

“Terus? Terus? Terus?! Dia ngomong apa?! Dia ngasih tau nggak dia ada di mana? Dia nanyain gue, nggak?” cecar Sunwoo sambil mengambil posisi duduk lebih tegak.

“Em ... dia minta kita ke Swiss. Dia mau ketemu lo di sana ....”

“Swiss? Nggak salah? Nggak kurang jauh? Mereka sekeluarga pindah ke sana jadinya selama ini? Buka bisnis perhotelan baru?”

“Gue kurang tau sih yang itu, tapi Hakkie bilang kita harus ke sana sebelum akhir bulan ini, kayaknya urgent banget.”

“Oh? Ada apaan, ya?”

“Gue juga nggak tau, Sun ... tapi setidaknya dia udah mau ketemu lo. Itu yang paling penting, ‘kan?”

“Oh iya! Bener juga!”

“Gue yang bakal urus semua akomodasinya, well ... Hakkie sih yang bayar semuanya, just send me all the informations needed, okay?”

Okay. Thanks ya, Jii.”

“Untuk apa, Sun?” Jujur, Sunwoo bisa bersumpah bahwa ia mendengar tangis di balik kata-kata Jisoo itu.

“Untuk semuanya. Lo udah mau selalu nemenin gue yang galau selama ini karena ditinggal Hakkie.” Sunwoo tertawa sumbang. “Lemah banget ya gue?” bisiknya sedih.

“Nggak lemah. Itu artinya memang lo segitu sayangnya sama Hakkie. Mungkin Hakkie akhirnya ngeliat itu dan akhirnya mau ketemu lagi sama lo.” Tangis itu lagi. Sunwoo bisa mendengar tangis tanpa suara itu lagi.

“Lo kenapa, sih? Kok kayak yang sedih banget?”

“Gue lagi nonton drama, Sunwoo ...! Sumpah ini ceritanya sedih bangeeet!” Jisoo tidak menyembunyikan tangisnya lagi. Sunwoo tertawa keras.

“Ya kenapa lo nggak selesein nonton dulu baru nelpon gue, sih?”

“Nggak bisaaa! Gue terlalu excited karena Hakkie pengen ketemu lo, jadi gue langsung nelpon lo!”

“Dasar! Yaudah sana lanjutin lagi nontonnya, thanks ya udah ngasih tau gue.”

“Anytime.”


“Woaaa ... as expected from the Ju family, ya ...,” gumam Sunwoo saat mengamati pemandangan dari jendela mobil sewaan yang membawa mereka dari hotel ke tempat Haknyeon ingin bertemu.

“Hmm ...,” gumam Jisoo yang memejamkan matanya.

“Lo kok malah tidur, sih? Nggak pengen liat pemandangan, apa?” protes Sunwoo saat melihat tingkah Jisoo. Wanita itu membuka sebelah matanya dan menatap Sunwoo dengan tatapan sedikit kesal.

“Lo pikir siapa yang maksa gue begadang ngedengerin ocehan dia yang nggak sabar untuk ketemu sama ‘love of my life’?” sindir Jisoo.

“Ehehehe ... sorry, gue terlalu excited.” Sunwoo menggaruk tengkuknya dengan jengah.

Never mind, gue ngerti kok. Tapi sekarang, gue mau bobo cantik. Lo nggak usah ganggu!”

“Iya. Iya.”

Sekitar satu jam kemudian mereka sampai di sebuah bangunan indah yang ada di pinggir sebuah danau.

“Cantik,” bisik Jisoo dengan penuh kekaguman. Sunwoo mengangguk menyetujuinya.

“Ini villa mereka, kah?”

“Bisa jadi.”

Mereka turun dari mobil dan disambut oleh seorang pria paruh baya di pintu depan yang membawa mereka ke depan sebuah ruangan dengan pintu tertutup. Pria paruh baya itu mengetuk pintu dan mengumumkan kedatangan mereka.

“Tuan Kim dan Nona Eun sudah datang.”

Tidak lama kemudian, orang tua Haknyeon keluar dari ruangan itu dan menutup pintu di belakang mereka sebelum Sunwoo sempat melirik ke dalamnya. Nyonya Ju segera memeluk Sunwoo, sementara Tuan Ju menepuk bahu pria muda itu dengan hangat.

“Maaf ya Sunwoo, kami mendadak memanggilmu ke sini.” Nyonya Ju membuka pembicaraan.

“Tidak apa-apa, Tante.”

“Maaf juga kami tidak menghubungimu sebelumnya, kepindahan kami ke sini cukup mendadak dan menyita perhatian.”

“Sunwoo mengerti, Om.” Sunwoo merasakan sesuatu yang tidak beres. Bukan saja Tuan dan Nyonya Ju tampak tidak bersemangat saat bertemu dengannya, tapi mereka juga tampak sangat lelah.

“Uh ... Haknyeon?” Akhirnya Sunwoo memberanikan diri untuk bertanya.

“Oh! Betul! Haknyeon ada di dalam. Take your time.” Nyonya Ju mendorong pelan tubuh pria muda itu.

“Jii?” tanya Sunwoo heran saat ia tahu Jisoo tidak mengikutinya. Wanita itu menggeleng dengan senyum sedih.

“Hakkie mau ketemu sama lo, Sun. Seperti kata Tante, take your time.”

Firasat buruk semakin menggerogoti Sunwoo, tapi ia membulatkan tekadnya dan membuka pintu besar di depannya. Di dalam ruangan besar yang satu sisinya berupa sebuah pintu kaca besar yang menghadap langsung ke arah danau, Sunwoo dapat melihat sebuah ranjang diletakkan di sana, membelakanginya, menghadap ke arah danau. Ia dapat melihat bahwa seseorang berada di atas ranjang itu. Haknyeon-nya ada di atas ranjang itu.

Sunwoo melihat ke balik bahunya dan melihat orang tua Haknyeon serta Jisoo mengangguk untuk menyemangatinya. Maka, dengan penuh keyakinan, Sunwoo melangkahkan kaki dan menutup pintu di belakangnya.


“Hakkie?” panggilnya pelan.

“Oh? Sunu?” jawab seseorang di atas ranjang.

Suaranya suara Hakkie, tapi kok ... kayak ada yang aneh, ya? pikir Sunwoo sambil mendekati ranjang.

“Hai!” sapa Haknyeon—yang duduk bersandar di kepala ranjang—sambil mengangkat tangan kirinya untuk melambai. Sunwoo sedikit tercengang saat melihat lambaian lemah itu.

“Duduk, Nu.” Kalaupun Haknyeon melihat tatapan bingung Sunwoo, ia memilih untuk tidak memperlihatkan atau membahasnya lebih lanjut. Setelah Sunwoo duduk di kursi yang ada di sebelah kanan ranjangnya, Haknyeon melanjutkan dengan perlahan,

“Maaf ya, tiba-tiba manggil kamu ke sini. Maaf juga kalau kata-kata aku nanti agak kurang jelas didengernya.”

“Itu yang pengen aku tanyain. Kamu kenapa, sayang?” Dengan susah payah, Haknyeon mengangkat tangan kanannya yang langsung digenggam dengan senang hati oleh Sunwoo.

Setidaknya dia masih mau gue panggil ‘sayang’. Mungkin ini nggak seburuk apa yang gue pikirin.

Haknyeon terdiam selama beberapa saat. “Kamu tau sekarang hari apa?” Sunwoo memicingkan mata atas pertanyaan yang tidak menjawab pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya, namun ia putuskan untuk menjawabnya, tidak ingin membuat Haknyeon kesal dan mengusirnya keluar dari ruangan itu.

“Hari anniversary kita yang ke lima. Makanya gue sekalian bawa cincin yang udah gue siapin dari berapa bulan yang lalu.” Sunwoo menambahkan kalimat terakhir dalam hati. Haknyeon mengangguk dengan senyum semringah.

“Kamu masih inget!”

How can I forget that, baby?” Ia mengecup tangan di dalam genggamannya dengan sayang. Oh. Dia kurusan sekarang.

“Kirain karena udah sama Jisoo, kamu jadi ngelupain aku,” goda Haknyeon. Sunwoo menggeleng sedih.

“Sayang, harus berapa kali aku bilang? Aku sama Jisoo nggak ada apa-apa. Iya, aku akui aku salah karena sempet nyium dia, tapi itu cuma ketertarikan sesaat aja. Hati aku cuma buat kamu.”

“Bukan ketertarikan sesaat juga nggak apa-apa kok Nu. Jisoo cewek baik dan dia juga suka sama kamu.” Haknyeon berkata perlahan, berusaha membuat pengucapannya dapat didengar jelas oleh Sunwoo.

“Hakkie ... baby ... kamu kenapa?” tanya Sunwoo khawatir. Ia merasa Haknyeon menggenggam tangannya sedikit lebih erat. Masih lemah, tapi sedikit lebih erat.

“Aku sakit, Nu ...,” ucap Haknyeon pelan pada akhirnya. Sunwoo tercekat saat mengetahui bahwa firasat buruknya benar-benar terjadi.

Oh my baby.” Sunwoo setengah bangkit untuk mencium pelipis Haknyeon. “Kamu sakit apa, sayang?”

Haknyeon menunduk dan kemudian menjawab dengan pelan, sangat pelan, “ALS.”

“ALS?” tanya Sunwoo bingung karena merasa asing dengan nama penyakit yang disebutkan.

“Singkatnya, itu penyakit sistem syaraf yang menyebabkan hilangnya kontrol otot.”

Oh. Pantesan genggaman Hakkie nggak seerat biasanya. But, it looks like the disease is not that serious, isn’t it?

Sunwoo mengangguk tanda ia paham. “Jadi kamu ke sini untuk berobat?”

Lagi, Haknyeon menunduk. Namun saat ia mengangkat kepalanya, bukannya menjawab, ia malah menatap Sunwoo lekat-lekat dan berkata dengan tegas,

“Nu ... I love you. So much.” Sunwoo tersenyum bahagia penuh cinta.

I love you too, Hakkie. So much more than you can imagine.” Haknyeon tersenyum sendu.

“Maaf kemarin aku ngelakuin kesalahan, tapi aku sungguh-sungguh waktu aku bilang bahwa cuma ada kamu, bahwa aku cuma pengen kamu aja di hidupku.” Sunwoo mengelus pipi Haknyeon. “So, kita baikan?” tanyanya penuh harap.

Harapannya sirna saat ia lihat Haknyeon menggeleng dengan sedih.

“Kenapa, sayang?”

“Seperti yang aku bilang tadi ... aku sakit, Nu.”

“Dan kamu ke sini untuk berobat, ‘kan?”

Haknyeon menghela napas. “Aku ke sini untuk mengakhiri hidup, Nu ....”

“Hakkie! Kamu nggak boleh ngomong gitu!” Haknyeon meraih satu map di kiri ranjangnya dan memberikannya pada Sunwoo. “Apa ini?”

“Baca aja.”

Sunwoo membuka map itu dan langsung mengumpat begitu membaca judul yang terdapat di atas kertas di dalamnya. Prosedur Euthanasia.

“Apa-apaan ini, Ju Haknyeon?!”

“Nu—”

“Kamu pasti sembuh!”

“Sunu—”

“Pokoknya jangan bilang kamu mau mengakhiri hidup!”

“Sunwoo!” Sunwoo terdiam dan melihat Haknyeon yang menatapnya dengan sendu. “Tolong kamu cari dulu apa itu ALS, sayang,” pintanya pelan.

Walaupun takut dengan apa yang akan diketahuinya, Sunwoo menuruti Haknyeon dan mengambil ponsel dari saku celananya.

Amyotrophic lateral sclerosis (a-my-o-TROE-fik LAT-ur-ul skluh-ROE-sis), or ALS, is a progressive nervous system disease that affects nerve cells in the brain and spinal cord, causing loss of muscle control.

ALS is often called Lou Gehrig's disease, after the baseball player who was diagnosed with it. Doctors usually don't know why ALS occurs. Some cases are inherited.

ALS often begins with muscle twitching and weakness in a limb, or slurred speech. Eventually, ALS affects control of the muscles needed to move, speak, eat and breathe. There is no cure for this fatal disease.

The rate at which ALS progresses can be quite variable, as well. Although the mean survival time with ALS is two to five years, some people live five years, 10 years or even longer.

Symptoms can begin in the muscles that control speech and swallowing or in the hands, arms, legs or feet. Not all people with ALS experience the same symptoms or the same sequences or patterns of progression. However, progressive muscle weakness and paralysis are universally experienced.

*) sumber: mayoclinic.org dan als.org

Sunwoo terdiam. Ia tidak yakin mampu membaca sampai akhir. Ia tidak bisa, saat seseorang yang sangat ia sayang melebihi dirinya sendiri jelas-jelas sedang mengalami seperti apa yang tertulis.

Hakkie emang keliatan lemes banget, kata-katanya juga mulai nggak jelas. Terus nanti dia bakal ngalamin kesulitan menelan? Bernapas? Kayak apa? Kayak kalo orang asma, kah?

Sebuah goyangan kecil dari tangan yang masih digenggamnya membawa Sunwoo kembali ke kenyataan.

“Udah selesai bacanya?”

“Ini ... bohong, ‘kan? Ini prank untuk anniversary kita aja, ‘kan?” pinta Sunwoo memelas, walaupun ia tahu Haknyeon tidak akan sekejam itu untuk mempermainkannya. Orang yang ia kasihi itu tertawa kecil.

“Aku nggak mungkin nge-prank kamu sekejam ini, Sunu.” Sunwoo menelungkupkan wajahnya di kasur. Tangan kirinya masih menggenggam tangan kanan Haknyeon, sementara tangan kanannya melintang memeluk tubuh pria itu.

“Nggak mau! Ini pasti bohong! Nggak mungkin kamu sakit! Kamu nggak boleh ninggalin aku!” Suara Sunwoo terbekam oleh kasur, sehingga Haknyeon tidak dapat memastikan apakah pria itu menangis atau tidak.

“Sunu ...,” panggilnya pelan. Sunwoo mengangkat wajahnya perlahan dan ya, pria itu menangis.

“Jangan tinggalin aku, Hakkie … jangan pergi, jangan dengan cara ini. Katanya lifespan-nya ‘kan bisa aja sepuluh tahun atau lebih, let’s stay together until the very end!”

Haknyeon memejamkan matanya dengan sedih. Ini yang tidak diinginkannya. Perpisahan seperti ini yang sangat ingin ia hindari. Maka dari itu, beberapa bulan sebelumnya ia meminta Jisoo untuk mengatur sandiwara dengannya. Namun ternyata tidak bisa semudah itu, karena hati kecilnya yang paling dalam tidak dapat dibohongi. Ia menginginkan Sunwoo. Ia membutuhkan Sunwoo.

“Kondisi aku bakal terus menurun, Nu .... Sekarang aja aku udah ke mana-mana pake kursi roda, I can’t even bake my favorite cupcake. Aku harus lebih hati-hati kalo makan atau minum karena aku bakal sering tersedak.” Haknyeon terdiam. “Pada akhirnya nanti aku akan mengalami gangguan pernapasan. Aku harus selalu bergantung sama orang lain—”

“Aku nggak peduli! Kamu bisa bergantung ke aku sampai kapanpun! I will take care of you until forever!”

“Saat aku mulai susah untuk bernapas, aku bisa mendiamkannya sampai aku berhenti bernapas dengan sendirinya, atau aku bisa operasi untuk memasang respirator permanen. Tapi ... itu berarti aku nggak akan bisa ngomong lagi, kamu—atau yang lainnya—nggak bisa denger suara aku lagi. Aku ... aku cuma bakal jadi seonggok tulang dan daging yang nggak bisa apa-apa, yang bisanya cuma ngerepotin orang lain—”

“Hakkie! Jangan ngomong gitu! Aku rela kamu repotin sampai kapanpun!” Sunwoo terisak. “Just please ... please stay with me ....”

“Aku nggak bisa, Sunu … daripada aku ngerasa kalo aku ngerepotin orang lain, lebih baik aku pergi sekarang, disaat aku masih bisa ngomong pake suara aku—walaupun mulai nggak jelas, disaat aku masih bisa bernapas dengan organ tubuhku sendiri.”

“Itu sama aja bunuh diri, sayang ....” Sunwoo tidak tahu lagi harus berkata apa, ia terlalu tidak percaya dan terlalu sedih menghadapi kenyataan itu.

“Terserah apa kata kamu, Nu ... tapi, aku nggak mau ngalamin sakit ini lebih lama lagi. Untuk apa aku lama menderita kalau pada akhirnya penyakit ini nggak bisa disembuhin? You can say that I’m a coward, tapi aku udah nggak sanggup lagi, Nu. Ini juga untuk harga diri aku, aku nggak mau seumur hidup diurus sama orang dan nggak bisa melakukan apa-apa. Aku udah mikirin semua ini dengan matang.”

“Kamu bahkan nggak mau diurus sama aku?” tanya Sunwoo sedih.

“Terutama sama kamu, sayang .... Karena aku tau kamu berhak dapet yang lebih baik dari aku, yang cuma bisa menghitung hari menuju akhir.”

“Kita semua menghitung hari menuju akhir, Hakkie.”

Haknyeon tertawa getir sementara setetes air mata jatuh di pipinya. “Nggak gitu konteksnya, Sunu.”

“Hakkie ... jangan pergi ....” Tangis Sunwoo kembali pecah, kini di pangkuan Haknyeon.

Dengan tangan lemahnya, Haknyeon berusaha mengangkat Sunwoo, memindahkan pria itu agar duduk di sebelahnya di ranjang. Sunwoo menurut dan membawa Haknyeon ke dalam pelukannya.

“Aku nggak bisa mengubah pikiran kamu,” bisiknya pada akhirnya. Haknyeon mengangguk kecil.

“Aku pengen ketemu kamu untuk terakhir kalinya. Aku kangen.” Sunwoo terdiam, namun semakin mengeratkan pelukannya. Danau di depan mereka terlihat begitu indah terkena sinar matahari yang mengintip dari rimbunnya dedaunan, namun Sunwoo tidak dapat menikmati keindahan itu.

“Aku juga kangen sama kamu, sayang. Kangen banget.”

Kiss me? For the last time?”

I’ll kiss you a thousand times even if it’s not for the last time.” Sunwoo mengecup ujung hidung Haknyeon setelah mereka masing-masing menarik diri.

“Kamu mau tau sesuatu?” kata Sunwoo pelan saat ia menopangkan pipinya pada kepala Haknyeon saat mereka kembali menikmati pemandangan danau.

“Apa?”

“Aku kira hari ini kita bakal baikan, aku kira hari ini aku bakal bisa pulang bareng sama kamu, makanya ....” Sunwoo merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kotak berlapis beledu. “aku bawa ini buat kamu.”

Haknyeon menerima kotak itu dengan ternganga. “Ini ....”

“Cincin. Aku udah berniat melamar kamu dari jauh-jauh hari, bahkan sebelum hari penuh bencana itu.”

Haknyeon membuka kotak itu dan mendapati sebuah cincin berlapis emas putih di dalamnya. Bukan barang murah, apalagi murahan.

Ask me then?” pintanya sambil menyodorkan cincin itu ke arah Sunwoo. Pria itu tersedak oleh air matanya.

Really? Right now?”

“Aku pengen pake cincin itu di alam sana.”

Sunwoo memejamkan mata saat menerima cincin dari tangan Haknyeon. Setelah menarik napas untuk menenangkan diri, ia berucap,

“Ju Haknyeon, cincin ini memang sebuah perhiasan, tapi lebih dari itu, cincin ini adalah bagian dari hatiku, bagian dari jiwaku. Aku memberikannya padamu karena ini bukan dan nggak akan bisa jadi milik orang lain selain kamu.” Sunwoo kembali menghela napas.

Baby, will you marry me? Will you, the most perfect person I know in my life, the love of my life, marry this imperfect person and spend the rest of your life with me?”

Haknyeon mengangguk dengan air mata yang tidak berhenti mengalir. “Yes, Kim Sunwoo ... I would love to marry you.”

Sunwoo memasangkan cincin itu di jari manis Haknyeon dan memeluknya erat.

“Udah aku lamar gini, kamu masih mau tetep ninggalin aku?” tanyanya sedih. Haknyeon tertawa dengan penuh kerapuhan.

“Maaf, Sunu ... maaf aku egois ....”

“Prosedurnya ... kapan?”

Today.”

Are you kidding me, Sir?!” Sunwoo tersentak. “On our anniversary day?! For real, baby?!”

I’m really sorry, Sunu ... aku egois, aku pengen kamu inget aku terus, inget kita terus, makanya ... maaf, Sunu ....” Haknyeon semakin menangis.

“Sssh ... nggak apa-apa, baby ... nggak apa-apa. Tanpa itu pun aku pasti inget kamu terus. Gimana bisa aku ngelupain kamu?” Sunwoo meluapkan tangisnya di lekukan leher Haknyeon.

“Sunu ...,” panggil Haknyeon saat tangis mereka mereda.

“Ya, sayang?”

“Terima kasih karena telah bersamaku selama ini. Maaf karena aku nggak sempurna, maaf karena akhirnya harus seperti ini.”

“Aku yang harusnya berterima kasih sama kamu karena kamu udah ngebolehin aku masuk ke hidup kamu. In our next lifelet’s meet again?”

Yes ... and fall in love with each other again?”

Absolutely.” Sunwoo tersenyum sedih. “Would you like to seal it with a kiss?”

Masing-masing sadar bahwa itu mungkin adalah ciuman mereka yang terakhir, sehingga keduanya tidak lagi menahan diri. Mereka mengerahkan semua perasaan mereka dalam ciuman itu. Cinta, sayang, rindu ... putus asa.

“Sunu ... bisa tolong panggil orang tua aku?”


I love you’ adalah hal terakhir yang diucapkan Haknyeon pada Sunwoo sebelum ia menutup mata untuk selamanya. Sunwoo kembali menghela napas saat mengingat hal itu.

“Gue udah lama banget sayang sama Hakkie, tapi gue tau banget kalo Hakkie nggak akan pernah bisa ngebales perasaan gue. Waktu pertama kali Hakkie coming out dan nangis di depan gue, I fell into the hardest broken heart, tapi gue nggak bisa ngebenci dia. Jadi, gue berjanji bahwa gue bakal selalu ada untuk dia, untuk selalu ngelindungin dia. Well, Hakkie nggak lemah, gue tau dia bisa jaga diri, tapi ... gue ... gue cuma pengen ada buat dia.”

I know that feeling.”

“Waktu dia bilang kalo dia pacaran sama lo, sumpah gue benci banget sama lo karena mikir kalo lo udah ngerebut Hakkie dari gue. Not to mention waktu gue tau kalo lo itu bi. Gue mikir kemungkinan lo ninggalin Hakkie karena orang lain pasti lebih besar. Iya, gue berpikiran sempit waktu itu. Sorry,” potong Jisoo saat ia lihat Sunwoo akan melontarkan protes.

“Makanya waktu awal-awal gue pacaran sama Hakkie lo ngintilin terus?” Jisoo tertawa sumbang.

“Iya. Gue nggak mau lo nyakitin Hakkie. Hakkie gue. Tapi ternyata lo sayang banget sama Hakkie. I want to thank you for that.” Wanita itu terdiam sejenak. “Hakkie sempet bingung kenapa gue ngintilin kalian terus, akhirnya dia nanya apa gue suka sama lo. Gue panik, akhirnya gue iyain aja. Gue nggak mau dia tau kalo gue tergila-gila sama dia.”

“Aaah ... jadi itu sebabnya Hakkie selalu ngomong kalo lo suka sama gue?”

Jisoo mengangguk. “Sorry.”

Never mind.”

Mereka kembali terdiam sambil memandang laut lepas di hadapan mereka.

“Sejak kapan Hakkie sakit?”

“Sekitar satu tahun yang lalu kayaknya. Awalnya cuma tangannya lemes aja, nggak bisa ngangkat barang lebih tinggi dari bahunya. Dia kira cuma kecapekan aja, tapi lama-lama kakinya juga jadi sering kram.”

“Kenapa dia nggak ngasih tau gue, sih?!”

“Dia nggak mau bikin lo khawatir.” Jisoo menghela napas. “Lalu, waktu simptomnya semakin parah, dia terpikir untuk pisah sama lo karena dia nggak mau ngebebanin lo. Kejadian kita kissing itu ... itu sandiwara yang dirancang sama Hakkie.”

What the heck?! Kenapa?!!”

“Karena gue pernah bilang kalo gue suka sama lo dan lo katanya pernah bilang ke Hakkie kalo lo tertarik sama gue. Dia mau ninggalin, lo tapi dia harus tau bahwa lo nggak akan sendirian.”

Sunwoo memijat pangkal hidungnya dengan lelah. Cintanya itu memang selalu berpikir out of the box.

“Gue nembak Hakkie di sana.” Sunwoo menunjuk sebuah titik di bawah tanjung tempat mereka berdiri.

And just like Hakkie, dia pengen abunya ditabur di sini. Dasar cowok romantis.” Jisoo menghapus air mata di ujung netranya.

Sunwoo menatap pasu di tangannya. Masih ada sedikit sisa abu kremasi Haknyeon di sana.

“Haruskah kita membaginya jadi dua?”

“Apa? Abunya Hakkie? No, that’s all yours. Lo yang lebih butuh dibanding gue.” Jisoo terdiam. “Gue rasa ... ini saatnya kita pisah?”

Really? Are we not going to be together like Hakkie’s wish?” goda Sunwoo. Jisoo tertawa.

No, thanks.”

“Makasih, Jii ... untuk semuanya. Untuk jadi penopang Hakkie disaat gue nggak bisa ada di sebelah dia. Untuk jadi penopang gue disaat Hakkie nggak ada di sebelah gue. I love you.” Sunwoo memeluk Jisoo dengan rasa persaudaraan. Jisoo membalas pelukan itu dengan rasa yang sama.

I love you too, Sunwoo. Baik-baik, ya.”

“Lo juga.”

See you when I see you.”

Dengan satu pelukan terakhir, Jisoo pergi dari tanjung itu, meninggalkan Sunwoo dengan pasu di tangannya.


©️aratnish’22


A/N: Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup dengan bantuan medis yang bertujuan untuk mengakhiri penderitaan atas penyakit yang dialami. Swiss adalah salah satu negara yang melegalkan praktik ini.

Bagian akhir dari “Standard bf vs True bf”

Dering telepon dan caller ID yang muncul di layar ponselnya membuat Chanhee tersenyum geli, seketika mengalihkan perhatiannya dari komentar-komentar yang diberikan netizen pada utas Twitternya.

“Iya deh ... gue emang cuma kekasih standar.” Chanhee tertawa geli saat mendengar gerutuan laki-laki yang lebih muda dua tahun darinya itu.

“Dih. Baper banget, sih? Dibandingin sama Pak Calon Suami ya jelaslah lo cuma kekasih standar.” Kali ini ia dengar suara tawa dari Sunwoo, mantan pacar sekaligus calon adik iparnya.

“Ngomong-ngomong, Bang Sangyeon nggak apa-apa tuh lo posting gituan?”

It’s okay, tadi gue udah minta izin, kok.”

“Kenapa lo nggak minta izin ke gue, dah? Kalo Hakkie baca, gimana?” Chanhee seketika terduduk tegak.

Sial! Bener juga!

“Eh iya! Aduh. Gimana dong, Nu? Gue nggak kepikiran sampe situ! Haknyeon marah, ya? Biar gue yang ngejelasin, Nu.” Sunwoo tertawa.

“Lo nggak denger ada suara ketawa kenceng banget?” tanyanya geli. Mereka berdua terdiam untuk mendengarkan dan Chanhee dapat mendengarnya. Suara tawa Haknyeon di kejauhan. Perlahan ia mengembuskan napas lega.

“Gue nggak  tau dia udah baca thread lo berapa kali, gue malah curiga thread lo dibookmark sama dia,” ujar Sunwoo geli. “Dia seneng banget kayaknya gue dapet julukan kekasih standar.”


Sunwoo adalah adik dari Sangyeon, tunangan yang satu minggu lagi statusnya berubah menjadi suami Chanhee. Chanhee sudah menyukai Sangyeon sejak kuliah, namun pria itu sama sekali buta akan setiap kode yang diberikan oleh Chanhee, bahkan ia dengan polosnya meminta tolong kepada Chanhee untuk mendekatkannya kepada sahabatnya, Changmin. Walaupun sakit, namun Chanhee melakukannya hanya supaya ia memiliki akses untuk berkomunikasi dengan Sangyeon. Changmin, yang mengetahui perasaan Chanhee pada Sangyeon langsung menolak Sangyeon mentah-mentah (walaupun sesungguhnya ia pun agak menaruh hati pada Sangyeon).

Putus asa, Chanhee pun banyak bercerita kepada Sunwoo yang juga merupakan teman satu jurusannya di kampus. Sunwoo banyak membantunya melewati masa-masa bertepuk sebelah tangan itu, karena sejujurnya saat itu pun ia sedang patah hati.

Sunwoo menyukai sahabatnya sedari kecil, Haknyeon, namun sepertinya Haknyeon tidak menganggapnya lebih dari sekadar sahabat. Sunwoo juga tidak berani mengambil risiko untuk mencoba membawa hubungan mereka ke stage yang lebih tinggi, karena ia takut merusak persahabatan yang ada.

Dan di sanalah mereka berdua, masing-masing dengan cinta mereka yang bertepuk sebelah tangan, sampai Sunwoo mengusulkan, “Kita pacaran aja lah yuk, Kak. Kali aja kita sebenernya jodoh satu sama lain, makanya kita nggak dideketin ke gebetan masing-masing.”

Salahkan rasa putus asa Chanhee, karena ia berpikir bahwa perkataan Sunwoo ada benarnya dan menyetujui usulan yang lebih muda.

Tapi takdir memang kadang sebercanda itu, karena justru dengan pacarannya mereka, jalan kedekatan dengan gebetan masing-masing malah terbuka, membuat mereka semakin dekat dengan orang yang sesungguhnya mereka inginkan.


“Looking back at our old texts, gue bener-bener ngerasa kalo gue waktu itu nggak banyak berusaha ngelakuin yang terbaik buat lo, Kak. Maaf ya, gue banyak nyusahin waktu itu.” Suara Sunwoo menyadarkan Chanhee dari lamunannya.

“Nggak lah, Nu. Kita memang memulai semuanya dengan niatan yang ambigu juga. Gue juga banyak salah ke lo waktu itu. Nggak sedikit gue ngebandingin lo sama Mas Sangyeon, gue cukup ngebebanin lo sama ekspektasi-ekspektasi gue.”

“Iya, maaf ya gue standar banget,” gurau Sunwoo yang lagi-lagi membuat Chanhee tertawa.

“Standar buat gue, tapi sejati buat Haknyeon.” Chanhee tertawa semakin keras saat ia dengar Sunwoo menggumamkan gerutuan yang tidak dapat ia dengar dengan jelas, tanda bahwa calon adik iparnya itu sedang malu.

Bunyi kunci pintu apartemen yang dibuka mengalihkan perhatian Chanhee.

“Kayaknya Mas Sangyeon udah dateng deh, Nu. Gue tutup dulu ya telponnya.”

“Oh! Oke, oke. Happy birthday ya, Kak. Dari gue sama Hakkie. Kadonya nyusul besok kata Hakkie, tadi dia banyak orderan, jadi belom sempet ngebikinin lo kue.”

“Ih nggak apa padahal, bilangin Haknyeon, jangan repot-repot!”

“I’m insist!” teriak Haknyeon di latar belakang saat Sunwoo menyampaikan kata-katanya.

“Tuh, lo denger sendiri.” Chanhee tertawa.

“Iyaaa makasih ya, Haknyeon.”

Setelah bertukar beberapa kalimat lagi, Chanhee memutuskan hubungan dan meletakkan ponselnya di meja.

“Telponan sama siapa, sih? Kayaknya seru banget,” tanya Sangyeon setelah mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan kecupan hangat di dahi Chanhee.

“Sama Sunwoo dan Haknyeon. Gara-gara thread aku di Twitter itu.”

Sangyeon tertawa. “Masih aja ya soal Twitter?”

Chanhee mengangguk. “Kinda brings back the old memories.”

“Yang bagus-bagus atau yang jelek-jelek?”

“Dua-duanya.”

“Hmm.”

“Kenapa?”

“Yang tentang Sunwoo nggak usah diinget-inget lagi. Mas cemburu.”

“Iiih ... Mas lucu bangeeet.” Gelak Chanhee sambil menghambur ke pelukan Sangyeon yang menerimanya dengan tangan terbuka dan senyum sayang.


©aratnish’22

Bagian 6 dari “Special”

cw // slight profanity, kissing

Gēgē?” panggil Sunwoo saat Haknyeon baru memasuki kamar mandi.

“Ya, Nu?”

“Nunu nggak mau teh, Nunu mau bikin susu aja, boleh?”

“Boleh, Nunu … semua yang ada di apart ini boleh dimakan atau diminum atau dipake sama Nunu.” Haknyeon mendengar kekehan kecil di balik pintu.

“Lebay. But thanks anyway, . Gēgē mau Nunu bikinin sekalian?”

“Nggak usah, Nu. Gēgē kalo minum susu malem-malem, pas bangun tidur pasti migrain. But thanks for asking, baby.”

“Wow. Oke.” Suara langkah Sunwoo terdengar menjauh dan Haknyeon kembali kepada tujuan awalnya, mandi air super dingin.

Haknyeon memasuki kamarnya sambil menyugar rambutnya yang masih sedikit basah di beberapa helainya. Ia hampir tersedak oleh tawa saat melihat pemandangan yang terpampang di depan matanya saat itu.

Sunwoo, yang kini sudah memakai oversized piyama bergambar tokoh kartun Eeyore, sedang duduk bersila di atas ranjang Haknyeon sambil meminum susu dan menonton sesuatu di televisi dengan tatapan serius.

Bayi banget sih nih anak! Gue nggak akan heran kalo pas gue deketin, ternyata ini anak bau minyak telon. Masih nggak percaya kalo tadi dia ngajak gue ngewe, kekeh Haknyeon dalam hati.

Haknyeon merangkak menaiki ranjang, berlawanan sisi dengan sisi di mana Sunwoo duduk, mendekati kekasihnya, dan menjilat sisa susu yang menempel di sudut bibirnya.

“Nonton apa, sih? Kok serius amat?”

“Mark of a Killer.”

“Astaga, sayangnya Juhak kok nontonnya yang kriminal-kriminal gitu?”

“Rame tau ini tuh,” bantah Sunwoo, walaupun tetap menurut saat Haknyeon menariknya ke posisi tiduran.

“Iya. Iya. Iya. Ganti ke channel musik aja, Nu. Biar sekalian tidur kita … udah hampir tengah malem ini.”

Sunwoo menurut dan setelah saluran berpindah, ia pun bergelung di sisi Haknyeon, merentangkan tangannya melewati dada sang kekasih. Untuk sesaat mereka saling berpelukan dalam diam, hanya diiringi dengan suara pelan musik yang mengalun lembut.

Gēgē … makasih, ya …,” celetuk Sunwoo pelan. Kantuk sudah menggantung di suaranya.

“Hmm? Makasih kenapa, Nu?”

“Makasih udah mau ngejagain Nunu. Makasih udah mau nerima egoisnya Nunu. Makasih karena … udah mau nolak Nunu tadi ….”

Gēgē tadi nolak cuma karena Nunu lagi nggak sadar sepenuhnya, lho. Kalo Nunu sadar seratus persen, jangan harap Gēgē bakal nolak, ya,” goda Haknyeon. Sunwoo tertawa kecil.

“Iya, Nunu tau. Nunu salah. Maaf, ya ….”

Haknyeon mengecup sayang dahi Sunwoo.

“Iya, nggak apa-apa, nggak usah diungkit lagi, ya?”

“Hm-mm.” Sunwoo menguap. “Nunu ngantuk.”

Gēgē juga ngantuk. Nunu kalo tidur lampunya dimatiin atau dinyalain?”

“Dimatiin, tapi jangan gelap banget …,” gumam Sunwoo. Haknyeon mengambil remote dan mengatur pencahayaan di ruangan itu. Setelah semuanya dirasa pas, ia kembali memeluk Sunwoo.

“Mau minta good night kiss,” pinta Sunwoo sambil mendongakkan kepalanya walaupun dengan mata terpejam. Haknyeon tersenyum kecil dan menunduk untuk mengecup bibir yang sudah menunggu itu.

“Terlalu sebentar! Mau lagi!” tuntut Sunwoo, masih dengan mata terpejam.

Haknyeon tertawa, namun menggenapi permintaan kekasihnya yang sedang berulang tahun itu. Dengan satu gigitan kecil di bibir bawah Sunwoo, Haknyeon menyudahi ciumannya. Masih dengan mata terpejam, Sunwoo tersenyum senang.

Good night, Gēgē.”

Good night, my lovely birthday boy.”


©️aratnish'22

Bagian 5 dari “Special”

cw // mentioning of liquor; alcohol, drunk behavior, kissing, profanities, marking

“Lebar amat itu senyumnya,” goda Haknyeon pada Sunwoo yang berjalan di sebelahnya sambil mengayunkan tangan mereka yang saling bertaut.

“Hehehe … Nunu lega, walaupun bukan Nunu yang ngomong langsung, tapi Nunu lega Papa dan Mama udah tau keadaan Nunu dan mau nerima Nunu.” Sunwoo melompat-lompat kecil.

Gēgē juga lega semuanya berjalan dengan lancar. Jadi hadiah ulang tahun yang paling indah ‘kan buat Nunu?”

“Hm-mm! Itu dan bisa bareng-bareng sama Gēgē sampe weekend. Nunu bahagia banget!”

“Nah ini! Kok kamu bilangnya cuma duapuluh empat jam aja? Kok nggak bilang sampe weekend?!” protes Haknyeon sambil mencubit gemas pipi Sunwoo, yang hanya tertawa malu-malu.

“Soalnya kalo bilang sampe weekend, takut nggak dibolehin sama Gēgē.”

Gēgē nggak akan nolak, soalnya Gēgē juga suka bareng-bareng Nunu terus, tapi nggak gitu juga caranya, Nu. Pokoknya mulai sekarang nggak boleh bohong ya, harus jujur!”

“Iya, Gēgē ….”

“Sekarang jujur sama Gēgē. Kamu mabok, ya?”

“Enggak!”

Xiǎo Nu … apa kata Gēgē soal nggak boleh bohong?”

“Tapi Nunu beneran nggak mabok!”

“Oke, Gēgē ganti pertanyaannya. Kamu minum apa dan berapa banyak?”

“JD … cuma satu gelas, kok!”

“Murni atau dicampur cola?”

“Dicampur.”

“Perbandingannya berapa?”

“Satu banding empat.”

“Yang satu JD-nya atau cola-nya?”

Cola-nya … hehehe ….”

“Nggak usah haha hehe! Itu berarti kamu mabok! Kenapa harus minum sih, Nu? Besok tuh kamu masih ada kuliah. Praktikum, pula!”

“Abis Nunu tadi takut bangeeet.”

“Ya tapi nggak harus minum juga! ‘Kan bisa aja Nunu nge-game, atau ngemil, atau apa gitu.”

“Iya … maaf ….”

“Gini deh, Gēgē tau kalo Nunu udah janji sama Om dan Tante untuk minum di rumah aja, di depan Om sama Tante. Gēgē sekarang mau Nunu janji juga sama Gēgē.”

“Apa tuh?”

“Nggak minum selain weekend, apalagi kalo besoknya masih ada ujian atau kuliah. Kalo ada yang bikin Nunu takut atau nggak nyaman, call mewe’ll figure out something together.” Sunwoo terdiam. “Nunu mau janji sama Gēgē?”

Sunwoo mengangguk. “Hm-mm … Nunu janji, tapi Gēgē jangan marah lagi … Nunu takut ….”

Haknyeon terkekeh kecil. “Gēgē nggak marah, Gēgē cuma khawatir sama Nunu, nggak pengen Nunu kenapa-kenapa.”

Roger that, Gēgē.”


“Nunu cuci-cuci sama ganti baju dulu sana, biar Gēgē bikinin teh anget dulu. Besok kuliah jam berapa?”

“Jam delapan.”

“Malem ini tidurnya jangan malem-malem, ya.”

“Tapi Nunu pengen cuddling sama Gēgē …,” ucap Sunwoo pelan.

“Iya … nanti sebelom tidur ‘kan kita bisa cuddling,” jawab Haknyeon tenang sambil bergerak ke arah pantry.

“Tapi kalo nggak boleh tidur malem-malem, berarti cuddling-nya cuma bisa sebentar …,”

“Nunu besok kuliahnya apa?”

“PD VI.”

“Materinya apa?”

“Rorschach.”

Then you have to get enough sleep.”

“Oke, Gēgē ….” Dengan langkah lunglai, Sunwoo beranjak ke arah kamar tidur Haknyeon, sementara kakak pacar membuatkan teh hangat untuknya.


“Nu … ini tehnya, ya.” Haknyeon memasuki kamarnya dan tidak menemukan Sunwoo di sana.

Hm? Ke mana dah anak itu? Masih di kamar mandi, gitu?

Haknyeon meletakkan mug berisi teh hangat di nakas samping tempat tidurnya. Ketika Haknyeon berbalik, sesuatu—seseorang—menabraknya dari belakang, membuat ia dan orang tersebut terlempar ke ranjang di samping mereka, dengan posisi Haknyeon telentang di bawah orang itu.

“Nu? Kenapa? Kok nggak pake baju? Nanti masuk angin, mana tadi kita jalan kaki,” kata Haknyeon bingung saat melihat Sunwoo hanya mengenakan celana boxer-nya. Yang lebih muda menekuk wajahnya dengan kesal.

“Nunu tuh lagi ulang taun!”

“Iy—”

“Harusnya Gēgē nurutin kata-kata Nunu!”

“Tap—”

“Pokoknya Nunu mau cuddling! Mau enak-enakan sama Gēgē!”

“E—!”

Belum sempat Haknyeon berkomentar akan pernyataan terakhir kekasihnya, Sunwoo sudah menunduk dan melumat bibirnya. Haknyeon bodoh kalau ia tidak menggunakan kesempatan itu untuk menikmati bibir tebal Sunwoo di bibirnya. Mereka berciuman selama beberapa saat, setiap lumatan dan pagutan semakin panas dan dalam seiring berlalunya waktu.

“Nu ….” Haknyeon terengah saat akhirnya mereka memutus ciuman untuk mengambil napas.

“Hm ….” Si lebih muda tidak mengangkat tubuhnya dari atas Haknyeon, ia justru bergerilya ke leher Haknyeon dan memberi ciuman-ciuman kecil di sana.

Terlena, Haknyeon mengubah posisi kepalanya sehingga Sunwoo bisa mencapai titik yang diinginkannya. Menggumam senang, kekasihnya menempelkan bibirnya di titik di mana ia bisa merasakan nadi Haknyeon berdenyut. Dan ia mengisapnya kencang.

“Astaga, Kim Sunwoo!” geram Haknyeon tanpa bermaksud untuk memarahi Sunwoo.

Say hi to turtleneck for tomorrow, pikir Haknyeon.

Akhirnya si yang lebih muda duduk tegak di atas paha Haknyeon.

“Nunu kenapa?”

Ya bukannya gue protes, sih.

“Ayo kita sayang-sayangan, Gēgē.”

“Hah?”

“Pengen dienakin Gēgē.”

Sunwoo memajukan tubuhnya sehingga kejantanan mereka, yang sudah sama-sama menegang di dalam celana masing-masing, saling bergesekan. Haknyeon mendesis sambil meremas paha Sunwoo yang masih bergerak dengan sensual di pangkal pahanya.

“Nu … tunggu ….”

“Pengen ngerasain Gēgē di dalem Nunu.”

Tanpa peringatan apapun, Sunwoo langsung menduduki penis Haknyeon yang sudah menegang sempurna, membuat pemiliknya mengerang keras.

“Ayo kita main, Gēgē …,” pinta Sunwoo memelas.

Haknyeon memasukkan tangannya ke dalam boxer—sekaligus celana dalam—kekasihnya dan menangkup bongkahan pantatnya dengan nyaman. Sunwoo mendesah senang, mengira keinginannya akhirnya dipenuhi oleh Haknyeon. Kakak pacar mengarahkan jari tengahnya ke arah lubang sang kekasih dan mengelusnya pelan, sedikit memberi tekanan, membuat Sunwoo tersentak dengan sorot mata panik serta takut. Haknyeon tersenyum geli.

“Ini pengalaman pertama Nunu, ‘kan?” Sunwoo mengangguk. “Terus kenapa berani-beraninya ngajak Gēgē main?”

“Soalnya Nunu sayang sama Gēgē ….”

“Terus? Apa hubungannya?” tanya Haknyeon bingung sambil mengeluarkan tangannya dari dalam boxer dan meletakkannya di pinggang Sunwoo, mengelus perlahan dengan kedua ibu jarinya dengan gerakan yang menenangkan.

“Kata anak-anak, kalo sayang, nunjukinnya harus … itu …,” jawab Sunwoo pelan.

“Anak-anak? Siapa? Bomin? Sanha? Eric? Kok ngajarinnya yang nggak bener?” kata Haknyeon kesal.

“Bukan! Bukan! Bukan mereka! Uh … kata temen-temen waktu SMA ….” Haknyeon menghela napas.

“Nunu … nunjukin rasa sayang nggak harus sama ngewe, bisa dari perhatian-perhatian kecil, kata-kata, masakan, nggak harus dari sperma yang muncrat.”

Gēgē ih ngomongnya vulgar!” maki Sunwoo sambil memukul dada Haknyeon dengan wajah memerah. Yang dimaki hanya tertawa geli.

Padahal sendirinya tadi ngomongnya udah vulgar juga.

“Tapi … Nunu beneran mau dienakin sama Gēgē … Nunu penasaran,” lanjut Sunwoo sambil menggerakkan pinggulnya lagi, membuat Haknyeon mengeluarkan sumpah serapah dalam hati.

Pertama-tama, gue harus bikin ini anak nggak sange lagi. He’s not really in the clear state of mind.

“Boleh.”

“Beneran?!” Sunwoo berseru girang saat mendengar jawaban tenang dari Haknyeon.

“Hm-mm.”

“Yeaaay!” Tangan Sunwoo bersiap untuk melepaskan kaos yang dikenakan Haknyeon.

“Tapi ada syaratnya,” lanjut Haknyeon sambil menghentikan pekerjaan tangan Sunwoo. Yang lebih muda itu menelengkan kepalanya.

“Apa?”

“Nunu harus jawab dengan benar semua pertanyaan dari Gēgē.”

“Oke! Siapa takut?!”

“Siap?”

“Hm-mm!”

“Oke. Di tahap performance proper, apa aja yang harus dilakukan?”

“HAH?!”

“Besok kuliah Rorschach, ‘kan? Itung-itung refreshment sama mantan asdos PD VI, nih.” Sunwoo memajukan bibirnya.

Gēgē curang.”

“Nunu ‘kan pinter, Gēgē yakin pasti bisa jawab semua. Nanti kalo bener semua, Gēgē janji bakal ngasih Nunu malam paling enak,” kata Haknyeon sambil mengelus paha dalam kekasihnya dengan gerakan menggoda. Sunwoo mendesah tidak sabar.

“Oke.” Ia pun melantunkan jawabannya. Haknyeon mengangguk senang saat Sunwoo menjawab dengan benar.

Next. Karakteristik apa aja yang harus diliat waktu kita mau skoring respons dari testee?”

Gēgē iiih …!” protes Sunwoo kesal.

C’mon, xiǎo Nu … I know you can do it.” Setelah mendengus sebal, Sunwoo pun kembali memberikan jawabannya.

Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh Haknyeon. Semakin susah, semakin mendalam tentang mata kuliah Sunwoo keesokan harinya, membuat lelaki itu perlahan-lahan melupakan dorongan seksualnya.

“Oke. Pertanyaan terakhir.”

Finally! Nunu berasa lagi ujian lisan!” Haknyeon terkekeh.

“Gimana cara nentuin basal rating?”

Gēgē curaaang!!! Materi Nunu belom sampe situuu!!!” protes Sunwoo keras sambil melonjak-lonjak kecil di atas pangkuan Haknyeon. Walaupun meringis ngilu, tapi Haknyeon bersyukur bahwa sexual tension dari lelaki di pangkuannya ini sudah hilang. Disaat Sunwoo semakin mereda karena fokus pada sesi tanya jawab mereka, Haknyeon semakin menjadi karena terangsang dengan keseksian Sunwoo saat menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan tepat dan mimik serius.

“Lah, bukan salah Gēgē dong, ‘kan Nunu sebenernya bisa baca-baca dulu walaupun belom diajarin di kelas.”

“Ah nggak tau ah! Gēgē ngeselin!” rajuk Sunwoo sambil turun dari pangkuan Haknyeon. Sambil mengambil posisi duduk, Haknyeon tertawa kecil.

“Semua ada waktunya, Nunu sayang … we have all the time in this world, because I have no slightest intention to let you go.” Haknyeon mengecup bibir tebal yang dimajukan itu.

“Sekarang bukan waktu yang tepat. Besok kamu ada kuliah pagi, praktikum pula … dan … sekarang kamu dipengaruhin alkohol!” Haknyeon menyentil dahi Sunwoo.

“Aaaw!” protes Sunwoo sambil mengusap dahinya.

“Udah sana kamu pake baju tidur yang bener, terus itu tehnya diminum. Eh jangan deng, udah nggak anget kayaknya. Nanti Gēgē bikinin yang baru, but first ... I need to take a super cold shower immediately.”

“Nggak usah. Nunu bikin sendiri aja.” Memperhatikan Haknyeon yang meringis saat beranjak turun dari ranjang, Sunwoo jadi merasa bersalah. “Maaf ….”

“Hm? Kenapa?” tanya Haknyeon bingung.

“Itu.” Sunwoo dengan malu-malu menunjuk tonjolan di bagian depan celana Haknyeon.

“Oh. It's okay, Nu. Gēgē jadi tau kalo Nunu ada mikir ke sana, so maybe we can build some moods someday. Just not today, okay?”

“Hm-mm. Okay. But stillI'm sorry, Gēgē.”

Never mind, baby.”


©️aratnish'22

Bagian 4 dari “Special”

“Jadi … ada hubungan apa antara kamu dan anak saya? Dan jangan bilang kalau kalian hanya teman kuliah, saya tidak akan percaya!” Papa Sunwoo berkata straight to the point saat Haknyeon sudah duduk di seberang meja kerjanya. Di belakangnya, ibunda Sunwoo menepuk-nepuk bahu suaminya supaya berbicara lebih lembut.

“Saya pacaran sama Sunu, Om,” jawab Haknyeon tegas.

Hening menggantung di antara mereka. Haknyeon yang tadinya tenang, kini mulai gelisah seiring dengan waktu yang berlalu dalam keheningan. Pria dewasa di depan Haknyeon kemudian mengangguk dua menit setelahnya.

“Kamu percaya diri. Saya suka itu.”

Mereka kembali terdiam.

“Sudah berapa lama?”

“Sekitar satu bulan, Om.”

Lagi, pria dewasa itu mengangguk.

“Titip Sunu, ya. Jaga dia baik-baik.”

“Eh? Gimana, Om?” Bersiap untuk mendengar yang terburuk, Haknyeon tidak menyangka bahwa ia akan mendapatkan respons seperti itu dari ayah Sunwoo.

“Titip Sunu. Jagain dia. Walaupun dari luar dia keliatan kuat, keras, galak, tapi sebenarnya hatinya lembut, anaknya perasa, gampang terharu.”

“O— om tau kalo … kalo Sunu …?” Ayah dan ibu Sunwoo tertawa kecil.

“Saya gagal sebagai orang tua kalau saya sampai tidak menangkap apa yang dirasakan oleh anak saya. Kami sudah lama tahu, tapi kami menghormati privasi Sunu. Kami tidak akan bertanya apapun sampai Sunu sendiri yang siap mengatakannya kepada kami. Kami ingin Sunu merasa nyaman dan percaya, lalu mengatakannya sendiri kepada kami.”

“Sunu … Sunu takut membuat kalian kecewa,” kata Haknyeon hati-hati.

Sang ayah mengangguk. “I've guessed it that much. Yang membuat kami kecewa bukanlah karena Sunu menyukai sesama lelaki, tapi karena ia tidak cukup memercayai kami untuk membagi keadaannya.” Papa Sunwoo terdiam sejenak. “Ya, Nu? Paham ‘kan Papa ngomong apa?”

Haknyeon dan sang ibu langsung melihat ke arah pintu—yang ternyata, tanpa mereka sadari—sedikit terbuka. Di sana lah Sunwoo berdiri, mematung menatap kedua orang tuanya dengan nanar.

“Sini masuk, nggak usah ngintip-ngintip kayak maling.”

“Tapi tadi Papa nyuruh Sunu nunggu di luar,” elaknya pelan.

“Ya sekarang kamu udah di sini, jadi kenapa nggak sekalian aja masuk?”

Dengan perlahan, Sunwoo memasuki ruangan itu.

“Duduk.”

Dengan patuh, anak laki-laki yang berulang tahun itu duduk di sebelah Haknyeon.

“Jadi … kamu takut kalau kamu mengecewakan kami?” tanya sang kepala keluarga. Sunwoo mengangguk. “Words, Sunwoo?”

“Iya, Papa.”

“Kenapa, Nak?”

“Sunu anak laki-laki satu-satunya, tapi Sunu … Sunu nggak normal ….” Sunwoo menunduk di akhir kalimat.

“Siapa yang bilang Sunu nggak normal?! Bilang sama Papa, biar Papa hukum orangnya!”

“Papa ….” Sang istri berusaha menenangkannya.

“Sunu anak Papa sama Mama itu normal, sama normalnya sama anak-anak orang lain.” Sunwoo tercengang. “Ingat, Nak … Sunu itu istimewa, bukan nggak normal. Apapun pilihan Sunu, kamu selalu menjadi yang paling berharga buat Papa dan Mama, selalu jadi harta kami berdua, jadi, jangan ragu untuk mengatakan atau mengutarakan apapun kepada kami, ya?”

“Papa … sama Mama … nggak marah sama Sunu?” tanya Sunwoo pelan.

“Marah. Papa marah soalnya Sunu nggak pernah cerita apa-apa. Tentang bingungnya Sunu, mungkin? Atau takutnya Sunu? Atau apapun. Papa marah karena Sunu nggak mau sharing apa-apa sama kami, orang tua Sunu.”

“Mama nggak marah, Mama sedih. Mama yang paling banyak menghabiskan waktu sama Sunu di rumah, tapi Sunu juga nggak percaya sama Mama untuk cerita.”

“Maaf ….”

Sang ibu mendekati putranya dan memeluknya.

“Nggak apa-apa, semua akan berubah mulai saat ini, ya? Cerita kalau ada apa-apa. Cerita kalau perlu apa-apa. Don’t put us in the dark anymore, okay?”

Sunwoo mengangguk sambil terisak dan balik memeluk wanita paruh baya itu. Sang ibu tidak mengatakan apapun, hanya menepuk-nepuk punggung putranya dengan lembut. Sang ayah juga hanya melihat mereka berdua sambil tersenyum.

“Su— Sunu nggak dimarahin karena nangis?”

“Kenapa harus dimarahin?” tanya papanya bingung.

“Ka— karena Sunu co— cowok?”

“Memangnya kalau cowok nggak boleh nangis? Boleh, Nu … Papa kamu juga suka nangis, apalagi kalau habis nonton film Message in a Bottle.”

“Eh! Mama jangan buka kartu, dong!”

Sunwoo tertawa kecil sebelum menoleh ke arah Haknyeon. “Nanti kita cari filmnya ya, ?”

“Siaaap.” Walaupun tersenyum, tapi sejujurnya Haknyeon juga sedang berusaha menahan air matanya melihat penerimaan kedua orang tua kekasihnya itu.

“Sunu udah beres-beres? Katanya mau nginep di apartemennya Juhak?” tanya mamanya.

“Oh iyaaa! Belom selesai masukin baju kuliahnyaaa!” seru Sunwoo antusias sambil melepaskan pelukan sang mama.

“Sunu benar tidak akan merepotkan, Hak?” tanya papanya. Haknyeon menggeleng sambil tersenyum.

“Enggak, Om. Kebetulan Juhak ‘kan udah nggak ada kelas teori atau praktikum, cuma tinggal nyelesein revisi dari hasil seminar kemarin, jadi bisa lah ngemong Sunu.”

“Nunu bukan anak kecil iiih!”

“Nah ‘kan … keluar deh anak kecilnya. Udah sana selesein dulu beres-beresnya, biar kita bisa sama-sama perginya nanti,” perintah sang papa geli.

“Siaaap!” Dengan bersemangat, Sunwoo berdiri dari kursinya dan berlari kecil ke luar ruang kerja papanya.

Kedua kaum adam itu mengernyit bersamaan.

“Dia mabok,” ucap mereka bersamaan akhirnya. Dengan terpana, mereka menatap satu sama lain lalu tertawa kecil.

“Kami titip Sunwoo ya, Haknyeon. Tolong jaga dia, walaupun kami yakin, dia berada di tangan yang tepat.”

“Baik, Om.”


©️aratnish'22

Bagian 3 dari “Special”

Ponsel Haknyeon berdering saat ia dan teman-temannya baru saja menyelesaikan kerja kelompok di rumah Hwiyoung. Sebenarnya bukan kerja kelompok, tapi lebih ke ‘berkumpul bersama untuk mengerjakan skripsi masing-masing agar tidak terasa mengenaskan sendirian’.

“Ciyeee … yang mau menghabiskan malam bersama ayang,” goda San saat melihat senyum semringah tercetak di wajah Haknyeon.

“Sirik aja, lo!” protes yang digoda walaupun dengan nada geli. “Halo, Nu?”

“Gēgē nanti malem beneran dateng, ‘kan? Acaranya jam tujuh loh, ya! Jangan sampe telat! Papa nggak suka sama orang yang ngaret. Nunu juga nggak suka. Kalo sama orang lain sih Nunu nggak peduli, tapi Nunu nggak mau kalo Gēgē ngaret.” Haknyeon tersenyum geli saat mendengar celotehan kekasihnya itu.

“Iya, Nu … pasti dateng, kok. Ini mau nganterin Changbin pulang dulu, abis itu Gēgē pulang ke apart untuk siap-siap.” Haknyeon menjepit ponselnya dengan bahu, sementara kedua tangannya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

“Nanti Gēgē ke rumah Nunu-nya nggak usah pake mobil, ya … jalan kaki aja, ‘kan tinggal nyebrang.”

“Eh? Kenapa harus jalan kaki?” tanya Haknyeon bingung. Walaupun kompleks perumahan tempat Sunwoo tinggal memang hanya di seberang gedung apartemennya, tapi permintaan Sunwoo itu cukup aneh menurutnya.

“Ya biar nanti kita ke apart Gēgē-nya jalan kaki. ‘Kan romantis tuh kayaknya kalo malem-malem jalan kaki berdua gitu …. Angin sepoi-sepoi, terus jalannya pelan-pelan sambil pegangan tangan.” Sunwoo terkekeh geli di ujung kalimatnya, membuat Haknyeon ikut tersenyum geli sambil menggeleng kecil.

Ada-ada aja dah ini anak.

“Lucu banget sih, kamu,” kekeh Haknyeon, mengabaikan siulan dan ocehan menggoda dari teman-teman di belakangnya.

“Hehehe … siapa dulu dong … cowoknya Gēgē.”

“Padahal kemaren-kemaren waktu ngediemin Gēgē, galaknya minta ampun. Cemberut terus, ngomongnya ketus. Kalo ngeliat Gēgē matanya melotot, warnanya merah, terus tanduknya nongol,” goda Haknyeon.

“NGGAK USAH DIBAHAS LAGI, IIIH! GĒGĒ NGESELIIIN!” Haknyeon tertawa mendengar protesan yang lebih muda.

“Iyaaa … maaf. Ini Gēgē otw pulang dulu ya, Nu. Nanti kalo Gēgē udah mau berangkat ke rumah Nunu, Gēgē kabarin lagi. Tapi kalo ujan, Gēgē tetep bawa mobil, ya. Gēgē nggak mau Nunu kena angin malem terus kecipratan ujan, nanti malah sakit. Oh iya, Nunu udah bilang ke Om sama Tante kalo mau nginep di apart Gēgē?”

Hening.

“Nu?”

“Mm … belom.”

“Kok belom?”

“Nunu takut ….”

“Kena— Oh. Ya udah, nanti bilangnya bareng aja sama Gēgē, ya? Pokoknya izinnya harus yang bener, nggak boleh ngebohongin Om sama Tante.”

“Iya.”

“Ya udah, Gēgē jalan dulu, ya.”

“Hati-hati di jalan, Gēgē.”

“Siap, xiǎo Nu!”


Pukul tujuh kurang sepuluh menit, Haknyeon sudah berada di depan kediaman keluarga Kim dan bersiap untuk membunyikan bel, saat pintu depan rumah itu terbuka dan memperlihatkan sosok kekasihnya. Haknyeon tersenyum sambil menurunkan tangannya.

“Halo, birthday boy,” sapa Haknyeon yang membuat Sunwoo terkekeh senang.

“Ma, Pa, Kak Juhak udah dateng!” seru Sunwoo ke dalam rumah, sementara ia melangkah mendekati Haknyeon yang sudah memasuki halaman rumahnya.

“Nunu pengen dipeluk, tapi takut ketauan sama Papa dan Mama,” bisik Sunwoo dengan nada sedih. Haknyeon tersenyum menenangkan. Sunwoo memang belum memberitahukan perihal hubungan mereka kepada kedua orang tuanya. Takut. Sunwoo takut orang tuanya tidak bisa menerima bahwa putra semata wayang mereka menyukai sesama lelaki.

“Nanti di apart, Gēgē peluk yang laaamaaa,” jawab Haknyeon tidak kalah pelan.

“Yeaaay!” seru Sunwoo antusias—tetap dengan pelan tentunya.

Makan malam itu berlangsung dengan lancar. Mama Sunwoo banyak menceritakan tentang masa kecil Sunwoo kepada Haknyeon yang tidak hentinya tertawa geli, sementara yang menjadi bahan pembicaraan beberapa kali melayangkan protes ke sang ibu karena malu.

“... terus akhirnya Sunu ngompol karena nggak berani minta izin ke bu gurunya.” Haknyeon tertawa keras saat Mama Sunwoo menyelesaikan cerita mengompolnya sang putra saat berada di sekolah dasar.

Gēgē jangan gitu banget ih ngetawainnya! Nunu beneran bingung tau waktu itu!” protes Sunwoo sambil mencubit manja lengan atas Haknyeon, yang bukannya protes, tapi malah tertawa semakin keras.

“Ya abisan kamu lucu banget, kok nggak berani minta izin? Nggak sehat tau kalo nahan pipis.”

“Waktu itu baru pindah ke sekolah itu, jadi nggak kenal siapa-siapa, nggak kenal lingkungannya juga,” rajuk Sunwoo. Haknyeon tidak berkomentar apa-apa lagi, ia hanya menepuk-nepuk lembut kepala Sunwoo, membuat pemuda yang sedang berulang tahun itu tersipu malu.

Papa dan Mama Sunwoo saling bertatapan dengan tanda tanya dan rasa tertarik di netra mereka saat melihat interaksi itu.

“Oh iya, Pa, Ma!” cetus Sunwoo girang tiba-tiba.

“Apa?” jawab kedua orangtuanya bersamaan.

“Papa sama Mama ‘kan abis ini pergi sampe akhir minggu, Sunu boleh nggak nginep di apartemennya Kak Juhak selama Papa sama Mama pergi?” tanya Sunwoo cepat, takut nyalinya hilang di tengah kalimat.

Hah?! Sampe akhir minggu?! Katanya cuma duapuluh empat jam aja?! Maksudnya duapuluh empat jam dikali berapa hari, gitu?! pikir Haknyeon terkejut.

Kedua orang tua Sunwoo saling bertatapan dengan sorot mata yang tidak bisa diartikan oleh kedua pemuda yang duduk di seberang mereka.

“Juhak, saya dan istri saya mau bicara dengan kamu. Ikut saya.” Papa Sunwoo berdiri dari kursinya, diikuti dengan sang istri.

“Eh?! Pa … Sunu gimana?” tanya Sunwoo panik.

“Kamu tunggu di sini, atau di kamar, pokoknya jangan deket-deket sama ruang kerja Papa!”

…,” bisik Sunwoo takut-takut. Haknyeon, yang juga sudah berdiri dari duduknya, mengelus kepala Sunwoo untuk menenangkan kekasihnya itu.

“Nggak apa-apa, semuanya bakal baik-baik aja. Nunu ikutin kata-kata Papa aja, ya?”

Dengan satu elusan terakhir, Haknyeon berjalan menjauhi Sunwoo.


©️aratnish'22