aratnish

~ I write the story I want to read ~

cw // kissing, cuddling

please remember that : • this story is a fiction • character's personality and developments are solely for story purposes only • what is in this story, stays in this story



Sunwoo langsung memalingkan pandangan dari tayangan televisi yang sedang ditontonnya saat ia mendengar pintu unit apartemen itu terbuka.

“Hakkie?”

Yeah,” sahut sebuah suara dengan nada lelah.

Sunwoo segera bangkit dari sofa untuk menyambut kekasihnya yang kini terlihat sedang melepas mantel dan sepatu di pintu depan.

“Kok tumben malem banget pulangnya?” tanya Sunwoo khawatir.

“Ada dua orang di shift aku yang nggak masuk hari ini, sementara kalo Jumat malem itu ‘kan resto pasti penuh banget. Jadi ya … terpaksa semuanya kerja lebih keras dan closing-nya jadi lebih malem, karena kurang orang buat beres-beres.” Haknyeon meregangkan badannya.

“Ya ampun badan aku sakit semua. Berasa renta banget deh. Kamu sendiri … kok jam segini udah di apart, Nu?” lanjut Haknyeon sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air.

“Warnet lagi lumayan sepi, kayaknya karena minggu depan udah pekan ujian, jadi jarang yang dateng untuk nge-game. Lagi nggak ada turnamen e-sport juga kayaknya. Ya udah, tadi closing lebih awal deh jadinya. Kamu mau aku bikinin hot chocolate sementara kamu mandi?”

“Hm-mm. Mau banget. Abis itu pijetin kaki aku, mau nggak? Pegel banget seriusan, nggak ketulungan.” Sunwoo tersenyum mendengarnya.

“Iya, nanti aku pijetin. Sekarang kamu bersih-bersih dulu, ya … keburu makin malem, nanti malah masuk angin.”

“Siap, jendral!”

Haknyeon beranjak menuju kamar untuk mengambil pakaian ganti. Tidak lama kemudian, ia melanjutkan perjalanannya ke kamar mandi, walaupun sempat berbelok sebentar ke dapur untuk memberikan kecupan hangat di bibir Sunwoo yang sedang membuatkan hot chocolate dari nol untuknya. He’s really good at it. For real.

Uh … at making a hot chocolate from scratch, I mean, not at kissing Haknyeon. But errthat too, I guess.


“Sini.” Sunwoo menepuk-nepuk bidang kosong di sebelah kirinya di sofa saat melihat Haknyeon keluar dari kamar mandi dengan mengenakan piyama yang terlihat sedikit longgar di tubuhnya.

‘Ya ampun gemes banget! I fell in love with him more and more each day,’ batin Sunwoo saat mengagumi sosok sang pacar.

“Beneran nggak apa-apa mijetin aku?” Haknyeon memastikan sambil duduk di sofa dan meluruskan kedua kakinya di pangkuan Sunwoo.

“Ya ampun, sayang … kayak ke siapa aja. ‘Kan aku udah setuju mijetin kamu tadi. Nih coklatnya. Santai aja ya.”

“Oke.”

Haknyeon menyesap hot chocolate-nya dan menggumam senang. Perpaduan dari pijatan Sunwoo di kakinya yang super pegal serta rasa manis dan hangat dari hot chocolate, perlahan meningkatkan kembali hormon endorfinnya.

“Enak?” tanya Sunwoo geli saat melihat wajah pacarnya mulai berbinar kembali. Yang ditanya mengangguk dengan semangat.

“Siapa dulu dong yang ngasih service. Pacarnya Hakkie!” jawab Haknyeon sambil menjawil dagu Sunwoo yang kemudian tertawa senang.

“Kamu lagi nonton apaan, sih? Kayaknya serius banget dari tadi?” Haknyeon ikut mengalihkan pandangannya ke arah televisi.

“Nessie.”

“Nessie? Siapa?”

“Monster Loch Ness itu loh,” jelas Sunwoo setelah terkekeh kecil.

“Oooh … emangnya itu beneran ada? Bukan mitos aja?”

“Nggak tau, makanya aku penasaran, tapi dari tadi bukti yang dikasih liat cuma grainy photo hitam putih gitu. Ngeselin.”

“Kalo kata aku sih cuma mitos deh, biar banyak turis yang dateng ke situ.”

“Bisa jadi sih, tapi tadi dibilang kalo negara-negara lain yang punya danau dengan karakteristik yang sama, di garis yang sama ‘ma Danau Loch Ness, pernah ngeliat makhluk kayak Nessie juga.”

“Oh ya?”

“Hm-hm.”

“Hoo … menarik.”


Mereka menonton tayangan dokumenter itu sambil sesekali mendiskusikan teori yang disampaikan. Namun, pada menit ke dua puluh, Haknyeon sudah menghabiskan hot chocolate-nya dan matanya mulai sulit untuk tetap dibuka. Ia kemudian meletakkan cangkir kosong di meja kopi samping sofa dan menarik kakinya dari pangkuan Sunwoo.

“Hmm? Kenapa?” tanya Sunwoo sambil menoleh ke arahnya.

“Nggak apa-apa.” Tapi ia beranjak ke pangkuan Sunwoo dan duduk menyamping di sana.

“Udah ngantuk?”

“Hm-mm.”

“Ya udah yuk tidur. Loh? Kenapa?” tanya Sunwoo heran saat Haknyeon menggeleng.

“Kamu katanya penasaran sama teori Nessie yang paling baru itu?”

“Iya sih, tapi aku bisa nyari siaran ulangnya kok nanti.”

Haknyeon kembali menggeleng. Melingkarkan lengannya di tubuh yang lebih muda, Haknyeon meletakkan kepalanya dengan nyaman di bahu Sunwoo.

“Aku gini aja boleh?” Sunwoo mengecup pelipis Haknyeon dengan sayang.

“Boleh, sayang.” Ia pun balas memeluk Haknyeon dan sesekali memberi usapan lembut di punggungnya.

“Kamu kayak bayi koala kalo gini.”

“Iya, terus kamu bapaknya koala. Eh bapaknya koala itu ngegendong anaknya juga nggak sih? Atau cuma induk koala aja yang gitu?” Sunwoo tergelak mendengar pertanyaan random dengan nada mengantuk itu.

“Besok kita cari tau, ya?”

“Oke.”


Haknyeon perlahan membuka matanya dan terkejut saat mendapati ia masih berada di pangkuan Sunwoo di sofa ruang tamu unit apartemen mereka. Ia melirik ke arah jam dinding.

‘Hah? Jam dua?! Tiga jam gue tidur gini?! Ya ampun kasian Sunu mangku gue gini terus.’

Haknyeon menatap wajah Sunwoo yang juga terlelap sambil tetap memeluknya.

Matanya menelusuri rahang tajam Sunwoo, rahang yang selalu menggodanya untuk menelusuri perlahan dengan jari ataupun lidahnya.

Haknyeon mengalihkan pandangannya ke bibir merah dan tebal milik pacarnya yang saat itu sedikit terbuka. Mereka sudah menjalani hubungan selama lebih dari tiga tahun, tapi jangka waktu tersebut tidak sedikit pun mengurangi kecanduan Haknyeon akan bibir Sunwoo.

‘Pengen nyium. Tapi kasian nanti dia bangun. Tapi ‘kan emang harus bangun, ya? Masa mau tidur di sini sampe pagi?’

Haknyeon bergelut dengan pikirannya sambil tetap menatap Sunwoo.

‘Cium dikit aja nggak apa-apa, kali ya?’

Haknyeon memajukan wajahnya mendekati wajah Sunwoo. Hanya untuk berhenti dan mengurungkan niatnya, beberapa sentimeter dari wajah kekasihnya itu, karena tiba-tiba merasa malu.

“Jadi nyium, nggak? Kalo nggak jadi, biar aku yang nyium duluan.” Tiba-tiba, tanpa membuka matanya, Sunwoo bersuara.

“Bilang dong kalo udah bangun!” protes Haknyeon semakin malu.

“Dan melewatkan kesempatan ngeliat kamu blushing? Nggak deh.” Sunwoo tertawa saat dadanya dipukul secara main-main oleh Haknyeon.

“Sini dong, aku mau cium beneran,” ucap yang lebih muda sambil menarik Haknyeon mendekat dan memagut bibirnya.

Ciuman balasan yang diberikan Haknyeon membuat Sunwoo sedikit terkejut.

“Hakkie? Sayang?” bisik Sunwoo dengan sedikit terengah di sela-sela ciuman mereka — dan di sela-sela kegiatan Haknyeon menciumi titik sensitif di bawah telinganya.

“Hmm?”

Are you needy right now?” tebaknya, karena Haknyeon tidak biasanya lebih agresif dari dirinya pada sesi make out mereka. Sebagai tambahan, sesuatu di bawah sana juga membuktikan seberapa inginnya Haknyeon saat itu.

Gerakan Haknyeon terhenti dan ia menatap Sunwoo.

I guess I am.” Sunwoo tersenyum geli. “Nggak boleh, ya? Kamu capek, ya?” Sunwoo menjawab pertanyaan itu dengan ciuman panas dan panjang.

“Apa aku keliatan capek?” ujarnya sambil menyapu bibir bawah Haknyeon yang membengkak dengan ibu jari. Wajah kekasihnya itu bersemu merah.

“Kalo gitu, ayo! Tunggu apa lagi?”

Haknyeon bangkit dari duduknya dan menarik Sunwoo untuk ikut berdiri. Yang membuatnya terkejut, Sunwoo langsung terduduk kembali begitu ia sudah berhasil bangkit.

“Nu?”

“Paha aku kebas banget. Tadi waktu masih mangku kamu belom kerasa.” Sunwoo menjawab sambil tertawa gugup.

Terbelalak selama tiga detik, Haknyeon pun tertawa keras.

“Ya ampuuun … nggak romantis banget ending-nya.”

“Bantuin, dong … masa cuma diketawain?!” protes Sunwoo, lebih ke arah malu karena ia terlihat tidak “keren” di depan pacarnya.

“Iya iya sini aku bantu.” Haknyeon pun membantu yang lebih muda untuk berdiri dari sofa dan memapahnya menuju kamar tidur mereka.

“Lagian kenapa nggak ngebangunin aku terus kita pindah ke kamar, sih?” tanya Hakneyon geli.

“Aku juga ketiduran tadi pas iklan.” Haknyeon tertawa.

“Terus ini jadinya kamu masih bisa main, nggak?” goda Haknyeon.

“Kamu yang di atas ya, yang?”

“Nggak mau ah. Mending reschedule aja.”

“Yaaah … yaaang … aku udah keburu needy juga iniii!”

Haknyeon hanya tertawa sambil tetap memapah Sunwoo yang masih mengomel panjang lebar.

Well, ia tidak mungkin menolak permintaan Sunwoo, ‘kan?

Tidak mungkin mau menolak, lebih tepatnya.


—aratnish'21

“Nu, maaf ya ... ternyata jadinya cuma gue sendiri yang bawa temen di luar anggota klub. Mana kita jadinya tidur di ruang tengah bareng-bareng, lagi,” sesal Haknyeon saat ia membantu Sunwoo—yang secara sukarela mengajukan diri—memanggang daging untuk makan malam mereka.

“Nggak apa-apa, Hakkie. Tenang aja ... toh gue juga sebenernya udah kenal sama mereka.” Sunwoo mengelus puncak kepala Haknyeon dengan sayang.

“Terus sekarang lo malah jadi juru panggang.” Sunwoo tertawa.

It's okay, 'kan gue yang mengajukan diri.”

“Tapi—”

“Nggak ada tapi-tapian. Nih, yang ini udah mateng. Bawa ke tempat Kak Sangyeon sama yang lainnya sana.” Sunwoo menyerahkan piring berisi potongan daging sapi matang kepada Haknyeon yang masih menatapnya dengan perasaan bersalah.

“Udaaah ... gue nggak apa-apa.” Sunwoo mendorong Haknyeon pelan sambil tersenyum geli.


“Haknyeon sama Sunwoo tuh ... pacaran?” tanya Jacob saat melihat interaksi keduanya di depan panggangan.

“Masa sih?” Sangyeon terkejut.

“Lah nggak tau, makanya gue nanya.”

“Kalo dari gerak-geriknya sih iya, tapi kata Haknyeon mereka cuma sahabatan,” timbrung Kevin.

“Masih pasangan baru kali ya? Jadi malu-malu,” tebak Jacob geli. Sangyeon dan Kevin tertawa.

“Iya kayaknya. Lagian, Haknyeon juga baru gabung di klub, mungkin masih nggak nyaman untuk langsung bilang kalo dia pacaran sama Sunwoo.” Kevin mengangguk sebagai persetujuan atas ucapan Sangyeon.

“Bisa jadi. Lagian, Sunwoo juga termasuk cowok populer 'kan di kampus? ... Eh! Jangan-jangan Sunwoo yang nggak mau go public? Jangan-jangan dia takut popularitasnya menurun?!”

“Hush! Kev! Jangan nethink gitu sama orang. Kalo Sunwoo emang mau backstreet, dia nggak akan mau diajak ke sini, 'kan? Lagian di sini juga kayak yang cuek-cuek aja dia skinship ke Haknyeon. Justru Haknyeon yang keliatannya malu-malu.”

“Tapi—”

“Lagi bahas apaan, Kak?” Tiba-tiba Haknyeon muncul sambil membawa dua piring berisi daging sapi panggang.

“Eh. Enggak. Ini lagi bahas minggu depan mau ambil buku apa buat dibedah.” Sangyeon segera mengalihkan pembicaraan.

“Lah. Katanya mau full liburan. Gimana sih, Pak Ketua ini?” gelak Haknyeon.

“Hehehe ... kebiasaan,” jawab Sangyeon rikuh sambil menggaruk rahangnya yang tidak gatal.

“Pak Ketuaaa ... jalan-jalan ke pantai, yuuuk!” ajak Giselle, salah satu anggota perempuan dari klub bedah buku itu.

“Yuk, Yeon ... asyik nih kayaknya ke pantai malem-malem.” Jacob segera berdiri dari duduknya.

“Ya udah ayo, tapi ini semua diberesin dulu, yuk.”

“Gue aja yang ngeberesin nggak apa-apa, Kak. Kalian berangkat aja duluan.” Sunwoo sudah berada di sebelah Haknyeon dan memegang pinggang pemuda itu sekilas. Tidak cukup “sekilas”, karena baik Sangyeon, Jacob, dan Kevin sudah melihatnya, sementara Haknyeon langsung salah tingkah.

“Eh ya nggak gitu dong, Nu. Lo 'kan tamu,” tolak Kevin.

“Nggak apa-apa, Kak. Nggak banyak kok yang harus diberesin, nggak nyampe setengah jam juga pasti udah beres.”

“Tapi—”

“Nggak apa-apa, Kak. Gue bakal nemenin Sunwoo beres-beres, kok,” potong Haknyeon.

Saling menatap penuh arti, ketiga seniornya di klub itu akhirnya mengangguk sambil berusaha menyembunyikan senyum simpul mereka. Sunwoo pun ikut menyembunyikan senyumannya.

'Hakkie nih ... katanya belom siap untuk go public, tapi sekarang dia sendiri yang buka kedok. Ya gue 'kan jadi seneng,' pikir Sunwoo geli.


“Ada yang bisa tidur nggak sih tadi malem?” sungut Sangyeon keesokan paginya.

“Enggaaak!” jawab Jacob dan Kevin serempak.

“Eh? Kenapa? Ada apa? Kok gue nyaman-nyaman aja tidurnya?” tanya Haknyeon bingung.

“Sunwoo! Asli lo kalo tidur ngorok parah bangeeet!” protes Kevin kepada Sunwoo.

“Ah masa? Kok gue nggak denger?” elak Sunwoo.

“Ya mana ada orang ngorok ngedenger dengkurannya sendiri, ogeb?!” Sepertinya kurang tidur membuat sang penyabar Jacob menjadi grumpy.

“Ehehehe ... ya maaf banget, Kak. Gue agak kecapekan kayaknya beberapa hari ini.”

“Lo bisa tidur, Hak? Lo 'kan tidurnya sebelahan banget sama Sunwoo,” tanya Sangyeon sambil berusaha membuka penuh matanya yang masih mengantuk.

“Bisa, Kak. Gue sih udah biasa, soalnya Sunu emang kalo lagi tidur suka ngorok. Apalagi kalo udah kecapekan, pasti kenceng banget,” jawab Haknyeon tenang.

Semua pasang mata yang ada di ruangan itu saling melirik satu sama lain dengan tatapan geli. Tidak terkecuali Sunwoo yang sedang berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawanya mendengar Haknyeon yang dengan tenang—tanpa sengaja—mengemukakan tentang indikasi hubungan mereka.

“Oooh? Lo udah biasa?” pancing Kevin. Haknyeon mengangguk yakin.

“Dia sering nginep di kosan gue. Gue juga sering nginep di kosan dia. Jadi ya ... udah biasa banget sih denger dengkurannya dia di sebelah telinga persis.”

Sungguh. Sunwoo tidak tahan lagi. Ia harus tertawa, kalau tidak, wajahnya pasti akan meledak. Tapi ia tidak ingin membuat Haknyeon curiga, jadi ia hanya berpura-pura terbatuk.

“Hmm ... jadi ... lo sama Sunwoo itu pacaran?” Jacob juga tidak tahan untuk memancing jawaban tentang hubungan mereka. Lagi, Haknyeon mengangguk dengan mantap.

“Iy—a ....” Haknyeon menjawab dengan terbata saat ia melihat Sunwoo, yang tidak bisa lagi menahan tawanya, sedang terbahak keras sambil memegangi perutnya. Dan Haknyeon tahu bahwa ia sudah membuka kedoknya sendiri.


—aratnish'21

please remember that : • this au is a fiction • character's personality and developments are solely for au purposes only • what is in this au, stays in this au



Sunwoo melihat langit yang mulai menghitam dari jendela kamar kosnya dengan sedikit gelisah.

'Kayaknya bakal ujan gede, nih,' pikirnya sambil menggigit-gigit bibir bawahnya. Kebiasaannya kalau sedang berpikir atau gelisah.

Suara guntur terdengar di kejauhan. Tidak begitu keras, namun mampu membuat Sunwoo sedikit terlonjak dari kursinya.

Sudah. Cukup. Ia tidak akan pernah bisa menyelesaikan tugas kuliahnya dengan keadaan seperti ini.

Ia menoleh ke arah jam dinding. Pukul tiga sore.

Hari apa sekarang? Rabu.

Ah.

Rabu pukul tiga sore, kakak pacar masih kerja sambilan di toko kue sampai pukul setengah empat sore.

Kakak pacar yang selalu menjadi safe haven-nya setiap ada hujan dengan guntur menderu seperti saat ini. Kakak pacar yang selalu memeluknya dengan hangat dan Sunwoo akan merasa tenang serta aman karena kehangatan dan aroma manis kue yang kadang masih melekat di tubuhnya.

Suara guntur kembali terdengar, kali ini semakin dekat, disertai beberapa tetesan air hujan di jendela kamar kosnya.

'Aduuuh ... jangan ujan dulu, dong! Plis tunggu sampe Kak Hakkie pulang kerja sambilan,' doa Sunwoo sedikit panik dalam hati. Namun doanya tidak terkabul, karena dalam hitungan detik, hujan deras langsung mengguyur kota itu.

“Kak Hakkie ... uuuh ... pulang cepet dooong.” Sunwoo sudah hampir menangis. Selain karena suara keras dari guntur yang bersahut-sahutan, Sunwoo takut dengan hujan deras karena ... well ... katanya takut rumah kosnya runtuh.

Suara dering ponselnya membuat Sunwoo kembali terlonjak. ID Kakak Pacar tertera di layar ponselnya.


“KAKAAAK ...!” rengek Sunwoo tanpa sapaan pembuka apapun.

“Di sana ujan juga, Nu?” Suara Haknyeon terdengar agak keras untuk menyaingi suara hujan yang menjadi suara latar sesi panggilan telepon mereka saat itu.

“Iyaaa! Kakak di manaaa? Masih kerja?”

“Aku udah pulang, tapi ini masih di jalan karena macet.”

“Kakak cepet pulaaang.”

“Nunu takut banget, ya?”

“Iy— AAAAAAK!!!” Tepat pada saat itu, suara guntur yang sangat keras terdengar cukup dekat dengan rumah kos itu. “Kakaaak ... cepet pulang, pliiis. Nunu takuuut,” isaknya.

“Sabar ya Nu, kalo ujan banyak geluduknya gitu biasanya cepet redanya.” Haknyeon berusaha menenangkan pacarnya.

“Kata siapa? Valid nggak? Udah ada label halalnya?” Haknyeon tertawa.

“Kok pake label halal segala? Lupa sih kata siapa, tapi banyak yang bilang gitu. Mudah-mudahan aja bener.”

“Kok mudah-mudahan siiih? Yang bener yang mana, Kakaaak?!”


Haknyeon tertawa saat mendengar protesan, yang kemudian disusul dengan teriakan panik, dari pacarnya yang satu tahun lebih muda itu.

“Kakaaak! Ini gimana kalo rumahnya runtuuuh?” rengek Sunwoo.

“Astaga. Ya nggak mungkin lah, Nu. Kosan kita tuh bangunannya baru, kokoh juga keliatannya.”

“Ya 'kan cuma keliatannya aja! Gimana kalo ternyata pondasinya nggak kuat? Kalo ternyata kontraktornya mainin bahan bangunannya, jadi pake yang grade-nya rendah dan nggak sesuai sama spek?”

Haknyeon tertawa dengan keras mendengar overthinking si yang lebih muda.

“Nunu, jangan mikir yang serem-serem gitu, nanti malah makin takut.”

“AAAK!!! ADA LAGI GELUDUKNYAAA!!!”

Iya, Haknyeon tahu, karena ia sendiri sudah berada di parkiran rumah kos mereka dan mendengar gemuruh guntur itu. Agak tergesa, ia turun dari mobilnya dan berhati-hati supaya tidak terpeleset saat menyeberangi lahan parkir kosan.

“Nunu mau tau nggak gimana caranya biar nggak takut?”

“Gi— hiks ... gimana?”

Aaah ... ternyata si pacar sudah benar-benar menangis sekarang.

“Mikirin hal-hal yang kamu suka.”

“Hah??”

“Jaman dulu tuh ada film yang judulnya The Sound of Music. Kamu tau, nggak?”

“Enggak.”

Suara di seberang ponsel Haknyeon terdengar agak stabil. Walaupun baru saja terdengar suara guntur di dekat mereka, tapi Sunwoo tidak berteriak-teriak dengan panik.

“Di film itu ada insert song yang judulnya My Favorite Things, yang ngajarin kita untuk mikirin hal-hal yang kita suka kalo kita lagi takut atau sedih, atau ngalamin hal yang nggak enak.”

“Hmm ....” Nada suara adik pacar sepertinya masih agak sangsi. Atau mungkin tidak sepenuhnya mengerti.

“Misalnya nih ... aku 'kan suka makan, ya—” Perkataannya itu dipotong oleh kekehan Sunwoo.

“Iya, kalo itu aku tau banget.” Haknyeon tersenyum.

“Nah, tiap aku lagi takut atau bete, aku mikirin makanan. Misalnya nih, aku inget-inget lagi makanan yang paling aku suka waktu kita first date. Rasanya gimana, beli di mana, trus ujung-ujungnya pengen beli lagi. Lupa deh sama betenya.” Sunwoo tertawa bersamanya.

“Kalo Nunu gimana?”

“Hmm ... aku suka sepakbola.” Sunwoo menjawab dengan ragu-ragu.

“Hm-mm. Gimana sukanya?” Haknyeon menyemangati.

“Mainnya seru, seneng juga mikirin strategi yang mau dipake waktu tanding. Waktu SMP posisi aku jadi gelandang tengah, tapi sebenernya aku pernah main semua posisi selain penjaga gawang.”

“Kenapa?” Haknyeon kini berjalan menaiki tangga kos menuju kamar Sunwoo di lantai tiga.

“Kayaknya bosen aja gitu cuma nungguin bola sendirian di belakang. Kesepian banget kayaknya.”

“Eit. Nggak boleh mikir yang nggak bikin seneng. Ayo, apa lagi yang bikin kamu seneng?”

“Oh iya. Mmm ... aku suka nonton anime. Aku udah nonton Kimi no Nawa delapan kali! Hahaha ... aduh, jadi pengen ngulang nonton lagi.”

Haknyeon ikut tertawa mendengarnya. Ia kini sudah berada di depan pintu kamar Sunwoo, namun mendengar pemuda itu tampaknya sedang seru bercerita mengenai kesukaannya, Haknyeon mengurungkan niatnya untuk memasuki kamar Sunwoo. Apalagi saat ia tahu bahwa Sunwoo tidak panik saat ada guntur yang lumayan keras berbunyi, padahal ia saja cukup terlonjak saat mendengarnya. Alih-alih berbalik untuk kembali ke kamarnya di lantai dua, Haknyeon memutuskan untuk duduk di lantai dan bersandar di pintu kamar Sunwoo.

“Terus, aku suka banget sama peppero, tapi aku sukanya yang rasa original. Oh! Aku juga suka McD sama BR. Sabtu ini ke sana yuk, Kak! Kangen chicken tender sama mom is an alien,” ajak Sunwoo dengan semangat.

“Iya. Ayo kita ke sana nanti.”

“Terus ... terus ....”

Tanpa henti, Sunwoo terus mengoceh tentang hal-hal yang ia suka, yang 90% sudah diketahui dengan jelas dan dihafal oleh Haknyeon. Namun tetap ia mendengarkan sambil sesekali menggumamkan 'hm-mm' atau mengatakan 'oke' dan 'oh ya?' sebagai tanda bahwa ia masih menyimak kata-kata Sunwoo.

“Lah? Lo ngapain di situ, Hak?” tanya Hyunjae, penghuni kamar kos di seberang kamar Sunwoo, tiba-tiba. Panik, Haknyeon meminta Hyunjae diam dengan menempelkan telunjuk tangan kirinya di depan bibir.

“Apaan sih? Lo berantem sama Sunwoo trus nggak dibolehin masuk kamarnya?” tanya Hyunjae dengan suara yang tidak bisa dibilang pelan. Haknyeon bahkan curiga bahwa Hyunjae sengaja menaikkan volume suaranya agar terdengar oleh Sunwoo.


Di kamarnya, Sunwoo berhenti bercerita dan mengernyitkan dahi, bingung karena suara yang ia dengar di telepon dan di luar kamarnya mengucapkan kalimat yang sama.

'Kok bisa sama?' pikirnya bingung sambil berjalan menuju pintu.

Dengan penasaran, Sunwoo membuka pintu kamarnya dengan satu kali tarikan mantap. Satu tarikan yang membuat Haknyeon—yang masih duduk bersandar ke pintu—terjengkang di depannya.

“Kakak ngapain di situ?!!”

“Err ... telponan sama kamu?” jawab Haknyeon sambil melemparkan senyum kekanak-kanakan.

“Lah kalian deketan gitu ngapain pake telpon-telponan?” tanya Hyunjae bingung.

“Lo diem aja deh, Kak!” gerutu Haknyeon kesal karena tadi Hyunjae tidak menangkap isyaratnya dengan benar.

“Kakak dari kapan ada di situ?”

“Dari ... mm ... dari kamu cerita tentang Kimi no Nawa.”

“Itu 'kan setengah jam yang lalu! Kenapa nggak masuk aja, ih?! Aku 'kan pengen dipeluk Kakak kayak biasanya! Kenapa malah nyuruh aku cerita panjang lebar?!”

“Tapi kamu jadi nggak takut lagi, 'kan?”

“Eh? Iya juga, ya? Aku sampe nggak sadar kalo ujannya udah berhenti.”

“Nah 'kan? Berarti kamu sebenernya bisa sendiri ngatasin rasa takut kamu, nggak harus dipeluk sama aku.”

“Tapi aku pengennya dipeluk!”

“Iya, boleh ... tapi kamu juga harus belajar untuk mandiri, aku 'kan belom tentu ada terus untuk meluk kamu.”

“KAKAK MAU NINGGALIN NUNUUU?!!! NUNU NGGAK MAUUU!!”

“Lho? Kok kesimpulannya jadi gitu??”

“Itu tadi katanya Kakak belom tentu ada terus untuk Nunu?!”

“Ya 'kan jaga-jaga aja, Nu. Mungkin aja pas ujan Nunu lagi di luar kota, atau akunya lagi kerja sambilan, atau kita sama-sama lagi ada kelas. 'Kan nggak bisa kalo cuma ngandelin aku peluk aja.”

“Tapi Nunu nggak mau ditinggalin Kakaaak!”

“Nggak akaaan, Nunuuu!”

“Kakak nggak boleh pergi dari Nunuuu!”

“Iyaaa!”

“Huwaaa ...!”

“Nunu jangan nangiiis!”

“Mau peluuuk!”

“Iyaaa ayo siniii!”

“Ah udahlah. Gue emang nggak bisa ngadepin duo bulol ini,” kata Hyunjae sambil menggelengkan kepala dan beranjak menuruni tangga, meninggalkan Haknyeon dan Sunwoo yang sedang duduk berpelukan di lantai.


But they're kinda cute, right, Hyunjae? —aratnish'21

please remember that : • this au is a fiction • character's personalities and developments are for au purposes only • what is in this au, stays in this au



“Kakaaak ... aku capeeek ...,” rengek Sunwoo mengantuk sambil menaiki tempat tidur dengan gerakan super lambat.

'Jadi lebih mirip kungkang daripada rakun,' pikir Haknyeon geli. Namun kepada Sunwoo ia berkata,

“Ya tidur lah, Nu .... Lagian, bukannya langsung ke kosan, tapi malah ke apart aku. 'Kan lebih jauh jadinya dari kampus kamu.”

“Tapi di sini lebih enak. Sepi. Ada Kakak juga. Kalo di kos rame banget sama Eric, aku nggak bisa tidur.” Sunwoo ndusel-ndusel manja ke si Kakak yang sedang fokus membaca sebuah buku suuuper tebal.

Haknyeon tersenyum geli ke arah pacar kecil—umurnya, tapi bongsor badannya—yang kini sudah menopangkan kepala di bahunya.

“Kuliahnya full banget hari ini?” tanya Haknyeon sedikit mengalihkan perhatiannya dari buku yang sedang dibaca kepada yang lebih muda.

“Hu-um, terus tadi sempet latihan futsal dulu. Ini buku apa, sih? Tebel amat. Bisa dipake buat pondasi flyover kayaknya.”

“Taiko. Kalo emang full banget, nggak harus ikut futsal dulu 'kan bisa, jadi bisa istirahat lebih awal.”

“Tapi minggu depan ada tanding sama kampus Utara. Tim futsal Sipil-nya kuat banget. Ngapain sih baca buku setebel gini? Tulisannya juga kecil-kecil banget, kayak kutu kucing lagi upacara.”

“Ini tugas kuliah, buat dibedah berdasarkan kebudayaannya, frasa yang dipakai di zaman itu, pola pikir orang-orangnya, pesan moral, dan lain-lainnya. Ya udah, kamu tidur duluan aja. Aku nanggung ini dikit lagi, mau ngabisin satu bab dulu.”

“Mau ikut baca.”

“Yuk sini, tapi kalo kamu bosen, jangan salahin aku ya. Kamu 'kan sukanya komik, bukan yang full tulisan gini.”

Dengan sabar, Haknyeon sedikit menggeser buku hardcover berjumlah lebih dari seribu halaman itu ke arah Sunwoo yang jadi super clingy kalau sedang lelah.


“Kenapa dia dipanggil 'Si Monyet'?”

“Soalnya perawakannya mirip monyet.”

“Kok dia nggak marah ya dipanggil monyet? Orang dulu aneh,” komentar Sunwoo pelan, membuat Haknyeon tersenyum. Ia bisa saja menjelaskan alasannya, tapi ia yakin Sunwoo tidak berminat untuk mendengarkan teori panjang lebar saat ini.

Beberapa menit kemudian ....

“Ini lambang apa?”

“Lambang para pemimpin samurainya.”

“Oh. Yang punya Nobunaga Oda bagus, ya? Pengen bikin tattoo kayak gitu.” Sunwoo menguap di akhir kalimat.

“Di mana?”

“Di jidat,” jawab Sunwoo tidak jelas. Haknyeon terkekeh geli mendengar jawaban asal itu.

Beberapa kali Haknyeon merasa kepala Sunwoo hampir terjatuh dari tempat bersandarnya di bahu miliknya.

“Nu, tidur duluan, gih.”

”+^#^=;@^$*£!,+(%,” gumam Sunwoo tidak jelas.

“Hah? Gimana?”

“Hm-mm. Bentar lagi. Itu lagi rame. Strategi perangnya keren.” Sunwoo menunjuk halaman yang sedang dibaca Haknyeon dengan mata setengah terpejam.

Haknyeon ingin tertawa keras, karena bagian yang sedang ia baca sesungguhnya bagian yang amat sangat membosankan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan peperangan.

“Ehem.” Haknyeon berdeham untuk menyembunyikan tawanya. “Ya udah kalo gitu.”

“Hm-mm.”


Lima belas menit terlewati tanpa komentar dan gerakan apapun dari Sunwoo. Mengerahkan gerakan seminimal mungkin, Haknyeon melirik ke arah pemuda itu.

Sudah tidur pulas rupanya. Dengan mulut sedikit terbuka dan suara dengkuran halus terdengar dari sana.

Tersenyum, Haknyeon menyelipkan pembatas buku di halaman yang sedang dibacanya, lalu meletakkan buku itu di atas nakas.

Haknyeon perlahan mengubah posisi tidur Sunwoo agar berbaring nyaman di kasur dan menyelimutinya.

“Uuuhm ... Kakak mau ke mana?” tanya Sunwoo mengantuk saat Haknyeon beranjak turun dari tempat tidur.

“Matiin lampu dulu sebentar.”

“Jangan lama-lamaaa,” rengeknya.

“Iya, satu detik.”

“Satu. Udah. Siniii.”

“Hahaha iya bayiii ... sabaaar ....”

“Nunu bukan bayiii, kita cuma beda satu taun, Kakaaak.”

“Iya, tapi kelakuannya kayak bayi. Apalagi kalo lagi capek gini kamunya.”

“Bukan iiih ....”

“Udah. Udah. Sini tidur, biar besok seger lagi badannya.”

“Peluuuk.”

“Iyaaa.”

Sunwoo pun menyusup ke pelukan hangat Haknyeon.

“Selamat tidur, Kakak.”

“Selamat tidur, Nunu.”


Selamat tidur, semesta.aratnish'21

⚠️ content warnings

cuddling, kissing, mentioning of genital


May 31, 2024

Haknyeon membuka mata dengan disambut rasa pegal yang ia rasakan di sekujur tubuhnya, juga rasa perih di bagian bawah tubuhnya. Masih sedikit bingung karena nyawanya belum terkumpul penuh, Haknyeon berpikir apa yang sudah ia lakukan kemarin sampai tubuhnya terasa tidak nyaman pagi itu.

Sesuatu yang keras menyodok bagian belakang tubuhnya dan bayangan akan kegiatan malam sebelumnya langsung membanjiri ingatan Haknyeon.

Pria itu merasakan wajahnya memanas, apalagi saat ia lihat tangan lain melingkari perutnya dengan nyaman. Tangan dari pria di belakangnya yang sepertinya masih terlelap dengan bagian bawah tubuhnya menyodok Haknyeon.

Malu, Haknyeon menutupi wajahnya dengan kedua tangan, walaupun ia tahu Sunwoo tidak akan melihatnya.

Morning ….” Suara serak bangun tidur Sunwoo tiba-tiba terdengar di telinga Haknyeon. Bukannya menjawab, Haknyeon malah semakin membenamkan dirinya di balik selimut, membuat Sunwoo terkekeh geli.

“Malu yaaa ….”

“Berisik!” Sunwoo semakin memeluk Haknyeon dengan gemas.

“Sunwoo!”

“Apa?”

“Itu lo ….”

“Apa gue?”

“Yang di bawah!”

“Apa? Kaki?” goda Sunwoo.

“JUNIOR LO!”

“Oooh … kenapa?”

“……… Nusuk-nusuk ….”

“Namanya juga morning wood, sayang …. Emang kamu enggak?” Sunwoo mengarahkan tangannya ke kejantanan Haknyeon yang juga terbangun seperti biasa di pagi hari.

Stop!”

Sunwoo tertawa keras. “Iyaaa … enggak. Perih?” tanya Sunwoo lembut sambil membalikkan tubuh Haknyeon supaya berbaring menghadapnya.

“Iya …,” jawab Haknyeon pelan.

“Bisa jalan nggak nanti?”

“Nggak tau. Kaki gue rasanya masih kayak jelly.”

“Maaf ya ….”

“Kok minta maaf?”

“Gue nggak bisa nahan diri semalem.”

“Emang lo denger gue protes?”

“Iya.”

“Kapan?”

“‘Sunh! Lebihh ngghh cepeett!’ gitu lo protesnya.”

“KIM SUNWOO!!!” Haknyeon berseru sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sunwoo menarik tangan itu sambil tertawa sebelum memagut bibir merah Haknyeon.

I can live like this forever,” desah Sunwoo bahagia sambil memeluk Haknyeon.

“Gue nggak bisa.”

“Kok???!”

“Ngeladenin lo kayak semalem tiap hari for the rest of my life? Nggak sanggup, Sun!”

“Ya nggak tiap hari dong, Hakkie,” gelak Sunwoo. “Gue juga nggak sanggup kalo tiap malem gitu sih,” imbuhnya geli.

“Perih banget, ya?” tanya Sunwoo pada Haknyeon yang memasang muka masam.

“Hu-um. Udah mana mata bengkak, pantat perih … sedih amat cuti gue.”

“Tapi ‘kan perih enak hehehe ….”

“Haha hehe haha hehe … enak banget itu mulut ngomongnya!”

Sambil tertawa geli, Sunwoo kembali memeluk Haknyeon, menyembunyikan wajahnya di lekukan leher pria itu. Menuruti nalurinya, Haknyeon balas memeluk Sunwoo dan mengelus rambutnya dengan lembut.

“Hak ….”

“Hmm?”

“Haknyeon ….”

“Apa?”

“Ju Haknyeon ….”

“Iya … apa, Sun?”

“Hakkie ….”

“Apaan, sih?! Dari tadi— Lho? Sun? Kenapa? Kok nangis?” tanya Haknyeon bingung saat merasakan lehernya basah. Ia menarik wajah Sunwoo menjauhi lehernya.

I’m overwhelmed …,” bisik Sunwoo serak.

“Hah?”

“Gue nggak tau di kehidupan sebelumnya gue jadi apa atau ngapain, tapi gue bersyukur banget di kehidupan ini gue bisa lahir di keluarga yang suportif, punya temen-temen yang juga suportif …. Ketemu Eric yang bisa nuntun gue ke jalan yang bener, lalu … ketemu kamu … cowok citrus aku. Gue bahagia, Hak …. Banget! Makasih buat semuanya.”

“Gue yang harus berterima kasih karena lo udah milih gue, Sun … padahal gue sendiri masih belom yakin sama diri gue.”

“Bukan gue yang milih lo, Hak …. Lo yang milih gue. Lo memilih untuk tetep ada di deket gue saat gue ngejauhin lo. Lo memilih untuk mencari kejelasan sikap gue, padahal lo bisa aja langsung pergi ngejauhin gue. Lo memilih untuk tetep tinggal di sisi gue, bahkan waktu lo tau gue belom bisa move on dari Eric.”

Haknyeon terdiam.

“Ini takdir, bukan sih? Bukan masalah siapa yang memilih untuk apa?”

“Hm-mm … maybe you’re right. I love this fate.”

Mereka kembali terdiam, menikmati presensi masing-masing di pagi yang indah itu.

“Hakkie …?”

“Apa lagi?”

“Bersama selamanya, ya?” pinta Sunwoo pelan. Haknyeon tersenyum lebar.

“Iya, Sunu … selamanya sounds great.”


—arastnish’21

⚠️ content warning : cursing words


Sunwoo menuntun Haknyeon menuju lift untuk membawa pria itu ke unit apartemen miliknya. Setelah mereka berjalan agak jauh dari unit apartemen Haknyeon, Sunwoo dapat mendengar isakan lolos dari bibir pria itu.

“Sayang ….” Dada Sunwoo seakan ditusuk saat mendengar isakan memilukan itu.

“Diem, Kim Sunwoo!” bentak Haknyeon dengan suara yang lebih serak dari biasanya.

“Iya. Maaf.”

Dan mereka sama sekali tidak bersuara—selain suara isakan dari Haknyeon—selama perjalanan menuju ke unit apartemen Sunwoo.


Sunwoo membuka kunci pintu unit apartemennya dalam diam. Begitu pintu itu tertutup di belakang mereka setelah mereka masuk, ia langsung membawa Haknyeon ke dalam pelukannya, sementara tangis pria itu semakin pecah.

“Sayang ….” Sunwoo tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Kenapa lo bilang kalo gue pacar lo, Sun?! Hiks … kenapa?!” amuk Haknyeon sambil memukul dada Sunwoo dengan kepalan tangannya.

“Maaf, sayang ….”

“Dia ngehina gue di sana, Sun! Dia ngehina gue karena gue gay! Dan lo malah memperjelas kalo gue gay! Kenapa?!”

Sunwoo mengangkat Haknyeon dengan mudah ke dalam gendongannya dan membawanya menuju sofa. Mendudukkan dirinya sendiri di sofa itu, ia memosisikan Haknyeon di pangkuannya. Pria itu masih memeluknya dan menangis di bahunya.

“Kenapa gue harus jadi gay, Sun? Kenapa gue nggak bisa jadi normal kayak mereka aja? Salah gue apa?”

“Lo nggak salah apa-apa, sayang. Kita nggak salah apa-apa.”

“Gue pengen jadi normal juga, Sun! Hiks ….”

“Normal yang kayak gimana, Hak? Normal di mata siapa?”

“Normal kayak mereka! Suka ke lawan jenis, nggak harus nyembunyiin identitas diri! Gue capek sembunyi terus! Gue capek dihina dan dicemooh orang!”

Bahu Sunwoo sudah benar-benar dibasahi oleh air mata Haknyeon. Sunwoo tidak mengatakan apa-apa, ia hanya mengelus punggung Haknyeon dengan penuh perasaan, berharap perasaannya itu sampai ke pria yang sedang menangis di dekapannya. Berharap pria itu tahu bahwa tidak peduli seberapa normal—atau tidak normalnya—Haknyeon di mata orang lain, ia tetaplah yang terindah dan termanis di dunia Sunwoo.

“Tapi kalo gue jadi normal, gue nggak bisa bareng-bareng sama lo kayak gini … hiks ….” Haknyeon mulai meracau, membuat Sunwoo mau tidak mau tersenyum geli.

“Di mata gue, lo itu normal, Hak.”

“Lo subyektif!”

“Enggak. Di mata gue, lo normal. Di mata gue, Kak Jacob juga normal. Makanya gue tanya, normal di mata siapa?” Haknyeon terdiam. Isakannya sedikit mereda.

“Lo inget nggak gue pernah bilang bahwa cara gue menerima jati diri gue itu destruktif?” Sunwoo merasakan anggukan Haknyeon di bahunya.

“Gue waktu itu marah sama diri sendiri, karena gue nggak bisa suka ke lawan jenis. Gue marah sama Tuhan, karena nyiptain gue yang kayak gini. Gue marah sama orang tua gue, kenapa gen yang mereka turunin ke gue kayak gini. Gue marah ke dunia, gue ngelawan dunia, gue berusaha mengingkari eksistensi gue sendiri.

“Gue sensitif banget, gampang tersinggung, dikit-dikit ngajak orang berantem—mau orang asing, temen, atau keluarga sendiri. Gue banyak ngerokok dan sering mabok-mabokan, because when I’m sober I realized that I ain’t like other people, and that pissed me off. Gue juga tidur sama banyak orang karena gue frustrasi.

“Gue … gue bikin diri gue sendiri terlihat brengsek biar orang-orang nggak ngedeketin dan nyakitin gue. Gue cuma terbuka sama circle gue aja, karena gue tau mereka sama ‘ma gue.”

“Sampe lo ketemu Eric …,” lanjut Haknyeon pelan. Sunwoo mengangguk.

“Sampe gue ketemu Eric. Pertama kali gue ketemu Eric, dia lagi nolak seorang cewek dengan ngomong, ‘Sorry, gue nggak suka cewek’. Gue kagum sama dia yang kayaknya nyaman—dan cenderung bangga—sama preferensinya. Eric ngajarin gue untuk ngeliat diri gue dulu, apa yang gue mau, apa yang bikin gue nyaman. Fuck with everyone else, they didn’t fed you. Gitu katanya.”

Sunwoo mendengar Haknyeon tertawa kecil dan ia sedikit tersenyum lega.

“Kata Eric, kita lahir bukan untuk menyenangkan semua orang. Gimana kita bisa nyenengin orang lain kalo kita sendiri nggak nyaman sama diri kita? Kalo kita nggak bisa menerima diri kita sendiri?

“Dan dia ada benernya sih, gue waktu itu terlalu sibuk untuk marah sama dunia, sampe gue lupa apa yang bisa gue syukuri dari hidup gue. Gue bersyukur punya circle yang positif dan gue mulai me-maintain itu. Gue beralih ke keluarga gue, gue kesampingkan prasangka gue.”

“Prasangka apa?” bisik Haknyeon penasaran. Sunwoo senang karena sepertinya ia sudah berhasil menarik Haknyeon dari rasa mengasihani diri sendiri.

“Bahwa mereka bakal menolak gue kalo mereka tau gue kayak gini, bahwa gue—kata orang kebanyakan—nggak normal.”

“Nggak taunya?”

“Mereka nangis, Hak … tapi bukan karena mereka kecewa sama gue, bukan karena mereka jijik sama gue, tapi karena mereka bahagia bahwa pada akhirnya gue mau terbuka sama mereka. Mereka sedih why it took me long enough to tell them, kenapa gue menjauh dari mereka, kenapa gue berburuk sangka ke mereka.

“Sejak saat itu, keluarga gue selalu ada di garda paling depan kalo ada orang yang mencemooh gue. Awalnya gue nggak enak karena gue bener-bener bikin malu keluarga, tapi Ayah bilang, ‘Sekali menjadi keluarga, sampai akhir kita akan tetap bersatu sebagai keluarga’.

“Sejujurnya, dari situ gue nggak peduli lagi orang mau ngomong apa tentang gue. Selama orang-orang yang gue sayang ada untuk mendukung gue, itu udah lebih dari cukup.”

“Kalo orang-orang mencemooh lo … emangnya nggak sakit?” tanya Haknyeon pelan.

“Sakit. Banget. Tapi gue nggak mau terpaku di rasa sakit itu. Gue rasain sakitnya untuk kemudian gue jadiin cambuk untuk gue berkarya lebih baik di bidang lain. Mereka bisa menghina seksualitas gue, tapi gue pastikan mereka nggak akan bisa semudah itu menghina otak dan karya gue.”

Lagi, Sunwoo merasakan Haknyeon mengangguk di bahunya. Sesaat keduanya terdiam.

“Makasih, Sun ….”

“Makasih kenapa, sayang?”

“Udah mau ceritain borok lo ke gue.” Sunwoo tertawa kecil.

“Udah gue bilang, ‘kan? Untuk lo, apa sih yang nggak akan gue lakuin?”

“Iya.” Haknyeon memeluk Sunwoo semakin erat. “Lo bakal terus ada buat gue?” tanyanya pelan.

“Selama yang lo butuhkan. Selama lo memperbolehkan gue ada di sisi lo, gue bakal selalu ada buat lo. Intinya, kalo lo nggak nyuruh gue pergi, gue nggak akan pergi.”

“Kalo gue minta lo untuk pergi?”

Well, karena gue orangnya keras kepala, gue tetap nggak akan mau pergi sih.” Haknyeon memukul pelan lengan atas Sunwoo yang hanya membalasnya dengan tawa kecil.

“Ngantuk, Sun …. Kebanyakan nangis,” ucap Haknyeon pelan.

“Ya udah, tidur aja.”

“Tapi sambil dipeluk gini tidurnya, boleh?”

“Boleh, sayang ….”

“Lo manggil gue sayang terus.”

“Soalnya gue emang sayang sama lo, Haknyeon.”

“Hm-mm … gue juga … sayang sama … lo, Sun ….” Sunwoo tercekat saat mendengar penuturan Haknyeon itu.

“Hak?” Hening.

“Haknyeon?” Tetap tidak ada jawaban.

Sunwoo menoleh dan melihat bahwa Haknyeon sudah tertidur pulas.

‘Yah anjir, gue ditinggal tidur!’ rutuknya geli dalam hati.


—aratnish’21

⚠️ content warnings 🔞

homophobic, harsh and cruel words, mentioning of genital, groping


May 30, 2024

Sedari awal Sunwoo memasuki unit apartemen Haknyeon, ia sudah tidak menyukai Miyeon. Bukan karena Haknyeon mengatakan bahwa wanita itu homophobic, tapi sesuatu dalam diri dan gesture Miyeon mengatakan bahwa wanita itu bukan wanita baik-baik. Hell, Sunwoo mungkin memang tidak menyukai lawan jenis, tapi insting lelakinya masih bisa bekerja dengan baik. Mana ada wanita baik-baik yang sudah memiliki tunangan bermain mata dengan pria lain—di ruangan yang sama dengan tunangannya?!

Sunwoo menahan dirinya sebisa mungkin, untuk tidak bersikap kurang ajar kepada Miyeon, dan untuk tidak bersikap flirty kepada Haknyeon. Bukan untuk melindungi dirinya sendiri—Sunwoo sudah tidak peduli dengan pandangan orang sekitar terhadap dirinya, ia sudah melewati masa-masa itu—tapi untuk melindungi Haknyeon, yang sepertinya sangat takut identitasnya terbongkar di depan Miyeon.

Mereka berempat duduk di sekitar meja makan untuk memulai birthday dinner itu. Jacob duduk bersebelahan dengan Miyeon, sementara Sunwoo duduk di sebelah kanan Haknyeon—di seberang Miyeon. Wanita itu sepertinya sangat senang saat Sunwoo duduk di seberangnya, entah apa yang ia rencanakan.

Makan malam itu berlangsung biasa, walaupun atmosfer nyaman dan kekeluargaan terasa di sana. Jacob banyak bercerita tentang kehidupan mereka di Hongkong sebelum mereka kembali lagi ke Korea satu tahun yang lalu. Ia juga banyak menceritakan tentang masa kecil Haknyeon kepada Sunwoo, yang menyimaknya dengan penuh perhatian.

Kenyamanan suasana itu perlahan-lahan menurunkan tembok pertahanan Haknyeon, dan secara tidak sadar ia memberikan perhatian lebih kepada Sunwoo seperti yang biasa ia lakukan ketika mereka sedang bersama. Entah memperhatikan hidangan yang ada di piring Sunwoo, apakah Sunwoo mau menambah minum atau tidak, memperhatikan pria itu saat sedang berbicara dengan kakaknya, atau menyentuh lengan Sunwoo jika ia ingin Sunwoo memperhatikan apa yang ia katakan.

Semua perhatian Haknyeon kepada Sunwoo itu tidak lepas dari pengamatan Miyeon.


Hidangan penutup berupa cake ulang tahun diletakkan oleh Haknyeon di meja itu.

“Ini Hakkie sendiri yang bikin, lho!” pamer Jacob kepada Miyeon, yang menatap Haknyeon dengan senyum miring.

“Oh ya? Domestik banget ya jadi cowok?” sindir Miyeon sambil sedikit memajukan kursinya agar lebih mendekati meja makan. Sunwoo mengangkat sebelah alisnya saat menatap wanita itu dengan datar.

“Nggak ada salahnya jadi domestik, dia jadi bisa struggle soal makanan di mana aja. Beda sama aku yang nggak bisa masak ini, harus menggantungkan diri ke makanan cepat saji kalo harus dinas di luar kota atau luar negeri,” ujar Jacob membela adiknya.

“Hmm ….” Miyeon berkomentar pendek sambil melirik Sunwoo dengan tatapan nakal. Pria itu memicingkan matanya menatap Miyeon.

“Sunwoo suka yang manis-manis, nggak?” Jacob mengalihkan perhatiannya kepada Sunwoo.

“Suka kok, Kak,” jawab Sunwoo sopan sambil tersenyum ke arah Jacob.

“Ini gue bikinnya cake buah-buahan kok, jadi nggak akan terlalu manis,” ucap Haknyeon sambil menyentuh lengan Sunwoo yang menatapnya penuh sayang.

Thank you.”

“Ini sebenernya yang ulang tahun itu Kakak, atau Sunwoo, ya?” goda Jacob yang membuat wajah Haknyeon bersemu merah dan Sunwoo terkekeh kecil.

“Hmm … Haknyeon gay, ya?” celetuk Miyeon yang membuat ketiga pria yang ada di sekeliling meja makan itu terdiam dan menatapnya.

“Terus … lo suka sama Sunwoo?” Haknyeon terdiam dengan wajah yang sedikit demi sedikit menjadi pucat.

“Miyeon ….”

“Kenapa sih kamu masih mau ngurusin barang cacat kayak dia? Masih mau ngakuin dia sebagai adik kamu? Malu-maluin, tau! Jijik!” cemooh Miyeon.

“Miyeon!” Jacob menghardik tunangannya itu.

“Dih. Tau diri dong, Nyeon … nggak mungkin Sunwoo yang cowok banget gini mau sama gay macem lo!”

“Hooo … interesting.” Sunwoo angkat bicara, membuat Jacob dan Haknyeon langsung menoleh ke arahnya.

“Jadi … gue cowok banget?” tanya Sunwoo dengan nada suara yang tidak pernah didengar oleh Haknyeon sebelumnya. Begitu dingin, begitu berjarak.

“Iya, lah!” seru Miyeon senang karena akhirnya Sunwoo mau membalas kata-katanya selain dengan sebuah gumaman.

“Kok bisa gue cowok banget? Emangnya titit gue ada dua?” Sunwoo mendengus. “That’s why lo dari tadi maenin titit gue di bawah situ pake kaki lo? Sorry to say, dia nggak bakal bangun kalo bukan sama pacar gue.”

Terkejut dengan perkataan Sunwoo, Miyeon menarik kakinya di bawah meja dengan terburu-buru sampai membentur meja dan mengeluarkan suara yang cukup keras.

The truth is, sewaktu hidangan penutup diletakkan oleh Haknyeon di meja makan, Miyeon menjulurkan kakinya di bawah meja dan menggoda kejantanan Sunwoo dengan jemari kakinya. Namun, entah seberapa banyak teknik yang ia gunakan, senjata Sunwoo itu tetap bergeming dan pria itu hanya menatapnya tanpa ekspresi.

“Miyeon?! Kamu—?!”

“Lo mau tau pacar gue? Nih!” Tanpa ampun, Sunwoo mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto candid yang dikirimkan oleh Yuna kepadanya. Foto yang menunjukkan bahwa ia dan Haknyeon tidur bersama di satu ranjang.

“Lo—!” sergah Miyeon dengan wajah memerah.

“Maaf ya, gue yang cowok banget ini juga gay. Asal lo tau, Haknyeon ini pacar gue, dan gue nggak terima kalo cowok gue dihina sama cewek binal macem lo!”

Di sebelahnya, ia mendengar Haknyeon menarik napas karena terkejut dengan perkataannya. Menggenggam tangan Haknyeon, Sunwoo mengajaknya untuk berdiri.

“Kak Jacob, maaf … gue tau gue bukan siapa-siapa, tapi tunangan lo ini no go, Kak. Sorry udah bikin acara birthday dinner lo jadi nggak enak, tapi kayaknya gue harus bawa Haknyeon pergi dari sini.”

“Iya Sun, nggak apa-apa. Nanti tolong kasih tau gue aja kalian di mana, ya,” ucap Jacob sambil ikut berdiri. Ia mendekati adiknya yang sudah berdiri sambil menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sangat pucat karena identitasnya terbongkar di depan Miyeon.

Miyeon? Wanita itu hanya terduduk dengan wajah memerah. Entah marah karena Sunwoo telah membeberkan perilakunya, atau malu karena perilakunya dibongkar di depan Jacob.

“Hakkie? Maafin Kakak, ya … Hakkie ikut dulu sama Sunwoo, ya? Nanti kita obrolin ini kalo Kakak udah selesai di sini.”

Haknyeon hanya mengangguk mendengar ucapan Jacob itu, tidak berani bersuara karena ia merasakan bahwa air mata sudah memenuhi pelupuk matanya.


aratnish’21

⚠️ content warnings 🔞

cursing, vulgar, explicit and harsh words, after care service


Sunwoo keluar kamarnya secara perlahan, tidak ingin membangunkan penghuni rumah yang lain, tapi ….

“Anjing, Yuna! Ngapain lo di situ?!” maki Sunwoo pelan saat melihat Yuna sedang duduk di depan televisi tempat ia seharusnya tidur, sambil mengenakan masker berwarna hitam.

“Maskeran, lah! Lo pikir gue nyate di sini?! Ah lo mah Bang, jadi aja masker gue rusak!” gerutu Yuna kesal, tapi kemudian matanya turun ke arah selangkangan kakaknya—yang menggembung di balik celana training longgar yang dikenakannya—dan ia pun tertawa tertahan.

“Lo diusir sama Bang Hakkie karena mau mesum, yak?” godanya.

“Ngaco! Udah ah, gue mau ngambil waslap dulu, kasian Haknyeon nunggu.”

Diiringi tatapan tertarik adiknya, Sunwoo pun beranjak ke kamar mandi yang ada di satu lantai dengan kamarnya dan kamar Yuna. Lantai dua memang merupakan daerah kekuasaan Sunwoo dan adiknya.


“Hak … jangan tidur dulu, ini dibersihin dulu,” bisik Sunwoo sambil mengguncang pelan tubuh Haknyeon yang kini sudah memejamkan matanya.

“Mmm … ngantuk, Sun …. Matiin lampunya, ‘napa? Silau,” gerutu Haknyeon karena Sunwoo sudah menyalakan lampu kecil di samping tempat tidurnya.

“Iya, maaf … tapi kalo nggak dinyalain, gue nggak bisa ngebersihin lo. Abis ini gue matiin, terus lo tidur, ya.”

“Hm-mm,” jawab Haknyeon tetap dengan mata terpejam, sementara Sunwoo membersihan lelehan ejakulasi di badan pria itu yang sudah mulai mengering di beberapa titik.

Setelah yakin ia telah membersihkan semuanya, Sunwoo menarik lepas celana Haknyeon yang berada di lututnya.

“Mau ngapain lo?!” tanya Haknyeon sedikit panik seraya membuka matanya lebar-lebar.

“Mau ngeganti celana dalem lo. Basah ini … lo nanti nggak nyaman tidurnya. Lo nyimpen celana dalem di mana?” tanya Sunwoo sambil menunjuk tas pakaian Haknyeon.

“Di kantong kanan.”

Sunwoo mengambil satu celana dalam bersih dan beranjak kembali ke tempat Haknyeon terbaring, sambil membawa kaus tidur Haknyeon yang sebelumnya ia lempar.

“Diangkat dulu pinggulnya, yuk … ini nanti nggak bisa masuk celananya,” bujuk Sunwoo kepada Haknyeon yang sepertinya sudah sangat malas untuk bergerak.

“Haknyeon … sayang, ayo nurut bentar biar enak kamu tidurnya,” bujuk Sunwoo lagi yang akhirnya dituruti oleh Haknyeon.

I like it when you called me ‘sayang’,” gumam Haknyeon setengah mengantuk. Sunwoo tersenyum.

I like it too. Sekarang pake kaosnya ya, biar lo nggak masuk angin. Here, angkat tangan lo.” Sunwoo dengan telaten mempersiapkan Haknyeon supaya pria itu dapat tidur dengan nyenyak.

“Nah, udah beres. Sekarang lo tidur, ya? Good night, Haknyeon.” Haknyeon tersenyum saat Sunwoo mengecup dahinya.

Good night, Sunwoo ….” Dan ia langsung terlelap.

Sunwoo mematikan lampu kecil dan beranjak keluar kamar dengan perlahan. Ia benar-benar harus mandi air super dingin saat itu juga.


“Ngapain lo mandi malem-malem, Bang?” goda Yuna saat dirinya keluar dari kamar mandi.

“Menurut lo?” tantang Sunwoo, yang membuat Yuna tertawa.

“Sange ya lo? Trus nggak dikasih jatah sama Bang Hakkie.”

“Tet-tot. Salah. Haknyeon mau ngasih, tapi gue yang nggak mau.”

“Kok? Tumben? Nggak mungkin udah impoten, ‘kan? Masih bisa ngaceng gitu juga tadi.”

“Hush! Mulut lo, ya! Coba jangan serem gitu ah ngomongnya!”

“Ya abis? Kok tumben lo nolak?”

“Sejelek apa sih reputasi gue di mata lo?” tanya Sunwoo heran sambil menggelengkan kepalanya. Lagi, Yuna tertawa geli. Ia senang menggoda kakaknya itu. Bahagia karena mereka sudah bisa menjadi dekat seperti sekarang.

“Gue seneng lo udah punya pacar lagi, Bang,” cetus Yuna pelan.

“Haknyeon bukan pacar gue.”

“Hah?! Apaan dah? FWB-an lo berarti?”

“Ya enggak!”

“Terus?”

“Gue belom nembak dia.”

“Belom nembak tapi udah bobo-bobo bareng. Tidak betul kau, anak muda!”

“Lo lebih muda dari gue, kunyuk!” sembur Sunwoo sambil menoyor pelan kepala Yuna. “Gue…gue pengen dia nyaman dulu sama identitas dia, sama gue, lalu baru gue ajak serius.”

“Tumben lo serius gini mikirnya, Bang? Karena udah makin tua ya lo?” Sunwoo menggeleng sambil menghela napas.

“Udah cukup lah gue maen-maennya dulu. Tapi…menurut lo Haknyeon gimana?”

“Anaknya baik, seru, ngeladenin, dan bisa ngertiin lo banget kayaknya. Gue kaget dia ngusulin supaya lo bawa fotonya Bang Eric ke apart.”

“Gue juga kaget, anjir! Mana ada orang yang nyuruh orang yang lagi deket sama dia untuk bawa-bawa foto mantan.” Yuna tertawa bersama Sunwoo.

“Yang jelas, selama dia bisa bikin lo bahagia, gue, Ayah, sama Bunda selalu ngedukung lo, Bang.” Sunwoo terdiam.

Thanks, Na,” respons Sunwoo pelan.

“Dih. Gue jadi mellow. Udah ah, gue mau tidur. Lo juga tidur, gih!”

“Lah? ‘Kan gue jatahnya tidur di sini malem ini?”

“Ah elah, kayak yang penurut aja lo. Udah sana tidur di kamar! Kalo mau macem-macem juga nggak apa-apa, nggak akan gue laporin ke Ayah sama Bunda. Asal jangan berisik!”

Pandangan Sunwoo mengikuti gerakan adiknya yang memasuki kamar. Beberapa menit kemudian, ia pun berdiri dan beranjak memasuki kamarnya.


“Sunwoo?” panggil Haknyeon pelan saat Sunwoo memasuki kamarnya secara perlahan.

“Iya. Kok bangun lagi?”

“‘Kan gue udah bilang, kalo di tempat baru, gue nggak bisa langsung tidur nyenyak. Lo juga ke mana, sih?”

“Abis mandi air dingin, trus ngobrol bentar sama Yuna.”

“Oh.”

“Selimutannya yang bener, nanti masuk angin,” perintah Sunwoo sambil menyusup ke balik selimut juga. Haknyeon bergerak mendekatinya.

“Peluk.” Sunwoo terkekeh atas sikap manja Haknyeon itu.

“Iya. Sini.” Menarik Haknyeon mendekat, ia pun memeluk pria itu, dan memejamkan mata diselimuti dengan aroma citrus dari presensi Haknyeon di dekapannya.


aratnish’21

⚠️ contents warning 🔞

insecurity, kissing, cuddling, licking, groping, hand job, mentioning of genital, mentioning of contraception, explicit words


Sunwoo dan Haknyeon memasuki kamar Sunwoo pada pukul 10 malam. Rencananya adalah Sunwoo akan tidur di sofa bed di depan televisi, karena kamar tamu kediaman keluarga Kim sedang direnovasi untuk dijadikan studio foto bagi Yuna yang mengambil jurusan fotografi di kampusnya. Namun demikian, Haknyeon meminta untuk ditemani terlebih dulu, setidaknya sampai ia terlelap, karena ia tidak bisa langsung tertidur di tempat baru.

“Jangan macam-macam ya, Sunwoo!” ancam Ayah sebelum mereka menaiki tangga untuk menuju kamar Sunwoo di lantai dua rumah itu.

“Iya, Ayah,” jawab Sunwoo sopan.

‘Satu macem aja, kok,’ tambahnya nakal dalam hati, yang sepertinya bisa didengar oleh Ayah, karena beliau segera memicingkan mata kepada putra sulungnya itu.


“Lampunya mau dinyalain atau dimatiin?” tanya Sunwoo pada Haknyeon yang sudah duduk di pinggiran ranjangnya.

“Dimatiin aja. Gue nggak bisa tidur kalo ada cahaya.” Sunwoo tersenyum dan mematikan lampu. Ia teringat terakhir kali ia tidur di kamar ini bersama dengan pacarnya (walaupun yang sekarang belum resmi jadi pacar sih, tapi Sunwoo yakin Haknyeon akan menerimanya jika ia memintanya), ia tidak bisa tidur karena lampu yang terang benderang.

‘Kali ini nggak bisa tidurnya karena apa, ya?’ pikir Sunwoo mesum.

Saat Sunwoo menaiki ranjang, Haknyeon sudah berbaring memunggunginya. Cukup lama berbaring dalam diam, sampai Sunwoo kira Haknyeon sudah terlelap. Nyatanya ….

“Tau nggak?”

“Anjir! Kaget gue! Gue kira lo udah tidur,” seru Sunwoo saat Haknyeon membuka suara dengan pelan.

“Tau nggak?” tanya Haknyeon lagi. Nadanya cukup serius.

“Nggak tau, soalnya gue engineer elektrikal, bukan dukun,” canda Sunwoo.

“Gue sebenernya insecure diajak ketemu keluarga lo.”

“Hah?! Kenapa?”

“Gue ngerasa nggak ada apa-apanya dibanding Eric. Eric tuh cakep banget, Sun! Mana fashionable juga orangnya. Kuliahnya dulu di jurusan teknik, pasti pinter. Gue … gue takut dipandang sebelah mata sama keluarga lo ….”

“Haknyeon … kebiasaan deh, jangan ngebandingin diri lo sama orang lain, itu nyakitin diri lo sendiri. Dan ini Eric loh yang kita omongin. Eric udah nggak ada, Hak … lo yang ada di sini. Gue juga di sini dan gue bangga sama lo. Perlu berapa kali gue bilang kalo lo berarti buat gue dan gue suka sama lo?

“Soal keluarga gue, lo liat sendiri ‘kan tadi penerimaan mereka gimana? Jelas-jelas mereka suka sama lo, jelas-jelas gue yang lagi-lagi dianggap sebagai tamu di rumah ini sampe-sampe gue disuruh tidur di sofa bed,” goda Sunwoo. Haknyeon mengangguk kecil.

“Iya. Gue lega mereka mau nerima gue. Terlepas dari hubungan kita yang masih nggak jelas apa namanya ini.” Haknyeon menambahkan kalimat terakhir dalam hati.

“Hmm? Kenapa lagi? Masih belom tenang?” tanya Sunwoo sambil memeluk Haknyeon dari belakang. Refleks, Haknyeon menyesuaikan posisi berbaringnya sampai punggungnya bersandar dengan nyaman di dada Sunwoo.

“Soal besok ….”

“Oooh … khawatir ketemu sama keluarganya Eric?” Haknyeon mengangguk dan Sunwoo mengecup tengkuk pria di depannya itu sebelum menjawab, “Itu lo harus siap-siap lebih dimanjain sama mereka daripada hari ini sih.”

“Hah?! Seriusan?” seru Haknyeon terkejut sambil menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat Sunwoo, yang sebenarnya tidak akan terlalu terlihat karena mereka tidur di kamar yang benar-benar gelap gulita.

Sunwoo mengambil kesempatan itu untuk mencium bibir Haknyeon. Tampaknya ia tidak memiliki masalah penglihatan walaupun berada di kamar yang gelap gulita.

“Main cium aja lo dari tadi,” tegur Haknyeon malu-malu.

Well, gimana gue bisa tahan coba kalo ada makhluk manis gini di depan gue? Di pelukan gue, pula!” dalih Sunwoo kocak.

“Dasar buaya!” Sunwoo menjilat pelan daun telinga Haknyeon. “Sunwoo, ih!”

“Ssst … jangan keras-keras, nanti gue diusir dari sini terus lo tidur sendirian. Mau?”

“Ya … nggak mau juga sih.” Sunwoo tersenyum dalam gelap dan kembali menciumi tengkuk Haknyeon, tepat di bawah batas potongan rambutnya.

“Sun, ih! Seriusan ini! Beneran keluarganya Eric bakal manjain gue lebih dari keluarga lo?” tanya Haknyeon sambil menjauhkan kepalanya dari Sunwoo yang mendesah kecewa karena kesenangannya terganggu.

“Iya. Tadi aja Mama-nya Eric udah ribet nanya lo sukanya makan apa, ada yang bikin lo alergi atau nggak, sukanya dessert apa, mending lunch di ruang makan atau di taman. Ya … yang kayak gitu-gitu deh. Kita bahkan diajak nginep di sana besok.”

“Hah?!”

“Gue udah bilang nggak bisa, soalnya nggak bawa baju lebih buat ngantor. Nggak apa-apa? Atau lo mau nginep? Kalo mau nginep, besok pagi sebelum ke rumah Sohn, kita balik ke apart dulu ambil baju lo. Kalo gue sih ada beberapa baju yang bisa dipake di sini.”

“Enggak … gue nggak mau nginep. Malu ah.”

“Ya udah, kalo gitu besok lo nginep di apart gue aja.”

“Lo lagi sange, ya?” tuduh Haknyeon yang dijawab dengan tawa pelan Sunwoo.

“Enggak kok … cuma lagi gemes banget sama lo, bawaannya pengen nguyel-nguyel terus.” Haknyeon mendengus dan berbalik memunggungi Sunwoo lagi untuk mencoba tidur.

Namun sepertinya Sunwoo memiliki agenda lain.


Secara perlahan, Sunwoo menempelkan bibir tebalnya di balik telinga Haknyeon. Menjilatinya hanya dengan ujung lidah, kemudian menciumnya, berhati-hati untuk tidak membuat tanda apapun.

“Mmh … Sun …,” gumam Haknyeon pelan.

“Hmm?”

“Udah malem, kalo nggak tidur sekarang, besok nggak bisa bangun pagi,” tegurnya.

“Lo tidur aja, gue belom ngantuk kok,” balas Sunwoo yang kini menciumi pundak Haknyeon, sementara tangan kanannya sudah berada di balik baju tidur Haknyeon.

“Ya gimana gue bisa tidur kalo lo gini?! Hnghh—!” rintih Haknyeon saat Sunwoo mengulum cuping telinganya dan tangan kanannya mengelus tulang rusuknya yang paling bawah.

“Ssst … Hak, lower your voice.”

That’s all your fault!” desis Haknyeon kesal.

But you like it?”

“Uh … kinda?”

Si pria aries terkekeh senang dan kembali pada kegiatannya pada menciumi bagian belakang leher, telinga dan pundak Haknyeon, sementara tangannya naik semakin ke atas dan menemukan puting Haknyeon. Perlahan, ia sentuh bagian tubuh yang sudah berdiri tegak itu dengan ujung jarinya. Haknyeon menggeliat dan Sunwoo harus menahan desisannya, karena bongkahan bagian belakang tubuh Haknyeon menggesek penisnya yang sudah mulai menegang.

“Hak … jangan banyak gerak.” Sunwoo memberi peringatan dengan suara tertahan.

“Ya suruh siapa lo yang banyak gerak,” geram Haknyeon dengan napas terengah.

“Cuma tangan dan bibir gue ya yang gerak.”

“Itu udah lebih dari cukup ya, kampret!”

“Udah turn on?”

“Siapa yang enggak kalo lo nggak bisa diem gitu?!” protes Haknyeon ketus sambil bergerak-gerak gelisah. “Kenapa? Lo mau ninggalin gue lagi kayak waktu itu?”

“Enggak, sayang ….” Haknyeon mematung saat mendengar Sunwoo mengucapkan kata ‘sayang’. Walaupun Sunwoo sering menggunakan kata itu, tapi tidak pernah ia ucapkan langsung, selalu melalui pesan teks.

‘Palingan karena lagi sange doang,’ pikir Haknyeon sedih.

Namun pikirannya itu terputus saat ia rasa tangan kanan Sunwoo sudah berada di perut bagian bawahnya, tepat di perbatasan antara kulit dan karet celana tidurnya. Menahan napas, Haknyeon tidak berani bergerak. Pun halnya dengan Sunwoo yang hanya memainkan jemarinya di karet celana itu, walaupun ia tetap melancarkan serangkaian ciuman dan jilatan di bagian belakang tubuh atas Haknyeon. Jemari tangan kirinya pun tak henti menggoda kedua puting Haknyeon.

Haknyeon kembali bergerak gelisah, berusaha menggiring tangan Sunwoo menuju bagian tubuhnya yang sangat ingin disentuh oleh tangan itu. Lagi-lagi, Sunwoo memiliki agenda lain, karena jemarinya tetap berada di karet celana, tidak bergerak lebih jauh ke bawah. Merasa frustrasi, Haknyeon akhirnya menangkap pergelangan tangan Sunwoo yang nakal itu dan meletakannya di bagian dirinya yang sangat menginginkan sentuhan.

“Hak!” desis Sunwoo terkejut.

“Katanya mantan buaya, tapi nemuin ini aja nggak becus!” gerutu Haknyeon dengan napas memburu karena Sunwoo sudah mulai mengelus dirinya lembut.

“Lo emang unik,” kekeh Sunwoo pelan. “Kalo pengen berhenti, bilang ya,” lanjut Sunwoo lembut.

“Kenapa gue pengen berhenti?”

“Ini yang pertama buat lo, ‘kan? Main sama orang lain gini?” Sunwoo merasakan tubuh Haknyeon menjadi kaku. “Not in a bad way, Hak. Gue nggak pengen bikin lo nggak nyaman di pengalaman pertama lo,” tambahnya, masih dengan mengelus dan sebentar-sebentar memijat bagian intim Haknyeon yang kini benar-benar sudah menegang.

Well, since lo pro di bidang ini, gue yakin lo nggak bakal bikin gue nggak nyaman,” kata Haknyeon asal untuk menutupi rasa malunya. Di belakangnya, ia bisa merasakan Sunwoo terkekeh geli.

“Pokoknya kalo lo pengen berhenti, bilang aja, gue pasti bakal berhenti.” Setelah terdiam sebentar, Sunwoo melanjutkan,

“Boleh?” tanyanya sambil memasukkan ujung jemarinya ke balik karet celana Haknyeon.

“Boleh,” jawab Haknyeon gugup. Ia semakin gugup saat Sunwoo tidak bergerak.

“Sun?”

Password-nya ‘stop’, ya Hak. Cukup bilang satu kali dan gue bakal berhenti.” Saat Haknyeon mengangguk sebagai jawaban, Sunwoo memasukkan tangannya dan mendorong celana tidur serta celana dalam Haknyeon ke bawah. Dan ia menemukan pusaka itu.

“Astaga sayang … kamu udah basah banget gini,” bisik Sunwoo saat menemukan bahwa kepala kejantanan Haknyeon sudah licin oleh cairan precum-nya.

“Mmmh ….” Haknyeon melenguh karena Sunwoo mulai mengurut kejantanannya, memanjakannya dengan tekanan dan kecepatan yang tepat.

“Enak?” tanya Sunwoo dengan napas memburu karena berusaha menahan libidonya sendiri.

“Hm-mmh ….” Tidak bisa menjawab dengan kata-kata, Haknyeon hanya mengangguk dan bergumam.

“Mau segini aja?”

“Lebihhh nghh cepett … dikith ….” Haknyeon menjawab dengan tersengal. Sunwoo pun segera menuruti keinginan pria manis di dekapannya itu.

‘Anjir, gue juga udah pengen banget ini!’ rutuk Sunwoo dalam hati, sementara ia mendengarkan desahan, erangan, dan lenguhan Haknyeon.

Untuk melupakan keinginannya sendiri, Sunwoo pun membenamkan wajahnya di lekukan leher Haknyeon kemudian menjilati dan menciuminya. Masih bertahan pada sedikit akal sehat yang tersisa, berusaha sebisa mungkin tidak meninggalkan jejak apapun di sana.


“Sun!”

Tiba-tiba, Haknyeon memanggil namanya sedikit agak keras dan secara refleks Sunwoo menarik tangannya, menyangka bahwa Haknyeon ingin berhenti. Ia terkejut ketika Haknyeon menahan tangannya tetap berada di tempat ia sibuk sebelumnya.

“Kenapa, Hak?”

“Hhh … lo ….”

“Gue kenapa?”

“Lo … hh … masih pake … celana ….”

Wellas far as I know, yes,” jawab Sunwoo bingung dengan arah pembicaraan Haknyeon.

“Kenapa … mmh … nggak dilepas?”

“Hah?!”

“Kita … nggak akan ….” Haknyeon terdiam dan mengelus tangan Sunwoo yang secara perlahan kembali bergerak untuk memijat dan mengocok kejantanannya.

“Nggak akan … apa?”

“Hngh … it u….”

“Apa?”

“Mmmh … masuk ….”

“Masuk? Hah?! Penetrasi maksud lo?!” Haknyeon mengangguk dengan wajah memerah, seandainya saja Sunwoo bisa melihatnya. “Enggak, sayang … nggak sekarang. Sekarang buat lo aja dulu.”

“Khenapa?”

“Hak, tingkat libido gue lebih tinggi dari kebanyakan orang, gue nggak akan cukup sama satu kali orgasme aja. Dan besok masih ada keluarga lain yang harus kita kunjungi, gue nggak mau lo sampe nggak bisa jalan besok. Lagipula ….”

“A … aah— aapa?”

“Di sini gue nggak nyimpen kondom sama lubricant. Well, di apart juga enggak sih sebenernya. So, say no to penetration this night.”

“Kalo gitu…gue juga….” Haknyeon berbalik menghadap Sunwoo dan mengulurkan tangan ke arah kejantanannya.

“Hak! Jangan!”

“Gue juga pengen bikin lo seneng.”

“Jangan sekarang. Please, kalo lo nyentuh gue sekarang, gue nggak akan bisa nahan diri, gue nggak akan bisa berhenti. Tolong Hak, gue nggak mau nyakitin lo,” pinta Sunwoo memelas.

“Kalo cium aja boleh?” tanya Haknyeon pelan akhirnya.

“Boleh banget.”


Mereka terus berciuman sementara tangan Sunwoo masih mencumbu dan memberi kenikmatan kepada Haknyeon di bawah sana. Pada satu waktu di sesi make out mereka kali itu, Haknyeon sudah berada dalam posisi telentang dan kaus yang ia kenakan sudah dibuang oleh Sunwoo entah di bagian mana kamarnya, membuat pria itu lebih mudah dalam menggoda bagian depan tubuh Haknyeon dengan jemari ataupun lidahnya.

“Sunh … mmh …. Gue … nghh ….”

“Hampir sampe?” Haknyeon mengangguk cepat sambil meringis.

Sunwoo pun mempercepat gerakan tangannya sambil terus mencium Haknyeon, menelan semua erangan dan lenguhan yang dikeluarkan. Diperlukan tujuh kocokan tambahan sampai Haknyeon mengeluarkan ejakulasinya di tangan Sunwoo.

“Hmmhhh!” erang Haknyeon di mulut Sunwoo yang terus melumatnya. Sunwoo dengan setia terus memberi pijatan-pijatan kecil pada genital Haknyeon yang masih terus mengeluarkan benihnya.

Beberapa saat kemudian, kejantanannya mulai melemas dan napas pemiliknya mulai sedikit beraturan. Melepaskan bibirnya dari bibir Haknyeon, Sunwoo memindahkannya ke dahi pria itu dan mengecupnya.

Haknyeon membuka matanya yang terasa berat dan menatap Sunwoo. Dari jarak sedekat itu, ternyata mereka dapat melihat satu sama lain dengan cukup jelas.

Welcome back,” sapa Sunwoo sambil tersenyum dan melepaskan tangannya dari penis Haknyeon.

“Makasih, Sun …,” ucap Haknyeon malu-malu. Lagi, Sunwoo mengecup dahi Haknyeon.

“Sama-sama.”

“Lo ….”

“Nggak apa-apa, gue abis ini mandi air dingin.”

“Terus main sendiri?” Sunwoo tertawa.

“Enggak lah.”

“Badan gue lengket,” keluh Haknyeon.

“Iya, gue ambilin waslap sama air dulu, ya. Celana dalem lo juga basah. Lo bawa lebih?”

“Hm-mm.”

“Ya udah. Lo diem di situ, jangan banyak gerak, nanti malah makin bleber ke mana-mana. Gue tinggal dulu bentar. Jangan nakal!” goda Sunwoo.

“Kata rajanya orang nakal,” gerutu Haknyeon penuh sayang yang membuat Sunwoo tertawa.


aratnish’21

cw // cursing, kissing, french kiss, groping

Setelah memberikan satu lumatan kecil, Sunwoo melepaskan ciumannya. Ia mundur beberapa sentimeter sampai ia dapat melihat wajah terkejut Haknyeon. Wajah pria di depannya itu memerah dengan mulut sedikit terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tidak ada suara yang dapat ia keluarkan.

Dan semuanya itu sudah cukup untuk membuat akal sehat Sunwoo kembali.

“Hak .... Gue .... Shit ... sorry, lupain aja yang barusan. Gue minta maaf.”

Sunwoo bergerak menjauh sambil berusaha untuk membereskan barang-barangnya secepat mungkin, berniat untuk segera pergi dari apartemen Haknyeon sebelum semuanya menjadi lebih canggung lagi.

“Kenapa, Woo?” tanya Haknyeon pelan.

Gerakan tangan Sunwoo terhenti dan ia menatap Haknyeon yang melihatnya dengan tatapan tidak mengerti. Sunwoo sebenarnya paling enggan untuk membahas preferensi seksualnya dengan orang yang tidak ia kenal dekat, namun tindakannya beberapa menit yang lalu secara tidak langsung telah mengatakan semuanya dengan gamblang. Dan ia pun tidak bisa memungkiri bahwa Haknyeon pantas untuk mendapatkan penjelasan.

Setelah menarik napas panjang beberapa kali, akhirnya Sunwoo membuka suara.

Sorry ... gue ... gay.”

Mata Haknyeon membelalak sangat besar sampai-sampai Sunwoo menyangka bahwa kedua bola mata pria itu akan melompat keluar dan menabraknya.

“Iya, gue tau. Menjijikkan, 'kan? Lo pasti jijik sama gue, tapi lo tenang aja, yang tadi itu nggak akan gue ulangin lagi. Lo bisa pegang kata-kata gue. Gue nggak akan ganggu lo.”

“Gue nggak jijik ....”

“Nggak usah menghibur gue, Hak! Gue sadar diri kok kalo gue nggak normal.”

Sunwoo mulai merasa frustrasi. Ia selalu membenci proses menjelaskan dirinya kepada orang lain. Benci mengakui bahwa ia tidak sama dengan orang lain. Benci mengakui bahwa ia merasa takut ditolak oleh orang lain. Benci dipandang rendah oleh orang-orang “normal”—whatever normal is. Benci ketika orang-orang akhirnya memutuskan untuk pergi menjauh darinya seolah ia adalah penyakit menular.

“Gue juga ...,” ujar Haknyeon pelan sambil sedikit menundukkan kepalanya.

“Apa?”

“Gue juga, Woo.”

“Lo juga ... apa?” tanya Sunwoo tidak mengerti.

“Gue juga gay, Sunwoo.”

Tidak menyangka bahwa itulah tanggapan yang akan ia dapatkan dari Haknyeon, kali ini giliran Sunwoo yang membelalak sambil sedikit menganga.

“Lo ...???”

Not fully accepted my condition yet, but yeah ... I'm a gay.”

Lagi, kontrol yang Sunwoo miliki atas tubuhnya seakan menghilang. Perlahan ia mendekati Haknyeon yang masih duduk di atas sofa yang awalnya mereka gunakan untuk bekerja.

“Woo?” bisik Haknyeon saat wajah Sunwoo hanya tinggal berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya. Haknyeon bahkan bisa merasakan napas hangat Sunwoo menerpa wajahnya.

Push me away, Haknyeon,” bisik Sunwoo sambil menatap bibir Haknyeon. Gugup, Haknyeon menjilat bibir bawahnya yang terasa kering, membuat Sunwoo mengerang pelan saat mengikuti pergerakan lidah itu dengan matanya.

Damn, Haknyeon! Please, push me away!”

Haknyeon menggeleng kecil, dan kontrol diri Sunwoo, yang saat itu hanya ditahan dengan seutas benang kecil, terlepas. Dengan tangan kanannya, ia menarik tengkuk Haknyeon sehingga bibir mereka bertemu di tengah untuk memulai serangkaian ciuman. Sementara itu, tangan kiri ia gunakan untuk berpegangan pada sofa, supaya tubuhnya masih berjarak dengan tubuh Haknyeon.

Walaupun sempat terkejut pada awalnya, Haknyeon mulai menutup matanya dan menikmati lumatan demi lumatan yang Sunwoo berikan pada bibirnya. Sesekali, Haknyeon menggigit kecil bibir bawah Sunwoo, membuat pria di depannya itu menggeram senang.


Merasa pening karena stimulus bertubi-tubi yang diberikan Sunwoo pada bibirnya, Haknyeon bergerak untuk mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Perlahan, ia mengubah posisinya menjadi berbaring di sofa, tidak lupa membawa Sunwoo serta tanpa memutus tautan bibir mereka.

“Hak …,” tegur Sunwoo saat ia menyadari bahwa ia telah mengungkung Haknyeon di bawah tubuhnya.

“Ciuman lo bikin gue pusing, gue butuh rebahan ….” Haknyeon mengakui dengan malu-malu. Tertawa, Sunwoo mengecup pelan ujung hidung Haknyeon.

“Lo bahaya juga ternyata,” godanya yang kemudian mendapat hadiah berupa sebuah cubitan kecil di pinggangnya.

“Gue jadi pengen bikin lo makin pusing,” tegas Sunwoo sambil kembali mendekatkan wajahnya. “Siap-siap aja, Hak.”

Tidak menunggu jawaban dari Haknyeon, ia mulai mencium pria itu lagi. Kali ini lebih berani, lebih menuntut. Lebih sexy. Jujur, Haknyeon sedikit kewalahan mengimbangi manuver Sunwoo, namun tampaknya Sunwoo tidak mempermasalahkannya.

Pada satu titik, Sunwoo menggigit bibir bawah Haknyeon sedikit agak keras, sehingga pria di bawahnya itu terengah, dan sedikit membuka bibirnya. Momen itu lah yang diincar oleh Sunwoo, karena ia langsung menyelipkan ujung lidahnya di celah bibir itu.

Sekonyong-konyong merasa ragu, Sunwoo hanya menjilati pelan bibir bawah yang sebelumnya ia gigit, seolah meminta izin dari empunyanya untuk masuk lebih dalam. Dapat membaca niatan Sunwoo, dengan malu-malu Haknyeon menyentuh ujung lidah pria itu dengan lidahnya sendiri.

Tersenyum, lidah Sunwoo memasuki gua hangat tersebut, menyentuh sekilas lidah milik sang empunya gua sebelum mengabsen satu per satu aset yang ada di dalamnya.

Haknyeon mengerang geli saat lidah Sunwoo mengelus pelan langit-langit mulutnya. Erangannya membuat Sunwoo mencari lidah Haknyeon dan mengajaknya berdansa di dalam sana. Keduanya bergerak canggung, namun menikmati dansa yang sedang terjadi, pertukaran kehangatan, pertukaran pelukan, pertukaran saliva.

Merasa kekurangan pasokan oksigen, dengan berat hati Sunwoo memutus ciuman mereka. Ia melihat netra hitam Haknyeon yang menatapnya dengan sayu, juga napasnya yang terdengar terengah, seirama dengan napasnya sendiri.

“Lo tau nggak sih kalo lo tuh sexy banget?” bisik Sunwoo parau. Tidak tahu harus menjawab apa, Haknyeon hanya menaikkan sebelah alisnya.

Sexy tapi polos. Baru pertama kali, ya?” Haknyeon tertawa gugup.

That’s such a turn off, Kim Sunwoo.” Sunwoo tersenyum senang. “Kok malah seneng?”

“‘Kan biar bisa gue turn on-in lagi.” Tawa Haknyeon meledak.

“Mesum!”

Pervert is my middle name.” Sambil berkata demikian, Sunwoo menyelipkan sebelah kakinya di antara kedua paha Haknyeon.

“Woo …!” seru Haknyeon terkejut. Sunwoo menggeleng kecil sambil tersenyum.

“Nggak, gue nggak bakal ngapa-ngapain tanpa consent dari lo. Cuma ... nggak kasian apa sama yang di bawah situ dari tadi nggak diperhatiin?”

“Dia nggak protes, kok!” cicit Haknyeon gugup.

“Hmm?” Sunwoo mengelus pelan pangkal paha Haknyeon dengan pahanya sendiri.

“Sunwoo!”

“Udah lembap lho, Hak …,” godanya sambil mulai menciumi dan menjilati rahang Haknyeon.

“Sunwoo ….” Mendengar suara Haknyeon yang tampaknya sudah hampir menangis, Sunwoo melepaskan tawa yang sudah ia tahan, dan menjauhkan pahanya dari tempat ia menggoda Haknyeon sebelumnya.

“Becanda, Hak!” Benar saja, ia melihat mata Haknyeon sudah mulai berkaca-kaca.

“Maaf ya … becanda gue keterlaluan.” Sunwoo meminta maaf dengan tulus sambil mencium kedua mata Haknyeon bergantian.

“Ciuman lagi aja boleh?” tanya Haknyeon malu-malu. Sunwoo tersenyum sambil mengangguk mengiyakan.

Dan mereka pun kembali mengulang prosesi yang telah mereka lakukan sebelumnya.


Kembali beristirahat untuk mengumpulkan oksigen, Sunwoo menggunakan tangan kirinya untuk menopang tubuh, sementara tangan kanannya bergerak untuk menurunkan kerah kemeja yang dikenakan Haknyeon. Ia mengelus pelan kulit mulus di antara leher dan tulang belikat pria itu.

Naik … turun … naik … turun ….

“Ngapain?” tanya Haknyeon yang sudah dapat membaca apa yang diinginkan oleh Sunwoo.

“Pengen gue tandain.”

“Terus kenapa enggak?” tantang Haknyeon.

Sunwoo serta merta melihat ke arah Haknyeon dengan terkejut. Namun ia hanya membaca kepolosan di mata pria itu, ia juga bisa membaca rasa penasaran di sana.

‘Ini anak bener-bener polos. Gue tandain beneran nggak apa-apa gitu, ya?’ pikir Sunwoo.

“Woo?” tanya Haknyeon bingung dengan diamnya Sunwoo. Sebagai jawaban, Sunwoo mengecup keras bibir Haknyeon sebelum bibirnya berpindah ke area kulit yang ia sentuh sebelumnya.

Sunwoo bisa mendengar tarikan napas terkejut pria di bawahnya saat bibirnya menyentuh area kulit lembut itu. Perlahan, ia menjilati area itu, sementara tangan kirinya berpindah ke pinggang Haknyeon.

Ia memberikan area itu kecupan-kecupan kecil, sebelum perlahan membuka mulutnya dan mengisap dengan keras.

“Ha—! Aaah—!”

Erangan terkejut Haknyeon saat ia menandainya membuat libido Sunwoo kembali meroket. Menyurukkan kepalanya ke lekukan leher Haknyeon, Sunwoo sempat membuat beberapa tanda tambahan di sana. Tangan kirinya kini sudah bergerilya di dalam kemeja Haknyeon. Kulit bertemu kulit.

“Ha—ah …. Sun … woo …,” erang Haknyeon saat ujung jari Sunwoo menggoda puting kanannya, dan pinggul Sunwoo bergerak memutar dan menekan bagian bawah tubuhnya.

Saat itu, seluruh darah yang ada di kepala Sunwoo sudah bermigrasi ke bagian tubuh selatannya. Kepala yang berfungsi 100% saat itu adalah kepala bagian selatannya, sehingga dengan berani ia mengarahkan jemarinya ke pinggiran celana panjang yang dikenakan oleh Haknyeon.

Ia sudah bersiap untuk membuka kancing celana itu ketika tiba-tiba indera penciumannya menangkap sebuah aroma.

Vanilla.

Dan akal sehat Sunwoo dengan instan kembali ke tempatnya.

Eric.

Bagai ditembak, Sunwoo segera meloncat berdiri dari posisinya di atas Haknyeon. Dengan kalap, ia melihat ke sekelilingnya.

Kosong.

Tidak ada Eric.

Sunwoo mengarahkan pandangannya kembali ke sofa, ke arah Haknyeon yang masih terbaring di sana dengan rambut berantakan, mata sayu, pipi kemerahan, bibir yang bengkak dan mengilap karena pertukaran saliva mereka. Baju yang berantakan, beberapa tanda yang menyembul dengan manis dari balik kerah kemejanya, dan … sebuah gundukan di bagian selatan tubuhnya.

‘Indah. Sexy,’ pikir Sunwoo saat libidonya kembali menghampiri. Dan lagi-lagi, aroma vanilla itu melingkupinya.

“Hak … sorry …. Gue …. Gue nggak tau harus ngomong apa, tapi … sorry.”

Setelah mengambil barang-barangnya secepat kilat, Sunwoo segera pergi dari apartemen itu, meninggalkan Haknyeon yang masih terbaring di sofa dengan tatapan menerawang, dan napas terengah.

“What the fucking hell is that?” desis Haknyeon satu menit kemudian.


— aratnish’21