aratnish

~ I write the story I want to read ~

Bagian 02 dari “Eternity

Atua yang dibicarakan sebelumnya adalah sebutan untuk makhluk immortal. Manusia yang telah meninggal namun masih memiliki kemauan untuk hidup yang sangat tinggi akan diberi pilihan oleh Moonie—sebagai salah satu anahera, sebutan bagi penjaga—pada saat mereka berada di Araf, tempat sementara sebelum jiwa mereka diputuskan akan ditempatkan di Surga atau Neraka. Tidak semua manusia diberi pilihan oleh Moonie, tergantung bagaimana naluri dan mood dari anahera berambut putih pendek itu.

Saat seorang manusia menjadi atua, maka umur dan kondisi tubuh mereka akan berhenti di umur mereka meninggal. Misalnya, Sunwoo yang meninggal di usia duapuluh tiga tahun akan selamanya terlihat sebagai pemuda berusia duapuluh tiga tahun. Pun halnya dengan Chanhee dan Changmin yang terlihat sebagai pemuda berusia duapuluh lima tahun. Namun, terkadang mereka harus menggunakan ramuan penambah usia atau mantra pemodifikasi ingatan para manusia, sehingga mereka akan terlihat menua bersama secara natural.

Pada dasarnya, atua sama dengan manusia, namun dengan tenaga yang lebih besar, pancaindra yang lebih sensitif, serta absennya rasa sakit dan rasa lapar dari sistem tubuh mereka. Atua tidak harus menghirup darah untuk bertahan hidup ataupun akan terbakar menjadi abu saat terkena sinar matahari seperti vampir. Walaupun secara fisik mereka memiliki taring seperti vampir, namun itu hanyalah hiasan. Hanya karena Moonie menganggapnya keren. Mereka bisa menghilangkan taring tersebut selama seminggu dengan sebuah serum yang bisa mereka racik sendiri. Tanda fisik lain yang dimiliki oleh seorang atua adalah tattoo berbentuk bulan sabit yang terdapat di perut bagian kiri mereka.

Menjadi atua bukan berarti mereka lepas dari masalah ataupun bahaya. Bukan berarti mereka tidak bisa mengalami kematian lagi, hanya saja kematian mereka yang kedua ini akan lebih menyakitkan. Merupakan anomali alam semesta, banyak manusia—atau tahuti, biasa para atua menyebutnya—yang memburu para atua untuk menghabisi mereka. Para tahuti pemburu ini biasa disebut dengan rapunga. Meskipun kalah jauh perihal tenaga, namun pada satu waktu rapunga berhasil menemukan kelemahan para atua. Tattoo bulan sabit. Atua yang tattoo-nya diserang oleh senjata milik rapunga akan menjemput kematian.

Apa yang akan terjadi pada atua yang meninggal?

Karena pada dasarnya mereka sudah meninggal dan dibangkitkan kembali oleh anahera, maka baik Surga ataupun Neraka tidak akan mau menerima mereka pada kematian kedua ini. Pada saat meninggal di tangan rapunga, atua akan hancur dan menjadi kehua, sebuah entitas berbentuk bayangan yang tidak bisa dilihat dan didengar oleh siapapun—bahkan oleh sesama kehua—tidak bisa merasakan apapun, dan berjalan sendirian di bumi sampai hari kiamat tiba. Saat itu lah, mereka akan kembali diadili di Araf, bukan lagi oleh anahera, melainkan oleh Sang Pencipta.


©️aratnish'22

Bagian 01 dari “Eternity”

Sunwoo melewati kedua teman serumahnya saat ia beranjak menuju pintu depan pada pukul tujuh malam itu.

“Udah mau berangkat kerja?” tanya Chanhee saat melihat pakaian yang dikenakan oleh Sunwoo. Walaupun sebenarnya tidak banyak perbedaannya dengan pakaian yang laki-laki itu kenakan sehari-hari. Serba hitam. Namun kali ini ia mengenakan kemeja hitam, bukan t-shirt atau turtleneck hitam, jadi sudah pasti ia akan berangkat kerja.

“Hm-hm,” jawab Sunwoo pendek.

“Kenapa sih lo milih kerja malem? Padahal kerjaan pagi dan siang itu lebih asyik. Kita bukannya bakal terbakar sampe jadi abu juga kalo kena sinar matahari.” Changmin menyahuti. Yang ditanya hanya mengangkat bahunya tidak peduli.

“Bosen. Gue udah sering jadi pekerja daylight, sekarang pengen jadi pekerja malem aja. Lumayan, nggak harus panas-panasan. Dan orang-orang malem itu nggak sebawel orang-orang siang. Yuk, ah!”

Mengucapkan salam perpisahannya, Sunwoo membuka pintu depan tanpa menunggu jawaban dari teman-teman serumahnya. Changmin menatap Chanhee, yang terlihat santai, dengan bingung.

“Berapa sih umurnya?” tanya Changmin.

“Uhm … kalo gue nggak salah inget, taun ini dia … 412 taun?”

“Ya … nggak heran juga sih kalo dia mulai bosen. Please reminds me, waktu itu dia kenapa meninggalnya?”

“Hm? Biasa lah, waktu itu masih masa-masa chaos karena perang. Dia dari keluarga yang kurang berada dan akhirnya dijual sama keluarganya untuk jadi budak demi mereka bisa makan. Terus yah … lo liat sendiri ‘kan dia ganteng gitu? Istri majikannya jadi naksir, tapi dia nolak. Lalu si majikan perempuan ini ngefitnah dia nyuri perhiasan dan dia dihukum gantung. Kalo nggak salah.”

“Astaga. Kasian banget. Kalo lo … 264 taun, 'kan ya?” Chanhee mengangguk. “Waktu itu kenapa?” lanjut Changmin.

“Gue? Nggak menarik sih, natural death. Kondisi kesehatan gue dulu memang nggak bagus, jadi ya udah, mungkin memang umurnya dikasih cuma segitu aja.”

“Terus kenapa lo mau jadi atua?”

“Ya gue nggak puas lah, Min! Umur gue pendek—duapuluh lima taun, astaga!—mostly cuma diabisin di atas tempat tidur doang, nggak bisa nyoba kegiatan macem-macem atau main ke mana gitu.”

“Hmm … iya juga, sih.”

“Lo waktu itu kenapa? Dirampok ya kalo nggak salah?” Changmin mengangguk sebagai jawaban.

“Dirampok waktu pulang kerja. Terus karena gue ngelawan, jadi ditusuk. Bleeding to death karena kejadiannya di jalan yang nggak banyak orang lewat.”

“Dan jadi atua karena mau bales dendam ke perampoknya?” tebak Chanhee sedikit geli.

“Ya iya, lah! Gila aja, itu uang udah susah payah gue dapetin, kerja halal, eh diambil aja seenaknya sama dia! Pake ngambil nyawa gue segala!” protes Changmin yang membuat Chanhee tergelak.

“Terus? Rampoknya ketemu?”

“Ketemu. Emang sering operasi di daerah situ dia. Anjir, lo harus liat waktu gue mamerin taring ke dia! Literally dia terkencing-kencing di celana sebelom gue bales dendam.”

“Bisa gue bayangin, sih. How old are you back then?”

“Sama kayak lo, duapuluh lima. Dipikir-pikir, lucu juga ya … umur atua Sunwoo itu yang paling tua di antara kita, tapi umur tahuti-nya yang paling muda. Duapuluh tiga?”

Chanhee mengangguk. “Duapuluh tiga dan nggak pernah merasakan kasih sayang dari orang lain. Gue walaupun waktu itu berumur pendek, tapi punya orang tua dan temen-temen yang sayang sama gue.”

“Gue juga. Nggak heran kenapa Sunwoo jadi dingin gitu ke orang lain.”


“HATSCHIIIU!!!” Sunwoo bersin dengan suara keras di balik masker hitam yang dikenakannya, membuat orang-orang yang melewati atau berpapasan dengannya di jalan menoleh dengan heran.

Ini pasti ada yang ngomongin gue, deh! Tadi gue masih sehat-sehat aja, kok … kenapa sekarang jadi bersin-bersin gini? Mana badan merinding sama telinga berdenging, pula! gerutu Sunwoo dalam hati sambil merapatkan jaket kulit hitam yang dikenakannya, berjaga-jaga kalau saja ia benar-benar sakit—walaupun sebenarnya atua tidak mungkin sakit, sih.

Sunwoo berjalan dengan perlahan menuju bar tempatnya bekerja sebagai bartender. Jam kerjanya sebenarnya dimulai masih satu jam lagi, perjalanan menuju tempat kerjanya juga tidak memakan waktu lama dengan berjalan kaki, namun ia selalu berangkat lebih awal karena ingin menikmati perjalanan ke sana. Langit yang mulai gelap, udara yang berubah menjadi lebih sejuk, dan lampu-lampu yang mulai menyala ramai di sana sini, sesuatu yang tidak pernah bisa dengan bebas ia nikmati semasa ia hidup sebelumnya.

Ia sudah mengenal jalan itu sebaik ia mengenal garis di telapak tangannya sendiri, sehingga ia bisa saja berjalan dari rumah hingga ke tempat kerjanya dengan mata tertutup. Dengan kondisi tidak ada orang lain atau kendaraan yang berlalu lalang, tentunya. Hidup di tempat yang sama selama lebih dari empat ratus tahun memang cenderung akan memberikan kemampuan itu kepada setiap orang. Sebenarnya Moonie sudah memberi tawaran kepadanya untuk pindah ke daerah lain, tapi ia tidak mau.

Ia tidak bisa.

Ia tidak mampu.

Sesuatu yang lain dari biasanya tertangkap oleh indera penglihatannya petang itu.

Oh? Ada toko baru? pikirnya saat ia melihat nyala lampu hangat di sebuah bangunan kecil, bangunan yang ia ingat masih gelap gulita di malam sebelumnya. Bangunan yang sebenarnya sangat ia benci karena merupakan tempatnya dieksekusi karena difitnah oleh majikannya empat abad yang lalu.

Tulisan ‘soft opening’ terpampang di papan pengumuman di depan toko.

Arani Patisserie

Oh. Toko kue. Not my things.

Tanpa menoleh dua kali, Sunwoo berjalan melewati toko kue itu sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jaket. Berjalan lurus menuju tempatnya bekerja.


Bar tempatnya bekerja merupakan bar yang lebih eksklusif dibandingkan dengan bar lain yang sangat ingar bingar. Sunwoo sengaja membuatnya seperti itu karena ia tidak suka keramaian.

Eh? Apa aku menyebutkan bahwa Sunwoo yang sengaja membuatnya seperti itu?

Well, kalian tidak salah membacanya. Tidak ada yang tahu—kecuali Moonie dan manajer bar-nya, Hyunjae—bahwa Sunwoo lah yang memiliki bar itu. Hasil kerjanya selama empat ratus tahun lebih membuatnya memiliki banyak uang yang tidak pernah habis walaupun ia gunakan untuk berfoya-foya. Bukannya ia gemar menghabiskan uang, tentu saja, ia hanya bingung untuk apa lagi harus ia gunakan uang itu.

Berasal dari keluarga yang berkekurangan dan menjadi budak semasa kehidupan mortal-nya, Sunwoo terbiasa tidak memiliki apa-apa, pun terbiasa untuk tidak meminta lebih dari apa yang telah ia miliki. Setelah berkonsultasi dengan Moonie, akhirnya penolongnya itu setuju untuk membeli beberapa saham, aset, properti, whatever you named it, untuk menjadi investasi atua senior itu.

“Tapi nanti uang lo makin banyak, deh. Terus lo jadi makin bingung ngabisinnya.” Moonie berargumen terhadap keinginannya.

“Bisa gue sumbangin ke badan amal. Bisa juga gue sumbangin ke atua lain yang mungkin nggak seberuntung gue,” jawabnya waktu itu.

Menjadi immortal bukan berarti serta merta mereka menjadi kaya raya, terutama manusia yang baru saja menjadi atua dan masih harus beradaptasi dengan kondisi mereka. Untuk para atua yang seperti itu lah Sunwoo mengulurkan tangannya.

Aku akan membicarakan perkara atua dan lainnya ini di kesempatan berikutnya, sekarang mari kita kembali ke Sunwoo dan malamnya.

Mysterious as always, Mr. Bartender?” goda tamu wanita di depannya. Sedikit tersenyum sehingga membuat matanya menyipit, Sunwoo menelengkan kepalanya tanda ia bertanya kepada tamu tersebut.

Black shirt, black pants, black apron, and of course the black mask.” Wanita itu memutar-mutar gelas cocktail di tangannya.

Gelas ke tiga. Sunwoo mencatat dalam hati. Setelah ini, ia akan menolak jika tamunya itu meminta gelas ke empat.

“Bukankah kalian para tamu akan lebih senang jika dilayani oleh bartender misterius? Bukankah akan terasa seperti kalian benar-benar berada di dunia lain? Dunia di mana penat tidak diterima di dalamnya?”

Karena tepat seperti itu lah nama dan motto dari bar yang ia dirikan.

Other World, where you can leave your bad day at the door.

Tamu wanita itu terkekeh samar.

“Bener juga.” Menenggak habis minuman di gelasnya, wanita itu menutup matanya sebentar. “Lo punya teh anget? Rasanya gue agak pusing.”

Mengangguk, Sunwoo segera menyiapkan permintaan wanita itu.

“Yang punya bar ini siapa, sih? Kok kepikiran bikin bar yang cozy gini, ya? Nggak ada musik yang jedag-jedug, nggak ada cewek-cewek binal seliweran, nggak ada cowok-cowok yang suka iseng ngegodain. Bener-bener other world.”

“Yang punya tuh orangnya unik banget, agak-agak preman tapi nggak suka keramaian, tapi yang jelas sih dermawan banget!” Sunwoo memutar bola matanya saat suara yang sudah sangat ia kenal itu muncul dari sebelah kirinya.

“Oh! Mr. White Hair!” seru wanita itu riang. Mr. White Hair yang ia panggil adalah Moonie. Ia memang terkadang datang ke Other World dan membantu—dibaca: merecoki—pekerjaan Sunwoo.

“Lune, baby. My name is Lune.”

Because you’re a lunatic,” gumam Sunwoo yang membuatnya mendapatkan tepukan pelan di bokongnya.

Sunwoo membelalakkan mata dengan terkejut kepada Moonie, yang malah mengedipkan mata dengan genit ke arahnya. Menggeleng tak habis pikir, Sunwoo pergi ke arah pengunjung lain yang baru datang untuk menerima pesanannya, meninggalkan Moonie dan tamu wanita itu mengobrol dengan seru.

Dan malam itu berjalan seperti malam-malam biasanya, tanpa Sunwoo tahu bahwa ia akan mendapatkan kejutan saat pagi datang.


©️aratnish'22

— epilog dari “Latah”

“Jadi, kalo nggak dilatahin, lo beneran mau nyapa, kenalan, sama nyium gue, nggak?” tanya Sunwoo yang kini sudah duduk di sebelah Haknyeon sambil bersandar pada tembok gudang. Haknyeon mengangkat bahunya.

“Nggak tau. Gue punya terlalu banyak skenario di otak gue.”

“Misal?”

“Lo nggak suka cowok. Atau, kalaupun lo suka cowok, lo nggak akan suka sama gue yang biasa-biasa aja ini—”

“Astaga! Lo lucu banget gini, mana bisa gue nilai lo biasa-biasa aja?!” potong Sunwoo terkejut.

“Ya 'kan itu skenario gue. Terus ... takut juga kalo ternyata lo udah punya pacar.”

“Otak lo beneran rame banget ya skenarionya,” goda Sunwoo.

“Gara-gara itu gue jadi latah. Kayaknya.”

“Hah?! Kok bisa?!”

Haknyeon pun menceritakan asumsi yang didapatnya dari hasil pertanyaan San.

“Aneh, tapi bukannya nggak mungkin juga,” gumam Sunwoo sambil berpikir.

Since sekarang kita udah resmi pacaran, berarti harusnya latah lo udah sembuh, dong? Iya, nggak?!” Sunwoo memberikan sedikit hentakan pada kalimat terakhirnya.

“Iya nggak. Iya nggak. Nggak tau. Ah Sunwoo maaah!” protes Haknyeon malu sambil memukul lengan atas Sunwoo.

“Kok nggak sembuh, ya?”

“Ya Roma juga nggak dibangun dalam semalam, 'kan?” Haknyeon bersungut-sungut.

“Iya, sih. Hmm ... gue ada ide.”

“Apa?”

“Setiap hari yang bisa lo lalui tanpa latah, gue bakal ngasih lo hadiah.”

“Oh? Apa hadiahnya?”

Full course di kantin waktu istirahat besoknya.”

“Hmm … not bad, tapi … gimana lo bisa tau kalo gue ngomong jujur kalo gue nggak latah sama sekali hari itu?”

“Gue percaya sama lo. Apapun yang lo bilang, gue percaya. Bahkan kalo lo bilang bumi itu bentuknya segitiga, gue bakal percaya.” Haknyeon terbahak.

“Kalo seminggu penuh lo nggak latah, lo bebas milih weekend mau nge-date ke mana, plus nanti gue cium yang laaamaaa,” lanjut Sunwoo sambil memberikan kerlingan mata menggoda pada Haknyeon yang lagi-lagi wajahnya bersemu merah.

“Oke. Deal. Terus, kalo gue latah, gimana?”

“Ya ada hukumannya, dong.”

“Apa?”

“Lo yang nyium gue.”

“Haaah?!”

“Gimana? Berani, nggak?”

“Umm ….”

“Gimana?!” Sunwoo sedikit menepuk lutut Haknyeon sebagai penekanan pertanyaannya.

“Gimana? Gimana? Eh gimana? Oke. Deal,” latah Haknyeon.

Tawa yang akan keluar dari mulut Sunwoo seketika dibungkam oleh bibir Haknyeon yang menempel pada bibirnya dan menciumnya lembut.

“Nyeonie?” tanya Sunwoo dengan wajah bersemu merah.

Well, gue latah. Itu hukumannya, ‘kan?” respons Haknyeon sambil tersenyum jail ke arah Sunwoo.

“Lo sengaja, ya?!”

“Ya menurut lo?” tantang Haknyeon.

“Aduuuh … aba-aba dulu kenapa, sih? Jantung gue nggak kuaaat!” protes Sunwoo sambil menyembunyikan wajahnya yang memerah sempurna, membuat Haknyeon tertawa senang karena berhasil membuat Sunwoo salah tingkah.

— selesai —

—aratnish'22

— bagian 2 dari “Latah”

Beberapa hari berselang setelah kejadian Haknyeon hampir mencium Sunwoo karena dikerjai oleh Changbin dan San. Walaupun ia masih kesal dengan kelakuan kedua sahabatnya itu, namun ia tidak dapat berlama-lama marah kepada mereka.

Lain halnya dengan persoalan Sunwoo. Entah kenapa, sejak kejadian itu, Haknyeon merasa ia selalu bertemu dengan Sunwoo di manapun. Di kantin—padahal kantin sekolah sangat luas, di jalan menuju ke laboratorium, di depan lapangan—yah, yang ini karena Sunwoo sedang latihan sepak bola, sih. Di dekat perpustakaan, di lorong kelas sebelas—padahal daerah kelas sebelas dan sepuluh cukup jauh, di parkiran mobil—padahal Sunwoo mengendarai motor ke sekolah.

Dan Haknyeon selalu berbalik arah sebelum ia sempat berpapasan dengan adik kelasnya itu.

Apa yang kalian harapkan? Haknyeon sudah kepalang malu. Kepalang sakit hati juga saat melihat emosi negatif di netra indah Sunwoo.

Jadi, jalan satu-satunya yang dapat Haknyeon pikirkan hanyalah … kabur.


Hari lainnya datang lagi. Hari dimana Haknyeon melihat Sunwoo di kejauhan dan memiliki tingkat probabilitas cukup tinggi untuk berpapasan dengannya.

Seperti hari-hari lainnya, Haknyeon segera berbalik untuk mengambil langkah seribu.

Tidak seperti hari-hari lainnya, Sunwoo berteriak memanggilnya.

“Haknyeon hyung!”

‘Hah?! Apa-apaan, deh?! Kok dia manggil gue??’ pikir Haknyeon panik sambil sedikit melirik ke belakang.

“Tunggu, hyung!”

‘EH?! Kok dia ngejar gue?!’ Semakin panik, Haknyeon mempercepat langkahnya.

Hyung! Jangan kabur dulu! Gue mau ngomong!”

Semakin Sunwoo memanggilnya, semakin cepat Haknyeon berjalan dan berakhir dengan ia berlari untuk memperlebar jarak antara dirinya dan Sunwoo yang juga berlari mengejarnya.

Hyung! Tunggu! Jangan lari, elah!”

Haknyeon berlari tidak tentu arah, hanya mengikuti ke mana kakinya membawanya. Sampai akhirnya ia sampai di salah satu sudut halaman belakang sekolah yang jarang didatangi oleh siswa ataupun guru. Haknyeon berhenti untuk melihat ke belakang dan merasa lega karena Sunwoo tidak lagi mengejarnya. Menyandarkan punggung di tembok gudang yang sudah tidak terpakai, Haknyeon memejamkan mata dan mengatur napasnya yang berantakan.

“Akhirnya ketangkep juga!” sahut sebuah suara dengan napas yang sama tidak beraturannya dengan dirinya.

Haknyeon tidak perlu membuka mata untuk mengetahui bahwa Sunwoo sudah berhasil mengejarnya. Ia mengerang pelan tanda kesal.

‘Dasar kapten sepak bola!’ gerutunya dalam hati.

“Kenapa lari, sih?” tanya Sunwoo bingung.

“Nggak apa-apa,” jawab Haknyeon masih dengan mata terpejam.

“Kok merem terus?”

“Nggak apa-apa.”

“Nggak mau melek dan memastikan bahwa kaki gue napak di tanah?” Tersentak, Haknyeon segera membuka mata dan melihat ke arah kaki Sunwoo yang sudah pasti menapak di tanah. Reaksinya itu membuat sang adik kelas terkekeh geli.

Hyung lucu banget, sih.”

“Berisik!” omel Haknyeon dengan wajah bersemu merah.

“Kenapa sih lo selalu lari kalo mau papasan sama gue? Padahal waktu itu lo sok-sokan mau nyium gue,” goda Sunwoo.

Stop!!! Nggak usah diungkit lagi! Lo nggak suka, ‘kan? Iya, udah, gue minta maaf.”

Hyung—”

“Gue tau gue ngeselin. Gue minta maaf, deh.”

“Haknyeon hyung—”

“Lo nggak usah khawatir, gue janji nggak akan ada kejadian kayak gitu lagi. Gue bakal jaga jarak dari lo.”

“Haknyeonie ….” Haknyeon berhenti berceloteh saat mendengar panggilan Sunwoo padanya.

“Tadi … manggil apa?” tanya Haknyeon linglung.

“Haknyeonie,” jawab Sunwoo sambil tersenyum kecil.

“Kenapa?”

“Karena gue suka.”

“Hah?!”

“Gue suka elo.”

Haknyeon mengangkat sebelah alisnya sebagai respons dan melihat Sunwoo dengan tatapan skeptis.

“Oke. Lo ngelantur. Gue pergi. Yang penting gue udah minta maaf, ya.”

Haknyeon berhenti saat tangan kiri Sunwoo menahan langkahnya. Menatap adik kelasnya dengan bingung, Haknyeon berbalik untuk pergi dari arah sebaliknya. Lagi, ia dihentikan oleh tangan Sunwoo—kini tangan kanan—membuat ia kini terkunci di antara kedua tangan sang adik kelas dan tembok gudang di belakangnya.

Ya. Sunwoo melakukan kabedon kepada Haknyeon.

“Apa-apaan?”

“Biar lo nggak kabur lagi. Gue mau lo ngedengerin gue sebentar aja.”


“Gue udah tau dari awal kalo lo latah,” kata Sunwoo membuka percakapan—masih dengan mengungkung Haknyeon di antara dirinya dan tembok.

“Kok bisa?”

“Gue pernah liat lo disuruh tiba-tiba hormat ke tiang bendera waktu lagi pelajaran olahraga.”

“Anjir?! Kok lo bisa tau?!”

“Gue kebetulan lagi izin ke toilet waktu itu,” jawab Sunwoo sambil tersenyum geli melihat wajah Haknyeon yang memerah. ‘Izin ke toilet karena gue tau kelas lo lagi pelajaran olahraga,’ lanjut Sunwoo dalam hati.

“Gue juga pernah liat lo disuruh lari ke kelas di sebelah kelas lo. Atau waktu lo disuruh nari di lorong kelas. Atau ….” Sunwoo menyebutkan satu per satu kejadian yang pernah Haknyeon alami terkait dengan latahnya.

“… Beberapa bisa dikategoriin sebagai bullying lho, Nyeonie. Contohnya, waktu lo disuruh lompat dari lantai dua. Sumpah waktu itu gue rasanya marah banget. Pengen langsung lari ke tempat lo, tapi untung Changbin hyung dan San hyung udah nolongin lo.” Sunwoo merapikan rambut Haknyeon yang berantakan karena disibakkan oleh angin nakal.

“Kok lo bisa tau semuanya, sih?” tanya Haknyeon malu. Apalagi saat ia mendengar nama panggilan yang diberikan oleh Sunwoo padanya.

“Karena gue selalu merhatiin lo.” Sunwoo berhenti sejenak. “Karena gue suka sama lo, Haknyeonie.”

“Lo ngelantur lagi.” Sunwoo menghela napas lelah.

“Gue nggak ngelantur, Nyeonie.”

“Terus kemaren kenapa marahin gue?”

“Gue nggak marah. Gue ‘kan cuma bilang jangan dikit-dikit diturutin, nanti semuanya pada ngelunjak ngerjain lo.”

“Tapi—”

“Gue nggak suka kalo lo nyapa gue, ngajak gue kenalan, sama mau nyium gue cuma karena disuruh sama orang.”

“Hah??”

“Nggak tulus.”

“Tapi ….” Haknyeon mengurungkan niatnya.

“Tapi apa?” Sunwoo menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di mata kiri Haknyeon, membuat wajah kakak kelasnya itu kembali bersemu merah.

“Tapi … waktu itu mereka ngerjain gue karena mereka tau kalo gue suka sama lo.” Sunwoo mengangkat sebelah alisnya dengan tertarik.

“Oh?”

Yeah.”

Sunwoo seketika berjongkok di depan Haknyeon, menunduk, kemudian menghela napas panjang.

“Eh? Sunwoo? Kenapa?” tanya Haknyeon bingung sambil ikut berjongkok.

“Gue kira lo cuma main-main aja. Gue kira lo nggak punya perasaan apa-apa sama gue. Gue kira gue cuma jadi salah satu subjek ngejailin lo.”

Haknyeon terkekeh mendengar kata-kata Sunwoo itu.

“Siapa sih yang nggak akan suka sama lo? Kapten sepak bola paling ganteng gini,” goda Haknyeon sambil mengacak-acak surai hitam pemuda di depannya. Sunwoo mendongak dan menatap lurus ke arah Haknyeon.

“Gue nggak peduli sama yang lainnya. Gue pedulinya cuma sama lo.”

“Ah gombal!” Haknyeon menggerutu untuk menutupi rasa malunya.

Sunwoo menjepit dagu kakak kelasnya itu dengan telunjuk dan ibu jarinya saat sang kakak kelas memalingkan wajah. Setelah Haknyeon kembali menatapnya, Sunwoo berkata dengan serius,

“Nyeonie ... pacaran, yuk.”

“Lo ngajak pacaran kayak ngajak gue beli pisang goreng aja.”

(bersambung ke epilog)

—aratnish'22

— bagian 1 dari “Latah”

Haknyeon tidak tahu sejak kapan ia jadi memiliki kecenderungan automatic obedience atau melaksanakan perintah yang disampaikan oleh orang lain secara spontan. Ia bahkan tidak sadar bahwa ia adalah orang yang latahan.

‘Kayaknya dulu nggak gini, deh,’ pikir Haknyeon bingung saat ia menarik napas lelah setelah dikerjai oleh teman-temannya untuk lari menuju kelas sebelah pada saat istirahat.

Siapa bilang latah itu lucu? Bagi orang yang mengerjai, mungkin lucu, tapi bagi yang orang dikerjai—Haknyeon, latah itu melelahkan. Selain degup jantung yang jadi lebih cepat dari biasanya, ia juga lelah secara fisik karena harus menuruti perintah orang-orang yang mengerjainya.

Pernah suatu kali, ada teman sekelasnya yang ‘memerintahkannya’ untuk loncat dari lantai dua sekolah, tempat kelas mereka berada. Untung saat itu ada Changbin dan San yang segera menariknya serta memarahi si pemberi perintah, kalau tidak, mungkin saat ini Haknyeon tidak akan berada di kantin pinggir lapangan ini bersama kedua sahabatnya itu.


“Lo sejak kapan jadi latahan gini sih, Hak?” tanya San bingung.

“Iya, Hak. Gue udah barengan sama lo dari SMP, tapi baru pas kelas sebelas ini gue tau kalo lo latahan,” sambung Changbin tidak kalah bingung.

“Gue juga baru tau kalo gue latah,” keluh Haknyeon sedih sambil memainkan nasi di piringnya.

“Lo lagi ada kepengen apa gitu?” tanya San lagi.

“Hah?”

“Atau cemas apa gitu?”

“Apaan sih?” respons Haknyeon semakin bingung.

“Katanya sih, latah itu bisa muncul karena alam bawah sadar lo berusaha menekan keinginan-keinginan tertentu, atau ada kecemasan yang nggak lo sadari,” jelas San. Haknyeon mengernyitkan dahinya sambil berpikir keras.

“Kayaknya nggak ada, deh,” ucapnya kemudian sambil menghela napas dengan kecewa.

“Makan!” perintah Changbin agak keras karena gemas melihat Haknyeon hanya memainkan nasi di piringnya, sementara jam istirahat sebentar lagi akan berakhir.

“Iya. Makan. Makan,” latah Haknyeon sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.

Sementara San tertawa geli, Changbin malah melongo menatap Haknyeon.

“Tuh ‘kaaan … lo jangan ikut-ikutan yang lainnya deh, Bin!” protes Haknyeon setelah menelan suapannya.

“Siapa yang ikut-ikutan?! Gue nyuruh lo makan karena istirahat bentar lagi selesai, bukan niatnya ngelatahin lo!” balas Changbin tidak terima.

“Lo ngomongnya terlalu ngegas, Bin. Jadi kaget dianya,” lerai San, masih dengan geli.

“Udah lah anjir, gue capek banget sumpah sama latah-latahan ini. Gimana cara nyembuhinnya, sih?!” gerutu Haknyeon kesal.

“Harus ke dokter, nggak sih? Atau ke psikolog gitu?”

“Hm-mm.” Changbin menyetujui usulan San.

“Ya ampuuun.” Haknyeon mengacak-acak rambutnya dengan kesal.


Sunwoo tertawa tertahan di tengah kegiatan makannya.

“Kenapa, Nu?” tanya Eric bingung. Sunwoo menggeleng.

“Nggak apa-apa, cuma ada yang manis lagi lucu,” jawab Sunwoo sambil mengalihkan pandangannya ke arah makanan di piringnya, membuat Eric dan Bomin yang makan bersamanya saling menatap dengan bingung.


Tapi, saat malam itu Haknyeon mencoba merenungkan pertanyaan San siangnya, pikirannya mengarah ke satu sosok yang akhir-akhir ini masuk ke benaknya tanpa permisi dan berlari-lari di sana.

Sosok si kapten sepak bola dari kelas sepuluh.

Sosok Kim Sunwoo.

Kalau bicara tentang keinginan tertentu, Haknyeon sangat ingin mengenal Sunwoo lebih dekat.

Oke, ralat. Ingin berkenalan dengan Sunwoo, lebih tepatnya, karena sampai detik ini mereka belum pernah sekalipun bertegur sapa. Setelah berkenalan, Haknyeon ingin mengenal Sunwoo lebih dekat, karena ia tertarik dengan laki-laki tersebut.

Pertanyaan San nomor dua. Kecemasan.

Haknyeon tidak bisa menampik bahwa kecemasannya juga masih berkaitan dengan Sunwoo. Cemas kalau Sunwoo tidak menyukainya. Sangat cemas kalau Sunwoo tidak menyukai sesama lelaki.

“Astagaaa … tapi masa gara-gara gitu doang gue jadi latah, sih?!” gerutu Haknyeon kesal sambil mencoba untuk berkonstrasi kembali kepada tugas-tugas sekolahnya.


“Jadi, udah ketemu belom lo kepengen apa atau cemas kenapa?” tanya San beberapa hari kemudian saat mereka sedang menunggu kegiatan ekstrakurikuler dimulai.

“Mmm ….” Haknyeon menggumam dengan ragu-ragu.

“Berarti ada, ya?” Changbin menyemangati. “Ayo cerita, mungkin aja kita bisa bantu, jadi lo nggak usah capek latah terus.”

“Tapi jangan ketawa, ya?” ucap Haknyeon pelan.

“Emangnya ada yang lebih lucu dari lo salah bikin nasi goreng pake wet food kucing gara-gara lo kira itu kornet?” goda San.

“Anjir! Nggak usah diinget-inget kenapa, sih?!” protes Haknyeon kesal, sementara Changbin dan San sudah terbahak-bahak di kursi mereka.

“Jadi … kenapa, sih?” Changbin mengembalikan topik pembicaraan setelah ia puas tertawa.

“Hmm … gue kepikiran seseorang,” sahut Haknyeon pelan.

“Hah?” Changbin dan San mengernyitkan dahi. Bingung. Masa iya, kepikiran sama seseorang bisa bikin latah?

“Siapa?” San akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

“Anak kelas sepuluh yang kapten sepak bola itu.”

Setelah berpikir sejenak, San menebak, “Sunwoo? Kim Sunwoo?”

“Iya.”

“Emangnya dia kenapa? Dia nge-bully lo?” tanya Changbin cemas.

“Eh, enggak! Beneran enggak!”

“Terus kenapa?”

“Eng … itu …. Aduuuh gimana ya bilangnya?” Haknyeon bergerak-gerak gelisah.

“Bilang, nggak?!” gertak San.

“Iya! Iya! Bilang! Gue suka Sunwoo!” Hening.

“Anjing, San! Lo ngapain pake ngagetin gue, sih?!!!” bentak Haknyeon panik saat dilihatnya Changbin dan Sanha sudah kembali tertawa terbahak-bahak.

“Anjir! Ada enaknya juga dia latah, dikagetin dikit langsung nyerocos,” gelak San.

“NGGAK SOPAAAN!!!”

“Jadi, lo suka sama Sunwoo, trus lo jadi latah? Yang bener aja, lah!” Changbin ikut tergelak.

“JANGAN KERAS-KERAS, SAT!!”

“Oke. Oke. Oke. Serius sekarang. Kenapa lo bisa mikir gara-gara itu lo jadi latah?” Changbin bertanya setelah ia dan San (berusaha) berhenti dari tawa mereka.

Awalnya ragu-ragu, Haknyeon pun menceritakan hasil pemikirannya beberapa hari sebelumnya.

“Hmm … kalo gue bilang kekhawatiran lo nggak berdasar, gimana? I mean, lo belom juga kenalan sama dia, belom tau orangnya kayak gimana, tapi udah keburu takut duluan,” komentar San.

“Yang gue tau juga dia belom ada pacar, cewek ataupun cowok,” tambah Changbin.

Haknyeon memajukan bibirnya beberapa sentimeter ke depan.

“Kalo kata gue, mending lo coba kenalan dulu sama dia, deh,” lanjut Changbin.

“Gimana kenalannya, ogeb? Gue sama dia nggak pernah ada kepentingan yang sama juga.”

“Tuh. Ada anaknya. Kenalan, gih.” Changbin menunjuk ke satu arah dengan gerakan kepalanya. Saat San dan Haknyeon menoleh ke arah yang ditunjukkan, di situlah mereka melihat Sunwoo sedang berjalan bersama Eric.


“Ya nggak segampang itu juga, Changbin!” protes Haknyeon dengan suara pelan, karena posisi Sunwoo dan Eric sudah mendekati posisi mereka duduk.

“Gampang, kok,” jawab Changbin tenang.

“Gima—”

“Sana sapa Sunwoo!” perintah Changbin sambil sedikit menggebrak meja.

“Eh! Iya. Sapa. Sapa Sunwoo. Hai, Sunwoo!” seru Haknyeon ke arah Sunwoo yang menatapnya dengan bingung.

“Eh? Hai …?” balas Sunwoo tidak yakin, sementara Changbin dan San sudah berusaha menahan tawanya.

“Eh. Maaf,” ucap Haknyeon pelan dengan wajah bersemu merah.

Kepada kedua sahabatnya, Haknyeon mendesis geram, “Changbin … lo belom pernah keselek bulldozer, ya?”

“Belom,” jawab Changbin geli.

“Kenalan sana sama Sunwoo!” San ikut mengagetkan Haknyeon.

“Kenalan. Iya. Ajak kenalan. Kenalin, gue Haknyeon.” Haknyeon mengulurkan tangannya kepada Sunwoo yang kini sudah berada di depan meja mereka.

Dengan ragu-ragu, Sunwoo menjabat tangan itu. “Sunwoo,” katanya pelan. Eric, yang mulai mengerti apa yang sedang terjadi, mulai terkekeh geli.

“Ah … San kampret!” desis Haknyeon geram. “Maaf, ya!”

“Iya, nggak apa-apa,” jawab Sunwoo pelan.

“Kalian tuh, bukannya ngebantuin gue nyembuhin ini latah, malah ikutan maenin gue! Gimana sih jadi temen?!” gerutu Haknyeon ketika ia kembali menghadap kedua temannya, meninggalkan Sunwoo yang masih berdiri mematung dengan bingung.

Bukannya menjawab gerutuan Haknyeon, San dan Changbin sepertinya memiliki pemikiran yang sama tanpa harus berunding terlebih dulu, karena ….

“Cium Sunwoo!” perintah keduanya geli secara bersamaan.

“Iya. Cium. Ayo cium Sunwoo!” ulang Haknyeon sambil berbalik dan berjalan ke arah Sunwoo.

Terkejut, Sunwoo hanya bisa terbelalak saat Haknyeon menarik bagian depan seragam sepak bolanya. Rasa terkejutnya tidak berlangsung lama, karena ia segera menahan bahu kakak kelas yang lebih pendek darinya itu dengan kedua tangan agar tidak bisa lebih mendekat lagi.

Stop!” perintahnya tegas.

Tersadar, Haknyeon berhenti dan menatap mata Sunwoo dalam-dalam. Sedetik kemudian ia merasa sangat sedih saat melihat emosi yang terpampang di mata laki-laki yang diam-diam disukainya itu. Tidak suka, tidak setuju, dan … marah?

“Jangan dikit-dikit diturutin.” Laki-laki di depannya itu membuka suara. Dingin.

Haknyeon sudah cukup melihat dan mendengar, dan ia memutuskan bahwa segera pergi dari situ adalah jalan keluar terbaik.

“Maaf.”

Melepaskan kedua bahunya dari tangan Sunwoo yang masih menahannya, Haknyeon berbalik dan berlari sekencang mungkin.

“Hak?!” panggil San.

“Haknyeon! Tunggu!” San dan Changbin pun berlari mengejar sahabat yang sempat mereka kerjai itu.

Satu lirikan Changbin lemparkan ke belakang—ke arah Sunwoo—dan ia terkejut saat melihat adik kelas mereka itu berjongkok sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, sementara Eric menepuk-nepuk bahunya dengan ekspresi bingung.

‘Oh? Menarik,’ pikir Changbin sambil kembali mengejar Haknyeon bersama San.

(bersambung ke bagian 2)

—aratnish'22


“Gue salah bawa sleeping bag ….”

“Eh??? Gimana???”

“Gue bawanya malah yang kecil. Yang gede malah gue masukin laundry kemaren.”

“Terus gimana dong, Kak??” Si adik melihat Younghoon dengan tatapan memelas. “Oh! Adek tau! Adek pake baju rangkep-rangkep aja, ya? Bisa ‘kan ya harusnya?”

“Mending jangan, Nu. Angin di perbukitan gini kalo malem bisa jadi dingin banget, nanti kamu malah sakit,” timbrung Sangyeon.

“Kenapa? Kenapa? Ada apa?” tanya Changmin saat mendatangi tenda Younghoon-Sunwoo dengan yang lainnya.

“Gue salah bawa sleeping bag, jadi Sunu nggak bisa tidur bareng gue.”

“Jadi gimana, dong?” Eric bertanya dengan khawatir.

“Eh? Bukannya Juhak biasanya bawa sleeping bag yang gede, ya?” celetuk Kevin tiba-tiba.

“Eh iya bener juga!” sambut Sangyeon girang. ‘Kevin nih kadang assist-nya bagus banget, deh. Ngoneknya cepet banget,’ puji Sangyeon dalam hati.

“Oh iya bener! Ya udah, Adek tidur bareng sama Juhak aja, ya?”

“EEEHHH???!!!” seru dua pemuda yang dijadikan bahan pembicaraan.


“Tidurnya jangan lasak!” gerutu Haknyeon saat ia sudah berada di dalam kantong tidur yang sama dengan Sunwoo.

“Iya, Kak …,” jawab Sunwoo pelan.

‘Takuuut … pengen nangis …. Kak Hoonie kenapa pake salah bawa sleeping bag, sih?!’ maki Sunwoo dalam hati.

‘Tapi … mungkin dengan gini Nunu jadi bisa nanya ke Kak Hakkie Nunu punya salah apa kali, ya? Ih Nunu cerdas banget kadang-kadang! Seneng, deh!’

Memberanikan dirinya, Sunwoo angkat bicara.

“Uhm … Kak Hak— Juhak ….”

“Apa?”

“Itu … udah tidur?”

“Kalo gue udah tidur, gue nggak bisa ngejawab lo, Sunu!”

“Oh iya ya … hehehe.”

“Kenapa harus ngegemesin banget, sih?” gumam Haknyeon pelan.

“Eh? Kenapa, Kak?”

“Nggak! Kenapa lo manggil gue? Bukannya tidur. Gue nggak mau tanggung jawab kalo lo besok bangun kesiangan!”

“Itu … Nunu salah apa ya, Kak?”

“Hah?” Haknyeon menoleh ke arah Sunwoo yang terbaring telentang dan melihat ke arah langit-langit tenda.

“Nunu inget banget, dulu Nunu deket banget sama Kak Hak— Juhak. Ke mana-mana selalu bareng. Main ke sungai, main ayunan di taman kompleks. Nunu bisa naik sepeda juga karena diajarin sama Kak Juhak, walaupun sempet diketawain karena masuk selokan.”

Haknyeon tertawa kecil mengingat kenangan itu, membuat Sunwoo ikut tersenyum, ketegangannya sedikit menguap.

“Untung selokannya kering, ya Nu?”

“Iya.” Sunwoo terkekeh.

“Terus kita juga pernah sok-sokan ngebedah siput karena pengen tau dalemnya rumah siput kayak gimana. Kamu nangis waktu itu.”

“Hm-mm. Kasian siputnya.”

“Tapi udahnya ‘kan kita kubur.”

“Hm-mm.”

“Nggak nyangka, dulu kamu takut liat dalemnya siput, tapi sekarang jadi masuk jurusan Biologi yang ada pelajaran bedah membedahnya,” gelak Haknyeon.

Merasa Haknyeon kembali seperti dirinya yang dulu, Sunwoo menoleh dan mengulangi pertanyaan awalnya dengan pelan,

“Kakak … Nunu salah apa?”


Haknyeon berhenti tertawa dan menoleh ke arah yang lebih muda. Netra bulat itu menatapnya dengan bingung. Ada sedikit takut dan pedih di sana. Tidak tahu harus menjawab apa, Haknyeon hanya menatap Sunwoo dalam diam.

Mempertahankan pandangan matanya, Sunwoo melanjutkan,

“Dulu kita sedeket itu, Kak … tapi sejak Nunu kuliah, masuk kampus yang sama ‘ma Kak Hak— Juhak, Kakak jadi galak ke Nunu. Kakak nggak pernah ngajak ngobrol Nunu lagi. Kalo ngomong ke Nunu seringnya ngebentak-bentak.” Sunwoo terdiam sejenak.

“Nunu salah apa, Kak? Kalo Nunu bener ada salah, Nunu minta maaf … tapi … Nunu nggak mau dibenci sama Kak Hak— Juhak.”

“Hakkie.”

“Eh?”

“Panggil Hakkie aja lagi nggak apa-apa.” Haknyeon terdiam sejenak. “Tapi jangan panggil gitu kalo di depan Eric.”

“Eh? Kenapa?”

“Soalnya ... Nunu suka sama Eric, ‘kan?”

“Hah?” Sunwoo terbelalak.

“HAAAH?! KOK GITUUU???!!!” Berseru dengan lantang, Sunwoo pun segera mengambil posisi duduk, membuat Haknyeon yang berada di kantong tidur yang sama juga (terpaksa) terduduk.

“Adek??! Nu?! Lo kenapa? JUHAK! Keluar lo sekarang! Lo apain adek gue, hah?!” teriak Younghoon marah dari tenda di sebelah mereka.

“Astaga! Enggak, Bang! Beneran nggak gue apa-apain!” seru Haknyeon sebagai jawaban.

“SUNU?!”

“Enggak, Kak! Adek nggak kenapa-napa!” balas Sunwoo.

“KALIAN BERISIIIK! GUE NGANTUK!” teriak Changmin dari tenda yang paling jauh dengan mereka.

“Nunu kenapa tiba-tiba teriak, sih?” tanya Haknyeon gemas saat situasi sudah mereda dan mereka sudah kembali berbaring, kini saling berhadapan.

“Ya abisnya Kakak pertanyaannya aneh.” Haknyeon terdiam.

“Jadi … Nunu nggak suka sama Eric?”

“Suka.”

“Oh.”

“Nunu juga suka sama Kak Sangyeon, Kak Hyunjae, Kak Kevin, dan Kak Changmin. Semuanya baik sama Nunu. Nunu suka.”

“Jadi rasa sukanya Nunu ke Eric sama ke yang lainnya sama?” Haknyeon memastikan.

“Hm-mm!” Sunwoo tampak masih ingin mengatakan sesuatu, namun kemudian ia urung untuk mengutarakannya.

“Kenapa?”

“Nunu juga suka sama Kak Hakkie …,” ungkap Sunwoo pelan. “… tapi nggak sama kayak ke yang lainnya,” lanjutnya.

Haknyeon membelalakkan mata dan menahan napasnya.

“Maksudnya, Nu?”

“Nunu takut dimarahin, tapi Nunu paling nggak mau dimarahin sama Kak Hakkie. Nunu takut dibenci, tapi Nunu paling nggak mau dibenci sama Kak Hakkie. Rasanya sakiiit banget di sini kalo Kak Hakkie ngebentak Nunu,” jawab Sunwoo sambil menekan dadanya.

“Nunu pengen deket lagi sama Kak Hakkie kayak dulu. Ngapa-ngapain bareng sama Kakak. Nunu pengen jalan-jalan sambil gandengan lagi. Pengen ketiduran sambil dipeluk sama Kakak lagi. Tapi sama yang lain Nunu nggak mau kayak gitu. Aduuuh … Nunu jadi malu.” Sunwoo menutup wajah dengan kedua tangannya.

‘Kenapa jadi lo yang malu, bocah?! Gemes banget ini bayi, ya ampun!’

Haknyeon menarik satu tangan Sunwoo menjauh dari wajahnya.

“Kakak kira Nunu suka sama Eric … makanya Kakak ngejauh dari Nunu.”

“Kok gitu?!”

“Abisnya, Nunu selalu cerita tentang Eric. Eric gini, Eric gitu, Kakak kira Nunu udah nggak perlu Kakak lagi, padahal … Kakak suka sama Nunu.”

Sunwoo membelalakkan matanya.

“Sukanya sama ke yang lainnya sama?” tanya Sunwoo perlahan. Haknyeon menggeleng sambil tetap menggenggam salah satu tangan Sunwoo.

“Pengen bareng-bareng lagi sama Nunu. Pengen jalan-jalan sambil gandengan lagi. Pengen meluk Nunu sampe ketiduran lagi. Pengen ngobrol baik-baik lagi sama Nunu. Pengen bisa pergi sama pulang kuliah bareng. Pengen nggak usah pura-pura galak lagi ke Nunu.”

“Beneran?” bisik Sunwoo tidak percaya.

“Hm-mm. Beneran.”

“Kakak Hakkie beneran suka sama Nunu? Nggak bohong?”

“Iya, Nunu sayang … Kakak Hakkie nggak bohong. Kakak Hakkie beneran suka sama Nunu. Sayang sama Nunu. Eh? Nunu jangan nangis, dong! Nanti Kakak dipukul sama Bang Younghoon!”

“Abisnya Nunu kira Kak Hakkie benci sama Nunu! Nunu kira Kak Hakkie keganggu sama Nunu, padahal Nunu suka banget banget banget sama Kak Hakkie! Suka banget banget banget sampe suka sesek napas kalo mikirin Kak Hakkie,” isak Sunwoo. Haknyeon pun menarik yang lebih muda ke dalam pelukannya.

“Kak Hakkie juga suka banget banget banget sama Nunu. Waktu Nunu banyak cerita tentang Eric, Nunu keliatannya bahagia banget, makanya Kakak kira Nunu suka sama Eric. Akhirnya Kakak mutusin untuk mundur, soalnya Kakak cuma mau Nunu bahagia.”

“Nunu bahagia kalo sama Eric dan yang lainnya, tapi Nunu paling bahagia kalo sama Kak Hakkie,” isak Sunwoo kecil.

“Iya … maaf ya, Kakak waktu itu nggak tau.”

“Kakak jangan ngejauhin Nunu lagi, ya? Nunu mau sama Kak Hakkie terus.”

“Iya, Kakak nggak akan ngejauhin Nunu lagi.”

“Nunu mau tidur sambil dipeluk.”

“Ini ‘kan udah dipeluk.”

“Sampe pagi dipeluknya.”

“Iya. Sampe pagi.”


“Nu ... udah pagi. Bangun, yuk,” bujuk Haknyeon pada Sunwoo yang malah semakin erat memeluknya.

“Nggak mau.”

“Kok nggak mau? Itu semuanya udah pada bangun. Nanti kita dimarahin kalo bangunnya siang.”

“Pokoknya nggak mauuu!”

“Kenapa nggak mau? Coba bilang sama Kakak.”

“Nanti Kakak ngejauhin Nunu lagi, galak lagi ke Nunu,” rengek Sunwoo. Haknyeon tertawa pelan sambil mengelus kepala Sunwoo.

“Nggak akan, Nu. 'Kan Kakak udah janji tadi malem kalo Kakak nggak akan ngejauhin Nunu lagi.”

Sunwoo menengadahkan wajahnya, menatap Haknyeon dengan netra bulatnya.

“Ya ampun ... kenapa gemes banget sih? Boleh gue cium nggak sih nih anak?” Tanpa sadar, Haknyeon menyuarakan pemikirannya tadi, membuat netra bulat itu semakin membulat dan wajahnya bersemu merah.

“Eh? Kakak ngomongnya keras-keras, ya?” tanya Haknyeon malu.

“Hu-um,” jawab Sunwoo sambil mengangguk. “Tapi Kakak boleh cium Nunu, kok,” lanjut pemuda itu malu-malu.

'Oh God, I'm not Your strongest soldier,' keluh Haknyeon dalam hati.

Memajukan wajahnya, Haknyeon mencium dahi Sunwoo, yang kemudian mengernyit bingung.

“Kok di situ? Nggak di bibir?” tanya Sunwoo bingung.

“Heh! Anak kecil ngomongnya nggak usah macem-macem!”

“Ih Nunu udah gede, tau! Pokoknya Nunu mau dicium di bibir!” protes Sunwoo.

“Iya nantiii!”

“Nanti kapaaan?”

“Nan—”

“Mau tidur sampe kapan, heh?!” potong sebuah suara yang membuka pintu tenda Haknyeon-Sunwoo.

“Hmm~ ditungguin sama yang lainnya untuk sarapan, eeeh ... nggak taunya malah keenakan kelonan,” goda Younghoon saat melihat posisi Haknyeon dan adiknya.

“Bang!” seru Haknyeon terkejut dan sedikit panik.

“Kakak ih ganggu aja! Nunu 'kan jadi nggak jadi dicium sama Kak Hakkie!” protes Sunwoo.

“Astaga, Nu!” Haknyeon semakin terkejut dengan perkataan dari yang lebih muda.

“Hmm~ udah main cium-ciuman aja, nih. Seru kayaknya, ya? LO UDAH IZIN KE GUE BELOM, JUHAAAK?!”

“AMPUUUN, BAAANG!”

“KAKAK JANGAN MARAHIN KAK HAKKIE IIIH! NUNU 'KAN PENGEN DICIUUUM!”

“NUNUUU! JANGAN DITERUSIIIN!!!”


Setelah sempat berdebat panjang lebar soal cium mencium dengan Younghoon, dilanjut dengan kegiatan sarapan yang masih juga membahas soal ciuman, Haknyeon akhirnya menyerah dan mengecup singkat bibir Sunwoo saat tidak ada yang melihat. Namun demikian, si muda tetap saja protes.

“Kok cuma bentar?”

“Yang lamanya nanti kalo kita cuma berduaan.”

“Janji?”

“Iya! Sekarang ayo kita ke mobil, nanti kita malah ditinggalin di sini.”

“Jadi gue perlu duduk di tengah lagi nggak, nih?” goda Eric sambil mengerling jail ke arah Sunwoo dan Haknyeon.

“Nggak usah, gue aja yang di tengah,” jawab Haknyeon geli. Geli dengan kebodohannya sendiri karena sempat cemburu kepada Eric.

“Nggak boleh! Kalo Kak Hakkie yang di tengah, nanti Eric bisa nempel-nempel ke Kak Hakkie! Nunu nggak suka! Nunu aja yang di tengah!” protes Sunwoo sambil berdiri di antara Haknyeon dan Eric.

“Lah sama aja dong, nanti kalo Nunu yang di tengah, Eric bisa nempel-nempel ke Nunu. Kak Hakkie juga nggak suka,” goda Haknyeon yang disusul oleh tawa dari Eric.

“Kalo gitu Eric di mobil Kak Hyunjae aja sana. Hush. Hush,” usir Sunwoo sambil mendorong Eric ke arah mobil Hyunjae yang terparkir di sebelah mobil Sangyeon. Tawa Eric terdengar makin keras.

“Habis manis sepah dibuang banget lo, Nu!” gelaknya, walaupun sambil tetap berjalan ke arah mobil yang dimaksud.


“Jadi? Kita sukses?” ujar Sangyeon geli sambil melihat Haknyeon dan Sunwoo yang tertidur di kursi belakang dengan kepala saling bersandar melalui kaca spion tengah.

Younghoon sedikit berbalik untuk melihat adiknya yang tertidur sambil menggenggam erat tangan Haknyeon. Ia tersenyum melihat wajah bahagia sang adik.

“Ternyata bener dugaan kita kalo Juhak sebenernya suka sama Sunu,” jawab Younghoon sambil kembali melihat ke depan.

“Gue pengen ketawa deh waktu tau Juhak ternyata jealous ke Eric.”

“Namanya juga orang jatuh cinta. Suka bego jadinya,” kekeh Younghoon.

“Tapi orang yang dijadiin subjek jatuh cinta juga kadang suka bego.”

“Masa?”

“Hm-mm. Buktinya, lo nggak sadar-sadar kalo gue suka sama lo,” jawab Sangyeon tenang. Younghoon terbelalak.

“Hah?? HAAAH??!!!”


—aratnish'21


“Kakak, Adek beneran nggak apa-apa kalo ikut?” tanya Sunwoo takut-takut kepada Younghoon, kakaknya.

“Nggak apa-apa, Adek ... 'kan gue yang ngajakin lo ikut,” jawab Younghoon untuk kesekian kalinya sambil membereskan ranselnya.

“Emangnya Kak Hak— Kak Juhak setuju? Dia 'kan nggak suka sama Adek,” tanya Sunwoo pelan sambil menunduk dan memilin-milin ujung kaosnya.

Younghoon menghela napas. Untuk urusan yang satu itu, Younghoon juga cukup bingung. Ju Haknyeon dan Kim Sunwoo dari dulu selalu berteman dekat karena rumah mereka yang bersebelahan, namun semenjak Sunwoo masuk kuliah, sikap Haknyeon kepada adiknya itu berubah drastis.

Ia tidak mau lagi dipanggil 'Kakak Hakkie' oleh adik Younghoon itu, ia meminta Sunwoo untuk memanggilnya 'Juhak' seperti semua orang memanggilnya. Ia juga terkesan menjauhi Sunwoo, walaupun ada saat-saat dimana Younghoon melihat bahwa Haknyeon memperhatikan Sunwoo secara diam-diam.

Younghoon curiga kalau Haknyeon sebenarnya menyukai Sunwoo, namun bingung bagaimana cara menyampaikannya. Atau apakah ia yakin dengan perasaannya itu.

“Gue udah bilang Juhak kok kalo lo bakal ikut. Yah ... Juhak emang cuma cemberut aja sih, tapi dia nggak nolak juga.” Younghoon menambahkan kalimat terakhir dalam hati.

“Tapi—”

“Tapi Adek mau ikut nggak sebenernya?” potong Younghoon. Adiknya itu mengangguk dengan semangat.

“Mau! Mau banget liat bintang! Kata Eric seru banget! Terus kata Eric juga, kalo liatnya dari bukit yang kita datengin nanti, langitnya keliatan luaaas banget karena nggak ketutupan gedung-gedung tinggi, jadi bintangnya juga keliatan banyaaak banget!” cerocos Sunwoo sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan semangat, membuat Younghoon tersenyum geli.

Eric adalah sahabat Sunwoo sedari SMA, yang kini juga satu kampus dengannya dan Younghoon. Dan Haknyeon.

“Ya udah kalo gitu ikut aja, 'kan ada gue. Nanti gue marahin Juhak kalo dia ngejahatin lo.”

Setelah termenung sesaat, akhirnya adiknya itu mengangguk.

“Iya deh kalo gitu. Tapi Adek nggak punya sleeping bag, Kak.”

“Nggak apa-apa, nanti lo satu sleeping bag aja sama gue. Gue nanti bawa yang gede. Mau?”

“Hu-um. Mau.”

“Ya udah, tunggu apa lagi? Sana beresin ranselnya.”

Si adik pun langsung berlari kecil keluar dari kamar kakaknya.


Weekend itu, beberapa anggota dari Klub Astronomi kampus mengadakan acara sampingan untuk melihat bintang di bukit. Mereka yang ikut adalah Sangyeon—yang walaupun sudah lulus tapi tetap ikut karena ia adalah kakak sepupu Haknyeon, kemudian ada Younghoon, Hyunjae, Kevin, Changmin, Haknyeon, dan Eric. Walaupun bukan anggota Klub Astronomi, Sunwoo tetap diajak karena itu bukanlah acara resmi klub.

“Sunu jadi ikut?” tanya Sangyeon kepada Younghoon di telepon malam itu.

“Jadi.”

“Nanti sesuai rencana, 'kan?”

“Yap.”

“Udah siap semuanya?”

“Udah beres, Bang. Anaknya juga nggak curiga.”

“Ini nggak ada yang tau selain lo sama gue, 'kan?”

“Iya, gue nggak ngasih tau siapa-siapa. Takutnya malah ada yang kelepasan. Ntar si Juhak makin marah. Adek lo itu kenapa, sih? Kasian 'kan adek gue dijutekin mulu! Udah tau kalo aslinya Sunu itu nggak terlalu pede, dijutekin ya langsung insecure lah anaknya!” protes Younghoon.

“Ya 'kan ini udah kita omongin kemaren, Hoon. Makanya kita bikin rencana ini, 'kan?”

“Iya juga, sih.”


“Oke, jadi yang ikut mobil Bang Sangyeon; Younghoon, Sunu, sama Juhak. Terus yang di mobil gue; Kevin, Changmin, sama Eric.” Keesokan harinya, Hyunjae membagi personil ke dalam dua mobil untuk berangkat ke bukit.

“Nunu boleh nggak, satu mobil sama Eric?” tanya Sunwoo malu-malu. Semua yang ada di situ menoleh ke arah yang termuda ke dua di antara mereka.

“Nggak boleh. Lo harus bareng sama Kakak.”

Paham bahwa Sunwoo enggan duduk bersamanya dalam satu mobil, Haknyeon pun angkat bicara.

“Gue aja yang pindah ke mobil lo, Bang. Ric, tukeran sama gue.”

No no no. Juhak, lo tetep di mobil gue,” titah Sangyeon.

“Kalo gitu Eric boleh pindah ke mobil sini, nggak?” pinta Sunwoo lagi. Suaranya kini sudah bergetar karena takut melihat ekspresi masam Haknyeon.

“Iya. Gue pindah ke sana aja,” kata Eric yang kasihan melihat wajah memelas Sunwoo. Seketika wajah sahabatnya itu langsung berbinar.

“Eric duduk di tengah, ya?” pinta Sunwoo pelan saat mereka akan masuk ke mobil Sangyeon. Tidak terlalu pelan ternyata, karena Haknyeon mendengarnya dan mendecakkan lidah karena kesal.

“Iya, gue duduk di tengah.” Eric menyetujui dengan sabar.

Selama perjalanan, sesekali Younghoon dan Sangyeon saling melirik. Lirikan tahu sama tahu mengenai keadaan di belakang mereka. Sunwoo dan Eric asyik mengobrol dan bercanda, sementara Haknyeon melihat ke luar jendela, selama perjalanan, dengan wajah masam. Sepertinya kedua kakak itu sudah mulai bisa membaca apa yang sedang terjadi di belakang sana.


“Jadi, nanti kita ngediriin tendanya di sini, lalu kita liat bintangnya di sana, ya,” atur Kevin sambil mengeluarkan peralatan berkemah dari bagasi mobil Hyunjae.

“Oke,” jawab yang lainnya serempak.

Tanpa banyak cakap, mereka mengeluarkan semua perlengkapan yang mereka butuhkan untuk mendirikan tenda.

“Biar cepet, gimana kalo Bang Sangyeon sama Juhak mulai siap-siap bikin makan malem buat kita, lalu yang lainnya ngediriin tenda?” usul Changmin, yang langsung disetujui oleh semuanya.

Younghoon dan Hyunjae bertugas membangun tenda untuk Younghoon-Sunwoo dan Hyunjae-Kevin. Kevin dan Changmin bertugas membangun tenda untuk Changmin-Eric, sementara Sunwoo dan Eric bertugas membangun tenda untuk Sangyeon-Haknyeon.

Pasangan lain tidak ada yang kesulitan membangun tenda, hanya Sunwoo dan Eric saja yang terlihat sedikit kepayahan. Sebenarnya Eric cukup terampil, namun dipasangkan dengan Sunwoo yang minim pengetahuan dan pengalaman dalam membangun tenda, Eric jadi sedikit kewalahan juga. Hal itu membuat Haknyeon yang sedari tadi memperhatikan Sunwoo berdecak dengan gemas.

“Bisa nggak, sih?!” tanya Haknyeon tidak sabar sambil mendekati Sunwoo.

“Eh?! Kak Ha— Kak Juhak. Bisa, Kak. Bisa,” jawab Sunwoo gugup sambil berusaha mengangkat tiang pancang yang dipegangnya.

“Nggak gitu caranya. Lo harus barengan sama Eric, kalo enggak, nanti bakal miring tendanya. Lo niat bikin tenda gue roboh nanti malem?”

“Enggak, Kak. Enggak.” Sunwoo sudah ingin menangis saat itu karena mendengar nada suara Haknyeon.

“Nanti gue yang mastiin bener-bener kalo tenda lo kokoh, Bang. Beneran. Atau lo sama Bang Sangyeon mau tidur di tenda gue? Nggak apa-apa, gue yang tidur di sini sama Sunu kalo lo nggak yakin.” Eric menengahi. Jujur, ia tidak dapat memahami Haknyeon. Menurut cerita Sunwoo, dulu Haknyeon sangat baik padanya, tapi Eric tidak bisa melihat kebaikan Haknyeon karena ia selalu terkesan memusuhi Sunwoo.

“Nggak usah. Lo bantu Bang Sangyeon aja, Nu. Biar gue yang ngediriin tenda sama Eric. Setidaknya lo bisa motong kentang, 'kan?” ucap Haknyeon sinis.

“Bi— bisa, Kak.”

“Ya udah sana bantuin Bang Sangyeon!” usir Haknyeon.

“I— iya, Kak.”

Berbalik memunggungi lokasi (calon) tenda Sangyeon-Haknyeon, Eric dapat melihat Sunwoo berjalan menuju tempat Sangyeon memasak sambil menyeka matanya dengan punggung tangan.

“Lo kenapa sih, Bang? Kesalahan Sunu 'kan nggak segitu fatalnya! Nggak usah lah lo marah-marah gitu ke dia. Wajar aja dia nggak cakap ngebangun tenda, dia 'kan bukan anak klub!” omel Eric tidak tahan lagi.

“Lo diem! Nggak usah banyak bacot!”

Eric tersentak. Nada suara Haknyeon benar-benar berbeda dengan saat ia menegur Sunwoo tadi. Saat itu, nada suaranya memang keras dengan pemilihan kata yang cukup tajam. Tapi ini ....

'Anjirlah, kalo nada suara bisa ngebunuh orang, gue udah termutilasi jadi seratus bagian kayaknya,' ucap Eric dalam hati sambil melanjutkan bagiannya dalam pembangunan tenda itu.

'Eh tunggu ... kok kayaknya gue paham sesuatu, ya?' Eric menghentikan pekerjaannya sejenak untuk melihat diam-diam ke arah Haknyeon.

Ke arah Haknyeon, yang sedang memperhatikan Sunwoo, yang sedang membantu Sangyeon memasak dengan tekun.

Ke arah Haknyeon, yang sesekali tersenyum saat melihat interaksi antara Sunwoo dan Sangyeon.

'Aaah ... jadi gitu maksudnya? Jadi lo nggak mau Sunu ngelakuin kerjaan berat? Hooo ... paham gue sekarang.' Eric bergegas menyembunyikan senyum gelinya saat Haknyeon berbalik menghadap onggokan tenda di antara mereka.


“Eric ... Eric mau tukeran duduknya sama Nunu, nggak?” bisik Sunwoo pelan saat mereka sudah duduk berjajar di bukit untuk melihat bintang malam harinya.

Eric sedikit melirik ke arah Haknyeon yang duduk di samping kanan Sunwoo, yang kelihatannya tidak peduli dengan pembicaraan mereka, tapi Eric yakin telinga itu terbuka lebar-lebar untuk mencuri dengar.

“Nggak mau, Nu. Lo tau sendiri gue kalo excited suka heboh, nanti kalo gue dimarahin Bang Juhak, gimana?” tolak Eric pelan.

“Jadi kalo Nunu yang dimarahin Kak Juhak, nggak apa-apa?” cicit Sunwoo.

“Nggak gitu, tapi 'kan lo ada Bang Younghoon, bisa ngadu ke sana. Lah gue ngadu ke siapa?”

“Jadi Eric nggak mau tukeran?”

“Enggak.”

Memajukan bibirnya, Sunwoo menyerah dan kembali duduk menghadap hamparan langit berbintang di hadapannya. Sekilas, Eric bisa melihat bahwa Haknyeon mengembuskan napas lega dan postur tubuhnya menjadi lebih rileks.

'Bang Juhak nih kayak anak kecil yang suka bikin nangis orang yang dia suka deh,' kata Eric geli dalam hati. 'Tapi dia sih keterlaluan tsundere-nya ke Sunu.'

Langit semakin gelap, menyebabkan semakin banyak bintang yang terlihat di langit.

“Untung malem ini cerah, ya?” ucap Changmin lega.

“Iya. Sempet deg-degan waktu tadi siang agak mendung,” timpal Kevin.

“Bintang jatuuuh!”

Semua pasang mata beralih ke arah Sunwoo yang berseru sambil menunjuk-nunjuk langit malam.

“Kak Hakkie! Kak Hakkie! Itu tadi bintang jatuh! Kakak Hakkie liat, nggak? Ayo kita make a wish!” seru Sunwoo semangat sambil menggenggam tangan Haknyeon yang menatapnya dengan ekspresi aneh. Tersadar beberapa detik kemudian, Sunwoo segera melepaskan genggamannya.

“Eh … maaf, Kak. Itu … bintang jatuh, Kak Juhak ….” Sunwoo mengulangi ucapannya dengan pelan.

“Iya. Gue liat. Gue juga punya mata. Nggak usah kampungan deh.”

Dengan ekspresi seperti anak anjing yang dibuang oleh majikannya, Sunwoo menghadap ke arah Eric.

“Eric … bintang jatuh …,” ucap Sunwoo pelan.

“Iyaaa! Ayo kita make a wish, Nu!” sambut Eric semangat, mencoba untuk menghibur Sunwoo yang semangatnya langsung padam karena perkataan Haknyeon. Merasa didukung oleh Eric, semangat Sunwoo pun kembali menyala.

“Iya! Ayo!”

Kedua yang termuda itu pun mengatupkan tangan dan menutup mata mereka, membuat permohonan kepada bintang jatuh yang sudah lama lewat.

“Adek lo boleh gue pites nggak, Bang?” desis Younghoon kesal.

“Jangan. Mau gue duluan yang mites,” bisik Sangyeon tidak kalah kesal.

Kegiatan melihat bintang itu berlangsung selama beberapa saat, terkadang diisi oleh informasi-informasi seputar rasi bintang yang diberikan oleh Sangyeon, terkadang hanya diisi oleh keheningan sambil mengagumi ciptaan Tuhan yang terhampar di depan mereka.

“Indah ya …,” cetus Sunwoo pelan dengan nada memuja sambil tetap memandang ke depan.

“Iya … indah,” jawab Haknyeon tidak kalah pelan, dengan nada yang sama.

Yang membedakan, Haknyeon tidak melihat ke arah hamparan langit berbintang. Haknyeon melihat lurus ke arah Sunwoo.

“Eh??” terkejut dengan jawaban Haknyeon, pemuda itu langsung menolehkan kepalanya. Kalang kabut karena ditatap secara tiba-tiba, Haknyeon mengeluarkan senjata pamungkasnya, bersikap sinis.

“Apa liat-liat?!”

“Eh … enggak, Kak.” Takut-takut, Sunwoo kembali menatap ke depan walaupun dengan mimik bingung.

‘Oooh … Ju Haknyeon you’re whipped!’ komentar yang lainnya geli dalam hati, akhirnya mengetahui alasan kenapa Haknyeon selalu bersikap sinis dan galak kepada Sunwoo.


Malam semakin larut. Satu per satu peserta bergantian menguap.

“Tidur, yuk!” ajak Kevin setelah menguap untuk ke sekian kalinya.

“Yuk. Gue juga udah ngantuk banget.” Hyunjae menyetujui sambil beringsut berdiri. Tanpa kata-kata persetujuan yang eksplisit, semuanya beranjak berdiri dan menuju tenda masing-masing.

Sunwoo menunggu di depan tendanya saat Younghoon mempersiapkan sleeping bag untuk mereka tidur malam itu. Suara terkejut yang dikeluarkan oleh sang kakak membuat Sunwoo penasaran.

“Kenapa, Kak?” tanyanya.

“Nu ….”

“Ya?”

“Gue salah bawa sleeping bag ….”


—aratnish'21

cw // nsfw, half porn with no plot, cursing, harsh words, mentioning of genital, seduction, profanity, kissing, fellatio, binding, barebacking

please remember that : • this au is a fiction • character's personality and developments are solely for au purposes only • what is in this au, stays in this au



“Sayang … aku bisa jelasin semuanya,” ucap Sunwoo pelan saat mereka tinggal berdua di ruangan itu.

“Nggak perlu.”

“Hak—”

“Ssst.”

Sunwoo mengernyit bingung saat Haknyeon berjalan menuju pintu ruangannya. Suaminya menutup pintu itu, menguncinya, juga menutup tirai jendelanya. Membuat ruang kerjanya benar-benar menjadi ruang tertutup. Sesuatu yang mengerikan menyusup ke pikiran Sunwoo.

“Sayang, aku nggak beneran nyimpen pisau buat ngebuka amplop surat di laci,” katanya takut-takut. Haknyeon terkekeh geli sebelum mematikan lampu di ruangan itu.

“Hakkie?”

Mendekati kursi tempat Sunwoo masih terduduk, Haknyeon menyalakan lampu baca yang ada di meja kerja suaminya itu.

Sunwoo menelan ludah. Sesuatu dari gerakan Haknyeon dan penerangan yang temaram membuat birahinya meroket dengan cepat.

“Haknyeon?” Sunwoo kembali bertanya, kali ini dengan suara parau.

“Kamu harus dikasih hadiah karena udah bisa nahan diri, aku bangga sama kamu. Tapi, kamu juga harus dikasih hukuman, soalnya udah sempet bikin aku sedih dan marah.”

“Ap—”

Sunwoo terkejut saat Haknyeon melepas dasinya dan mengikat tangan kirinya ke sandaran tangan kursi. Masih bingung, Sunwoo hanya memperhatikan saat Haknyeon melucuti ikat pinggangnya dan mengikat tangan kanannya juga ke sandaran tangan.

Terikat seperti tahanan yang menunggu hukuman, Sunwoo menatap suaminya dengan bingung. Penerangan yang remang-remang memang berisiko memberikan ilusi mata, namun Sunwoo yakin ia melihat gairah berkobar di mata Haknyeon.

Perlahan, Haknyeon naik ke pangkuan Sunwoo, tempat Jaehyo sebelumnya melakukan pertunjukan. Sengaja bergerak sedemikian rupa, yang menghasilkan desahan tertahan dari Sunwoo, Haknyeon akhirnya memosisikan dirinya tepat di atas kejantanan Sunwoo yang kini sudah benar-benar tegang.

“Ha— ngh … Hakkie ….”

“Apa, honey?” Haknyeon menelusuri bibir bawah Sunwoo dengan jarinya sambil sedikit menggerakkan pinggulnya, membuat Sunwoo mengerang.

“Aku … duh. Hak, please ….”

Please apa, Sun? Hm? Bibir kamu berdarah. Si lonte itu ngegigit bibir kamu?” Sunwoo mengangguk sambil memejamkan matanya. Napasnya tercekat saat ia merasakan Haknyeon menjilat bibirnya yang terluka.

“Hak …,” isak Sunwoo.

Yes, honey?”

Kiss meplease?”

Tanpa diminta dua kali, Haknyeon mencium suaminya dengan mulut terbuka. Melewati tahap menggoda dan pemanasan, mereka berciuman dengan panas dan penuh nafsu. Setidaknya sampai Haknyeon merasakan luka di pipi bagian dalam Sunwoo.

“Kok bisa luka juga di situ?” tanyanya sambil memenuhi paru-parunya dengan oksigen.

“Aku gigit sendiri biar nggak tergoda untuk buka mulut.” Sunwoo menjawab dengan tidak kalah terengah.

“Baju kamu masih rapi semua. Dia nggak berhasil nelanjangin kamu?” Sunwoo mengangguk.

“Aku pukul tangannya tiap dia mau buka baju aku.”

“Hmm ….”

“Aisssshhhh ….” Sunwoo berdesis karena pada saat itu Haknyeon mengelus kejantanannya dari luar celana kerjanya. “Hak … sayang ….”


Perlahan, Haknyeon membuka kancing celana suaminya. Setelah kancing itu terbuka, Haknyeon bermain-main sebentar dengan ritsletingnya, sampai rasanya Sunwoo ingin menangis, sebelum menariknya turun secara perlahan. Setelah celana itu terbuka, Haknyeon turun dari pangkuan Sunwoo, membuat suaminya itu mengerang kecewa.

“Coba, bantu aku. Angkat sedikit.”

Mengikuti perintah suaminya, Sunwoo mengangkat sedikit pinggulnya sehingga Haknyeon bisa menurunkan celananya. Membebaskan inti dirinya dari kungkungan pakaian kerjanya. Menatap senjata suaminya sejenak, Haknyeon memosisikan dirinya di antara kedua kaki Sunwoo, tepat di depan kejantanannya. Sunwoo menatap Haknyeon dengan mata terbelalak.

‘Tunggu … ini … Hakkie serius mau oral?’ pikir Sunwoo bingung, karena oral sex bukanlah sesuatu yang menjadi favorit Haknyeon. Belum sempat ia menyuarakan pertanyaannya, Sunwoo tersentak karena Haknyeon langsung menggenggam kejantanannya tanpa peringatan.

“Argh! Sshh … Hakkie ….”

Tidak menjawab erangan suaminya, Haknyeon mulai menjilat penis Sunwoo dengan ujung lidahnya, dari bawah … dan perlahan bergerak ke atas. Ia memasukkan ujung lidahnya ke lubang penis Sunwoo, membuat suaminya itu merengek tertahan. Mengurut pelan penis di genggamannya, Haknyeon menatap Sunwoo yang menunduk dan memejamkan matanya, menikmati permainan Haknyeon di bawah sana.

Merasa mulai terangsang, dan tertantang karena Sunwoo menikmati service-nya, Haknyeon memiringkan kepalanya dan melingkari batang kemaluan Sunwoo dengan lidahnya, kemudian bergerak naik turun di sana. Sesekali memasukkan keseluruhan penis itu ke dalam mulutnya, membuat Sunwoo terkadang meringis ngilu saat kepala penisnya bergesekan dengan gigi suaminya. Tangan Haknyeon pun tak lupa memainkan pelan kedua testis Sunwoo.

“Ha—! Hak … hmmh … astaga! Fasterngh!” kata Sunwoo sambil terengah. Haknyeon menjauhkan mulutnya.

“Ssht. Kamu lagi dihukum, nggak boleh request apa-apa,” ujar Haknyeon tenang.

“Sayang … please …,” rengek Sunwoo yang merindukan kehangatan mulut suaminya di bawah sana. Merasa tidak tega, Haknyeon kembali mengulangi kegiatan fellatio-nya sampai ia rasa Sunwoo sudah cukup dekat dengan pelepasannya. Benar dugaannya, karena Sunwoo kembali mendesahkan namanya.

“Ha— Hakkie … aku ….” Haknyeon segera berhenti dan menjauh dari suaminya.

“Sayaaang … kenapaaa? Aku hampir sampeee …,” rengek Sunwoo.

Meletakkan telunjuk di depan bibirnya, Haknyeon perlahan mengarahkan tangannya ke celananya sendiri dan membukanya.

Holy shit, Kim Haknyeon …,” umpat Sunwoo pelan saat Haknyeon sudah melepas celananya.

Mereka sudah menikah selama lima tahun, dan sebelumnya sudah berpacaran selama satu tahun, tapi tidak pernah satu detik pun dalam hidupnya, Sunwoo kehilangan gairah saat melihat tubuh polos sang suami. Perlahan, Haknyeon naik kembali ke pangkuan Sunwoo.

“Hakkie, you’re killing me …,” bisik Sunwoo dengan suara parau.

“Ih kamu cerewet. Kamu waktu sekolah pas dihukum guru, pasti jadi gurunya yang ngerasa dihukum sama kamu karena kamu ngomong terus.” Haknyeon sengaja memajukan posisinya sehingga penis mereka yang sudah sama-sama tegang saling bersentuhan. Lagi, ia mendengar Sunwoo mengumpat dan mendesiskan namanya.

Dibawah tatapan Sunwoo yang penuh nafsu, Haknyeon mempersiapkan dirinya sendiri, membuat nafsu di mata suaminya semakin membara. Dirasa sudah cukup siap, Haknyeon menaikkan sedikit badannya dan mengarahkan penis Sunwoo ke lubangnya. Perlahan ia menurunkan tubuhnya sambil tetap mengunci pandangannya pada sang suami, dan pada saat seluruh penis Sunwoo terbenam di dalam tubuhnya, pasangan itu menutup mata mereka dan mendesah nikmat.

'Siapa bilang Hakkie udah nggak ketat lagi? Udah nggak enak lagi? Hakkie itu heaven on earth,' pikir Sunwoo di sela-sela kabut birahinya.


Setelah puas menyambut dan menghayati kehadiran Sunwoo di dalam dirinya, Haknyeon mulai bergerak perlahan. Walaupun cukup sulit dengan kedua tangan terikat di kursi, Sunwoo ikut menggerakkan pinggulnya untuk mencari klimaks bagi mereka berdua.

Beberapa kali Sunwoo tahu bahwa ia sudah menumbuk titik kenikmatan suaminya, namun setiap saat pula Haknyeon bermanuver supaya Sunwoo tidak mencapai titik itu lagi. Setiap Sunwoo bergerak lebih cepat untuk mengejar pelepasan, setiap itu pula Haknyeon berusaha memperlambat gerakannya.

Frustrasi, Sunwoo menengadahkan kepalanya, membuat lehernya terekspos di depan suaminya.

“Kenapa, Sun?” tanya Haknyeon dengan nada geli yang dapat didengar dengan jelas oleh Sunwoo walaupun suaminya itu terdengar cukup kehabisan napas.

“Hukumannya masih berapa lama lagi, sayang?” rengek Sunwoo sambil memejamkan matanya dan menikmati tempo pelan yang masih dipertahankan oleh Haknyeon. Sunwoo kembali mengerang saat ia rasa Haknyeon menjilati leher dan jakunnya.

“Pengen udahan aja?”

“Iya. Hukumannya, bukan make love-nya,” jawab Sunwoo memelas. Ia tidak peduli lagi jika ia terlihat lemah di depan Haknyeon.

Suaminya itu berhenti bergerak dan membenamkan penis Sunwoo dalam-dalam di dalam dirinya, membuat Sunwoo melenguh nikmat saat merasakan kehangatan yang melingkupinya secara keseluruhan. Saat ia rasa Haknyeon membuka ikatan dasi di tangan kirinya, ia langsung menegakkan kepala dan membuka matanya.

“Hukumannya selesai?” tanyanya penuh harap. Haknyeon mengangguk.

“Sekarang kamu bisa ambil hadiahnya. Do me as you please,” bisik Haknyeon sensual di telinga Sunwoo sambil membebaskan tangan kanan sang suami dari lilitan ikat pinggang.

Menggeram senang, Sunwoo bangkit sambil mengangkat Haknyeon—tanpa melepas penyatuan mereka, kemudian membaringkan sang suami di meja kerjanya. Haknyeon tertawa riang sementara Sunwoo mulai memompa dirinya dengan kecepatan yang diinginkannya—diinginkan oleh Haknyeon juga.

“Meja kamu penuh kerjaan,” kata Haknyeon sambil terengah karena Sunwoo terus menerus menumbuk titik kenikmatannya.

“Biarin,” geram Sunwoo tidak peduli.

“Kalo ada yang penting … ngggh!!! gimana?”

“Kamu yang paling penting!”

Tidak ada yang bersuara untuk beberapa saat, kecuali suara erangan, desahan, geraman, dan suara persetubuhan mereka di ruangan itu. Sampai ….

“Suuunh!”

“Bareng, sayang …. Sekarang!” Melenguh, keduanya mengeluarkan pelepasannya secara bersamaan.

Tidak peduli dengan kemeja yang masih dikenakannya, Sunwoo merebahkan tubuhnya di atas Haknyeon yang masih terkulai lemas di atas meja kerjanya. Membuat mereka berdua kini lengket karena terkena sperma Haknyeon. Kejantanan Sunwoo sudah melemas, membuat semakin banyak spermanya yang merembes keluar dari lubang Haknyeon, namun ia enggan mengeluarkannya dari dalam tubuh suaminya.

Tersenyum puas, ia merasa sangat damai saat Haknyeon mengelus rambut dan punggungnya.

I’m home now,” desahnya puas.

Welcome home, honey,” jawab Haknyeon lembut.


“Sun?”

“Ya, sayang?”

“Kita pulang pake baju apa? Baju kita lengket semua gini. Mana belom jemput Cho-Hee juga.” Sunwoo terkekeh.

“Bang Hyunjae sama Bang Kevin pasti mau lah ngasuh Cho-Hee malem ini aja. Aku masih mau berduaan aja sama kamu. Soal baju. Aku ada jas di sini, nanti aku tutupin pake itu aja. Aku nyimpen coat juga di sini, kamu bisa pake itu.”

“Oke.”

“Sayang?” panggil Sunwoo saat mereka sudah membersihkan diri—dan meja kerja serta lantai ruangan Sunwoo—seadanya dengan tissue.

“Ya?”

“Aku sama si lonte itu nggak ada hubungan apa-apa.” Haknyeon terdiam.

Hickey kemaren itu gimana ceritanya?”

He stole it from me waktu kita lagi lembur. Nggak berdua, ada Bomin juga waktu itu. Dia hampir ditonjok juga sama Bomin. Hari itu juga aku langsung minta izin ke Ayah untuk mecat dia.”

“Kok minta izin ke Ayah?”

“Soalnya dia anak temennya Ayah. Salah satu klien kantor juga.” Haknyeon membelalakkan matanya dengan ekspresi horror.

“Trus aku malah ngancem dia gitu tadi! Nggak akan apa-apa?!” Sunwoo tertawa.

“Nggak apa-apa. Dia udah langsung dikeluarin juga dua hari kemudian. Turns out dia memang anak bermasalah dan orang tuanya sengaja ‘nitipin’ dia ke Ayah supaya dia dididik jadi lebih baik. Ayah marah banget waktu tau apa yang dia lakuin ke aku—ke kita. Dan kayaknya sampe sekarang Ayah masih marah sama temennya karena temennya nggak ngasih tau sifat asli si lonte.”

“Maaf …,” ucap Haknyeon pelan.

“Maaf kenapa?”

“Maaf karena aku pergi tanpa denger penjelasan kamu.”

“Nggak apa-apa. Aku pernah ada di jalan yang salah, jadi wajar kalo kamu punya keraguan sama aku,” jawab Sunwoo menenangkan sambil menggandeng tangan Haknyeon keluar dari ruang kerjanya.

“Tapi aku tetep salah.”

“Bukan salah, tapi kurang tepat.”

“Sama aja!” protes Haknyeon yang membuat Sunwoo tertawa.

“Lain kali kita bicarain baik-baik, ya?”

“Jangan ada yang lain kali deh.”

“Iya, pokoknya kalo ada masalah, apapun itu, kita bicarain dulu baik-baik ya, jangan kabur-kaburan. Kita harus ngasih contoh yang baik buat Cho-Hee sedari dini.” Haknyeon mengangguk setuju.

“Ngomong-ngomong, sayang ….”

“Ya?”

“Malem ini temenin aku lembur, ya?”

“Kok???”

“Kertas yang jadi alas main kita tadi itu gambar kerja aku buat presentasi ke klien besok pagi.”

“TADI KAMU BILANG NGGAK PENTING!”

“Tadi emang nggak penting, tapi sekarang penting buat besok hehehe.”

“KIIIM SUUUNWOOO!!!”


—aratnish'21—

cw // nsfw, cursing, harsh words, mentioning of genital, seduction, profanity, kissing

please remember that : • this au is a fiction • character's personality and developments are solely for au purposes only • what is in this au, stays in this au



Banyak orang yang mengatakan bahwa usia pernikahan paling rentan adalah di usia empat sampai tujuh tahun.

Mitos atau fakta?

Mungkin beberapa mengalaminya, mungkin beberapa tidak, namun Sunwoo dan Haknyeon mengalaminya di lima tahun usia pernikahan mereka, dengan kehadiran putri pertama mereka, Cho-Hee, dan juga perubahan jenjang karir Sunwoo.

Itu lah yang membuat Haknyeon berada di luar ruangan Sunwoo di kantor malam itu, mendengarkan desahan-desahan tidak senonoh dari dalam sana. Sungguh Haknyeon ingin pergi dari sana, tapi Hyunjae dan Kevin—yang sudah rela diganggu olehnya dan Cho-Hee seminggu ke belakang—meminta Haknyeon untuk segera menyelesaikan masalahnya dengan Sunwoo.

Maka Haknyeon bertahan di sana, menunggu waktu yang tepat untuk masuk dan mengonfrontasi Sunwoo dan pembuat onar yang mendesah di dalam sana malam itu.

Semuanya bermula saat perusahaan Ayah Sunwoo—dan Ayah mertua Haknyeon—memperkerjakan seorang engineer Elektrikal bernama Kang Jaehyo dibawah kepemimpinan Sunwoo, yang sudah diangkat menjadi manager divisi. Dari sejak saat itu, Sunwoo jadi sering lembur dengan alasan untuk melakukan coaching pada Jaehyo.

‘Cih. Coaching apaan sampe jam satu malem baru pulang?!’ rutuk Haknyeon kesal saat ia mengingat awal mula terjadinya percekcokan rumah tangga mereka.

Tidak cukup dengan pulang tengah malam hampir setiap hari, bahkan pada saat di rumah pun ponsel Sunwoo tidak pernah berhenti berbunyi. Semuanya dari Jaehyo.

Sunwoo selalu mengatakan bahwa semuanya hanya sebatas pekerjaan dan Haknyeon selalu percaya. Percaya bahwa Sunwoo benar-benar sudah bukan player seperti yang diceritakannya dahulu.

Setidaknya sampai seminggu yang lalu, saat Sunwoo pulang tidak terlalu malam dari kantor.

Dengan aroma parfum pria lain tercium dari kemejanya.

Dan hickey di lehernya.

Saat itu, tanpa berpikir panjang, Haknyeon membawa Cho-Hee dan pergi menuju kediaman Hyunjae dan Kevin. Meninggalkan Sunwoo yang sedang mandi.

Tidak terhitung berapa banyaknya Sunwoo pergi ke rumah Hyunjae dan Kevin untuk menjemputnya dan putri mereka. Tidak terhitung berapa banyaknya Sunwoo menghubunginya untuk menjelaskan semuanya. Namun Haknyeon tetap bergeming. Ia tidak mau mendengar alasan apapun.

Setelah satu minggu berselang, akhirnya Kevin mampu meluluhkan hatinya dan membuatnya setuju untuk berbicara dengan Sunwoo.

Haknyeon mendatangi rumah mereka malam itu, namun ia mendapati bahwa Sunwoo tidak ada di sana, maka ia pergi ke kantor Sunwoo—dan bekas kantornya juga sebelum ia resign untuk full mengurus Cho-Hee setelah mereka mengadopsinya.

Benar dugaannya. Disaat kantor sudah kosong karena jam kerja sudah lama selesai, Sunwoo masih ada di kantor, di ruangannya, dengan suara desahan-desahan tidak senonoh itu.


Sunwoo menggigit pipi bagian dalamnya sampai berdarah saat pemuda di pangkuannya itu menciumnya dan memaksanya untuk membuka mulutnya.

Tidak. Ia tidak akan memberikan privilege kepada pemuda itu untuk mencicipi dirinya. Hanya Haknyeon yang boleh melakukannya. Sunwoo memicingkan matanya saat ia rasa Jaehyo menggigit bibir bawahnya.

‘Anjing! Kurang ajar banget nih anak! Surat pemecatan kemaren nggak bikin dia takut sama gue, apa?!’ omel Sunwoo emosi dalam hati. Emosinya semakin bertambah karena ia sudah beberapa kali gagal untuk mengusir mantan anak buahnya itu.

“Dibuka dong Pak mulutnya. Nggak enak mainnya kalo nggak pake lidah.” Jaehyo merayu sambil bergerak-gerak sensual di pangkuan Sunwoo.

Like the fucking hell I would, little evil!”

“Uh … I like that pet name, Sir,” goda Jaehyo.

“Gue ngehina elo ya, Kang Jaehyo! Bukan ngasih lo pet name!” desis Sunwoo geram.

“Tapi ini senjata Bapak udah bangun juga loooh … nggak mau sekalian kita mainkan aja?” Jaehyo kembali menggoda sambil mendesah sensual.

Sunwoo tidak memungkiri bahwa ia pun sudah cukup terangsang dengan semua gerakan dan stimulus yang diberikan oleh Jaehyo. Cukup terangsang sampai ia tidak berani untuk menyentuh Jaehyo dan mendorongnya menjauh, karena ia takut ia malah akan lepas kendali.

Ia sudah berubah, ia yang sekarang hanya untuk Haknyeon. Ia tidak akan mengotori dirinya lagi seperti dulu, karena itu berarti ia juga mengotori Haknyeon.

Sunwoo memicingkan mata melihat kondisi Jaehyo di pangkuannya. Wajah pemuda itu memerah dengan napas tersengal, tanda bahwa ia sedang dikuasai oleh birahinya. Kancing kemejanya sudah sepenuhnya terbuka—dalam usahanya untuk menggoda Sunwoo supaya menyentuhnya.

Dan kejantanannya. Sunwoo dapat melihat dengan gamblang bahwa kejantanan Jaehyo sudah tegak sempurna dengan cairan precum mengalir dari lubangnya. Ya, Sunwoo tahu karena Jaehyo sudah menurunkan celananya, menggoda Sunwoo dengan penis tegang yang sesekali berkedut itu.

Tidak mau munafik, Sunwoo memang tergoda untuk menyentuhnya, untuk memainkannya, dan mungkin memasukkannya ke dalam mulut.

Tapi tidak. Pemuda di depannya ini bukan Haknyeon. Ia sudah berjanji di altar untuk bersama dengan Haknyeon dalam susah maupun senang, dalam kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit. Dan ia bertekad untuk memenuhi janji itu sampai maut memisahkan mereka. Maka dari itu, menguatkan tekadnya, Sunwoo mengepalkan tangan dan meletakkannya di balik kursi yang ia—mereka—duduki.

“Saya tau loh Pak kalo suami Bapak nggak pulang ke rumah selama satu minggu. Bapak nggak kasian itu senjatanya nggak dibersihin amunisinya selama seminggu? Lubang saya nggak kalah enak sama punya suami Bapak sih harusnya. Masih ketat juga, Pak. Bapak nggak penasaran?”

Sunwoo terdiam dengan napas memburu. Jaehyo tersenyum senang.

“Nggak apa-apa Pak sekali-sekali ngerasain lubang yang lain. No strings attached. Biar ada bandingannya, gitu. Bapak emangnya nggak bosen cuma masukin satu lubang aja? Udah lima tahun nikah ‘kan pasti mainnya gitu-gitu aja, lubangnya juga pasti udah nggak ketat lagi, udah nggak enak. Cari yang lain Pak biar ada variasi, nanti ajarin suaminya biar bisa makin muasin Bapak.”

Sunwoo tetap terdiam, namun matanya sudah berkilat membahayakan.


Haknyeon menahan napas dengan hati sakit saat ia tidak mendengar jawaban apapun dari Sunwoo. Ia hampir yakin bahwa pada akhirnya suaminya (mungkin soon akan menjadi mantan suami?) itu akan jatuh pada godaan yang diberikan oleh Jaehyo.

“Kim Haknyeon bukan alat pemuas nafsu. Kim Haknyeon adalah rumah gue, hidup dan mati gue, harta gue dan anak gue. Sekali lagi lo ngomong negatif tentang suami gue, gue nggak bakal segan-segan ngerobek mulut lo. Bare hand. Sekarang, turun dari pangkuan gue, lonte!”

Tersentak, mata Haknyeon langsung berkaca-kaca mendengar jawaban Sunwoo yang dilontarkan dengan nada tegas dan volume rendah, seperti yang selalu Sunwoo lakukan jika pria itu sedang emosi.

Oh. Jangan salah, Sunwoo tidak pernah menggunakan nada itu kepadanya ataupun Cho-Hee, namun Haknyeon sering mendengarnya jika Sunwoo sedang melakukan panggilan telepon atau melakukan rapat secara virtual di rumah dan anak buahnya melakukan kesalahan fatal.

Merasa semakin dicintai dan lebih percaya diri, Haknyeon membuka pintu ruangan Sunwoo dan melangkah masuk.

“Turun lo dari pangkuan suami gue!” perintah Haknyeon tenang. Dua pasang mata langsung menatapnya dengan terkejut.

Rasa bangga melingkupi dada Haknyeon saat melihat kondisi Sunwoo saat itu. Walaupun kondisi Jaehyo sudah sangat menggoda dan—secara harfiah—terbuka, namun semua pakaian Sunwoo masih pada tempat yang seharusnya. Masih tertutup. Masih sopan. Setidaknya Sunwoo berhasil melindungi dirinya supaya tubuhnya tidak digerayangi oleh Jaehyo. Peluh yang terlihat di dahi Sunwoo dan wajahnya yang sedikit pucat, memberi tahu Haknyeon seberapa keras usaha suaminya itu untuk melawan godaan yang ada.

“Hakkie … sayang …. Ini bukan seperti yang kamu kira. Aku bisa jelasin semuanya, Hak.”

I know, honey,” jawab Haknyeon sambil tersenyum lembut, membuat Sunwoo ternganga saat pet name-nya disebut.

“Kata-kata gue kurang jelas? Turun dari situ sekarang! Itu bukan tempat lo!” Beralih kepada Jaehyo, Haknyeon kembali memberikan perintah.

“Tapi suami lo juga udah bangun, nih. Dia nggak segitu sucinya juga.” Tanpa malu, Jaehyo masih berusaha untuk menggoda Sunwoo dengan bergerak secara sensual di pangkuannya. Sunwoo melihat suaminya dengan tatapan tersiksa.

Honey, di mana kamu nyimpen pisau untuk ngebuka amplop surat? Aku pengen motong kemaluannya yang nggak tau malu itu,” tanya Haknyeon manis kepada Sunwoo yang sempat menganga sebelum tertawa geli.

“Di laci ke dua, sayang. Kalo yang lama ada di laci di bawahnya, agak tumpul sih tapinya,” jawabnya geli, mengikuti permainan suaminya.

“Kita pake yang lama aja ya, biar nanti langsung dibuang bareng sama kontolnya dia.”

“Iya, boleh. Gimana kamu aja, sayang.”

“Gila! Kalian gila!”

Dengan takut dan terburu-buru, Jaehyo memperbaiki baju dan celananya saat Haknyeon bergerak menuju laci meja yang disebutkan oleh Sunwoo. Haknyeon melangkah semakin mendekati meja dan Jaehyo lari terbirit-birit keluar dari ruangan itu.


—aratnish'21


“Gue mau ngomong sama Kim Sunwoo.”

Semua siswa yang masih ada di kelas 11-5 pada saat istirahat itu menoleh ke arah pintu kelas. Changbin berdiri di sana dengan wajah kesal dan tangan dimasukkan ke saku celana seragamnya.

“Gue nggak mau ngomong,” jawab Sunwoo datar sambil menatap ke luar jendela kelas dari bangkunya. Changbin mendekati bangku Sunwoo dan berdiri di sebelahnya.

“Gue nggak minta persetujuan lo. Gue pemberitahuan doang, yang berarti gue tetep bakal ngomong sama lo.”

Same goes here. Gue juga tetep bakal nggak mau ngomong sama lo.” Sunwoo masih tidak mau menatap Changbin.

“Hakkie pingsan.”

Kalimat itu memberi dampak yang sangat efektif, karena Sunwoo langsung menolehkan kepalanya ke arah Changbin.

“Apa lo bilang?”

“Ju Haknyeon pingsan. Waktu pelajaran Olahraga. Demam.”

“Kok bisa?”

“Kemaren dia ujan-ujanan ngejar lo.”

“Dia 'kan bawa payung?!”

“Mana kepikiran dia buat buka payung dulu baru ngejar lo?!”

“Hah?”

“Rumah lo di YYY, 'kan?” Sunwoo mengernyit heran dengan pergantian topik secara tiba-tiba itu.

Yeah.”

“Rumah Hakkie di ZZZ.”

“Hah?! Katanya rumahnya di YYY juga??”

“Dia bohong biar bisa pulang bareng sama lo.”

“Ke— Kenapa?”

“Otak lo yang bikin lo sering jadi juara olim Matematika itu nggak bisa mikir sampe sana?!” kata Changbin gemas.

“Kak Hakkie suka sama lo, Nu,” bantu Eric dari bangku belakang Sunwoo. Pemuda itu langsung membalikkan badannya.

“Seriusan?!” Ia menatap Changbin dan mengulangi pertanyaannya.

“Iya. Dia ada di Ruang Sakit sekarang. Jengukin gih. Kasian ngigau terus anaknya, minta maaf terus sama lo.”

Tanpa diminta dua kali, Sunwoo segera berlari meninggalkan ruang kelasnya.


“Kak?” panggil Sunwoo pelan saat melongokkan kepalanya ke dalam Ruang Sakit.

“Sunwoo?” tanya Hanyeon bingung dengan suara serak.

“Kok bisa sakit?” Sunwoo bertanya saat ia sudah duduk di bangku samping ranjang Haknyeon. Yang ditanya tertawa sumbang.

“Keujanan pas ngejar lo.”

“Bukannya katanya bawa payung? Kenapa nggak dipake payungnya?”

“Takut nggak keburu ngejar lo. Tapi ternyata tetep aja nggak kekejar.”

“Terus kalo udah tau sakit, kenapa masih masuk sekolah?”

“Gue harus ketemu lo. Gue harus ngejelasin semuanya.”

“Nggak harus hari ini 'kan bisa.”

“Gue nggak mau nunda-nunda.”

“Oh.”

“Maaf ya Nu, gue bohong soal payung—”

“Lo bohong soal rumah lo juga kayaknya,” potong Sunwoo pelan.

“Iya. Itu juga.”

“Kenapa?” Sunwoo bertanya dengan pelan, takut berharap pada jawaban yang akan diberikan oleh Haknyeon.

“Biar gue bisa pulang bareng lo.”

“Kenapa?”

Isn't it obvious? Gue suka sama lo, Kim Sunwoo.”

Sunwoo sudah tahu jawabannya dari Eric dan Changbin, namun mendengarnya langsung dari mulut Haknyeon tetap memberikan dampak yang luar biasa. Ia yakin wajahnya sudah sangat merah, karena kakak kelasnya itu menatapnya dengan geli.

“Dari lo kelas 10, gue udah merhatiin lo. Lo imut banget sumpah, tapi pendiem banget, serius banget. Yang makin ngeselin, lo dibolehin nggak ikut ekstrakurikuler apapun karena lo sibuk ikut olim sana-sini, jadi makin sedikit lah kesempatan gue buat ngedeketin—minimal ngobrol sama lo.

“Makanya waktu kita nggak sengaja ketemu dan ngobrol di depan locker gue, gue bener-bener pengen manfaatin itu, nggak peduli bahwa gue harus bohong ke lo. Hari itu gue beneran nggak bawa payung, tapi gue bohong soal rumah gue. Well, gue sebenernya udah tau sih rumah lo di mana, bahwa arahnya nggak searah sama rumah gue—”

“Lo stalker, Kak?” potong Sunwoo terkejut.

“Sembarangan! Gue anak OSIS, ya! Gue tau bisa nyari datanya di mana .... Eh anjir, gue beneran jadi kayak stalker ya kalo dipikir-pikir?” Sunwoo mendengus geli.

“Terus, besoknya kenapa bohong?”

“Soalnya gue kira lo nggak akan bawa payung, jadi gue bisa gantian nawarin, itung-itung bales budi untuk kemarennya.”

“Kenapa lo bisa ngira gue nggak akan bawa payung?”

“Soalnya gue kalo hari ini pake payung, besoknya suka lupa masukin lagi ke tas.” Kali ini Sunwoo benar-benar terbahak.

“Ada-ada aja. Tapi ... waktu kita ngobrol di depan locker lo waktu itu ... itu bukan kebetulan sih, Kak.”

“Eh? Gimana maksudnya?”

“Gue tau hari itu ada rapat OSIS, makanya gue sengaja nugas di perpus. Asal lo tau, tiap ada rapat atau kegiatan OSIS, gue pasti tinggal di sekolah lebih lama.”

“Hah?!”

“Gitu terus dari kelas 10. Cuma baru kemaren aja akhirnya kita beneran bisa ngobrol. Gue excited banget, makanya gue agak sakit hati waktu tau lo ngebohongin gue soal payung itu, bahwa lo cuma ngerasa nggak enak aja sama gue.”

“Tunggu ... tunggu ... tunggu .... Ini maksudnya gimana?”

“Maksudnya gue juga suka sama lo dari kelas 10, Kak. Tapi lo begitu bersinar dan cerianya, jadi gue nggak berani ngedeketin lo. Yaaa apalah gue yang kutu buku ini, 'kan?”


Sesaat keduanya terdiam ....

“Terus ... gimana?”

“Gimana apanya, Kak?”

“Gue suka sama lo, lo juga suka sama gue. Terus ... gimana?”

“Biasanya gimana?”

“Mmm ... pacaran?”

“Kakak mau kita pacaran?”

“Mau pulang bareng sepayung berdua juga.”

“Tapi rumah kita beda arah.”

“Ya nggak apa-apa, 'kan bisa kayak kemaren juga.”

“Nggak ah. Kasian lo-nya kelamaan di jalan, Kak. Kita pulang bareng sampe terminal bis aja, ya?”

“Tapi—”

“Kalo hari Sabtu boleh deh, pulang bareng sampe rumah, tapi gue yang nganterin ke rumah lo, bukan gue yang dianterin pulang.”

“Ck! Kecil-kecil ngatur.”

“Tapi suka, 'kan?”

“Iya sih ... hehehe.”

Haknyeon berdeham sedikit.

“Gue sekarang bawa payung,” lanjutnya sambil mengeluarkan payung dari tasnya yang tadi dibawakan oleh Changbin.

Ya. Haknyeon sudah diperintahkan untuk tidur saja di Ruang Sakit hari itu karena ia bersikeras tidak mau pulang cepat.

Sunwoo mengernyit bingung dan melihat ke luar jendela. Cerah. Ramalan cuaca juga mengatakan bahwa hari itu tidak akan turun hujan.

“Tapi hari ini kayaknya nggak bakalan ujan deh Kak.”

“Payung juga bisa dipake buat yang lain sih, Nu,” kata Haknyeon sambil membuka payungnya.

“Hah? Buat apa? Nari? Kita mau nari di sini?”

“Buat ini.”

Haknyeon menggunakan payung yang telah terbuka untuk menghalangi mereka dari pandangan orang lain yang mungkin masuk atau melongok ke dalam Ruang Sakit, kemudian menarik dasi adik kelasnya itu.

Sorry in advance ya kalo nanti lo ketularan sakit,” bisik Haknyeon sebelum menempelkan bibirnya ke bibir tebal Sunwoo.

Terkejut, Sunwoo hanya bisa membelalakkan matanya. Namun saat Haknyeon menjauhkan wajahnya, Sunwoo tersenyum geli.

“Kalo cuma nempel gitu sih nggak akan ketularan, Kak. Gini nih kalo mau bikin gue ketularan.”

Sunwoo mengambil alih payung dengan tangan kirinya dan menangkup pipi Haknyeon dengan tangan kanannya, kemudian memagut bibir yang tadi hanya menempel malu-malu pada bibirnya.

“Kalo besok gue sakit juga, lo harus tanggung jawab, ya Kak,” ucap Sunwoo geli saat melihat wajah merah Haknyeon di depannya.

“Ah sial! Gue salting gara-gara adek kelas!” gerutu Haknyeon sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Sunwoo tertawa geli sambil membawa Haknyeon ke dalam pelukannya.

“Gemes banget! Pacar siapa, sih?”

“Pacar Kim Sunwoo,” bisik Haknyeon sambil balas memeluk Sunwoo.


—aratnish'21