aratnish

~ I write the story I want to read ~

“Haknyeon!” Haknyeon berhenti melangkah dan melayangkan pandangannya ke arah kantin kampus yang sangat ramai sore itu. Ia tidak melihat satupun yang ia kenal untuk memanggil namanya.

Mengedikkan bahu, Haknyeon pun mulai melangkah kembali. Tapi ….

“Haknyeon! Ju Haknyeon!”

Haknyeon berhenti lagi dan kembali mengedarkan pandangan. Saat itulah ia melihat seorang laki-laki berlari kecil ke arahnya dari pojok kantin.

“Oh! Sunu!” Haknyeon tersenyum saat melihat teman masa kecilnya.

“Apa kabar?! Gila! Udah lama banget nggak ketemu sama lo!” Sunwoo memeluk Haknyeon dan menepuk punggungnya bersahabat. Haknyeon terkekeh.

“Sejak OSPEK, jadi sekitar … tiga taun?” Sunwoo mengangguk-angguk.

“Lo ada kelas?” tanya Sunwoo saat melihat map berisi tumpukan kertas dan textbook yang dibawa Haknyeon di tangan kiri dan kanannya.

“Baru selesai, sekarang mau balik.”

“Nongkrong dulu yuk sama gue ‘ma Juyeon.” Sunwoo menunjuk ke sebuah meja. Haknyeon mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Sunwoo dan melihat Juyeon sedang menatapnya.

Senyumnya manis.

Tiba-tiba Haknyeon teringat lagi akkan kata-kata Juyeon itu. Haknyeon bahkan masih menyimpan kertas dari saat minggu keakraban itu diadakan. Tidak bisa dipungkiri, setelah menerima masukan itu, Haknyeon jadi lebih banyak tersenyum ke siswa siswi lain selain teman-teman satu circlenya.

“Hak? Halooo … lah malah bengong,” komentar Sunwoo sambil melambaikan tangannya di hadapan Haknyeon.

“Eh? Iya. Sorry, tiba-tiba kepikiran tugas,” elak Haknyeon.

“Jadi nggak bisa nongkrong dulu?” Sunwoo memberikan tatapan memelasnya. Haknyeon kembali terkekeh.

“Oke, tapi nggak lama-lama, ya?” Wajah Sunwoo langsung semringah.

“Siiip! Lima menit juga nggak apa, Juyeon pasti udah seneng!”

“Juyeon?”

“Gue sama Juyeon. Ah eluuu yang kedengeran cuma Juyeon-nya aja!” goda Sunwoo sambil meraih siku kiri Haknyeon.

“Eh? Lho? Lo ngomongnya Juyeon doang! Nggak ada ‘gue’nya.”

“Ngeles aja lo kayak bajaj!” tawa Sunwoo.

Haknyeon menatap teman masa kecilnya itu dari samping dengan bingung. Emang ini anak udah aneh dari dulu. Nggak berubah juga ternyata.

* * *

“Eh … halo, Haknyeon … lama nggak ketemu,” sapa Juyeon sopan saat Haknyeon di seberang laki-laki itu, sementara Sunwoo duduk di sebelahnya. Di sebelah Juyeon, maksudnya.

“Halo, Juyeon. Apa kabar?” tanya Haknyeon sopan. Tak lupa memberikan seulas senyum.

Juyeon tersedak minuman yang sedang disedotnya.

Sunwoo mendengus.

“Kenapa?” tanya Haknyeon bingung.

“Gapapa,” jawab Juyeon dan Sunwoo bersamaan. Sunwoo mengambil ponsel di sakunya sementara Juyeon melanjutkan,

“Gue kabar baik. Lo gimana? Baru selesai kelas?”

“Kabar baik juga. Iya, tadinya mau pulang, tapi ditarik Sunu ke sini.” Haknyeon tersenyum lagi.

Juyeon berdeham kecil dengan wajah bersemu merah. Bunyi notifikasi dari ponsel di atas meja mengalihkan fokus laki-laki jangkung itu. Juyeon buru-buru mengambil ponselnya untuk memeriksa asal dari bunyi itu.

Haknyeon menatap ke sekeliling kantin dengan canggung.

So? How’s college life?” Sunwoo memecah keheningan setelah Juyeon meletakkan kembali ponselnya di atas meja.

Rough.” Juyeon dan Sunwoo tertawa. “Tapi seru, belajar jadi lebih mandiri juga untuk manage waktu.”

“Lo jurusan Hukum ‘kan ya kalo gue nggak salah inget?” tanya Juyeon. Haknyeon mengangguk. “Padahal lo nggak suka Tata Negara waktu SMA,” lanjutnya.

Haknyeon mengangkat alis kirinya. “Kok lo tau?”

“Eh? Itu … anu ….”

“Hyunjae cerita ke anak-anak waktu lo bete sama dia gara-gara dia ninggalin lo untuk duduk sama Younghoon pas pelajaran TN.” Sunwoo masuk untuk membantu Juyeon.

“Ah anjir! Udah gue duga Hyunjae itu emang ngeselin!” rutuk Haknyeon yang membuat Juyeon dan Sunwoo kembali tertawa.

Sisa pembicaraan mereka sore itu cukup lancar, masing-masing berbagi suka dan duka kehidupan kampus mereka, tak lupa sedikit bernostalgia dengan kehidupan SMA dan mengupdate kabar dari teman-teman yang lain, membuat Haknyeon pulang dengan senyuman di wajah.

Sesampainya di rumah, Haknyeon mengeluarkan ponsel dan melihat bahwa ia memiliki satu notifikasi Instagram.

Haknyeon membukanya.

Mata Haknyeon terbelalak lebar.

Sumber notifikasi itu datang dari Juyeon.

— fin —


©️aratnish’23

Younghoon, Hyunjae, Juyeon, dan Sunwoo itu sudah seperti yang memiliki sekolah. Ganteng, pinter, kaya, ke mana-mana dan apa-apa selalu bareng … sudah macam F4 gitu.

“Tapi gue nggak suka,” celetuk Haknyeon saat istirahat sekolah di kantin.

“Kenapa? Mereka ‘kan cakep-cakep! Apalagi Younghoon,” protes Changmin sambil melemparkan tatapan mata penuh binar ke arah meja F4.

“Yaaa … kayak yang eksklusif aja gitu, apa-apa maunya sama kelompoknya aja.” Haknyeon memajukan bibirnya.

“Masa sih? Well, kalo waktu istirahat mereka emang seringnya barengan, sih … tapi kalo diluar itu, mereka bisa kok berbaur sama yang lain.” Kevin ikut berkomentar.

“Lagian, lo ‘kan udah temenan dari kecil sama Sunwoo, Hak … kok bisa nggak suka sama mereka? Berarti lo juga nggak suka sama Sunwoo, dong?” tanya Eric heran.

“Kalo sama Sunu sih, gue udah kebal, udah kenal sifatnya soalnya. Yang lainnya tuh yang kadang bikin kesel.” Haknyeon menusukkan garpu ke siomay yang tak bersalah di depannya.

Kevin, Chanhee, Changmin, dan Eric saling berpandangan dengan bingung. Tidak biasanya Haknyeon sekesal itu kepada F4. Bisa dibilang, ini kali pertama mereka membicarakan kelompok cowok-cowok ganteng itu setelah hampir satu tahun sekelas di kelas dua belas IPS satu.

“Ada apaan sih, Hak? Kok tumbenan kesel banget sama mereka?” tanya Chanhee bingung

“Hyunjae ….” Haknyeon tidak melanjutkan kalimatnya.

“Ya Hyunjae kenapaaa???!!!” seru Eric gemas karena Haknyeon bicara setengah-setengah.

“Gue ‘kan duduk sebangku sama dia ….”

“Hm. Tau. ‘Kan emang lo giliran duduk sama dia bulan ini. Paling depan, ‘kan?”

“Iya. Trus pas pelajaran Tata Negara kemaren, dia tiba-tiba pindah duduk gitu aja sama Younghoon di belakang! Nggak bilang, nggak apa! Kalo dia bilang ‘kan gue bisa pindah duduk sama Kevin di belakang!

“Mana gue tuh nggak suka pelajaran Tata Negara, trus duduk di depan sendirian kayak orang bego! Sumpah ngeselin banget! Apa salahnya sih ngomong dulu?! Gue nggak akan ngelarang dia juga mau duduk sama siapa!” omel Haknyeon panjang lebar.

“Oooh … jadi kemaren itu karena lo ditinggalin Hyunjae? Gue kira karena lo emang niat duduk di depan sendirian,” komentar Kevin sambil berusaha menyembunyikan cengirannya.

“Kagak! Semuanya tuh gara-gara si Hyunjae kampret itu! Ngeselin!”

* * *
Haknyeon mengulurkan tangan sebagai usaha untuk menggapai botol minumnya yang menggelinding ke bangku seberang karena tidak sengaja ia tendang. Tiba-tiba seseorang membungkuk dan mengambil botol minum itu, kemudian menyerahkannya pada Haknyeon.

“Nih, daripada nanti gue dibilang kampret lagi.” Hyunjae, orang itu, menegakkan badan dan berjalan menuju bangku di mana ia akan duduk semeja dengan Juyeon.

Wajah Haknyeon kontan memerah mendengar komentar itu, sementara di sebelahnya, Haknyeon mendengar Kevin berusaha keras menahan tawa. Di belakang Hyunjae, Juyeon melihat Haknyeon dan Hyunjae bergantian dengan pandangan bingung.

“Apa-apaan itu tadi?” tanya Juyeon saat mereka sudah duduk dan guru mata pelajaran Sosiologi memasuki ruang kelas.

“Nggak ada apa-apa,” jawab Hyunjae tenang. Juyeon mengernyitkan dahi, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Tiba-tiba Hyunjae terkekeh geli.

“Kenapa lagi?”

“Gue dikatain kampret sama Haknyeon.”

“Kok bisa? Gara-gara apa? Padahal keliatannya dia anak yang santai, nggak suka ngedumel.”

“Gara-gara gue pindah duduk sama Younghoon tapi nggak ngasih tau dia, jadi dia nggak bisa pindah duduk sama Kevin. Dia kesel harus duduk sendirian paling depan pas pelajaran Tata Negara kemaren.” Hyunjae kembali terkekeh pelan. Juyeon mengernyit.

“Ya kalo itu sih salah lo. Kenapa nggak ngasih tau dia dulu?”

Hyunjae menatap Juyeon bingung. “Kok lo malah ngebelain dia?”

“Ya lo pikir aja, Je … udah mana duduk paling depan, sendirian, pelajarannya Tata Negara, pula! Gimana nggak jenuh? Nggak bete?”

Kernyitan di dahi Hyunjae semakin dalam, namun sebelum ia bertanya lebih jauh, guru Sosiologi mereka memulai proses belajar mengajarnya.

* * *
Haknyeon bukannya sulit atau tidak mau bergaul dengan yang lain selain teman-teman satu circlenya, ia hanya merasa canggung untuk mengobrol dengan orang-orang yang ia tidak tahu apakah memiliki kesamaan hobi atau ketertarikan dengannya. Maka dari itu, saat kelas mereka mengadakan minggu keakraban di luar kota, Haknyeon sangat cemas. Apalagi ketika mereka digabung menjadi sebuah lingkaran besar di aula, dengan posisi duduk yang diacak berdasarkan undian.

“Nah, sekarang kalian tuliskan nama kalian di pojok kiri atas kertas yang sudah dibagikan kepada kalian tadi. Ingat! Hanya menulis dengan tinta warna hitam! Nanti, sesuai dengan aba-aba dari saya, kalian berikan kertas kalian ke teman di sebelah kanan. Tugas kalian adalah menuliskan kesan atau pesan kalian kepada teman yang kertasnya kalian terima dari teman di sebelah kiri kalian. Tidak perlu menuliskan nama, kecuali kalau kalian tidak masalah identitas kalian diketahui pemilik kertas.” Pak Minhyuk menjelaskan sementara murid-muridnya menuliskan nama mereka di atas kertas.

Haknyeon menggigiti bibir bawahnya dengan cemas. Gimana bisa gue nulis kesan dan pesan sementara gue cuma kenal bener-benernya cuma sama Kevin, Chanhee, Changmin, dan Eric doang?!

Tapi tugas tetaplah tugas dan Haknyeon bukan seseorang yang menyerah karena tugas yang tidak familier baginya. Mengandalkan pengetahuan yang cukup minim tentang teman-teman sekelasnya yang lain, Haknyeon membuat kesan dan pesannya berdasarkan hasil observasinya selama ini.

Ramah, gambarnya bagus banget.

Awal kenal kayaknya galak, tapi ternyata baik dan kocak banget.

Moodmaker kelas.

Dan masih banyak kesan lainnya yang Haknyeon tuliskan, sampai kertas bertuliskan namanya sendiri kembali padanya.

“Sudah kembali semua kertasnya? Sekarang silakan dibaca kesan dan pesan dari teman-teman kalian, jadikan bahan refleksi untuk pengembangan diri kalian.”

Haknyeon membaca tulisan demi tulisan tentang dirinya. Beberapa membuatnya tertawa kecil, beberapa membuatnya mengernyit heran, satu membuatnya terkejut.

Senyumnya manis. Banyakin senyum, ya.

Haknyeon segera mengangkat kepalanya dan melihat teman-teman sekelasnya yang masih membaca kertas mereka dengan mimik ceria. Remaja laki-laki itu menunduk untuk melihat tulisan yang ada di kertasnya.

Gue nggak kenal tulisan tangannya. Wait …, Haknyeon mencari tulisan tangan yang ia kenal. Oh! Ini dia tulisan Kevin.

Haknyeon menghitung jarak antara tulisan Kevin dan tulisan yang memintanya untuk memperbanyak senyumnya, kemudian menghitung jarak duduk Kevin dan sang penulis misterius.

… tujuh … delapan … sembilan …. Eh? Juyeon?

Tepat pada saat itu, Juyeon mengangkat wajah dari kertas miliknya dan langsung menatap Haknyeon.

Haknyeon berkedip dua kali … dan wajah Juyeon langsung bersemu merah.

— fin? —


©️aratnish’23

Bagian 11 dari “Ghost Story”

“Ini sih serius ceritanya, bukan cerita horor,” goda Joshua.

“Ya makanya ‘kan aku bilang, pengalaman mistis aku tuh nggak serem kayak kalian.”

“Tapi wajar sih, soalnya kamu yang paling baik diantara kita, jadi pasti dikasihnya yang indah, nggak yang serem.”

“Jadi lo bilang kita semua begajulan, gitu?” protes Saka sambil menjitak kepala Elang.

“Eh si Harsya mana sih? Ke toilet lama amat? Cuma dia nih yang belom cerita.” Henry menoleh ke kiri dan kanan untuk mencari Harsya yang pamit ke toilet saat Jodi akan memulai ceritanya.

“Boker kali?” celetuk Hanggara yang membuat semuanya tertawa. Mereka pun melanjutkan obrolan santai mereka sampai waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam dan Harsya masih belum terlihat batang hidungnya.

“Ini tuh si Harsya jangan-jangan pulang duluan?” kata Narendra bingung.

“Coba ditelpon aja, ini kita juga harus pulang bentar lagi, keburu diusir sama yang punya kafe,” usul Sandi.

Saka mengambil ponselnya dan mulai menelepon Harsya.

* * *
“Halo?”

“Sya! Lo di mana, sih? Bentar lagi kita mau pulang, nih!” omel Saka.

“Di … rumah?” Ada nada bingung di suara Harsya.

“Eh si anjir! Beneran pulang duluan dong dia!” gerutu Saka ke teman-teman lainnya yang juga langsung menggerutu.

“Eh tunggu, Ka … pulang duluan gimana maksudnya?”

“Ya lo tadi pamitnya ke toilet, tapi ujung-ujungnya pulang duluan!”

“Ka, gue ‘kan udah bilang kalo hari ini gue nggak bisa ikutan. Gue dari tadi pulang kerja langsung ke rumah. Lo bisa ngomong sama nyokap gue kalo nggak percaya.”

“Hah?” Wajah Saka memucat.

“Kenapa, Ka?” tanya Hanggara bingung.

“Sya, ini telponnya gue loudspeaker, lo ulangin tadi lo ngomong apa, ya.”

Walaupun bingung akan permintaan Saka, tapi Harsya mengulangi lagi kata-katanya sebelumnya.

“Jadi yang dari tadi ngumpul bareng kita itu siapa?” kata Jodi takut-takut.

“Yang jelas bukan gue, gue dari tadi di rumah.”

“Balik. Balik. Balik. Nggak bener ini. Makanya kata gue juga jangan cerita-cerita serem. Dah Harsya!” Saka mematikan sambungan telepon dan siap-siap untuk pergi.

Tanpa banyak berkomentar, teman-temannya yang lain mengikuti pergerakannya dan dalam waktu singkat mereka sudah berada di kasir untuk membayar.

“Pake kartu lo dulu ya, Ren. Nanti kita tinggal transfer ke lo. Gue udah pengen cepet-cepet pulang,” usul Elang yang langsung disetujui oleh semuanya.

“Terima kasih. Ditunggu kedatangannya kembali,” ucap kasir berpakaian bajak laut yang melayani mereka saat mengembalikan kartu Narendra.

“Ngomong-ngomong, ini kostumnya banyak yang dari daerah Barat ya, Kak? Yang pake kostum Kaonashi tadi lucu padahal,” celetuk Yeremia.

“Kao— Kao apa, Kak?” tanya sang kasir.

“Kaonashi, Kak … itu, yang pake pakaian hitam dari ujung kepala sampe ujung kaki,” jelas Saka.

Sang kasir mengernyit bingung. “Rasanya tidak ada waiter yang pakai kostum itu, Kak … soalnya memang dresscodenya dari wilayah Barat aja.”

Sebelas orang yang ada di depan kasir langsung mematung.

“Ayo pulaaang,” rengek Saka sambil merangkul lengan Hanggara. Seolah dikomando, mereka langsung bergegas menuju pintu keluar. “Gara … Saka nggak mau tidur sendirian. Temenin tidur.”

“Iya. Siap.”

Dan begitulah pengalaman semuanya di hari Halloween ini.[]


©️aratnish’22

Bagian 10 dari “Ghost Story”

“Terus? Jadinya gimana sama kerjaan lo? Since lo masih kerja di sana, berarti lo nggak dipecat gara-gara kabur, ‘kan?” tanya Henry.

“Gue telpon atasan gue, minta dikirim lagi kerjaannya ke email pribadi, karena dari rumah gue nggak bisa buka email kantor. Gue bilang gue tiba-tiba nggak enak badan, jadi prefer ngerjain di rumah aja. Terus atasan gue bilang kalo ternyata kerjaannya buat besok sorenya, nggak jadi buat pagi-pagi, jadi gue nggak harus lembur.”

“Dia tuh gitu deh. Kalo emang buat sore, kenapa harus nunggu lo ngontak dia dulu? Kenapa nggak langsung infoin perubahan jamnya?” gerutu Sandi.

“Lo tau sendiri lah si nenek lampir itu gimana.”

“Jodi nggak punya pengalaman mistis?” tanya Yeremia kepada teman mereka yang paling tenang itu.

“Hmm … ada sih, tapi nggak serem kayak punya kalian.”

“Nggak apa-apaaa cerita aja.” Hanggara menyemangati.

“Kapan kejadiannya?”

“Uh … waktu aku baru putus sama Mara?” Jodi menjawab pertanyaan Saka dengan malu-malu.

“Aaah … waktu kamu jadi pertapa dan ngejauh dari kita semua, ya?” goda Elang yang membuat wajah Jodi semakin memerah.


Bukan hanya menjauh dari teman-temannya, Jodi juga menjauh dari keluarga dan Tuhan. Jodi bukannya tidak tahu bahwa Mara hanya mempermainkannya dan memanfaatkan status Jodi sebagai anak dari CEO tempat mereka bekerja. Teman-teman dan kedua orang tua Jodi sudah sering memperingatinya, namun Jodi tetap bersikukuh bahwa Mara tulus padanya, bahwa perempuan itu tidak seperti yang orang-orang sangkakan.

Tapi Jodi salah. Mara memang seburuk yang orang-orang bicarakan. Bahkan Jodi memergoki sendiri perempuan itu berselingkuh dengan beberapa laki-laki lain. Bukan hanya satu, tapi beberapa.

Saat itu lah Jodi mulai menarik diri dari teman-teman dan keluarganya, karena ia malu akan penilaiannya yang terlalu naif. Ia juga menarik diri dari Tuhan, karena ia marah kenapa ia harus mengalami kejadian tidak mengenakkan itu.

* * *
Tibalah saatnya hari Jumat Agung. Jodi pergi ke Gereja bersama dengan keluarganya, setelah hampir satu tahun lamanya ia menjauh. Ada rasa rindu saat ia memasuki Rumah Tuhan, ada rasa malu karena bersembunyi.

Inikah yang mau aku tinggalkan hanya karena hubunganku dengan Mara kandas?

Jodi menunduk saat ia rasa matanya memanas.

Dan saat itulah ia merasakan ada tangan besar yang ditumpangkan di atas kepalanya. Lembut. Hangat. Memaafkan.

Tangis Jodi semakin menjadi dalam diam. Ia tahu bahwa tangan yang menjamahnya bukanlah tangan biasa, itu adalah tangan Tuhan Yesus.[]


©️aratnish’22

Bagian 09 dari “Ghost Story”

“Makanya gue bilang juga, jangan sendirian di kantor kalo udah lewat magrib!” seru Narendra saat Sandi selesai bercerita.

“Ya mana gue tau kalo gue juga bakal kena?! Gue ‘kan orangnya emang nggak sensitif sama hal-hal kayak gitu!”

“Lo pernah ngalamin, Ren?” tanya Joshua.

“Pernah—”

“KOK LO NGGAK NGOMONG?!” potong Sandi.

“YA LO NGGAK NANYA!”

“Kalo lo yang ngalamin ‘kan gue bakal lebih percaya!”

“Jadi kejadian yang lo alamin, lebih dulu daripada yang Sandi alamin?” tanya Rizqi penasaran.

“Iya … nggak lama sebelom pengalaman Sandi.”


“Narendra nggak pulang?” tanya Mbak Lely, Manager Departemen Pajak, saat melewati meja kerja Narendra.

“Lembur, Mbak,” jawab Narendra dengan mimik sedih.

“Lho? Lembur kenapa?”

“Dikasih kerjaan di detik-detik terakhir sama Bu Wiwin.” Narendra menyebutkan nama atasannya. “Harus selesai hari ini juga,” lanjut Narendra sambil menghela napas kesal.

“Ya ampun … nggak bisa kamu bawa aja ke rumah lalu dikirim via email?”

“Belum nanya, sih.”

“Mending dikerjain di rumah, Ren. Di sini kalo lewat magrib suka nggak bersahabat,” timbrung Mbak Ira, staf Departemen Pajak.

“Semoga nggak lama sih ini, Mbak. Saya males kerja di rumah, pengennya nyampe rumah langsung tidur.”

“Iya juga, sih. Ya udah, semangat ya, Ren.”

“Makasih, Mbak. Hati-hati di jalan, ya!”

“Nggak pulang?” tanya Sandi yang baru keluar dari ruangannya dan tampak sudah siap untuk pulang.

“Lembur.” Sandi melafalkan ‘oh’ tanpa suara.

“Gue balik duluan, ya!”

“Yo! Hati-hati.”

* * *
Kejadian-kejadian seram yang sering diceritakan oleh rekan-rekan kerjanya mulai terbayang di benak Narendra saat lantai itu perlahan kosong, meninggalkannya sendiri ditemani langit yang mulai gelap di luar sana. Untuk mengurangi rasa takutnya, Narendra memfokuskan pikirannya pada pie chart di depannya dan juga lantunan doa yang ia gumamkan dalam hati.

Sesaat Narendra melupakan bahwa ia sendirian di lantai kantor yang konon horor itu. Sampai ….

Sebuah gerakan di kamar mandi yang berada di seberang meja kerjanya tertangkap ekor mata Narendra. Tidak memiliki pikiran buruk apapun, Narendra mengangkat kepala dan menoleh ke arah kamar mandi.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Sesosok wanita berambut panjang sedang mengintipnya dari balik pintu kamar mandi yang sedikit terbuka.

Narendra berkedip, berusaha menghilangkan sosok itu dari zona penglihatannya, berharap bahwa sosok itu hanyalah ilusi matanya.

Namun sosok itu tetap bergeming. Bahkan balas berkedip kepada Narendra.

Sungguh Narendra ingin menangis melihatnya, namun dengan gerakan yang (ia usahakan) tenang agar tidak menakuti sosok yang sedang mengawasinya, Narendra membereskan semua barangnya dan bergegas turun untuk pulang. Ia bahkan tidak mematikan komputernya.

Gue nggak peduli kalaupun gue dipecat! Pokoknya gue harus pulang![]


©️aratnish’22

Bagian 08 dari “Ghost Story”

“Tukang bakso itu kenapa sih suka nakutin?!” gerutu Elang walaupun dengan nada geli.

“Terima kasih.” Saka berucap kepada pramuniaga yang membawa es cappuccino yang dipesannya. Pramuniaga itu mengangguk dan beranjak dari meja mereka.

“Yer, Yer, kostum waiter yang itu keren banget, ya?” kata Saka kepada Yeremia.

“Iya! Itu yang di Spirited Away, ‘kan? Siapa tuh?”

“Kaonashi!”

“Nah ituuu! Harusnya ada yang pake kostum Haku juga.”

“Haku sih nggak bikin serem!”

“Yang waktu jadi naga.”

“Ngabisin tempaaat!”

“Dasar wibu,” gumam Hanggara geli saat mendengarkan perdebatan antara Saka dan Yeremia.

“Tapi, kadang mereka tuh kayak gitu karena sayang sama kita.” Sandi membuka suara.

“Sayang apanya?! Nakutin gitu!” protes Saka.

“Yang gue rasain sih gitu.”


“Lo nggak akan pulang, San?” tanya Narendra saat ia lihat Sandi masih asyik dengan laporan di meja kerjanya.

“Nanggung ah, dikit lagi. Biar besok nggak terlalu numpuk.”

“Tapi lo tinggal sendirian lho di sini. Nggak takut? Lo tau sendiri ‘kan katanya kalo malem agak nyeremin nih lantai?”

Sandi tampak berpikir sejenak. “Nggak apa-apa deh. Di bawah masih rame, ‘kan?”

“Masih, sih … tapi—”

“Nggak apa-apa, gue nggak akan lama, kok. Kalo ada apa-apa, bakal cepet juga kaburnya.” Sandi merujuk kepada posisi meja kerjanya yang ada di sebelah tangga.

Narendra menghela napas. “Ya udah, kalo gitu gue duluan, ya. Jangan nangis-nangis ke gue kalo lo takut nanti.”

“Iyaaa nggak akan,” jawab Sandi setelah tertawa geli, karena yang sering terjadi adalah sebaliknya.

* * *
Lima belas menit berlalu. Suara-suara di lantai bawah masih ramai, walaupun di lantai tempatnya bekerja sudah kosong.

Sandi bukan penakut, tapi tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya meremang. Lantai mereka memang sudah terkenal dengan cerita-cerita seramnya, walaupun Sandi belum pernah mengalaminya sendiri.

Tidak ingin kalah dengan rasa tidak nyamannya (Sandi tidak ingin mengakui bahwa saat itu ia mulai merasa takut), Sandi berusaha memfokuskan perhatiannya pada laporan absensi bulanan di layar komputernya. Fokusnya hanya bertahan selama kurang dari lima menit, karena tiba-tiba dari arah ruangan Departemen Pajak yang telah kosong dan pintunya terkunci, terdengar suara seorang wanita sedang bernyanyi.

Sandi berhenti mengetik pada keyboardnya. Indra pendengarnya kini bekerja dengan maksimal untuk mendengarkan suara yang tiba-tiba muncul.

Suara yang awalnya hanya terdengar sayup-sayup, lama kelamaan terdengar semakin mendekati tempatnya duduk.

Hingga pada satu waktu yang terasa sangat lama bagi Sandi, suara nyanyian wanita itu terdengar persis di sebelah telinganya.

Keringat dingin mulai membasahi dahi pria itu.

Dengan tegang, ia berusaha merapikan mejanya dengan cepat. Setiap detik, setiap menit yang Sandi habiskan untuk merapikan barang-barangnya, semakin jelas suara wanita itu di telinganya.

Segera setelah semua barangnya masuk ke dalam tas, Sandi praktis berlari menuruni tangga tanpa sekalipun menoleh ke belakang.[]


©️aratnish’22

Bagian 07 dari “Ghost Story”

“Eh anjir iya bener juga! Saking takutnya aku sampe lupa kalo kita pernah ngalamin kejadian itu!” seru Saka sambil bergidik saat Hanggara sudah menyelesaikan ceritanya.

“Asli itu creepy banget! Kalian tau sendiri ‘kan kalo kampus gue sama Saka itu bener-bener jauh dari jalan raya atau perumahan di belakang kampus? Mana kita lagi ada di lantai sepuluh, nggak mungkin ‘kan kalo suara mangkok tukang baso kedengeran sampe lantai sepuluh?!”

“Suara orang bikin mie instan di pantry, kali?” usul Elang.

“Nggak mungkin! Waktu itu kita pas banget di seberang pantry dan pantrynya kosong, bener-bener lagi nggak ada orang!” sergah Saka. “Mana anak desain juga ‘kan nggak ada kuliah sampe sore,” imbuhnya sambil menyebutkan jurusan yang berbagi lantai dengan jurusannya dan Hanggara.

“Ngomong-ngomong soal tukang bakso, gue juga pernah ngalamin sih,” celetuk Henry.


Salah satu hal yang Henry suka dari hari Jumat adalah ia tidak harus bekerja keesokan harinya (kecuali kalau bos memanggil untuk lembur). Untuk merayakan ‘kebebasannya’ Henry pun mencanangkan hari Jumat adalah harinya untuk begadang. Seperti hari itu.

“Udah gede kamu tuh. Masih aja suka ngegame,” tegur ayahnya saat melongok ke dalam kamar si bungsu yang tidak keluar sedari mereka makan malam bersama. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.

“Hiburan, Yah,” jawab Henry sambil melemparkan cengiran nakalnya. Sang Ayah menggeleng tidak habis pikir.

“Jangan terlalu pagi tidurnya.”

“Saya besok libur, Yah.”

“Matamu rusak nanti ngeliatin layar TV terus!”

“Iya. Iya. Nggak terlalu pagi tidurnya. Maksudnya siang, tidurnya,” tambah Henry nakal dalam hati. Mengetahui pikiran jail anaknya, sang Ayah kembali menggeleng kecil.

“Ayah sama Bunda tidur duluan, ya. Semua jendela sama pintu sudah Ayah periksa. Inget, jangan terlalu pagi!”

“Iyaaa Ayaaah.”

Seperginya sang Ayah dari ambang pintu kamarnya, Henry kembali mengenakan headphones yang tadi sempat dilepasnya, untuk kembali melanjutkan permainan peperangan yang sedang menjadi fokusnya sebelumnya.

Suara desingan peluru dan ledakan bom terdengar cukup keras di headphonesnya, seperti yang Henry suka, terkesan ia benar-benar berada di medan perang (walaupun ia tidak pernah tahu seperti apa sebenarnya medan perang itu). Situasi itu berlangsung selama sekitar lima belas menit sampai Henry mendengar sebuah suara yang seharusnya tidak ada di medan peperangan di game yang sedang dimainkannya.

Suara denting mangkuk yang dipukul dengan sendok.

Henry berkedip dan kedua tangannya berhenti mengoperasikan konsol.

Anjir. Ini suara gamenya kenceng banget. Nggak mungkin suara tukang bakso kedengeran sama gue.

Henry melihat jam dinding di kamarnya.

Kampret! Jam setengah satu malem?! Mana ada tukang bakso jualan keliling jam setengah satu malem?! Iya! Iya! Iya! Gue tidur sekarang!

Terburu-buru, Henry mematikan game dan televisi di kamarnya sebelum bersiap-siap untuk tidur.

Malam itu, doa malam Henry lebih panjang dari biasanya.[]


©️aratnish’22

Bagian 06 dari “Ghost Story”

“Kenapa sih kalian semua pada pernah ngalamin kejadian serem-serem kayak gitu? Dan kenapa kalian ceritanya masih bisa santai gitu?!” ucap Saka tidak habis pikir. Wajah laki-laki muda itu semakin pucat pasi seiring cerita yang disampaikan oleh teman-temannya.

“Loh? Kita juga ‘kan pernah punya pengalaman mistis kayak gitu, Ka?” respons Hanggara sambil menoleh ke arah Saka dengan heran.

“Hah?! Masa? Kok aku nggak inget?”

“Itu … waktu zaman kita ngerjain skripsi di kampus hampir tiap hari itu.”

“Yang manaaa? Aku beneran nggak inget ih, Garaaa!”

“Yang kita ke perpus di lantai sepuluuuh, Sakaaa!”

“Yak, dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak,” goda Henry yang disambut dengan tawa geli dari teman-teman mereka yang lain. Walaupun sudah biasa digoda teman-teman mereka, tetap saja wajah Hanggara dan Saka bersemu merah.

“Udah, udah, mendingan cerita,” ujar Sandi, mengasihani rasa jengah yang dialami kedua temannya itu.


Salah satu keuntungan dari punya pacar yang satu angkatan, satu jurusan, lebih-lebih satu kelas, adalah ia bisa mengerjakan semua tugasnya dengan lebih sedikit tekanan karena ia bisa mengerjakannya dengan sang pacar. Saka bukanlah orang yang rapi atau terorganisir, maka memiliki Hanggara yang rapi dan teratur sebagai pacarnya adalah anugerah terindah yang pernah ia miliki. Terlebih, di masa-masa menyelesaikan skripsi seperti hari itu.

“Capeeek, Raaa …,” rengek Saka sambil menyurukkan kepalanya di atas textbook di sebelah laptopnya.

Hari itu, sama seperti hari-hari lainnya selama beberapa bulan ke belakang, Saka, Hanggara, dan beberapa teman sejurusan dan seangkatan mereka berkumpul di lantai sepuluh gedung perkuliahan mereka untuk menyelesaikan skripsi. Alasannya sederhana, agar mereka tidak terlena dengan ‘kebosanan’ saat mengerjakan skripsi sendiri, agar mereka memiliki teman diskusi, dan karena di lantai sepuluh ada perpustakaan mini khusus untuk jurusan mereka. Ada juga sekumpulan skripsi dari para alumni untuk mereka jadikan referensi.

Hanggara melihat jam tangannya saat mendengar rengekan Saka. Beberapa teman mereka terkekeh geli melihat betapa manjanya Saka kalau ada Hanggara (padahal kalau tidak ada Hanggara, Saka terkenal garang).

“Eh iya … udah hampir magrib, nih. Kita nggak akan pulang?” tanya Hanggara kepada yang lainnya yang ada di ruang kelas yang mereka pinjam.

“Oh iya. Anak Manajemen kelas malem bentar lagi masuk. Ini ruangan yang biasa mereka pake, ‘kan?” timbrung Roni. Menyetujui perkataan Roni, para mahasiswa yang ada di kelas itu, termasuk Hanggara dan Saka, segera membereskan barang-barang mereka.

“Ini siapa aja yang minjem skripsi ke perpus? Ayo dibalikin, jangan ditinggal di sini!” kata Kristi sambil membawa dua skripsi tebal di tangannya. Saka segera mendekati perempuan itu.

“Sini, gue aja yang bawa, Kris. Yang lainnya juga nanti sekalian gue yang balikin ke perpus.”

“Eh tapi itu banyak Ka skripsinya.”

“Nggak apa-apa, gue yang bakal bantuin Saka,” sahut Hanggara dari pojok kelas.

Well, if you insist.”

We insist.”

* * *
Dengan demikian, lima menit kemudian, Hanggara dan Saka berjalan beriringan menuju perpustakaan sambil masing-masing membawa lima skripsi di tangan mereka.

“Kayaknya baru kali ini ya kita di kampus sampe magrib gini?” Hanggara membuka pembicaraan.

Saka mengangguk. “Mana dari pagi pula nongkrongnya. Gimana skripsi kamu? Udah banyak kemajuan?”

“Mayan. Kayaknya nanti di rumah mau buka lagi bentar untuk baca-baca. Rasanya tadi pembahasannya masih ada yang kurang pas.”

“Jangan dipaksain, nanti otaknya ngebul terus kamu jadi botak.”

Hanggara tertawa saat mereka memasuki perpustakaan. “Eh? Kak Lisa udah pulang, gitu ya?” katanya saat melihat ruang perpustakaan kosong.

“Nggak mungkin, lah. ‘Kan pintunya belom dikunci. Itu tasnya juga masih ada.” Saka menanggapi sambil menunjuk tote bag di samping meja penjaga perpustakaan setelah ia meletakkan skripsi-skripsi yang dibawanya di meja.

“Oh iya ya, bener juga.” Hanggara pun meletakkan bawaannya di meja. “Sekalian kita beresin aja kali ya? Kasian kalo Kak Lisa harus beresin sendirian.”

Saka mengangguk sebagai jawaban.

* * *
Lima belas menit kemudian mereka keluar dari perpustakaan sambil tetap mendiskusikan skripsi masing-masing. Azan magrib pun sudah terdengar dari masjid di belakang kampus mereka.

Ting … ting … ting ….

Keduanya terdiam.

“Itu … suara mangkok yang dipukul pake sendok, bukan sih?” ucap Saka perlahan.

Hanggara mengangguk. “Tukang bakso?”

Kini giliran Saka yang mengangguk. “Kita … di lantai sepuluh, ‘kan ya?”

Sesaat keduanya terdiam, kemudian terburu-buru berlari menuju ruang kelas untuk mengambil barang-barang mereka dan bergegas pulang.

Karena … tidak mungkin ada tukang bakso yang suara denting mangkuknya terdengar sejauh sepuluh lantai ke atas, ‘kan?[]


©️aratnish’22

Bagian 05 dari “Ghost Story”

“Bener, sih. Garasi juga nggak kalah nyeremin dari kamar mandi,” celetuk Joshua ketika Rizqi sudah selesai bercerita.

“Lo punya pengalaman serem juga di garasi?” tanya Sandi.

Joshua mengangguk. “Di kandang kucing lebih tepatnya.”

“Oh? Kandang kucing lo yang di garasi itu?” Kenan memastikan.

“Iya.”

“Yang ngalamin kejadiannya itu lo, atau kucing-kucing lo?”

“Ya gue, lah!” Joshua menjawab pertanyaan Elang dengan sedikit kesal bercampur geli.

“Gimana ceritanya? Lo ngeliat? Atau denger? Atau ngerasain?” tanya Rizqi bertubi-tubi.

“Ngedenger doang sih, tapi sebelumnya ngerasain sesuatu juga.”

“Ceritaaa!” seru Henry penuh semangat.

“Gue pengen pulaaang,” rengek Saka. “Garaaa ... nanti temenin tiduuur.”

“Ogah.”


“Mau ke mana, Jo? Udah malem, lho.”

“Mau liat kucing.” Joshua menjawab pertanyaan ibunya sambil berjalan menuju pintu depan. Samar-samar ia mendengar suara tawa ibunya.

“Awas ada setan!” goda kakaknya, yang dijawab dengan dengusan Joshua (walaupun ia yakin kakaknya itu tidak bisa mendengarnya).

Jangan salahkan Joshua, ia memang sangat menyukai kucing dan saat ini ia sedang sangat bahagia karena pada akhirnya ia dapat memelihara makhluk-makhluk lucu itu di rumah. Sang ibu, satu-satunya orang di keluarga itu yang tidak menyukai kucing, akhirnya menyerah kepada pesona makhluk berbulu berkaki empat itu. Kini, mereka memelihara lima kucing di rumah, tiga di antaranya ada di kandang di garasi rumah mereka.

Joshua memasuki garasi rumah mereka dan menuju kandang kucing yang terpasang di sepanjang dinding di salah satu sisi garasi indoor itu.

“Halo Tango, Oreo, Milo,” sapa laki-laki itu kepada tiga kucing domestik yang berusia kurang dari satu tahun itu. Ketiga kucing itu bangkit dari posisi tiduran mereka dan berbondong-bondong mendekati Joshua.

Joshua tersenyum senang dan memasukkan jemari panjangnya ke sela-sela jeruji kandang untuk mengelus ketiga kucing itu secara bergantian. Ia tertawa saat kucing-kucing itu berebut untuk menggesekkan badan mereka ke tangannya.

“Gantian, dong … jangan rebutan,” kata Joshua geli melihat tingkah ketiganya.

Tiba-tiba, gerakan ketiga kucing itu terhenti dan mereka menatap Joshua dengan mata bulat mereka. Ralat, menatap satu titik di atas bahu kanan Joshua lebih tepatnya. Laki-laki itu menelengkan kepalanya sedikit dan melambaikan tangan kanannya ke arah pandangan ketiga kucing itu.

Ketiganya tetap bergeming, tidak satupun yang mengalihkan pandangannya kepada Joshua.

Joshua mulai sedikit panik. Sesuatu yang tidak menyenangkan mulai merayapi tulang punggungnya.

“Hei! Tango, Oreo, Milo!” panggil Joshua sambil tetap melambaikan tangannya.

Tetap tidak ada tanggapan. Bulu kuduk Joshua mulai meremang.

Ada yang nggak bener, nih.

Joshua ingin berbalik untuk melihat apa yang membuat ketiga kucingnya bergeming tidak menanggapinya, tapi sesuatu dalam hati kecilnya memerintahkannya untuk mengurungkan niatnya itu. Yang memperburuk keadaan, Joshua merasa tubuhnya kaku dan ia tidak dapat menggerakkan kakinya untuk beranjak dari tempatnya berdiri saat itu.

Ah anjir, nggak bener banget ini!

“Tanggo, Oreo, Milo.” Joshua tidak menyerah, ia kembali memanggil ketiga kucingnya, namun tetap mendapatkan respons yang sama, alias, tidak mendapatkan respons apapun.

Udara di sekeliling Joshua mulai terasa sangat mencekik dan ia benar-benar ingin lari dari tempat itu.

Tepat pada saat itu, Joshua merasakan keberadaan sebuah objek di belakangnya yang kemudian bersuara,

“Mas ….”

Suara seorang perempuan muda yang terdengar seperti sedang tersenyum. Tepat di telinga kanannya.

Kini Joshua benar-benar panik. Tidak mungkin ada orang yang memasuki garasi karena pintu depan garasi itu terkunci, yang berarti hanya ada satu kemungkinan … suara itu bukan milik makhluk kasat mata.

Memaksakan tubuhnya untuk bergerak, Joshua perlahan bergerak ke arah pintu masuk ke rumah di arah kirinya. Tubuhnya tampak tidak mengikuti keinginannya, karena kakinya terasa sangat berat untuk digerakkan dan dorongan untuk berbalik ke arah sumber suara sangat besar.

Joshua tidak mau kalah. Dengan tekad yang kuat dan sibuk berdoa di dalam hati, ia tetap maju selangkah demi selangkah sampai ia dapat meraih gagang pintu masuk rumah dengan tangannya.

Seakan ada beban yang diangkat dari tubuhnya, begitu ia membuka pintu rumah, ia dapat bergerak dengan bebas dan langkahnya menjadi lebih ringan. Joshua berlari ke arah ruang tengah.

“Ngapain lari-lari, dah?” tanya kakaknya bingung saat melihat Joshua terengah-engah di sebelahnya.

“Ada mbak-mbak manggil.”

Kakaknya berdecak kesal. “Kalo cuma mau pamer popularitas mending lo diem aja deh.”

“Di dalem garasi!”

“Ya maka—” Mata kakaknya terbelalak. “Bloody hell! Pintu garasi ‘kan udah dikunci!”

Joshua mengangguk-angguk seperti boneka rusak.

“Jangan lagi-lagi ke garasi malem-malem deh.”

Joshua kembali mengangguk dengan wajah masih pucat pasi.[]


©️aratnish’22

Bagian 04 dari “Ghost Story”

“Gue dari dulu selalu sirik kalo ada orang yang bisa ngeliat hal-hal halus kayak gitu.” Rizqi mengakui dengan suara pelan.

“Kenapa?” tanya Jodi penasaran.

“Ya ... kayak yang keren aja gitu, tau kalo di alam yang luas ini kita nggak sendirian, bahwa ada makhluk lain juga yang ikut tinggal di sini.

Mostly keluarga gue pada bisa ngeliat hal-hal kayak gitu, bisa ngerasain lah minimal. Mereka kalo ngobrol tuh kayak yang seru, and I'm a little bit felt ... left out?”

“Karena jadinya nggak diajak ngobrol?” tanya Narendra.

“Enggak juga, sih. Mereka selalu mengikutsertakan gue kalo ngobrol, tapi tetep aja rasanya beda. Mereka yang cerita berdasarkan pengalaman, sama gue yang cerita cuma berdasarkan nonton atau baca.”

“Tapi ... pada akhirnya lo ngalamin juga nggak? Kejadian mistis gitu?” tanya Hanggara.

Rizqi mengangguk. “Pernah. Sekali. Dan waktu itu bukan cuma gue aja yang ngeliat, tapi nyokap gue juga.”

“Oh ya?!” komentar semuanya terkejut. Termasuk Saka.

“Mhmm.”


Rizqi tidak ingat tepatnya sejak kapan, tapi sejauh ia bisa mengingat, ia sangat menyukai hal-hal yang berbau supranatural. Sebagian besar keluarga besarnya dari pihak ibu memiliki kemampuan indera keenam dan sering menceritakan pengalaman mistis mereka. Rizqi sedih, Rizqi cemburu karena ia tidak memiliki kemampuan itu dan tidak pernah diberi kesempatan untuk mengalami kejadian-kejadian supranatural.

“Tante K itu kayak gimana sih bentuknya?”

“Gimana lo tau kalo itu genderuwo, bukan setan yang lain?”

“Hah?! Seriusan jin itu ada bau khasnya?”

Gimana ya rasanya bisa liat makhluk halus? Pengen ih nyoba pengen liat sekali-sekali.

* * *
Kata orang, hati-hati dengan apa yang kamu inginkan, karena bisa saja itu dikabulkan padahal itu bukan yang paling kamu butuhkan. Tapi, karena sepertinya Rizqi sangat membutuhkan pengalaman mistis, maka pada suatu hari keinginannya itu terwujud.

Malam itu, Rizqi dan kedua orang tuanya sedang berada di dalam mobil yang membawa mereka pulang dari acara jalan-jalan Sabtu malam yang selalu mereka lakukan. Seperti biasa, Rizqi duduk di bangku belakang dengan posisi di tengah, karena ia suka melihat jalanan di depannya, bukan di sampingnya.

Mereka bertiga sedang seru mengobrol sementara sang Ayah membelokkan mobil memasuki garasi rumah mereka.

Rizqi tidak dapat mendengar perkataan apa yang dilontarkan oleh Ayah dan Ibunya saat mereka memasuki garasi.

Saat ia melihat satu sosok yang ada di teras rumah mereka.

Sosok wanita berambut panjang.

Sosok wanita bergaun putih panjang.

Sosok yang saat itu berbalik dan memasuki rumah mereka dengan perlahan.

Menembus pintu depan yang masih terkunci karena tidak ada orang di rumah mereka saat itu yang dapat membukakan pintu untuknya.

Tidak, Rizqi tidak takut. Getaran yang ia rasakan di kedua tangannya yang gemetar adalah rasa penasaran.

Atau itulah yang ingin ia percaya.

“Qi, tolong bukain pintu rumah, ya,” perintah ibunya sambil memberikan kunci rumah kepada putranya.

Rizqi hanya mengangguk kecil dan menerima kunci itu dari tangan ibunya. Yang Rizqi tidak sadari pada saat itu adalah ada getaran dalam suara ibunya.

Laki-laki itu dengan perlahan memasukkan kunci ke dalam lubang dan memutarnya. Dibukanya daun pintu yang sudah tidak terkunci, juga dengan perlahan. Rizqi tidak langsung memasuki rumahnya, alih-alih ia membuka lebar pintu itu sehingga ia bisa melihat ke sekeliling ruang tamu mereka.

Kosong.

Tidak ada siapa-siapa.

Terlebih, tidak ada wanita berambut panjang bergaun putih yang tadi dilihatnya.

“Nggak ada?” bisik sebuah suara di belakangnya, membuat Rizqi otomatis terlonjak di tempatnya berdiri.

“Nggak ada apanya?” balasnya kepada sang ibu yang bertanya kepadanya.

“Perempuannya.”

“Mama liat?” Sang ibu mengangguk.

Rizqi kembali melihat ke dalam rumah, kali ini ia maju selangkah memasuki ruang tamu. “Nggak ada siapa-siapa, Ma.”

Sang ibu mengikuti putranya memasuki rumah dan melihat berkeliling sebelum akhirnya mengangguk kecil.

“Anggap aja yang jaga rumah.”[]


©️aratnish’22