aratnish

~ I write the story I want to read ~

Bagian Penutup dari “Eternity”

Satu dekade sejak saat itu ….

“Kamu beneran bisa sendiri? Aku anter deh, ya?” tawar Chanhee pada pria di depannya.

“Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri, kok.”

“Bener?” tanya Chanhee sangsi.

“Iyaaa … bener. Nggak akan tiba-tiba pingsan juga.”

“Kata yang tiba-tiba ambruk waktu lagi jalan-jalan di mall,” sindir Chanhee dengan ekspresi menuduh. Pria di depannya tertawa rikuh.

“Iya, maaf … enggak lagi.” Chanhee menghela napas kesal. Pria di depannya ini memang sering menjadi keras kepala di waktu yang tidak tepat. “Tapi sekarang janji nggak bakal kenapa-napa, Kak.”

Chanhee berdecak. “Aku udah ngasih tau Bang Hyunjae kalo kamu mau ke sana. Kalo dalam waktu satu jam aku nggak dapet kabar dari dia kamu udah sampe sana, aku susulin kamu.”

“Iya Kak, boleh.” Pria di depannya tertawa geli atas sikap protektif Chanhee.

“Ya udah sana pergi, keburu malem nanti.”

“Iya. Aku pergi dulu, ya.”

“Hati-hati!”

“Lho? Haknyeon pergi sendiri ke OW?” tanya Changmin saat Chanhee menutup pintu depan rumah itu.

“Iya.”

“Kalo dia dapet vision lagi, gimana? Kalo pingsan di tengah jalan lagi kayak waktu itu, gimana?” cecar Changmin.

“Kamu tau sendiri anaknya keras kepalanya kayak gimana.”

“Tapi kamu udah kasih tau Bang Hyunjae kalo dia mau ke sana, 'kan? Udah titip ke dia kalo Haknyeon udah sampe, harus ngabarin kamu, ‘kan?”

“Udaaah Changmiiin … bawel, ih!”

“Aku heran kenapa Haknyeon kadang masih bisa inget kejadian sepuluh taun yang lalu. Padahal kata Moonie, seharusnya ingatan Haknyeon tentang kaum atua hilang semuanya.”

Chanhee mengedikkan bahunya. “Mungkin fakta bahwa dia inkarnasi dan pernah kontak sama sperma Sunwoo berpengaruh juga.”

“Sunwoo, ya ….” Changmin berhenti sejenak. “Aku—”

Chanhee menepuk bahu Changmin sebelum pria itu bisa melanjutkan apapun. “Udah, ngelamunnya nanti aja dulu, sekarang kita beresin persiapan pestanya, keburu tamunya pada dateng.”

“Iyaaa …. Bawel. Untung sayang,” bisik Changmin.

I hear that, Ji Changmin!” seru Chanhee yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya.


Haknyeon berjalan perlahan menuju Other World. Udara petang itu tidak begitu dingin ataupun berangin, tidak pula begitu panas. Pas. Sejuk. Ia pernah mendengar dari Chanhee dan Changmin, bahwa Sunwoo juga selalu menikmati perjalanan menuju ke tempat kerjanya setiap hari.

Kala itu.

Satu dekade yang lalu.

Haknyeon menghela napas panjang.

Langkahnya perlahan berhenti saat ia sampai di seberang sebuah coffee shop. Sepuluh tahun yang lalu, coffee shop itu adalah Arani, patisserie kebanggaan dan kesayangannya. Tidak lama setelah menjalankan ritual sepuluh tahun yang lalu, Haknyeon memutuskan untuk menutup Arani dan pindah ke kota sebelah. Ia tidak sanggup bersinggungan dengan kenangan-kenangan yang ada di kota itu setiap harinya. Well, walaupun di tempat tinggalnya yang baru ia juga membuka patisserie dengan nama Arani, sih.

Senyum kecil terbit di bibir Haknyeon saat mengingat pertemuan pertamanya dengan Sunwoo. Bagaimana Sunwoo membantunya memunguti jeruk pagi itu. Bagaimana ia membantu Sunwoo yang mengalami PTSD—yang ia kira hanya penyakit lambung biasa—malam harinya. Bagaimana mereka menjadi cepat dekat satu sama lain. Bagaimana—

Haknyeon menggelengkan kepala untuk mengusir potongan-potongan kejadian yang mulai memenuhi benaknya. Melihat arlojinya, pria itu memutuskan untuk bergegas, tidak mau kalau Hyunjae mengadukannya kepada Chanhee dan membuat pria yang lebih tua itu mengerahkan tim SAR untuk mencarinya. Karena … masih ada satu tempat lagi yang ingin ia kunjungi.

“Oi! Akhirnya dateng juga! Kok lama amat, Nyeon? Aku hampir aja ngasih tau Chanhee kalo kamu belom dateng sampe jam segini,” sambut Hyunjae saat ia mendekati area bar.

Di balik meja bar itu berdiri seorang bartender muda. Bukan Hyunjun, karena Hyunjun sudah pindah bersama dengan istrinya ke kota lain. Dan yang pasti … bukan Sunwoo. Haknyeon lagi-lagi menghela napas pelan dengan sembunyi-sembunyi.

“Ah alasan. Palingan kamu cuma mau modus aja biar bisa chatting sama Kak Chanhee,” balas Haknyeon sambil menerima sebuah tas berisi dua botol champagne pesanan Chanhee yang disodorkan oleh Hyunjae. Yang disindir hanya tertawa kecil.

“Namanya juga usaha.”

“Nggak akan berhasil. Kak Chanhee udah sehidup semati sama Kak Changmin.”

Itu benar. Semenjak mereka mereka praktis hanya tinggal berdua di rumah itu, keduanya menjadi sangat dekat dan saling mengisi lubang yang ditinggalkan oleh Sunwoo. Entah sejak kapan hubungan persaudaraan itu berubah menjadi hubungan romantis, tapi Haknyeon senang karena kedua keluarga atua Sunwoo itu tidak lagi merasa kesepian.

“Hhh … nasib,” keluh Hyunjae main-main, membuat Haknyeon tertawa. Ia tahu bahwa Hyunjae tidak serius mendekati Chanhee—bos Other World kini—ia hanya senang menggoda Chanhee. Sama seperti ia menggoda Sunwoo dulu, meskipun kehadiran Sunwoo di ingatan Hyunjae kini sudah tidak ada. Perlahan ia mengernyitkan dahi.

Hari ini keinget yang dulu-dulu terus, deh. Apa karena hari ini hari ulang taunnya Sunu, ya?

“Ya udah, aku duluan ya, Bang … daripada nanti makin dicariin sama Kak Chanhee. Kak Chanhee kalo ngomel bisa nggak beres-beres sampe taun baru.” Hyunjae tertawa.

“Iya. Hati-hati di jalan, kamu. Jangan tiba-tiba pingsan.”

“Iyaaa.”

Ada kalanya Haknyeon merasa kesal karena Chanhee mengumbar kondisinya yang terkadang tiba-tiba pingsan, tapi Haknyeon tahu bahwa itu dilakukan Chanhee hanya karena ia khawatir dengan kondisi Haknyeon. Apalagi jika Haknyeon harus bepergian seorang diri tanpa ada yang menemani.

Dan ... kini Haknyeon berdiri di depan bangunan itu. Masih bangunan apartemen yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu, hanya catnya yang sedikit berubah. Bangunan apartemen yang dulu bercat putih gading, kini berwarna abu-abu muda.

Jadi lebih keren, sih.

Haknyeon mengarahkan pandangannya ke salah satu jendela di lantai tiga. Unit apartemennya dulu.

Unit apartemen mereka dulu.

Unit yang menjadi saksi bisu keseharian dan hari terakhir Haknyeon dan Sunwoo … sang atua.

Napas Haknyeon mulai memburu saat ia lagi-lagi mengingat hari terakhir itu. Bagaimana rasanya Sunwoo berada dalam dirinya, berat hoari di tangannya, bagaimana rasanya saat ia menusuk Sunwoo dengan hoari di tangannya, bagaimana—

Oke. Stop sampai di situ, Hakkie. You will not remember that day now.

Haknyeon memblokir ingatan itu. Memvisualisasikan dalam benaknya bahwa ia mengumpulkan kenangan hari terakhir itu, memasukkannya ke dalam sebuah kotak imajiner, menutupnya, menguncinya, dan membuang kuncinya jauh-jauh. Memejamkan mata, Haknyeon berusaha mengatur kembali napasnya.

Dering telepon genggam mengembalikan Haknyeon ke masa kini.

“Halo?”

“Kamu di mana?”

“Lagi di jalan pulang.”

“Kok lama?! Kamu nggak kenapa-kenapa, ‘kan?” Haknyeon tertawa mendengar nada menuntut namun penuh kekhawatiran itu.

“Enggak, aku baik-baik aja, kok. Sebentar lagi sampe.”

“Ya udah, hati-hati.”

“Siap, jendral!”

Sambil tersenyum, Haknyeon memutuskan sambungan telepon dan memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celananya.

Selamat tinggal, masa lalu.

Menatap bekas jendela unitnya sekali lagi, Haknyeon berbalik dan melangkah pergi menuju kediaman Chanhee dan Changmin.


“Papi ke mana, sih?! Kok pergi nggak bilang-bilang?!” protes anak perempuan berusia tujuh tahun yang berkacak pinggang saat ia baru saja memasuki rumah itu.

“Iya! Papi ke mana, sih?!” Si pria kecil berusia lima tahun mengikuti gerakan kakak perempuannya.

Haknyeon tertawa. “Papi ke kantornya Uncle Chanhee barusan, ngambil barang pesenan Uncle.”

“Kok nggak bilang-bilang, sih? ‘Kan Misun mau ikut juga!”

“Daehyun juga!” Lagi-lagi si bungsu mengikuti kakaknya.

“Ayah juga mau ikut padahal.” Suara rendah pria dewasa bergabung dengan mereka di ruang kecil di pintu depan itu. Haknyeon tersenyum melihat keluarga kecilnya.

“Kalian itu kalo ikut, bukannya ngebantuin, tapi malah ngerepotin. Papi jadi kayak punya tiga anak kalo kalian semua ikut.”

“Padahal kita mau bantu beneran, ya?” Si pria dewasa mencari dukungan dari dua anak kecil di kiri dan kanannya.

“Iyaaa,” jawab kedua bocah itu bersamaan.

“Ayah, kamu nggak usah aneh-aneh, deh,” gelak Haknyeon. Tawanya menular pada Sunwoo—pria itu—yang kemudian maju mendekati Haknyeon dan mengecup bibirnya.

“Euuuw … get a room, please!” protes si sulung sambil mengintip di balik jemari yang menutupi mukanya.

“Euuuw … iya, getget … gimana Kak ngomongnya?” Kali ini si bungsu gagal mengikuti kakaknya.

“Heh! Kalian nggak usah berbuat asusila di depan anak kecil, ya! Misun! Kamu tau dari mana istilah get a room?!” Moonie—yang baru keluar dari ruang keluarga—memperingatkan kedua sejoli itu, sekaligus memarahi keponakan perempuannya.

“Iya nih Uncle Kevin … di rumah juga gitu terus!”

“Iya, Uncle … gitu terus!”

Moonie—yang kini menggunakan nama Kevin di depan para manusia—memutar bola matanya dengan geli. “Kalian nggak berubah ya dari dulu. Sukanya ciuman di muka umum. Glad to know that some things didn’t change,” gumamnya saat mengingat hari pertemuan mereka saat membahas ritual pengembalian.

“Ini semuanya mau pada di depan pintu aja? Nggak mau masuk dan mulai bakar-bakar? Yang lain udah pada ngambil makanan, lho. Nanti bisa-bisa kalian cuma kebagian sayuran aja.” panggil Angello—yang dikenal sebagai Jacob—dari arah halaman belakang, tempat kegiatan barbeque dalam rangka merayakan hari ulang tahun Sunwoo diadakan.

“Maaauuu!” teriak Misun sambil berlari ke arah Uncle Jacob, sudah tentu diikuti oleh si kecil Daehyun. Angello tertawa kecil saat berpapasan dengan kedua bocah itu.

“Mereka tuh nggak ada habisnya ya energinya.”

“Iya. Persis kayak Sunwoo waktu kecil,” timpal Moonie.

“Kak Kevin nggak usah buka rahasia, deh. Udah setua ini tetep aja malu tau kalo dibongkar aibnya,” protes Sunwoo walaupun dengan nada geli.

“Udah sana ke halaman belakang, jagain tuh anak-anak kalian, kasian Misun sama Daehyun dari tadi nyariin Haknyeon.” Dengan saling merangkul pinggang masing-masing, Haknyeon—yang menyandarkan kepala ke bahu suaminya—dan Sunwoo mengikuti perintah Moonie untuk pergi ke halaman belakang.

See? I was right, right? Yang dulu itu bukan perpisahan. Kamu masih tetep bisa ketemu dan ngobrol sama Sunwoo, ‘kan?” ujar Angello saat memperhatikan kedua insan itu berjalan pergi. Moonie menggeleng kecil.

“Aku masih nggak percaya, bisa-bisanya aku nggak kepikiran cara ini.” Angello tertawa.

“Karena kamu terlalu deket sama sumber masalah, jadi nggak bisa ngeliat secara obyektif.”

Should I saythank youagain?”

You always did with your moan, my Moon.”

“ANGELLOOO!!!”

Ya, berkat Angello, Sunwoo masih tetap dapat berinteraksi dengan Moonie dan yang lainnya setelah ritual itu berhasil. Sunwoo kini dikenal sebagai adik angkat dari Moonie, karena orangtuanya sudah meninggal karena kecelakaan pesawat waktu ia masih balita. Chanhee dan Changmin adalah ‘Kakak Tetangga’ yang tinggal di sebelah rumah sedari mereka kecil, sehingga Sunwoo dan keduanya memiliki hubungan yang sangat akrab. Angello, Younghoon dan Sangyeon dikenal Sunwoo sebagai teman-teman kampus Moonie. Walaupun, Angello dikenal juga sebagai suami Moonie oleh Sunwoo. Memang tidak sama seperti interaksi mereka sebelumnya, namun Moonie sangat berterima kasih kepada Angello karena telah membantunya melihat jalan keluar itu.


“Kok kamu tadi pergi nggak bilang-bilang dulu sama aku, sih?” tanya Sunwoo sambil memeluk suaminya dari belakang pada saat mereka tidur di kamar untuk tamu—kamarnya dahulu, walaupun ia tidak ingat—malam itu.

“Kamu lagi asik main bola sama Misun dan Daehyun. Kasian, mereka kangen banget karena kamu tinggal lumayan lama, aku jadi nggak tega ngeganggu kalian.”

Pekerjaan Sunwoo sebagai pelatih klub sepak bola ternama mengharuskannya untuk sering bepergian pada musim pertandingan. Namun demikian, musim ini adalah musim terakhirnya sebagai pelatih klub sepak bola tersebut, karena ia akan berhenti dan beralih profesi menjadi pelatih sepak bola anak-anak, agar ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga kecilnya.

“Jadi kamu nggak kangen sama aku? Kamu kok tega banget sih, Kim Haknyeon?” rajuk Sunwoo sambil mengusap-usap tengkuk Haknyeon dengan ujung hidungnya. Haknyeon tertawa.

“Ya kangen, Nu … tapi aku lebih bisa ngontrol kangen aku. Misun sama Daehyun ‘kan nggak bisa—belom bisa—kayak gitu.”

“Lain kali ajak aku juga, ya … Misun sama Daehyun juga pasti mau pergi bareng-bareng. Aku nggak mau kamu pergi sendirian, nanti kalo vertigo kamu kumat di tengah jalan, terus pingsan in the middle of nowhere, gimana? Nggak ada aku yang bisa nolongin kamu,” kata Sunwoo khawatir.

Haknyeon terdiam. Sunwoo tidak tahu bahwa kilasan masa lalu merekalah, bukan vertigo, yang membuatnya sering merasa pusing sampai pingsan. Haknyeon sudah mengkonsultasikan masalahnya dengan Moonie dan beberapa kali anahera itu sudah berusaha memodifikasi ingatannya.

Tidak ada yang berhasil.

Setelah modifikasi ke sekian, Moonie tidak mau lagi melakukannya karena ia takut hal itu akan semakin memengaruhi kesehatan Haknyeon. Akhirnya, secara berkala Moonie mengirimkan sari bunga kehidupan yang hanya tumbuh di Araf untuk Haknyeon minum dengan tujuan untuk menetralisir efek samping dari penglihatan-penglihatan masa lalu yang diterimanya.

Baby ….” Suara Sunwoo menyadarkan Haknyeon dari lamunannya.

“Hm?”

“Janji ya … lain kali nggak akan pergi sendiri kalo ada aku yang bisa nemenin kamu?”

“Iya, Ayah … aku janji.” Ada senyum dalam suara Haknyeon. Pria itu berbalik dalam pelukan Sunwoo dan melihat bahwa suaminya itu sudah mulai memejamkan mata.

“Nu?”

“Hm?” Kelopak mata itu terbuka dan Haknyeon dapat melihat mata indah Sunwoo yang tidak pernah bosan ia kagumi.

I love you,” bisik Haknyeon dengan suara yang sarat emosi, teringat bahwa itulah kata-kata terakhir dari atua Sunwoo yang dengan jelas ditujukan padanya di malam ritual. Sunwoo tersenyum sayang dan mengecup dahi suami tercintanya.

I love you more, baby.”

Till death do us part?”

Till death do us part,” tegas Sunwoo. “And even if that’s the case, I’ll find you again in our next life and in the life after that, and in every life after that.”[]


©️aratnish'22

Bagian 40 dari “Eternity”

“Bang, gue udah ngobrol sama Haknyeon.” Sunwoo mengirimkan telepati kepada Moonie siang harinya.

Hari itu adalah hari kerjanya di Other World, maka dari itu ia tidak membantu Haknyeon di Arani. Lagipula, karena hari itu adalah hari Sabtu, Sunwoo berniat untuk datang ke rumahnya dan memberitahukan perihal keinginannya kepada Chanhee dan Changmin. Haknyeon sebenarnya ingin ikut, namun Sunwoo mengatakan bahwa ia ingin melakukannya sendiri terlebih dulu. Bagaimanapun, mereka sudah menjalani ratusan tahun bersama dan tentunya emosi yang akan muncul pun akan beragam. Sunwoo tidak ingin kedua keluarga atuanya itu menahan diri atau menjadi canggung karena kehadiran Haknyeon.

“Oh? Terus?”

“Gue sama Haknyeon sepakat untuk ngejalanin ritual itu.” Moonie tidak menjawab. “Bang?” panggil Sunwoo perlahan.

“Hm?”

“Boleh 'kan gue balik lagi jadi manusia?” tanya Sunwoo hati-hati.

Moonie tertawa sumbang. Kalau boleh jujur, ia tidak ingin Sunwoo kembali menjadi manusia. Moonie ingin terus bersama dengan atua itu selamanya. Karena … kembali menjadi manusia, mengharuskan Moonie untuk menghapus semua ingatan Sunwoo tentang keberadaan atua dan yang lainnya. Yang berarti, Sunwoo juga akan melupakan Moonie. Moonie tidak siap untuk dilupakan oleh atua kesayangannya ini.

“Ini hidup lo, Sun. Lo bebas mau bikin hidup lo jadi kayak gimana.”

“Tapi ... lo yang ngasih kehidupan kedua ini ke gue, Bang.”

Moonie terhenyak di kursi kerjanya di Araf. Dalam hati, ia menggerutu. Sial! Harus banget ya anak ini jadi mellow kayak gini?!

“Nggak mengubah fakta bahwa hidup itu udah jadi milik lo sekarang.”

Sunwoo tidak menjawab untuk sesaat.

“Kalo ini berhasil—enggak, ini pasti berhasil, harus berhasil—gue … jadi gimana?”

“Ya jadi manusia, lah! Emangnya lo pikir jadi apa? Jadi kodok? Terus nanti Haknyeon harus nyium lo biar berubah jadi pangeran?” goda Moonie.

“Maksud gue … tentang lo, tentang Kak Chanhee dan Kak Changmin … tentang yang lainnya. Gue … apa gue masih inget?” tanya Sunwoo pelan. Moonie memejamkan matanya.

“Enggak, Sun. Gue harus hapus semua.”

“Nggak ada dispensasi buat gue?” Penuh harap, Sunwoo bertanya.

“Gue udah terlalu sering ngelanggar aturan, Sunwoo … tega lo sama gue?” Sunwoo tertawa kering.

“Iya Bang … maaf.”

“Chanhee sama Changmin udah tau?”

“Hari ini gue mau ngasih tau mereka.”

“Good luck.”

“Thank you, Bang.”


Oh, why you look so sad? Tears are in your eyes. Come on and come to me now. Don't be ashamed to cry. Let me see you through, 'cause I've seen the dark side too.”

Di tengah rasa muramnya, mau tidak mau Moonie tersenyum mendengar kata-kata Angello yang disenandungkan itu.

“Lagi latihan mau konser, Ange?”

“Iya, buat ngehibur kamu.” Angello duduk di hadapan Moonie. “Kusut banget? Ada apa lagi? Ada atua yang mau jadi manusia lagi?” Moonie menggeleng.

“Sunwoo barusan ngasih tau kalo dia dan Haknyeon sepakat mau ngejalanin ritualnya.”

“Terus? Kamu takut kalo gagal?”

“Satu; itu … soalnya ini 'kan baru kejadian pertama kalinya. Aku bukannya nggak percaya sama mereka atau sama Haknyeon, tapi ya … nggak tau deh, nggak tenang aja rasanya. Dua; aku ….”

“Kamu kenapa?” tanya Angello saat Moonie berhenti berbicara.

“Aku … aku kayaknya belom siap untuk pisah sama Sunwoo. Dia udah kayak adikku sendiri.”

“Ini bukan perpisahan, 'kan? Kamu 'kan masih bisa tetep ketemu dia, masih bisa ngobrol sama dia.”

“Aku harus menghapus semua ingatannya tentang kita, Ange.”

Well, tetep aja, kamu masih bisa ketemu dia.” Angello berkeras dengan ekspresi yang tidak bisa Moonie baca.

“Angello! Kamu denger nggak sih omonganku? Aku harus menghapus semua ingatan dia!” Moonie memicingkan matanya saat melihat Angello hanya tersenyum penuh arti.

“Kamu nyuruh aku untuk melanggar aturan lagi? Enggak, Ange … di saat terakhir gini, aku mau ngasih yang terbaik untuk Sunwoo.” Angello hanya diam sambil mengangkat bahunya.

“Duh. Gini kali ya perasaan orang tua yang ngelepas anak gadisnya untuk nikah?” keluh Moonie sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.


“Eeeeh … pengantin baru dateeeng!” sambut Changmin sambil memukul-mukul bahu Sunwoo yang berjalan melewatinya memasuki rumah.

“Adudududuh … pengantin baru apaan, sih? Udah, Kak! Sakit ini!” protes Sunwoo sambil berusaha menjauhkan diri dari jangkauan tangan Changmin.

“Min, kalo kangen tuh bilang, jangan dipukul-pukul anaknya.” Chanhee memperingatkan dari arah basement.

“Ya abisan ini anak setelah pindah ke tempatnya Haknyeon, jadi jarang banget dateng ke sini. Dateng juga cuma buat ngambil baju sama bahan-bahan buat bikin serum,” protes Changmin sambil mengikuti Sunwoo ke arah ruang keluarga.

“Haknyeon mana, Sun? Kok nggak ikut?” tanya Chanhee yang bergabung ke ruang keluarga.

“Hakkie kerja … dan lagi … mm ….”

“Apa?”

“Ada yang mau gue omongin ke kalian,” ucap Sunwoo serius.

“Oh?”

“Lo mau minta restu karena mau nikah sama Haknyeon? Gue restuin!” celetuk Changmin girang.

“Gue mau balik lagi jadi manusia.”

Keheningan terasa mencekam di ruangan itu.

“Nggak lucu, Sun.” Chanhee memecah keheningan.

“Gue nggak lagi becanda, Kak.”

“Emang bisa?”

Sunwoo mengangguk dan menceritakan pertemuan antara dirinya, Haknyeon, Moonie, Angello, dan Honey untuk menjawab pertanyaan Changmin.

“NGGAK! GUE NGGAK SETUJU!” seru Chanhee saat Sunwoo menyelesaikan penjabarannya.

“Gue nggak minta persetujuan, Kak. Gue ngasih pengumuman.”

“Risikonya gede banget, Sun. Gue juga sama kayak Chanhee. Gue nggak setuju. Kalo gagal, gimana? Lo bakal jadi kehua! Jadi kehua itu lebih buruk dari kematian! Lo hidup, tapi di saat bersamaan lo juga mati.”

“Jangan cuma gara-gara lo ketemu Haknyeon yang notabene inkarnasinya Haeseong lo jadi gegabah mutusin untuk balik lagi jadi manusia!” tegur Chanhee dengan berapi-api. “Yang lo pertaruhkan di sini besar banget! Dan lagi … apa lo bilang? Kalo berhasil, lo nggak akan inget sama kita semua?! Bullshit, anjir!”

“Kak ... dari awal, alasan gue jadi atua itu bukan untuk bales dendam ke yang udah ngejahatin gue, atau untuk ngerasain hal-hal yang belom pernah gue rasain waktu gue hidup. Alasan gue jadi atua … gue nggak mau pisah sama Haeseong, walaupun waktu itu Haeseong cuma nganggap gue sahabat aja.”

Chanhee dan Changmin terdiam. Beratus tahun mereka hidup bersama, mereka baru menyadari bahwa Sunwoo tidak pernah memberitahukan alasan ia menjadi atua. Dalam hati, mereka memaki diri sendiri karena mereka tidak berinisiatif untuk menanyakan hal itu kepada Sunwoo, padahal mereka tahu bahwa lelaki itu tidak seterbuka mereka dalam bersosialisasi.

“Kak Chanhee … Kak Changmin … gue juga nggak mau pisah sama kalian, nggak mau ngelupain ratusan taun kita tinggal bareng, tapi … tapi gue perlu bersama Hakkie, gue butuh bersama Hakkie.”

“Lo curang, ah! Kenapa jadi sentimentil gini, sih?!” Chanhee terlihat sekali sedang menahan air matanya menetes.

“Gue tau kalo pertanyaan gue bakal terkesan nggak sensitif, tapi … kalo lo balik lagi jadi manusia biasa, gue sama Chanhee gimana? Maksud gue … barrier dan yang lainnya? Kalo ada rapunga, gimana? Selama ini ‘kan lo yang ngurusin semuanya—well, salah gue sama Chanhee juga nggak berusaha belajar dari lo.”

“Gue yakin Bang Moonie bakal ngatur semuanya. Entah dia sendiri yang in-charge di sini, atau mungkin ada atua lain yang ngegantiin gue—”

“NGGAK! NGGAK MAU!” teriak Chanhee memotong kata-kata Sunwoo. “Nggak ada yang bisa ngegantiin lo, Sunwoo! Gue nggak mau ada orang lain di rumah ini. Lagipula … ini rumah lo. Kalo lo lupa sama kita semua … rumah ini gimana?”

“Bukan rumah gue aja, tapi rumah kita bareng-bareng. Kalo gue nggak ada, ada kalian berdua yang ngerawat rumah ini.”

“Sunwoo ngeseliiin!!!” Chanhee merengek sambil berlari menuju kamarnya.

Changmin menatap Sunwoo dengan intens.

“Keputusan lo udah bulat.” Itu adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan.

Sunwoo mengangguk. “Gue nggak pernah merasa sehidup ini sebelom gue ketemu Hakkie.”

Changmin menghela napas berat. “Gue sama Chanhee nggak bisa apa-apa, ‘kan?”

“Maaf, Kak ….”

“Nggak perlu minta maaf. Ini hidup lo, lo yang ngejalanin. Walaupun jujur, gue amat menyayangkan dan nggak seratus persen yakin sama keputusan ini, tapi … biar gimana juga ini keputusan yang lo ambil untuk hidup lo, jadi … gue nggak punya hak apa-apa juga.”

Sunwoo menunduk, berusaha menyembunyikan tetesan air mata yang hampir lolos dari netranya.

“Nggak usah nangis. Ini bukan perpisahan. Selama lo jadi manusia dan masih tinggal di daerah ini, pasti ada kesempatan buat kita ketemu lagi.”

“Tapi gue nggak akan inget sama kalian,” bisik Sunwoo dengan suara serak.

“Tapi kita masih inget sama lo. Kita bisa bikin hubungan yang lain. Like, mungkin gue sama Chanhee bisa tiba-tiba dateng ke Other World sepulang kerja, kita bisa ngobrol-ngobrol dan tiba-tiba jadi temenan. Atau, gue sama Chanhee bisa jadi pelanggan tetap di Arani dan temenan sama lo dan Haknyeon. Atau kita nggak sengaja ketemu di jalan, gue nabrak lo karena buru-buru mau ke kantor, gue numpahin kopi yang lagi lo bawa, terus janji mau ngegantiin kopi lo sepulang kerja. Masih banyak jalan selama kita emang mau ketemu lagi, Sun.”

“Rasanya pasti nggak akan sama.”

“Pastinya, tapi ini keputusan lo, demi kebahagiaan lo dan Haknyeon. Walaupun Chanhee lagi tantrum gitu, tapi gue yakin perasaannya sama ‘ma gue … kita cuma pengen lo bahagia.”

Kini Sunwoo tidak malu lagi untuk mengeluarkan tangisnya. Sambil menunduk, ia terisak di tempatnya duduk. Changmin mendekati lelaki itu, duduk di sebelahnya, dan melingkarkan lengan di bahunya.

“Kim Sunwoo … ini waktunya untuk mengejar kebahagiaan lo.”

Sunwoo merasakan seseorang memeluknya dari belakang beberapa detik setelah Changmin berhenti berbicara. Chanhee.

Be happy, Sunwoo.”


©️aratnish'22

Bagian 39 dari “Eternity”

“Sayang … udah malem. Keluar dulu, yuk. Kamu belom makan dari pagi. Tadi siang juga cuma makan buah aja,” bujuk Sunwoo saat waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam dan Haknyeon belum keluar kamar sejak pukul tiga sore. Awalnya, Sunwoo hanya berniat memberikan waktu bagi Haknyeon untuk berpikir dan menenangkan diri, namun karena semakin malam Haknyeon tidak beranjak dari kamar tidur, ia pun menjadi khawatir. Masalahnya, Haknyeon mengunci pintu kamar mereka.

“Hakkie, kamu tidur? Bangun dulu, yuk. Nggak baik kalo perutnya kosong kelamaan, nanti kamu sakit.”

“Nggak mau.” Sunwoo samar-samar mendengar suara penolakan Haknyeon dari dalam kamar.

“Harus mau, baby … kalo enggak, nanti kamu bisa sakit. Tenang aja, aku delivery makanan kok, nggak masak sendiri. Kalo masak sendiri sih iya, mending kamu nggak makan daripada malah makin parah.” Sunwoo berusaha bercanda. Ia diam dan mendengarkan. Perlahan terdengar suara orang bergerak di dalam. Lelaki itu perlahan menghela napas lega saat pintu di hadapannya membuka, namun segera ekspresinya menjadi khawatir saat melihat kondisi Haknyeon.

Mata bengkak dan merah, ujung hidung memerah, rambut berantakan, dan bekas air mata di kedua pipi. Sudah dapat dipastikan bahwa Haknyeon tidak berhenti menangis sejak ia masuk ke kamar.

“Cuci muka dulu, yuk. Terus kita makan, aku juga udah laper, tapi nggak enak makan sendirian,” bujuk Sunwoo lembut.

“Aku nggak mau, Sunu …,” bisik Haknyeon.

“Nanti kamu sakit, Hakkie. Kalo kamu sakit, siapa yang mau bikin cake untuk Arani? Nggak mungkin aku, ‘kan? Nanti pada sakit perut semua.”

“Bukan itu!”

“Terus?” Sunwoo pura-pura tidak mengerti.

“Aku nggak mau terlibat di ritual ngebalikin kamu jadi manusia lagi … aku … aku nggak sanggup,” lirihnya. Sunwoo tersenyum sayang.

“Iya, baby … nggak apa-apa.”

“Jadi kamu bakal having sex sama orang lain?” tanya Haknyeon sedih, yang disambut dengan tawa geli dari Sunwoo.

“Ya enggak lah, sayang. 'Kan percuma kalo nggak sama kamu, cinta sejati aku. Udah, nggak perlu dipikirin. Yuk aku bantu cuci muka, terus kita makan, terus istirahat. Hari ini bikin capek banget, 'kan?”

“Tapi kamu pengen jadi manusia,” desak Haknyeon sambil membiarkan dirinya digiring oleh Sunwoo ke arah kamar mandi.

“Ralat. Aku pengennya bareng-bareng sama kamu. Kalaupun nggak sebagai manusia juga nggak apa-apa, selama kamu nggak masalah kalo aku tetep jadi atua.”

“Tapi—”

“Ssh … sayang, udah. Kita nggak usah ngobrolin itu dulu, ya? Yang penting sekarang kita makan dulu, lalu istirahat. Aku nggak mau kamu sakit. Ya?”

“Maaf, Sunu … aku ngerepotin kamu. Aku juga ninggalin Moonie gitu aja, nggak sopan banget,” keluh Haknyeon saat mereka sudah duduk di ruang makan.

“Enggak, Hakkie … kamu nggak ngerepotin apa-apa atau siapa-siapa. Moonie juga udah biasa kok datang dan pergi tanpa disambut dan dianterin sama tuan rumah.” Haknyeon tertawa hambar.

“Soal yang tadi—”

“Ju Haknyeon … aku beneran marah loh lama-lama. Malem ini, kita lupain dulu semuanya, ya? Nanti kalo kamu udah siap untuk ngobrol, ayo kita obrolin. Tapi kalo kamu nggak mau bahas topik ini lagi, nggak apa-apa, nggak akan ada yang berubah, aku bakal selalu ada buat kamu sampe kapanpun. Rest assured.”

Haknyeon menunduk sambil memainkan pasta di piringnya.

“Dimakan, dong … jangan dimainin aja, kasian nanti pastanya nangis.”

“Udah kenyang.” Haknyeon menyodorkan piringnya ke arah Sunwoo.

“Nggak. Kamu harus makan. Kamu baru makan dua suap. Minimal makan setengahnya dulu.”

“Nggak nafsu makan.”

“Mau aku suapin?” tawar Sunwoo.

“Mau.”


“Hakkie … tidur …,” perintah Sunwoo dengan mengantuk saat ia merasakan Haknyeon terus bergerak-gerak gelisah di sebelahnya.

“Nggak bisa tidur. Masih kepikiran yang tadi siang.”

“Kamu nih, yaaa ….” Sunwoo memarahi dengan lembut sambil menggigit-gigit kecil pipi Haknyeon dengan bibirnya. Saat Haknyeon terkekeh kecil sambil berusaha menjauhkan diri, Sunwoo melihat jam yang ada di atas nakas.

Pukul dua dini hari. Sunwoo menghela napas dengan sembunyi-sembunyi. Tidak akan ada tidur nyenyak malam ini. Dinyalakannya lampu tidur di dinding sebelah ranjang.

“Ya udah … kepikiran apa?”

“Ritualnya. Aku pengen bantu kamu biar jadi manusia lagi, biar kita bisa sama-sama terus dengan normal, dengan manusiawi. Tapi … kalo aku gagal, gimana? Gimana kalo yang dibilang Bang Honey itu keliru? Bahwa aku bukan cinta sejati kamu, bahwa kita nggak dihubungin sama benang merah takdir? Gimana—”

Sunwoo menghentikan celotehan Haknyeon dengan sebuah lumatan di bibir.

“Kamu nih apa-apa langsung main cium aja. Ini tuh lagi mode serius akunya!” gerutu Haknyeon walaupun sambil bergelung semakin dekat ke arah Sunwoo.

“Ini juga aku lagi serius. Serius bikin kamu bahagia, serius pengen bikin kamu ngelupain yang bikin pusing dan takut.”

“Aku nggak percaya diri. Aku takut aku nggak tega nusuk kamu,” cicit Haknyeon.

“Hakkie ….”

“Gimana kalo tusukan aku kurang dalem? Atau malah terlalu dalem? Atau meleset? Nggak pas di tattoo-nya? Atau aku narik belatinya sebelum waktunya? Nanti … nanti kamu jadi kehua gara-gara aku. Aku … aku nggak bisa maafin diri aku sendiri kalo kamu bener-bener jadi kehua.”

“Hakkie … sayang … baby … aku rela jadi kehua di tangan kamu. Dari awal, aku jadi atua karena nggak pengen pisah sama kamu—walaupun waktu itu kamu berwujud Haeseong. Kalo memang takdir aku harus jadi kehua, karena pilihan yang aku ambil empat ratus tahun yang lalu, I want it to be done with your hand. Tapi aku tau bahwa itu nggak gampang. Tanggung jawab yang kamu pegang besar banget, bahkan bisa dibilang semuanya tergantung sama kamu. Makanya, nggak apa-apa kalo kamu kamu nggak mau. Aku ngerti banget. Kita bisa gini aja terus kayak rencana kita semula. Aku nggak masalah.”

Haknyeon terdiam mendengar pernyataan Sunwoo itu. Ia juga ingin Sunwoo menjadi manusia biasa, tapi ia terlalu takut untuk gagal. Jika gagal, bagaimana ia bisa melanjutkan sisa hidupnya dengan bayangan dan rasa bersalah bahwa ia telah membunuh sang kekasih dengan tangannya sendiri?

“Kalo kamu jadi kehua … aku … gimana?” Sunwoo terdiam sejenak.

“Semua ingatan kamu tentang aku dan yang lainnya bakal hilang. Kamu nggak akan inget tentang atua, anahera, atau yang lainnya.”

Haknyeon merasakan matanya kembali memanas. Melupakan semua ini? Semua kenangan indah bersama Sunwoo ini? The heck. Memangnya Haknyeon sanggup?

“Aku takut,” bisiknya.

“Aku juga takut. Tapi aku percaya sama kamu. Percaya sama kita, bahwa kita bakal baik-baik aja.”

How come? I don't even believe in myself.”

Do you love me?”

Too much for me to handle.”

Same here. And that's what matters to me. I just want to live my life with you, baby.”

Haknyeon terdiam. “Me too, Sunu … me too. Damn, God knows I want it so much.”

That's all I need to know. Now, go to sleep, baby. We'll talk about this further in the daylight, okay?”

Haknyeon mengangguk kecil dan memeluk Sunwoo. Kakinya dikaitkan dengan kaki kekasihnya dengan nyaman.

“Oh.” Sunwoo kembali bersuara, walaupun ia sudah memejamkan matanya. “Also, please let me know if you want to give it a try, okay? At least we will enjoy the first half of the process.”

Haknyeon mendengus geli. “Pervert.”

But you love it.”

Haknyeon menepuk-nepuk pelan dada Sunwoo dengan senyum di wajah.

Good night, my love.”

Sunwoo tercengang. Tidak seperti dirinya, Haknyeon sangat jarang memanggilnya dengan sebutan kesayangan, bahkan pada saat mereka sedang bercinta sekalipun. Sunwoo berharap—walaupun ia tahu bahwa ia cukup egois—bahwa ini merupakan pertanda bagus dari lelaki dalam pelukannya itu.

Good night, baby.”

Setelah mengecup dahi Haknyeon, Sunwoo pun membiarkan dirinya terlelap.


Pagi harinya, saat Sunwoo sedang membuat dua cangkir kopi untuk mereka ….

“Nu …,” panggil Haknyeon sambil berjalan mendekati Sunwoo.

“Pagi, sayang,” jawab Sunwoo sambil tersenyum.

Let's give it a try.”

Sunwoo perlahan meletakkan cangkir kopinya di meja pantry. Dengan hati-hati ia mendekati Haknyeon yang berdiri gugup sambil memilin-milin ujung sweatshirt yang dipakainya.

“Kamu yakin?” bisik Sunwoo sambil mencari keraguan di manik mata Haknyeon. Yang ia temukan adalah kesungguhan.

“Aku yakin.”

“Ini bukan cuma tentang aku, atau cuma tentang kamu. Ini tentang kita. Apa kamu bener-bener yakin kalo ini yang kamu pengen buat kita?”

“Kalo Sunu, gimana? Yakin?”

“Sunu yakin kalo ini yang Sunu pengen buat kita.”

Haknyeon mengangguk mantap. “Hakkie juga yakin. Hakkie percaya sama kita.”

Dengan lembut, Sunwoo merengkuh Haknyeon ke dalam pelukannya.

Thank you, baby. Thank you so much.”


©️aratnish'22

Bagian 38 dari “Eternity”

cw // mentioning of death; sex; and contraception, implying kill and killing, cursing

“Oke. Jadi, biar gue perkenalkan dulu para entitas yang ikut-ikutan ini,” kata Moonie kesal saat mereka semua sudah duduk dengan—lumayan—nyaman di ruang tamu apartemen Haknyeon.

“Pertama, kenalin, gue Moonie. Gue anahera yang bertanggung jawab atas lahirnya atua Kim Sunwoo ini. Kedua, ini Angello. Dia anahera yang bertanggung jawab atas kehadiran Ju Haknyeon saat ini. Ketiga, ini Honey. Dia … well, dia Malaikat Asmara. Dia … kamu mau apa sih ikut ke sini, Hon?” tanya Moonie bingung. Younghoon tersenyum memukau.

“Aku pengen ngeliat benang merah mereka terikat!”

“Benang merah?” tanya Haknyeon dan Sunwoo bersamaan dengan bingung. Moonie menghela napas dengan lelah.

“Bakal panjang nih kayaknya,” keluhnya pelan.

“Sebelum obrolannya makin panjang, boleh gue nanya sesuatu dulu ke Bang Angello?” tanya Haknyeon takut-takut.

Angello tersenyum menenangkan sekaligus menyemangati. “Boleh. Haknyeon mau tanya apa?”

“Gue … gue beneran reinkarnasi dari Jang Haeseong, Bang?” Haknyeon bertanya dengan pelan sambil menunduk.

“Hakkie … kok nanyanya gitu?” Sunwoo mengelus pelan punggung sang kasih.

“Tapi, Nu … aku baru mikir akhir-akhir ini. Kalo emang bener aku ini reinkarnasi dari Haeseong, apa jangan-jangan perasaan aku ke kamu ini perasaannya Haeseong? Bukan murni perasaan aku?” ucap Haknyeon sedih. “Kalo emang bener gitu, berarti aku jahat sama kamu. Aku jahat sama kita berdua.”

“Hakkie ….”

“Haknyeon bukan reinkarnasi dari Haeseong, tapi inkarnasi.” Penjelasan Angello memotong perdebatan kedua insan itu.

“Maksud … nya?”

“Waktu meninggal, Haeseong secara spesifik dateng dan bilang ke aku bahwa dia pengen terlahir kembali jadi manusia, biar bisa ketemu sama sahabatnya, Sunwoo.”

“Tuh ‘kan, Nu … berarti ini perasaannya Haeseong, bukan aku …. Eksistensi aku gimana?” Haknyeon meratap sambil menghadap Sunwoo dengan netra berkaca-kaca.

“Hakkie ….” Sunwoo memeluk kekasihnya yang mulai menangis, sementara Moonie menyikut Angello dengan gemas.

“Nggak peka banget, sih?!” desisnya kesal.

“Kok dia malah nangis?” tanya Angello bingung.

“Uhm … Haknyeon?” panggil Younghoon lembut. Haknyeon terisak beberapa kali di dada Sunwoo sebelum akhirnya menoleh dan mengintip Younghoon dari lengan atas kekasih yang memeluknya.

Walaupun Haknyeon tidak menjawab, tapi Younghoon yakin bahwa ia sudah mendapatkan perhatian penuh dari lelaki itu, oleh karenanya Younghoon melanjutkan, “Walaupun kamu inkarnasi dari Haeseong, tapi kamu terikat dengan benang merah sama Sunwoo. Yang berarti, perasaan kamu sekarang ya bener perasaan kamu, bukan perasaan Haeseong atau yang lain. Eksistensi kamu valid.”

Haknyeon tetap terlihat sangsi. Younghoon tersenyum dan mengeluarkan Kitab ‘Perjodohan’nya.

“Kamu memang nggak boleh baca isinya, tapi Angello udah pernah baca dan di dalem sini, nama yang tertulis sebagai pasangan Kim Sunwoo adalah Ju Haknyeon, bukan Jang Haeseong.”

Haknyeon melirik ke arah Angello. Anahera itu segera mengangguk dengan semangat.

“Honey nggak bohong. Kitab itu isinya takdir percintaan umat manusia dan nama yang tercantum di sana adalah nama Ju Haknyeon, bukan nama Jang Haeseong.”

Mulai kembali terisak, Haknyeon melingkarkan lengannya di leher Sunwoo dan mencium kekasihnya dengan semangat tepat di mulut.

Moonie memutar bola matanya dengan bosan.

Angello mengintip malu-malu dari balik jemarinya yang menutupi wajah.

Dan Younghoon ….

“WHOAAAAAA!!!” Haknyeon dan Sunwoo berteriak saat Younghoon membentangkan sayapnya yang memiliki panjang dua meter di masing-masing sisinya.

“Eh. Aduh. Maaf. Maaf. Aku terlalu excited,” kata Younghoon malu-malu sambil berusaha mengontrol—menyembunyikan—sayapnya kembali, diselingi dengan pukulan di bahu baik dari Angello ataupun Moonie yang terkena bentangan sayapnya.

Moonie berdeham sambil menggeleng lelah sebelum berkata, “Jadi udah clear ya sekarang. Haknyeon memang inkarnasi dari Haeseong, tapi yang hadir, hidup, dan memiliki perasaan di sini, saat ini, adalah Haknyeon, bukan Haeseong.”

Haknyeon dan Sunwoo mengangguk bersamaan. Sunwoo menarik Haknyeon duduk semakin dekat padanya dan tetap mempertahankan rengkuhan tangannya pada pinggang lelaki itu. Posesif. Merasa semesta berpihak pada mereka.

“Sekarang kita ke pokok pembicaraan.” Sepasang kekasih itu kembali mengangguk dengan mimik serius. “Tapi sebelomnya, Angello sama Honey tolong pergi dari sini.”

“Kok gitu?!” protes Angello dan Younghoon bersamaan.

Guys, please … aku lagi nggak punya energi untuk berdebat sama kalian,” ucap Moonie lelah sambil memijat pelipisnya. Angello terlihat sudah ingin memprotes, tapi Younghoon dengan lembut menarik anahera itu berdiri.

“Kita pulang aja yuk, Ange? Mulai dari sini udah jadi ranahnya Moonie. Toh kita udah dapet yang kita mau. Kamu udah ketemu langsung sama Haknyeon, aku udah ketemu langsung sama pasangan cute ini. Eh tapi aku boleh peluk kalian berdua dulu nggak sih sebelom pulang ke Araf?” tanya Younghoon dengan mata berbinar penuh harap.

“Uhm … boleh … kayaknya?” Haknyeon menatap Sunwoo untuk meminta izin.

“Iya. Boleh,” jawab Sunwoo sambil tersenyum.

Dan satu detik kemudian, sepasang kekasih itu sudah terbenam dalam pelukan Younghoon (dan sayapnya).

Good luck. I'm rooting for you two,” bisik Younghoon.


“Akhirnya tenang juga,” ucap Moonie dengan nada lelah. Haknyeon dan Sunwoo menatapnya dengan prihatin.

“Oke. Maaf untuk gangguan tadi itu, sekarang kita langsung ke topik pembicaraan. Tapi … gue perlu ngasih peringatan dulu, this won’t be an easy or fluffy conversation.” Sunwoo mengangguk sambil mengeratkan genggaman tangannya pada Haknyeon.

“Gue bakal to the point, karena sugar coating nggak akan ngebuat pembicaraan kita jadi lebih mudah.” Moonie terdiam sejenak sebelum menghela napas panjang dan mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam mantel panjangnya.

“Apa itu?” tanya Sunwoo penasaran, namun tak ayal ia merasakan bulu kuduknya meremang.

“Buka aja.”

Sunwoo mengulurkan tangannya dan meraih bungkusan yang diletakkan oleh Moonie di meja di antara mereka. Sedikit rasa menggelitik menyergap indra peraba lelaki itu, tapi ia mencoba untuk mengabaikannya. Dengan penuh rasa penasaran, Sunwoo menyingkapkan kain yang menutupi benda itu dan menemukan ….

Holy fuck! Why the fucking hell are you bring this shit here, Moonie?!” maki Sunwoo sambil melemparkan bungkusan itu kembali ke meja, membuat benda yang ada di dalam bungkusan kain terlempar keluar.

Belati. Sebuah belati yang tampak sangat kuno dengan gagang berbentuk akar yang saling melilit dan bulan sabit di ujungnya. Haknyeon meraih belati itu.

“Jangan dipegang, Hakkie! Simpen di meja! Buang! Apapun!” perintah Sunwoo sambil berlari menjauh dari kursinya.

Mengabaikan Sunwoo yang masih berteriak-teriak panik, Haknyeon mengalihkan pandangannya kepada Moonie.

“Ini … apa, Bang?”

“Itu hoari, belati para rapunga. Rapunga itu—”

“Manusia yang ngeburu atua untuk ngebunuh mereka. Sunu udah sempet cerita, Bang,” potong Haknyeon. Moonie mengangkat sebelah alisnya dengan tertarik.

“Ya. Oke. That’s rapunga.”

“Terus apa hubungannya barang jahanam itu sama cara buat gue balik lagi jadi manusia, Bang?!” protes Sunwoo dari kejauhan.

“Sunu sini ih, jangan jauh-jauh!” panggil Haknyeon.

“Nggak mau! Buang dulu itu hoarinya!”

“Lo harus ngebiasain diri, Sun. Hoari ini cara lo untuk balik lagi jadi manusia.”


“Lagian lo kenapa sampe bisa punya hoari, sih?! Bukannya setiap ngalahin rapunga, atua wajib untuk ngancurin hoarinya?” tuntut Sunwoo saat ia sudah kembali duduk. Hoari sudah disingkirkan karena Moonie dan Haknyeon kasihan melihat Sunwoo yang tampak sangat tidak nyaman.

“Gue ambil itu dari rapunga yang berhasil dikalahin sama salah satu atua. Untuk tujuan riset kenapa hoari ini bisa sangat berbahaya buat atua.”

“Dan hasilnya?”

Moonie kembali menaikkan sebelah alisnya. “Confidential. Topik kita sekarang bukan itu, tapi gimana cara lo balik lagi jadi manusia.”

“Oke.”

Moonie menghela napas panjang. “Jadi … lo harus mati. Pake hoari. Di tangan Haknyeon.”

Hening sesaat. Kemudian ….

“HAH?!” seru Haknyeon dan Sunwoo bersamaan.

“Lo jangan bercanda, Bang! Nggak lucu banget, sumpah!”

“Gue nggak bercanda, Sunwoo! Itu cara biar lo balik lagi jadi manusia.”

“Tapi … kenapa harus gue?” tanya Haknyeon pelan dan takut-takut.

Because you love him. Caranya, lo harus nusuk Sunwoo tepat di tattoo-nya, tepat waktu kalian berdua lagi klimaks. Oh! Jangan pake kondom, harus dikeluarin di dalem.”

“Whoa! Whoa! Whoa! Slow down, Bang!” seru Sunwoo dengan wajah memerah saat Moonie menjabarkan proses yang harus ia—mereka—lalui.

“Kenapa? Lo malu ngomongin beginian?”

“Ya menurut lo?!” sergah Sunwoo mewakili Haknyeon yang sudah tidak mampu berkata-kata. Ia hanya mampu ternganga dengan wajah memerah.

“Kalian udah pernah having sex, ‘kan?”

“ABAAANG …!!!”

“Kenapa, sih?!” protes Moonie bingung.

“Ngomongin beginian sama lo tuh kayak lagi ngomong sama ortu, tau! Canggung bangeeet!” protes Sunwoo dengan wajah berwarna ungu karena menahan malu.

“Ah elah. Singkirin dulu rasa malu kalian. Atau … kalian nggak serius mau tau caranya?” Setelah berpandangan dengan wajah sama merahnya, akhirnya Haknyeon dan Sunwoo pun mengangguk kecil.

“Jadi, gue ulangin ya. Ini detilnya. Kalian berdua harus having sex tanpa kondom di malam bulan purnama. Posisi lo harus yang di atas ya, Hak. Terus, waktu kalian sampe klimaks—kalian klimaksnya harus barengan, by the way—Haknyeon harus nusuk tattoo Sunwoo pake hoari. Sampe klimaks kalian mereda, baru lo boleh nyabut hoari itu.”

Ruangan kembali hening.

“Udah ngerti belom? Kalo ada yang belom ngerti, cepet ditanyain sekarang.”

“Beneran harus gue, Bang?” tanya Haknyeon lirih.

“Lo mau Sunwoo having sex sama orang lain?”

“Ya nggak mau, Bang!”

“Ya udah kalo gitu.”

“Tapi—”

“Karena lo cinta sejati Sunwoo, Hak. Lo denger sendiri dari Honey tadi kalo kalian itu terikat sama benang merah takdir.”

Melihat bahwa Haknyeon merasa ragu, Sunwoo bertanya, “Nggak ada cara lain, Bang? Minum ramuan apa, gitu?”

Moonie menggeleng. “Nggak ada, Sunwoo. Untuk jadi atua, lo harus mati sebagai manusia. Untuk jadi manusia lagi, lo harus mati sebagai atua, dengan syarat, di tangan cinta sejati lo.”

“Tapi kalo gue gagal … gimana?” bisik Haknyeon. Moonie terdiam dengan mimik serius. Rasa pedih berkilat di bola matanya.

“Sunwoo bakal jadi kehua.”

Pasangan di depannya tersentak saat Moonie selesai menjawab.

“Enggak. Aku nggak mau. Aku nggak mau ambil bagian di proses ini. Cari orang lain aja, Nu! Kamu mau having sex sama orang lain juga terserah. Aku nggak mau ikutan!”

“Hakkie … sayang … aku nggak bisa sama orang lain, harus sama kamu … cinta sejati aku,” bujuk Sunwoo, walaupun ia tahu ketakutan seperti apa yang dirasakan Haknyeon. Ia pun takut, tapi ia percaya pada Haknyeon. Ia percaya pada takdir yang dibicarakan oleh Younghoon sebelumnya.

“AKU NGGAK MAU, SUNU!” bentak Haknyeon panik.

“Kalo aku gagal … gimana? Kamu bakal jadi kehua … bakal sendirian sampe kiamat.” Haknyeon kembali terisak.

“Pokoknya aku nggak mau!” tegas Haknyeon sambil berdiri dan berlari menuju kamar mereka.

Moonie dan Sunwoo bertatapan satu sama lain.

“Lo yakin?”

Sunwoo mengangguk tegas. “Gue belom pernah seyakin ini.”

Moonie menghela napas sebagai tanggapan.

“Gue pergi dulu. Kalian obrolin dulu maunya gimana. Siklus bulan purnama selanjutnya masih sekitar dua minggu lagi. Hoari gue tinggal di sini. Jaga baik-baik. Kalo prosesnya udah selesai, gue ambil lagi.”

Sunwoo mengangguk.

“Obrolin baik-baik sama Haknyeon, Sun. Ngertiin maunya dia, karena tanggung jawab yang ada di bahunya berat banget di proses ini.”

Perlahan Sunwoo kembali mengangguk. “Iya, Bang. Kalo Hakkie tetep nggak mau, gue nggak akan maksa. Gue bakal tetep jadi atua.”


©️aratnish'22

Bagian 37 dari “Eternity”

Masa sudah berselang lebih dari satu bulan sejak Sunwoo menanyakan cara untuk kembali menjadi manusia kepada Moonie. Tidak sekalipun Moonie membalas pesannya, pun menjawab semua telepati yang ia kirimkan padanya. Sunwoo jadi berpikir bahwa tidak ada cara bagi dirinya untuk kembali menjadi manusia. Kalaupun ada, mungkin Moonie tidak mengizinkannya untuk kembali, oleh sebab itu Moonie mengabaikannya lebih dari satu bulan penuh.

Sunwoo pun berusaha berlapang dada dan melupakan keinginannya untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan normal bersama Haknyeon. Mungkin takdir memang sebercanda itu. Setidaknya ia harus bersyukur bahwa Haeseong bereinkarnasi menjadi Haknyeon, bukan menjadi seekor lebah. Saat itu Sunwoo tersenyum geli saat membayangkan Haeseong bereinkarnasi menjadi lebah dan semakin mengeratkan pelukannya kepada sang kekasih yang tidur bergelung dalam pelukannya.

Oh. Karena Moonie tidak membalas apapun dan karena Sunwoo (mulai) menyerah untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama Haknyeon dengan normal, maka ia—mereka—memutuskan untuk menghabiskan hari-hari mereka bersama dengan lebih berkualitas. Sunwoo akhirnya pindah ke apartemen Haknyeon sekitar dua minggu yang lalu, karena Juyeon meminta Eric untuk tinggal bersamanya. Sunwoo juga mengurangi jam kerjanya di Other World, dimana ia hanya bekerja tiga hari dalam seminggu. Selebihnya, ia gunakan untuk membantu Haknyeon di Arani, atau hanya sekadar cuddling di apartemen.

“Sun?”

“HAH?!” Sunwoo tersentak dari kegiatannya menciumi rahang Haknyeon malam itu saat ia mendengar suara Moonie di kepalanya.

“Kenapa, Nu?” tanya Haknyeon bingung dengan napas tersengal.

“Moonie ngontak aku. Sebentar ya, sayang.”

“Moonie?”

“Nanti aku ceritain, ya.” Sunwoo bangkit dari atas Haknyeon dan memperbaiki posisi duduknya di sofa ruang tamu mereka, setelah mencium kening Haknyeon.

“Ya, Bang?”

“Lama amat sih balesnya? Kayak yang sibuk aja! Padahal gue tau lo lagi nggak di OW!” protes Moonie. Sunwoo terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, walaupun ia tahu bahwa Moonie tidak bisa melihatnya.

“Sibuk dikit sih, Bang.”

“Sibuk apaan?”

“Sibuk ngasih kebahagiaan buat Haknyeon.”

“TMI, ANJAY!” Lagi, Sunwoo terkekeh malu-malu saat mendengar Moonie protes di kepalanya.

Walaupun tampak aneh di mata Haknyeon, tapi laki-laki itu mengambil kesimpulan bahwa Sunwoo sedang berkomunikasi dengan temannya sesama atua melalui telepati. Memperbaiki posisi duduknya, Haknyeon pun bersandar di bahu Sunwoo sambil tangannya mulai mencari saluran acara televisi yang menarik—kegiatan yang sedang dilakukan mereka berdua sebelum akhirnya sibuk satu dengan yang lainnya.

“Lo ke mana aja sih, Bang? Chat gue nggak dibales, telepati gue dianggurin. Gue tau ya lo cuma nutup saluran telepati sama gue aja, soalnya Kak Chanhee sama Kak Changmin bilang, mereka masih bisa komunikasi sama lo!”

Moonie terdiam sejenak, kemudian, “Sorry.” Sunwoo mengernyit heran saat mendengar nada bersalah dalam suara Moonie itu.

“Lo kenapa, Bang? Kalo soal pertanyaan gue waktu itu, udah lupain aja, nggak apa-apa. Kalo emang nggak ada cara buat gue balik lagi jadi manusia, it's okay. Kalo misalnya ada, tapi lo nggak ngebolehin gue balik, it's okay juga. But please don't leave me in the dark.”

“Sorry.”

“Hey, it's okay, Bang. Are you … are you, okay?” Sunwoo jadi khawatir karena kurangnya antusiasme dalam suara Moonie. Anahera itu tidak menjawab pertanyaannya dan tidak bersuara untuk waktu yang cukup lama, sampai-sampai Sunwoo kira hubungan telepati mereka sudah terputus.

“Justru itu ….”

“Hah?! Gimana maksudnya?” Sunwoo terlonjak saat tiba-tiba suara Moonie terdengar lagi, padahal saat itu bibirnya sedang bermain-main dengan cuping telinga Haknyeon.

“Ada cara buat lo balik lagi jadi manusia—”

“SERIUSAN, BANG?!” Sunwoo terduduk tegak di sofa, membuat Haknyeon yang di sebelahnya menjadi limbung karena sedang bersandar padanya.

“—tapi risikonya gede banget.”

“Nggak apa-apa! Gue ambil semua risiko yang ada asal gue bisa balik lagi jadi manusia dan bisa bareng-bareng terus sama Haknyeon. Apa dan gimana Bang caranya?”

“Tapi risikonya—”

“Gue nggak peduli, Bang! Seriusan, gue nggak peduli apapun risikonya, gue jalanin!” potong Sunwoo. Ia menunggu dengan tidak tenang saat Moonie tak kunjung menjawab.

“Oke,” jawab Moonie akhirnya. Dan Sunwoo mengembuskan napas yang secara tidak sadar ia tahan. “Tapi—!”

“Tapi apa, Bang?”

“Gue harus ngasih tau caranya ke Haknyeon juga.”

“Oh?”

“Ini nggak bisa lo lakuin sendiri, harus dibantu sama Haknyeon.”

“Oke …?”

“Kapan gue bisa ketemu kalian?”

“Be right back.”

“Sayang?”

“Hmm?”

“Besok kamu bisa libur, nggak?” Haknyeon mengalihkan pandangannya ke arah Sunwoo dengan bingung.

“Kenapa?”

“Temen aku mau dateng, pengen ngobrol sama kita berdua.”

“Moonie tadi itu?”

“Iya.”

“Ngobrol apa?” tanya Haknyeon curiga.

“Mmm … jadi … itu … aku sempet nanya ke temen aku ini, kira-kira ada cara nggak biar aku bisa balik lagi jadi manusia. Nanyanya udah sebulan yang lalu, tapi dia baru jawab tadi.”

“Hah?! Seriusan ada caranya?!” Haknyeon berseru dengan girang.

“Iya. Ada, katanya. Tapi dia bilang dia juga harus ngasih tau kamu, karena aku harus dibantu sama kamu nanti.”

“Ya udah, ayo besok ketemu sama dia! Dia mau ke sini?”

“Lebih enak gitu, nggak sih?”

“Hm-mm. Iya. Ya udah, kamu kasih tau temen kamu besok dateng ke sini, aku kasih tau Eric dulu kalo besok aku ambil libur.” Haknyeon mengambil ponselnya sementara Sunwoo mengalihkan fokusnya kembali ke Moonie.

“Bang?”

“Gimana?”

“Besok di apartemen Haknyeon, oke kah?”

“Oke.”

“Perlu gue kirim alamatnya?” Sunwoo mendengar Moonie menghela napas panjang.

“Lo udah pelan-pelan ngelupain kehidupan atua, ya?”

“Maksudnya?”

“Gue tinggal ngelacak lokasi lo aja, nggak perlu lo ngasih alamat ke gue!”

Sunwoo tertawa dengan gugup. “Oh iya, gue lupa.”

“Ya udah. Besok gue ke sana.”

“Thanks, Bang.”

“Yo.”


Haknyeon dan Sunwoo duduk dengan gelisah sepanjang pagi, keesokan harinya.

“Deg-degan, ya?” tanya Haknyeon gugup.

Sunwoo tertawa sumbang. “Iya.”

“Aku excited banget karena tau ada cara supaya kamu bisa balik lagi jadi manusia biasa.”

“Sama. Aku juga. Ngebayangin bisa bareng-bareng sama kamu sampai akhir dengan normal.” Haknyeon tersenyum sambil mengangguk dan memeluk Sunwoo erat.

“Ngomong-ngomong, temen kamu katanya mau ke sini jam berapa?”

“Agak siang katanya, karena ada yang harus dia beresin dulu.”

“Ceritain dong temen kamu ini gimana, biar aku nggak kayak orang bego nanti.” Haknyeon mencoba mengalihkan rasa gugupnya dengan bertanya tentang Moonie, yang baru ia sadari belum ia tanyakan malam sebelumnya.

“Oh iya! Moonie itu … yang dulu ngebuat aku jadi atua. Kamu inget ‘kan waktu aku cerita bahwa ada malaikat yang ngedatengin aku dan nawarin untuk hidup abadi?” Haknyeon mengangguk. “Nah, itu Moonie. Sebutannya bukan malaikat, tapi anahera. Moonie yang nawarin aku untuk bisa hidup abadi.”

“Dia tau kalo aku reinkarnasi dari Haeseong?”

“Tau. Aku sempet cerita ke dia waktu itu.”

“Oh. Mungkin karena itu dia mau ngobrol sama aku juga, kali ya?”

“Bisa jadi.”

“Ada yang lain juga, sih.”

“AAAAAAAAA!!!” Haknyeon berteriak saat tiba-tiba Moonie muncul di depan mereka. Sunwoo menggeleng tidak setuju sambil memeluk Haknyeon yang menyembunyikan wajahnya di balik bahu Sunwoo.

“Nggak pernah denger sama yang namanya ngetok pintu dulu, Bang? Ini tempatnya Haknyeon, bukan tempat gue,” protes Sunwoo. Haknyeon mengintip dari balik bahu kekasihnya.

“Eh. Iya. Sorry. Kebiasaan.” Moonie menggaruk pipinya.

“Udah aku bilang, kita harusnya lewat pintu depan!”

“AAAAAAAAA!!!” Haknyeon berteriak untuk kedua kalinya saat Angello tiba-tiba muncul di sebelah Moonie.

“Bang Angello … Abang juga sama aja tiba-tiba nongol,” protes Sunwoo walaupun dengan nada geli.

“Kamu ngapain ikut?!” tanya Moonie panik.

“Pengen ketemu Haknyeon.”

Bel pintu berbunyi.

“Kamu nunggu tamu?” tanya Sunwoo bingung pada Haknyeon. Yang ditanya menggeleng.

“Eric, kali ya? Tapi Eric masih pegang kunci, sih. Harusnya dia bisa langsung masuk. Atau tetangga yang keberisikan karena aku teriak-teriak? Bentar ya aku buka pintu dulu.” Haknyeon pun beranjak menuju pintu, membukanya, dan termangu saat melihat sosok yang ada di depan pintunya.

“Siapa, Hak?”

“Halo! Ih, Angello! Katanya harus masuk lewat pintu?” protes sosok itu.

“Itu … siapa?” tanya Sunwoo bingung.

“Kenapa Honey juga ada di sini?!” pekik Moonie bingung.


©️aratnish'22

Bagian 36 dari “Eternity”

“Kok tumben kamu diem aja?” tanya Angello saat melihat Moonie hanya termangu di meja kerjanya di Araf.

“Ada atua yang pengen balik lagi jadi manusia,” jawab Moonie pelan.

“Oh? Tumben? Tapi … itu memungkinkan, ‘kan? Aku rasanya inget kamu pernah bikin klausul tentang itu di Kitab Anahera.” Moonie mengangguk. “Tapi waktu itu kamu bilang caranya cukup ekstrem.” Moonie kembali mengangguk.

“Karena aku nggak pernah mikir bakal ada atua yang pengen balik lagi ke kehidupan fananya. Makanya aku iseng aja bikinnya.”

Angello menghela napas. “Kamu nih kebiasaan sih, nggak pernah serius, semua dibawa iseng. Kalo udah ada kejadian, baru kamu pusing.” Moonie hanya mengedikkan bahunya tanpa berkomentar apapun, karena setiap kata yang Angello ucapkan adalah benar adanya.

“Emangnya siapa yang pengen balik jadi manusia lagi?”

“Sunwoo.”

“Oh?!”

“Sumpah aku kaget banget, Ange. Aku nggak nyangka Sunwoo pengen balik jadi manusia.”

“Kenapa katanya?”

“Karena dia pengen hidup sama Haknyeon.”

“Oh!” respons Angello dengan bersemangat.

Yeah. Oh,” jawab Moonie tanpa semangat sama sekali.

Go ahead. Tell him. They're indeed meant to be together.”

You know something,” kata Moonie curiga sambil melihat ke arah Angello yang tersenyum bahagia.

A little.”

A 'little' will be a big help if you want to share it with me,” gerutu Moonie.

Have you ever heardthe couple made in Heaven’?”


Beberapa bulan sebelumnya di ruang kerja Angello ….

“Angeellooo~” seru sebuah suara dengan bersemangat, bahkan sebelum gumpalan asap putih yang bercampur dengan semburat merah muda itu hilang sepenuhnya.

“Oh. Hai, Honey,” jawab Angello datar tanpa mengangkat pandangan sedikit pun dari buku tebal di hadapannya, Kitab Anahera.

“Angello kenapa? Kok murung?” tanya Younghoon, yang biasa dipanggil dengan Hoonie, yang biasa dipelesetkan menjadi Honey, sang Malaikat Asmara.

“Aku lagi nyesel.”

“Nyesel kenapa?” Younghoon duduk di sandaran tangan kursi Angello dan memeluk anahera itu dari samping, meletakkan pipinya di puncak kepala Angello.

“Sekali-sekalinya aku ngelanggar aturan, eh malah bikin kacau.”

“Bikin kacau gimana, Angel?” tanya Younghoon sambil mengelus lengan Angello untuk menenangkan sang anahera.

“Kamu inget nggak sih waktu Sangyeon ngedatengin aku karena ada manusia yang pengen inkarnasi?”

“Hm-mm.”


“Angello kenapa, sih? Mukanya kok kusut banget? Ada jiwa yang susah diatur, ya? Atau ada jiwa yang ceritanya sedih banget?” Angello menggeleng sambil tetap membolak-balik Kitab Anahera di depannya.

“Angello iiih … aku jangan diangguriiin,” rajuk Younghoon sambil menarik-narik lengan Angello, meminta perhatian.

“Sangyeon tadi dateng ke sini—”

“Oooh! Terus sekarang mana Sangyeon-nya?” Younghoon melihat ke sekeliling dengan tatapan berbinar. Angello akhirnya berhasil memunculkan senyum kecil di wajahnya.

“You’re really whipped, Honey.”

“Well, none will resist that hot body, Angel.” Angello tertawa saat mendengar nada penuh kekaguman keluar dari mulut Malaikat Asmara itu.

“So?” Younghoon kembali bertanya saat Angello tidak mengatakan apapun lagi.

“Ada jiwa yang terang-terangan pengen ketemu sama aku karena pengen inkarnasi.”

“Oh? Menarik. Tapi … bukankah itu akan melanggar aturan di Kitab Anahera?” Angello mengangguk.

“Makanya aku lagi nyari klausul yang bisa menganulir aturan itu.”

“Hah? Gimana? Maksudnya kamu mau nurutin kemauan jiwa itu? Kamu mau melanggar klausul yang ada? Wow! Kamu beneran Angello?!” tanya Younghoon tidak percaya.

“I don’t believe it either,” gumam Angello sambil menggelengkan kepala.

“Emangnya kenapa jiwa itu pengen inkarnasi? Kok nggak sabaran banget nunggu sampe gilirannya reinkarnasi?”

“Katanya dia mau ketemu sama sahabatnya.”

“Oh? Sahabatnya masih hidup? Tapi ‘kan nggak menjamin dia langsung bisa inkarnasi ‘kan, Ange?” Kebingungan jelas tercetak di wajah tampan Younghoon.

“Sahabatnya itu atua.”

Mulut Younghoon terbuka tanpa mengeluarkan suara apapun. Mata indah itu pun membelalak lebar. “The heck?! Wow! Ini menarik banget! Who’s the atua?”

“Moonie’s golden child, Kim Sunwoo.”

“Aaaw … so cute.”

“Everything looks cute in your eyes, Honey,” goda Angello yang berhasil membuat Younghoon terkekeh geli.

“Tapi beneran deh, Angel … nggak ada salahnya ‘kan mempertemukan kedua sahabat itu lagi? Since atua bakal hidup selamanya dan kita tau dari Moonie bahwa Sunwoo jadi atua karena nggak bisa ninggalin sahabatnya, kenapa nggak kita kasih sedikit kebahagiaan buat Sunwoo? Not to mention life did no justice to him before.”

Angello hening sejenak. “Kamu ada benernya juga, tapi … peraturannya ‘kan nggak gitu, Hon.”

“Tapi … Moonie juga banyak menyalahi aturan, jadi … satu kali aja kamu yang menyalahi aturan, nggak apa-apa ‘kan?” Younghoon menampilkan cengirannya yang sangat memesona. Angello tertawa keras.

“Apa kamu yakin kamu bener-bener malaikat? Kok malah nyuruh aku melanggar aturan?”

“Aku Malaikat Asmara, Angel … dan aku suka banget sama kisah-kisah persahabatan gini.” Angello kembali tersenyum.

“Baiklah. Aku rasa nggak ada ruginya mengabulkan permintaan jiwa itu,” kata Angello sambil menutup kitab di depannya.


“Dan kenapa kamu jadi nyesel?” tanya Younghoon bingung.

“Karena inkarnasinya nggak ngeliat Sunwoo hanya sebagai sahabat.”

“Wow! Maksudnya, inkarnasinya itu suka sama Sunwoo? Bagus, dong! Aku suka kalo ada plot twist asmaranya gini!”

“Honeeey … inkarnasinya itu cowok dan aku nggak tau apa Sunwoo suka cowok atau enggak! Moonie juga nggak tau!”

“Oh.”

“Aduuuh … aku pusing!”

Anyway, siapa nama inkarnasinya?”

“Ju Haknyeon.”

Younghoon menjentikkan jemari tangan kanannya dan sebuah buku besar serta amat sangat tebal berwarna putih muncul di hadapannya.

“G. H. I …. J! Ju Haknyeon … Ju Haknyeon ….” Younghoon bergumam pelan sambil menyusuri halaman demi halaman buku itu. Angello menanti dengan sabar, karena ia pun penasaran dengan apa yang ada di dalam pikiran Malaikat Asmara itu.

“Ini dia! Ju Haknyeon … hmm … hmm ….” Younghoon membaca kata demi kata dalam sebuah gumaman pelan, membuat Angello tidak dapat mendengarnya.

“Angello, menurutku kamu nggak perlu nyesel, deh.”

What do you mean?” Angello semakin bingung.

“Liat ini.” Younghoon menggeser bukunya agar Angello bisa melihat tulisan mengenai Ju Haknyeon di sana.

What?! Jadi sebenernya mereka dihubungin sama benang merah takdir?!” seru Angello tidak percaya. Younghoon mengangguk dengan penuh semangat.

Yes! Sebenernya benang merah itu terhubung dari zaman sebelum dia inkarnasi, tapi Sunwoo udah keburu dieksekusi sebelum benang merah itu bener-bener kuat ikatannya. Yang bikin makin rumit, ternyata Sunwoo malah jadi atua, bukan menunggu reinkarnasi atau memilih untuk inkarnasi.”

“Aku udah lama jadi anahera, tapi tetep aja kalo ada kejadian kayak gini, aku amazed sendiri,” ucap Angello sambil menggelengkan kepalanya.

It’s okay, Angel. Love will find its way to sail.”


Moonie menganga tidak percaya saat Angello selesai bercerita.

“Jadi … kalian … kalian ….” Angello tertawa geli. “HONEY! Come here!” teriak Moonie kesal. Dalam hitungan detik, sebuah asap berwarna putih dan bercampur dengan semburat warna merah muda muncul di ruangan Moonie.

Miss me, Moon?” goda Younghoon.

“Sunwoo dan Haeseong—Haknyeon ini … kamu yang bikin Angello ngelanggar aturan?!” tanya Moonie tanpa tedeng aling-aling.

“Oh? Dia udah tau?” tanya Younghoon geli pada Angello.

“Halooo … ‘dia’ ada di sini, ya!” omel Moonie kesal.

“Oh ayolah, Moon … bukankah menurutmu akan sangat romantis kalau mereka berdua bisa bertemu lagi dan menyatukan benang merah mereka?”

“Prosesnya ribet, Honey! Ini atua yang kita omongin!”

“Tapi mereka udah ditakdirkan untuk bersatu, Moon! Kamu mau nyangkal apa yang tertulis di kitabku?!” protes Younghoon kesal sambil mengerucutkan mulutnya. Moonie menghela napas berat dan menutup matanya, mengistirahatkan kepalanya di sandaran kursi.

“Honey, Ange, proses yang harus Sunwoo lalui untuk jadi manusia lagi itu sangat berisiko.”

Moonie menjabarkan apa saja yang harus Sunwoo lakukan dan alami supaya atua itu bisa kembali menjadi manusia. Ruangan itu menjadi hening saat Moonie menyelesaikan penjabarannya.

“Moon … kenapa kamu bikinnya ekstrem banget, sih?” tanya Younghoon pelan dengan tidak habis pikir.

“Karena aku pikir nggak akan ada kejadian kayak gini, Honey!” Moonie mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangan.

“Moon … sorry, aku … aku nggak tau kalo prosesnya kayak gitu …,” ujar Angello pelan, merasa sedikit bersalah dengan tindakan gegabah yang dilakukannya lebih dari tiga abad sebelumnya.

That’s why, Ange … kalo kamu mau bikin move apapun yang melibatkan atua, tolong … tolong banget, obrolin sama aku dulu.”

Ketiganya terdiam. Suasana di ruangan itu berubah menjadi muram. Angello dan Younghoon saling berpandangan dengan tatapan bersalah. Mereka tidak menyangka bahwa Moonie yang ceria, easy going, dan kadang (dibaca: cukup sering) melanggar aturan itu akan cukup terpukul dengan apa yang mereka lakukan terkait dengan takdir Haeseong dan Haknyeon.

“Sekarang … aku harus ngomong apa ke Sunwoo?” bisik Moonie parau.


©️aratnish'22


Author's Note:

Halo ... aku izin hadir untuk menuliskan sedikit catatan dan permintaan maaf di sini. Jadi, di beberapa bagian sebelumnya, sepertinya aku ada blunder untuk penggunaan istilah reinkarnasi dan inkarnasi. Setelah aku browsing—yang bodohnya browsingnya setelah aku nulis dan posting—maksudnya adalah seperti ini:

  • Reinkarnasi: lahir kembali karena perjalanan karma, jadi tidak bisa memilih namun ditentukan.
  • Inkarnasi: memilih lahir kembali dan bisa menyeleksi wujud apa yang hendak kita hadiri karena penguasaan tubuh rohani atau pemahaman sariraning pribadi.
(Sumber: Kompasiana)

Pembicaraan di bagian-bagian awal sudah ada beberapa yang aku revisi, terutama kalau yang berdialog adalah Angello dan Moonie. Selain mereka berdua, istilah reinkarnasi akan tetap muncul (sampai penceritaan selanjutnya), karena mereka tidak tahu bahwa Haeseong memilih untuk terlahir kembali dalam wujud manusia untuk bertemu dengan Sunwoo.

Disclaimer tambahan: kedua istilah tersebut kemungkinan akan mengalami pergeseran makna untuk kepentingan cerita. Semoga bisa dimengerti dan dimaklumi, ya ... dan mohon maaf karena sudah membuat blunder >.<

Bagian 34 dari “Eternity”

Hari selanjutnya berlangsung sangat lambat bagi Sunwoo, padahal ia sudah menghabiskan pagi dan siangnya untuk membereskan semua pecahan kaca yang ada, mengidentifikasi ukuran dan jumlah kaca yang dibutuhkan, serta menghubungi toko bahan bangunan dan memesan kaca baru, namun saat ia melihat jam dinding, waktu baru menunjukkan pukul tiga sore.

Kalo jam segini ke Arani, aneh nggak, ya? Ngeganggu nggak, ya?

Sunwoo berjalan mengitari rumahnya dengan gelisah. Berkali-kali melihat jam dinding dan berkeluh kesah karena menurutnya waktu berjalan sangat lambat.

Ya udah deh gue berangkat sekarang aja. Bodo amat kalo diusir, daripada nggak tenang gini.

Setelah melindungi rumahnya, yang masih tanpa kaca, dengan mantra pelindung agar tidak ada orang jahat yang datang, Sunwoo pun beranjak menuju Arani.


Haknyeon tidak ada di sana. Sunwoo mengedarkan pandangannya, namun ia hanya melihat Eric—yang menatapnya dengan cukup kesal—dan satu orang lagi yang sedang berusaha Sunwoo ingat namanya.

Oh. Juyeon. Pacar Eric.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Eric galak saat Sunwoo menghampiri tempatnya berdiri di balik konter.

“Mau ketemu Haknyeon. Ada?” tanya Sunwoo takut-takut di balik masker hitamnya.

“Nggak ada.”

“Di mana?” tanya Sunwoo bingung.

“Nggak tau.”

“Ric—”

“Juhak tadi siang pulang duluan, Sunwoo. Katanya nggak enak badan,” potong Juyeon.

“Kak Juyeon ih! Kok dikasih tau, sih?!” protes Eric.

“Emangnya Juhak bilang jangan kasih tau Sunwoo?” tanya Juyeon bingung.

“Ya enggaaaak! Tapi ‘kan ngapain juga ngasih tau ke orang yang udah bikin Kak Juhak sakit?!” seru Eric kesal.

“Haknyeon sakit?!” ucap Sunwoo panik.

“Gara-gara lo! Lo apain Kakak gue semalem?! Pulang-pulang dari rumah lo—dianter sama orang lain—dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma diem aja, tapi gue tau dia lagi sedih banget. Gue juga tau kayaknya dia nggak bisa tidur, karena waktu gue bangun jam lima pagi, di dapur banyak banget cookies buatan Kak Juhak. Dan Kak Juhak-nya udah nggak di apart! Yang berarti dia udah ada di Arani dari nggak tau jam berapa! Gue juga denger dia berkali-kali ngebego-begoin dirinya sendiri. Lo apain, sih? Lo gaslighting?!”

“Astaga, Eric!” Juyeon terkesiap dengan tuduhan yang Eric tujukan pada Sunwoo.

“Enggak! Sumpah! Gue … gue semalem emang sempet emosi, tapi— Oke, gue nggak punya pembelaan. Semua salah gue. Haknyeon ada di apart, ‘kan? Gue mau ke sana dan jelasin semuanya ke dia.” Eric hanya diam sambil mempelajari ekspresi dan gerak-gerik Sunwoo.

Please, Ric. Izinin gue ketemu Haknyeon,” pinta Sunwoo dengan memelas.

Eric hampir saja menyemburkan tawanya.

Dia tuh bisa aja langsung pergi dari sini terus ke apart, tapi dia masih sempet-sempetnya minta izin ke gue. He’s really something, Kak Juhak. Jangan dilepas, ya.

Sedikit berdeham untuk mempertahankan wibawanya, Eric akhirnya mengangguk kecil.

“Iya, Kak Juhak ada di apart. Awas kalo lo nyakitin Kakak gue!”

Senyum semringah mengembang di wajah Sunwoo saat ia mendapatkan izin. “Not in a million years! Thanks, Ric!”

Eric tidak bisa lagi menahan senyumnya saat melihat Sunwoo berbalik dan berjalan—hampir berlari—ke arah pintu masuk.

“Sun!” panggilnya.

“Ya?” tanya Sunwoo sambil berbalik dengan tangan kanan tetap memegang gagang pintu.

Take your time, gue nggak akan pulang hari ini.” Eric tersenyum penuh makna, sehingga Sunwoo dapat menangkap apa yang diimplikasikan oleh pemuda itu.

Thanks.” Tanpa berlama-lama lagi, Sunwoo segera keluar dari Arani.

“Kamu nggak akan pulang? Mau ke mana?” tanya Juyeon bingung.

“Mau nginep di tempat Kakak. Boleh, ‘kan?” tanya Eric manja sambil menarik tali apron Juyeon yang berdiri di depannya. Juyeon tersenyum sampai matanya membentuk pola bulan sabit.

“Apa sih yang nggak boleh buat Eric?” balas Juyeon sebelum menunduk dan mengecup singkat dahi yang lebih muda.


Adonan brownies di depannya tidak melakukan kesalahan apapun, tapi Haknyeon menatapnya dengan wajah ditekuk. Seharian ini—tidak, dari tadi malam, lebih tepatnya, ia merasa tingkah lakunya sangat bodoh. Wajar saja jika Sunwoo marah padanya. Itu bukanlah sesuatu yang bisa dibicarakan di depan orang lain, seharusnya Haknyeon membicarakannya berdua saja dengan Sunwoo, sehingga mereka bisa berdiskusi dengan leluasa. Tapi tidak, sifat Haknyeon yang impulsif, dipadukan dengan beberapa gelas red wine menghasilkan tindakan bodoh yang—menurut Haknyeon—membuat hubungan mereka berada di ujung tanduk.

Haknyeon menghela napas panjang dan melirik ponselnya untuk ke sekian kalinya. Tidak ada notifikasi apapun dari Sunwoo, baik itu pesan teks, ataupun panggilan tak terjawab.

Jadi gini ya perasaan Sunu waktu kemaren-kemaren nggak ada kontak sama gue? Haaah … gue udah mengacaukan semuanya kayaknya, keluh Haknyeon dalam hati bertepatan dengan bunyi bel unit apartemennya.

“Siapa, lagi? Gue lagi males nerima tamu,” monolog Haknyeon sambil melepas apron yang dipakainya.

“Sebentar!” serunya saat bel pintu kembali berbunyi. Dikarenakan pikirannya sedang kalut, Haknyeon langsung membuka pintu tanpa melihat dulu siapa yang datang melalui peephole.

“Hakkie, kamu harus lebih hati-hati kalo ada tamu. Diintip dulu siapa yang dateng, baru buka pintunya,” sahut sang tamu dengan nada geli dalam suaranya.

Tidak percaya dengan penglihatannya, Haknyeon hanya menatap Sunwoo—sang tamu—dengan mulut sedikit terbuka. Sunwoo terkekeh pelan.

“Kok malah bengong? Aku nggak akan diajak masuk?” godanya. Tersadar, Haknyeon pun menjadi salah tingkah.

“Eh. Iya. Maaf. Ayo masuk.” Sunwoo melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya, hanya untuk diterjang oleh Haknyeon satu detik kemudian dalam sebuah pelukan.

“Hakkie? Kenapa?” Haknyeon menggeleng di dada Sunwoo. Rasa lega karena di depannya kini berdiri sang kekasih hati dengan suasana hati yang baik, membuat Haknyeon mulai terisak.

“Eh? Kok nangis? Kenapa? Kamu nggak suka aku dateng? Aku pulang aja, gitu?” tanya Sunwoo panik sambil tetap mengelus punggung kekasihnya dengan lembut. Sibuk dengan isakannya, Haknyeon hanya bisa menjawab dengan gelengan panik.

“Terus kenapa? Ada yang ngejahatin kamu? Coba bilang siapa orangnya, biar aku datengin!” Haknyeon dapat merasakan tubuh Sunwoo berubah kaku, sehingga ia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan dirinya.

“Aku ….” Haknyeon menghirup cairan yang keluar dari hidungnya. “... aku seneng kamu dateng, berarti kamu udah nggak marah lagi sama aku, ‘kan?” tanyanya sambil menatap Sunwoo dengan mata berkaca-kaca. Sunwoo tersenyum sayang seraya menghapus sisa air mata yang masih bersemayam di netra Haknyeon, membuat bulu mata lentik pemuda manis itu seperti disinggahi embun pagi.

“Harusnya kamu yang marah sama aku, nggak sih? Aku udah ngebentak kamu gitu kemaren, hampir bikin kamu celaka juga karena aku nggak bisa ngontrol emosi dan kekuatanku. Maaf ya, sayang?” ucap Sunwoo lembut sambil mengecup kening Haknyeon yang kembali terisak.

“Aku yang salah. Aku ngomongnya nggak pake mikir.” Haknyeon menghirup cairan hidungnya lagi. “Kak Changmin tadi malem udah ngasih tau banyak hal ke aku dan aku ngerasa bego banget karena aku ngomong pengen jadi atua tanpa pikir panjang dulu.”

“Bersihin dulu itu idungnya, yuk. Kamu pusing nanti kalo nyedot ingus terus.” Sunwoo membimbing Haknyeon menuju kamar mandi, merasa unit apartemen itu sudah menjadi rumahnya sendiri. “Abis itu baru kita ngobrol,” lanjutnya.

“Hm-mm.” Haknyeon tidak menolak, karena toh ia senang diurus oleh Sunwoo.


“Kata Kak Juyeon, kamu sakit?” tanya Sunwoo saat mereka saling berpelukan di sofa. Hmm … lebih tepatnya Haknyeon yang memeluk Sunwoo erat-erat. Yang ditanya menggeleng pelan.

“Cuma nggak enak badan karena kurang tidur. Kebanyakan mikir juga.”

“Kasian, sayangnya Sunu.” Sunwoo memeluk erat Haknyeon. “Malem ini harus tidur nyenyak ya, aku kelonin. Tadi udah dapet izin dari Eric untuk nginep.”

Haknyeon tertawa geli membayangkan adik sepupunya memberi izin kepada Sunwoo untuk menginap.

“Aku harus bikinin Eric ice cream cake buat ucapan terima kasih.”

“Nanti aku bantuin, tapi kamu harus tidur cukup dulu.”

“Hm-mm.” Haknyeon bergelung semakin merapat kepada Sunwoo, sampai-sampai jika satu inci lagi ia bergerak mendekat, ia akan duduk di pangkuan lelaki itu.

“Kamu hari ini ada taringnya,” gumam Haknyeon.

“Iya. Aslinya emang semua atua itu punya taring, Hak.”

“Buat ngisep darah?” Sunwoo tertawa.

“Bukan. Buat seru-seruan aja kayaknya.”

“Kok kemaren-kemaren nggak ada taringnya?”

“Karena pake serum. Serumnya itu cuma tahan selama satu minggu. Nah, satu minggunya aku itu tadi malem, tapi saking aku pusingnya, aku nggak kepikiran untuk bikin serum. Jadi ya udah … terima aja ya cowok bertaring kamu ini.”

Haknyeon tertawa pelan. Kalo ciuman ada taringnya, gimana rasanya, ya? Haknyeon sedikit bergidik karena merasakan antusiasme atas pemikirannya mengalir di tubuhnya bagai sengatan listrik.

“Kak Changmin tadi malem ngasih tau apa aja?” tanya Sunwoo setelah mereka terdiam beberapa saat dan menghayati presensi masing-masing.

“Ngasih tau suka dukanya jadi atua, dari culture shock sampe nyesel jadi atua.” Sunwoo mengangguk tanda ia setuju dengan apa yang diberitahukan Changmin pada kekasih manisnya itu. “Maaf, Sunu …,” lanjut Haknyeon pelan.

“Iya, dimaafin.”

“Kok tumben kamu nggak bilang ‘nggak apa-apa, Hakkie’?” tanya Haknyeon sambil menatap Sunwoo dengan heran.

“Enggak. Soalnya kalo aku bilang ‘nggak apa-apa’, itu jadi mengecilkan nilai pentingnya apa yang dikasih tau Kak Changmin, padahal itu penting banget. Kalo aku bilang ‘nggak apa-apa’, berarti aku membenarkan omongan kamu kemaren, padahal itu salah banget.” Haknyeon terdiam.

Sunu ini kayak orang tua yang lagi ngedidik anaknya, deh … bukan kayak lagi ngobrol sama cowoknya.

“Kamu tau kenapa aku marah kemaren?”

“Hm-mm. Karena aku pengen jadi atua, padahal aku belom tau apa-apa tentang kerasnya hidup kalian.” Sunwoo tersenyum kecil.

“Syukurlah kalo kamu udah tau tanpa aku harus ngasih tau.”

“Tapi aku dikasih tau sama Kak Changmin.”

“Dikasih tau susahnya hidup jadi atua, ‘kan? Bukan tentang aku marah kenapa, ‘kan?” Sunwoo merasakan Haknyeon mengangguk di bahunya. “Itu udah cukup. Yang penting kamu udah tau aku marahnya karena apa dan kamu tau sikap kamu yang bikin aku marah kemaren itu apa.”

“Hmm …,” gumam Haknyeon yang kini memainkan tali hoodie hitam yang dikenakan Sunwoo.

“Aku juga minta maaf karena kemaren ngebentak kamu kayak gitu. Aku kesel banget denger kamu segitu entengnya pengen jadi atua. Aku tau, jadi atua atau enggak itu pilihan setiap orang, kalo kamu emang beneran pengen jadi atua setelah kamu tau semua suka dukanya, aku juga nggak bisa ngelarang apa-apa. Tapi … kamu pengen jadi atua cuma karena pengen bareng-bareng aku selamanya. Itu … jujur, itu beban juga buat aku, karena kesannya aku yang ngambil hidup kamu. Hidup normal kamu.”

Haknyeon kembali mengangguk. “Aku paham. Kemaren kata-kata Kak Changmin juga udah nampar aku. Abadi itu waktu yang lama banget, never ending story kayaknya, nggak menjamin perasaan kita akan selalu sama selama itu, pasti ada naik turunnya. Nggak menutup kemungkinan juga hubungan ini bakal selesai di tengah-tengah dan … mungkin kalau saat itu tiba, aku bakal nyesel kenapa aku mau jadi atua dan … mungkin ngebenci kamu juga.”

“Itu dia. Itu yang aku takutin kemaren. Aku nggak mau dibenci sama kamu, sayang. Aku nggak mau jadi orang—makhluk—yang ngerusak hidup kamu.”

“Aku paham sekarang. Aku nggak akan ngulangin lagi.” Sunwoo mengecup pelipis Haknyeon sebagai tanggapan. “Tapi, Nu ….”

“Hm?” gumam Sunwoo saat Haknyeon tidak melanjutkan kalimatnya.

“Kita usahain bersama selama mungkin, ya? Kalaupun nanti akhirnya kita pisah karena aku meninggal, tolong cari aku lagi di kehidupanku selanjutnya, ya?”


©️aratnish'22

Bagian 33 dari “Eternity”

“Gue boleh masuk?” tanya Chanhee dari balik pintu kamar Sunwoo sekitar setengah jam berselang. Gumaman yang terdengar dari dalam kamar membuat Chanhee membuka pintunya.

“Itu pecahan kacanya dibersihin dulu, nanti lo bisa luka-luka,” kata Chanhee saat melihat pecahan kaca berserakan di lantai kamar itu.

“Nanti juga sembuh sendiri lukanya.”

“Sunwoo … yuk ah jangan childish gini. Bangun dulu, bersihin dulu.” Chanhee menarik Sunwoo turun dari ranjang. Yang ditarik menggerutu, namun menuruti keinginan yang lebih tua.

“Coba sekarang cerita sama gue kenapa tadi lo bisa semarah itu sama Haknyeon.” Chanhee berkata dengan nada menenangkan saat mereka berdua duduk di meja pantry, dengan secangkir kopi di hadapan masing-masing, setelah membersihkan pecahan kaca di kamar Sunwoo. Sunwoo terdiam dan Chanhee tidak mendesaknya.

“Lo ngebersihin semua pecahan kacanya sendiri, Kak?”

Mengalihkan pembicaraan. Tipikal Sunwoo banget, pikir Chanhee.

“Cuma lantai ini sama lantai dua. Gue belom liat basement sama lantai tiga. Nggak sanggup gue malem-malem harus beres-beres semua lantai.”

“Besok gue bersihin semuanya.”

“Hm.”

“Terus tetangga-tetangga gimana, Kak? Gue denger tadi banyak yang dateng.”

“Gue modifikasi ingatan mereka, bilang bahwa kita memang lagi renovasi rumah, makanya semua kaca lagi dilepas, terus kita ada yang nggak sengaja malah mecahin kacanya. Tapi besok kita bener-bener harus manggil tukang kaca, Sun. Kita bukan Harry Potter, kita nggak bisa pake mantra Reparo. Bahkan kalo nggak salah Harry Potter juga nggak bisa pake mantra itu, ‘kan? Yang pake biasanya Hermione, 'kan?”

Sunwoo mendengus dengan geli. “Nggak tau, Kak. Gue nggak nonton atau baca Harry Potter. Besok gue yang bakal pesen kacanya. Tapi kayaknya nggak bisa langsung dateng kali ya? Soalnya kita ‘kan pesennya banyak dan ukurannya macem-macem.”

“Iya. Paling harus inden dulu.”

“Hm-mm.”

Mereka menyesap kopi masing-masing dalam diam.

“Jadi … ada apa?”

Sunwoo menghela napas. “You won’t let me off this topic, right?”

Chanhee mengangguk. “Hanya karena lo nyakitin Haknyeon, padahal gue tau lo madly in love with him.”

“Kak Changmin nganterin Hakkie pulang, ‘kan?”

“Iya. Nggak usah khawatir, gue nggak mungkin ngebiarin Haknyeon pulang dengan pikiran kalut dan marah sama lo kayak tadi.”

I’ve messed up, right?” tanya Sunwoo sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Hm-mm. Mau cerita?”

“Gue nggak mau Hakkie jadi atua,” jawab Sunwoo pelan.

“Kenapa? Lo nggak mau bareng-bareng sama dia terus?”

“Bukan gitu! Tuhan tau gue pengen banget selamanya sama Hakkie, tapi ….”

“Tapi jadi atua itu berat?” sambung Chanhee. Sunwoo mengangguk sambil memejamkan matanya.

“Gue nggak mau Hakkie ngalamin semua culture shock itu, gue nggak mau Hakkie hidup sendirian untuk waktu yang lama—”

“Tapi 'kan lo bakal ada untuk dia, Sun,” potong Chanhee.

”—gue nggak mau Hakkie ngeliat kematian orang-orang yang dia sayang.”

Chanhee terdiam. Harus ia akui, itu adalah bagian yang paling berat dari menjadi atua. Chanhee ingat bagaimana terpuruknya ia saat melihat orang tua dan anggota keluarganya yang lain meninggal. Bagaimana sedihnya ia setiap melihat keturunan-keturunan dari keluarganya satu per satu meninggalkan dunia fana. Bagaimana ia yakin bahwa suatu hari mereka akan terlahir kembali ke dunia dengan wujud yang mungkin berbeda, tapi ia masih akan tetap di sini dengan usia dan wujud yang sama.

“Gue nggak mau Hakkie harus selalu waspada atau takut atas kehadiran rapunga. Gue nggak mau Hakkie membimbing jiwa-jiwa yang meninggal, yang nggak semuanya baik dan gampang diatur.”

Sunwoo terdiam dan menghela napas berat.

“Gue … gue mau Hakkie hidup dengan normal tanpa harus takut sama hal-hal yang diluar nalar manusia,” lanjutnya dengan suara yang sarat akan emosi.

“Dia mau jadi atua demi lo, karena dia pengen terus sama lo. Dia segitu sayangnya sama lo, Sun.”

“Gimana seandainya suatu hari nanti perasaan dia ke gue ilang dan dia udah keburu terjebak jadi atua? Apa dia nggak akan nyesel? Apa dia nggak akan benci sama gue? Gue … gue nggak mau dibenci sama Hakkie. Gue nggak takut ngadepin rapunga sekuat dan sebanyak apapun, tapi gue takut dibenci sama Hakkie.”


“Sunu marah banget sama gue ya, Kak?” tanya Haknyeon pelan saat ia berjalan di keheningan malam bersama Changmin menuju apartemennya.

“Hm-mm. Lagian, lo pake bercanda pengen jadi atua,” kekeh Changmin.

“Gue serius pengen jadi atua, pengen sama-sama dia terus. Gue sesayang itu sama dia. Tapi … kayaknya perasaan Sunu nggak sama. Kayaknya dia nganggap hubungan ini cuma sementara,” cerocos Haknyeon dengan sedih.

“Hm … gue nggak setuju, sih. Sunwoo itu sayang banget sama lo. Lo satu-satunya orang yang pernah punya hubungan sama dia. Sebelum-sebelumnya, dia nggak pernah berniat untuk deket sama siapapun, padahal Chanhee sama gue udah sering nyuruh dia untuk bersosialisasi selain sama atua.”

“Cuma karena gue reinkarnasi dari Haeseong.”

“Nggak juga, sih. Awalnya mungkin iya, tapi sejak lo sering minta kita jadi tester, nggak pernah tuh dia peduli lagi lo itu reinkarnasi dari Haeseong atau bukan. He's madly in love with you, Ju Haknyeon. Gue bisa jamin itu.”

“Terus kenapa dia nggak mau gue jadi atua?”

Changmin terdiam. “Jadi atua itu nggak gampang, Hak. Berat malah, kalo gue boleh jujur. Sunwoo pasti udah cerita ‘kan ya tugas atua apaan, sama apa atau siapa yang harus atua hindarin. Dan melakukan itu semua sementara kita harus hidup di tengah-tengah manusia, berusaha membaur, dan jangan sampe keceplosan … itu bikin capek banget, Hak.

“Kalo denger cerita soal abadinya, mantra—dan kata lo—trik yang ada, emang seru, tapi sampe ke tahap seru itu butuh waktu yang laaamaaa banget. Jujur, gue sampe sekarang kadang masih suka susah beradaptasi, apalagi kalo udah ketemu sama ‘generasi’ baru. Chanhee sekarang lagi tahap stabil, tapi sebelumnya juga ada masa dimana dia susah beradaptasi sama budaya atau teknologi baru. Kalo Sunwoo, sekarang kayaknya udah ada di masa bosen dan apatis.”

Changmin menarik napas berat sesaat.

“Dan Hak … ini berlangsung sampe nggak tau kapan. Gue, Chanhee, dan juga Sunwoo—dan atua lain di luar sana—harus ngalamin setiap culture shock ini nggak tau sampe kapan. Dan lo tau apa yang paling berat?”

“Apa?” tanya Haknyeon dengan suara pelan.

“Hari dimana lo harus ngeliat anggota keluarga lo dan semua keturunannya meninggal, sementara lo tau lo bakal terus ada di dunia ini sampe entah kapan, dan nggak tau ending-nya bakal gimana.”

Haknyeon terdiam. Ia membayangkan ia harus melihat ibu, atau kakak perempuannya, atau bahkan Eric meninggal karena usia yang sudah lanjut, namun ia tetap pada usianya sekarang sampai entah kapan. Haknyeon merinding, bukan karena udara sekitar yang dingin, tapi karena ia tiba-tiba merasa dingin di dalam dirinya.

“Bagian lo nyesel udah milih jadi atua juga sama nggak enaknya, sih,” lanjut Changmin sambil tetap menatap lurus ke depan.

“Lo pernah nyesel, Kak?” tanya Haknyeon terkejut.

“Oh. Jelas. Terakhir kali gue nyesel … hmm … sekitar dua dekade lalu kali, ya? Waktu mulai zaman milenial gitu kalo nggak salah. Gue ngerasa stres aja karena ngerasa susah ngikutin perkembangan zaman dan yah … jadi ngerasa nyesel.

“Poin gue di sini, Hak … gue aja yang milih jadi atua karena keinginan sendiri, karena keadaan gue sendiri, bisa ngerasa nyesel di satu titik. Apa lo yakin lo nggak akan nyesel nantinya? Mungkin ini pikiran negatif gue aja, tapi nggak menutup kemungkinan satu hari nanti lo bosen sama Sunwoo, atau sebaliknya, dan hubungan kalian nggak berjalan lancar. Apa lo nggak bakal nyesel udah mengorbankan semua kehidupan normal lo demi Sunwoo?”

Shit,” desis Haknyeon kesal. Mulai menyadari tindakan bodoh yang dilakukannya sebelumnya dan alasan di balik sikap marah Sunwoo padanya.

“Gue agak bisa nebak kenapa Sunwoo marah ke lo tadi, tapi gue nggak mau ngasih tau lo, biar lo renungin sendiri, ya.”

“Gue ngerasa bego banget,” keluh Haknyeon pelan, membuat Changmin tertawa pelan.

“Enggak, lo emang baru tau lapisan luarnya aja, belom tau detil apa yang harus dihadapin, jadi wajar aja lo mikir yang seru-serunya. Nanti diobrolin aja ya kalo lo sama Sunwoo udah pada tenang. Sunwoo cepet tenangnya, kok.”

“Iya, Kak. Makasih banyak ya, Kak.”

Anytime, kiddo,” jawab Changmin sambil mengacak pelan rambut Haknyeon.


©️aratnish'22

Bagian 32 dari “Eternity”

Changmin dan Chanhee menampakkan senyum yang sangat lebar selama acara makan malam mereka. Bagaimana tidak? Haknyeon terlihat begitu menggemaskan saat sedang makan dan sangat terlihat bahwa Sunwoo tergila-gila dengan lelaki di sebelahnya itu.

“Sekarang gue baru percaya sama omongannya Sunwoo,” celetuk Changmin saat mereka berkumpul di ruang keluarga untuk saling mengakrabkan satu sama lain.

“Apaan tuh?” tanya Sunwoo, sementara Haknyeon melihat ke arah Changmin dengan penasaran.

“Haknyeon beneran ngegemesin.” Dilatarbelakangi dengan tawa geli dari Chanhee dan Changmin, serta senyuman sayang dari Sunwoo, Haknyeon bergerak-gerak salah tingkah dengan wajah memerah di tempatnya duduk.

“Iya loh beneran. Abisnya selama ini kita cuma denger ceritanya dari Sunwoo, ‘kan kita juga perlu pembuktian. Iya nggak, Chan?” Chanhee mengangguk-angguk setuju sambil menutupi mulutnya untuk menyembunyikan senyum geli yang masih tercetak di sana karena melihat ekspresi salah tingkah Haknyeon.

“Gue bilang juga apa. Hakkie itu ngegemesin.” Dan kata-kata Sunwoo membantu Haknyeon semakin salah tingkah.

“Kamu nggak usah nambah-nambahin. Diem aja,” gerutu Haknyeon sambil mencubit lengan Sunwoo dengan gemas.

Kalian berdua ngegemesin! pekik Chanhee dan Changmin dalam hati.

“Ngomong-ngomong, makasih ya Hak, udah ngebolehin kita jadi tester. Semua cake lo enak!” kata Chanhee berusaha mencairkan suasana agar Haknyeon tidak terlalu salah tingkah.

“Iya Kak, sama-sama. Gue minta maaf kalo selalu ngerepotin.”

“Ih enggak, lah! Gue malah seneng, mayan sering ada dessert gratis.”

“Apalagi ternyata yang bikin kuenya sengegemesin ini.”

“Eh. Eh. Eh. Nggak boleh tebar pesona, Hakkie punya gue.” Sunwoo menimpali kata-kata Changmin sambil menarik Haknyeon pada pinggangnya supaya duduk semakin dekat dengannya.

“Dih. Siapa yang tebar pesona? Ini tuh gue lagi mengagumi ciptaan Tuhan, tau!” elak Changmin, geli dengan sikap posesif Sunwoo yang membuat wajah Haknyeon bersemu merah.

“Haknyeon kenapa sih mau sama Sunwoo yang gloomy gini?” tanya Chanhee penasaran. Haknyeon menatap Sunwoo dengan sayang.

“Soalnya udah terlanjur sayang sama Sunu, Kak.”

“Aduuuh buciiin!” goda Chanhee sambil tertawa. “Tapi Sunwoo juga bucin sih.”

Mereka pun mengobrol santai selama beberapa saat dengan beberapa gelas red wine untuk meredakan ketegangan yang ada. Haknyeon kini telah rileks dan tidak malu-malu lagi untuk menyandarkan tubuhnya kepada Sunwoo yang memeluknya dengan senang hati.

“Gue mau nanya, boleh nggak?”

“Tanya aja.” Chanhee mempersilakan Haknyeon.

“Emm … kemaren Sunu udah sempet cerita tentang atua.” Chanhee dan Changmin langsung memasang sikap waspada. “Eh! Enggak! Gue bukannya mau ngincer kalian. Seriusan! Gue belom pernah denger tentang atua sebelom Sunu cerita.” Sunwoo mengusap punggung Haknyeon untuk menenangkan kekasihnya yang mulai panik.

“Iya, Hak … Sunwoo juga udah cerita kemaren. Sorry ya, tapi emang topiknya agak sensitif dan gue biasa untuk defense duluan. Rasanya masih agak aneh aja untuk ngomongin tentang atua sama tahuti—ah—sama manusia,” ucap Chanhee yang mendapat anggukan persetujuan dari Changmin.

“Jadi … mau nanya apa?” tanya Changmin saat Haknyeon hanya terdiam.

“Atua 'kan hidup berdampingan sama manusia, selama berabad-abad, pula. Apa nggak ada manusia yang curiga ngeliat kalian nggak makin tua?” tanya Haknyeon penasaran. Chanhee dan Changmin secara terang-terangan menjadi rileks saat mendengar pertanyaan itu. Senyum kecil bahkan terukir di bibir keduanya.

“Ada yang namanya mantra pengubah penampilan dan pemodifikasi ingatan. Tapi kita biasanya sih pake pengubah penampilan, soalnya kasian kalo ingatan manusia sering dimodifikasi.” Changmin menjelaskan.

“Boleh liat, nggak?” tanya Haknyeon malu-malu.

“Liat Sunwoo aja, ya? Dia kalo udah tua jadi makin cakep, lho,” goda Chanhee. Sunwoo tersenyum sambil menggelengkan kepalanya saat mendengar godaan dari Chanhee.

“Iya?” tanya Haknyeon dengan mata berbinar-binar. Sunwoo tertawa kecil.

“Nggak tau. Katanya sih gitu.”

“Mana? Mana? Mana? Mau liaaat!” seru Haknyeon penuh semangat.

“Kamu mabok, ya?” tuduh Sunwoo geli.

“Mana ada red wine bikin aku mabok?” gerutu Haknyeon sambil memajukan bibirnya. “Ayo cepetan, Nu … mau liaaat!”

Merapal mantra dalam hati, Sunwoo mengubah penampilannya menjadi lima belas tahun lebih tua dari usianya saat itu.

“Waaah … iyaaa … ganteng banget,” bisik Haknyeon dengan mata berbinar, membuat wajah Sunwoo bersemu merah dan Chanhee serta Changmin terkekeh geli melihat wajah atua yang paling senior itu.

Haknyeon mendekatkan bibirnya ke telinga Sunwoo dan berbisik dengan sensual. “You stuck with me forever, Mr. Kim. Blame your handsomeness.”

Shit! Jangan di sini, Hakkie. Jangan di depan Kak Chanhee dan Kak Changmin. Kamu mau bisik-bisik kayak gimana juga, mereka tetep bisa denger, ratap Sunwoo dalam hati. Benar saja, kedua teman serumahnya itu kini sudah hampir kehabisan napas karena menahan tawa.

“Jadi atua kayaknya seru banget, ya? Banyak mantra yang bisa dipelajarin, banyak trik. Kayak pesulap.” Ketiga atua yang ada di ruangan itu tertawa geli saat mendengar pernyataan Haknyeon.

“Gue juga pengen jadi atua, deh.” Tawa ketiganya langsung berhenti saat mendengarnya.

“Hakkie?”

“Kayaknya seru ‘kan Nu, bisa bareng-bareng selamanya? Ngejaga satu sama lain untuk waktu yang nggak terbatas.”

“Hak ….” Chanhee dan Changmin saling berpandangan dengan khawatir saat mereka rasa aura di ruangan itu mulai berubah.

“Jadi atua itu syaratnya apa sih, Nu? Harus meninggal dulu, ya? Kalo nggak harus meninggal dulu bisa nggak sih?”

“Haknyeon, kayaknya mending kita ganti topik, deh. Nggak baik bercanda soal beginian,” usul Changmin berusaha mengalihkan pembicaraan, karena energi tidak enak sudah menguar dari Sunwoo.

“Gue nggak bercanda sih, Kak. Beneran kepengen jadi atua biar bisa bareng-bareng sama Sunu sampe laaamaaa. Sama kakak-kakak juga. Ngebayangin bisa bikin cake sampe waktu yang nggak ada batasnya sambil ngalamin sendiri perkembangan dunia kuliner itu kayaknya sesuatu yang menarik banget.”

Stop, Hakkie. Itu nggak lucu,” cetus Sunwoo dengan suara rendah.

“Kamu nggak mau bareng-bareng aku selamanya, Nu?” gerutu Haknyeon.

“Hakkie, please.”

“Meninggalnya harus gimana, Kak? Terus berapa lama sampe kita berubah jadi atua?” Haknyeon mengalihkan perhatian ke arah Chanhee dan Changmin.

“Ju Haknyeon. Pulang,” tegas Sunwoo. Haknyeon memalingkan wajahnya ke arah Sunwoo dengan terkejut.

“Kamu ngusir aku?!”

“Kalo kamu nggak berhenti bercanda kamu pengen jadi atua, mendingan kamu pulang.”

“Aku nggak bercanda, Sunu! Aku beneran pengen jadi atua! Aku pengen nemenin kamu!”

“CUKUP! PULANG!”

Teriakan Sunwoo itu diiringi dengan pecahnya seluruh kaca jendela yang ada di rumah itu. Haknyeon memekik sambil menutup kedua telinganya, sementara Chanhee dan Changmin refleks melindungi Haknyeon dari pecahan kaca yang berterbangan.

“Sunwoo! Kontrol!” sergah Chanhee.

“Suruh dia pulang, Kak Chanhee! Suruh dia pergi! Gue nggak mau liat dia!” pinta Sunwoo sambil beranjak menuju tangga yang mengarah ke kamarnya di lantai dua.

“Kamu nggak bisa seenaknya ngusir aku gitu, Sunu!”

“Aku bisa! Aku yang punya rumah! Pulang kamu sekarang!”

“Kim Sunwoo!”

“PULANG, JU HAKNYEON!” Teriakan Sunwoo menggelegar di rumah itu.

“Min, anterin Haknyeon pulang. Ini udah malem dan dia nggak sepenuhnya sadar,” perintah Chanhee kepada Changmin yang langsung membimbing Haknyeon untuk berjalan melewati semua pecahan kaca dengan hati-hati.

“Gue nggak mau pulang, Kak! Gue mau ngomong sama Sunu! Dia nggak bisa seenaknya gitu ke gue!” amuk Haknyeon.

“Haknyeon, seperti yang gue bilang, topik atua ini cukup sensitif kalo dibahas sama manusia. Sunwoo kalo lagi marah susah diajak ngomong, jadi mending lo pulang aja dulu, ya? Biar gue yang ngomong pelan-pelan sama dia. Gue tau maksud lo apa dan kayaknya gue juga tau kenapa Sunwoo marah kayak tadi. Jadi, mending kalian berdua cooling down dulu, ya?” Chanhee mencoba menenangkan Haknyeon yang wajahnya sudah memerah karena marah.

“Gue masih marah sama Sunu!”

“Iya, nggak apa-apa. Gue ngerti. Lo pulang aja dulu, ya. Nanti kalo Sunwoo udah tenang, gue suruh dia ngobrol baik-baik sama lo.”

Haknyeon tidak menjawab, tapi wajahnya tetap mencerminkan bahwa ia tidak terima dengan perlakuan Sunwoo.

“Yuk, Hak. Gue anterin lo pulang.” Changmin menarik pelan lengan Haknyeon yang akhirnya menghela napas dan mengikutinya ke arah pintu depan.

Sorry, Kak. Gara-gara gue, acara kenalan kita jadi berantakan.”

“Nggak apa-apa, Haknyeon. Kita bisa ketemu dan ngobrol-ngobrol lagi lain kali.”

Mengangguk sebagai tanda ia pamit, Haknyeon pun melangkah keluar dari pintu yang dibukakan oleh Changmin.

Chanhee melihat ke sekeliling rumah yang berantakan dan menghela napas lelah.

“Haaah~ Sunwoo must pay me high for this,” keluhnya saat bel rumah itu berbunyi, menandakan ada tetangga yang datang ke rumah mereka.


©️aratnish'22

Bagian 31 dari “Eternity”

“Kalo misalnya kemaren itu ternyata aku bukan reinkarnasi dari Haeseong … gimana?”

“Nggak gimana-gimana, sayang. ‘Kan tadi aku udah bilang, Ju Haknyeon udah lebih dari cukup buat aku. Aku nggak butuh yang lain lagi.”

“Aku … aku takut kamu cuma ngeliat bayang-bayang Haeseong di aku …,” bisik Haknyeon.

“Enggak, Hakkie sayang … aku ngeliat Haknyeon, aku nggak liat—dan nggak berusaha mencari bayang-bayang Haeseong—di kamu. Jangan takut ya … aku butuhnya kamu, bukan Haeseong.”

“Hm-mm.”

“Masih ada lagi yang pengen kamu tau?” Haknyeon menggeleng. “Kalo gitu, sekarang boleh giliran aku yang nanya?”

“Nanya apaan?” tanya Haknyeon penasaran.

“Kamu … akhir-akhir ini ada mimpi apa, nggak? Maksudnya … tentang masa lalu?”

“Oh! Iya! Aku sampe lupa mau cerita! Jadi, mimpinya tuh so far masih seputar kehidupan Haeseong dari awal ketemu kamu dan selalu diakhiri sama kejadian kamu di … di ….”

“Dieksekusi,” bantu Sunwoo.

“Iya. Itu. Tapi, sempet ada satu mimpi yang aku ngeliatnya dari sudut pandang kamu.”

“Oh ya? Apa tuh?”

“Waktu kamu ngeliat aku meninggal.”

“Oh?”

“Kamu … sedih banget waktu itu karena nggak bisa ngeliat aku lagi.”

“Ya siapa sih yang nggak sedih karena nggak bisa ngeliat temen baiknya lagi?”

“Kita beneran cuma temenan waktu itu? Nggak lebih?”

Sunwoo tersenyum geli. “Kalo dari sisi aku sih, aku sayang sama Haeseong lebih dari sekadar temen, tapi aku nggak tau gimana perasaan Haeseong ke aku. Gimana menurut kamu? Kamu yang pernah ngeliat dunia dari mata Haeseong.”

Haknyeon terdiam sesaat. “Kayaknya Haeseong ngeliat kamu sebagai sahabat. Dia juga ngerasa bersalah karena nggak bisa ngebela kamu,” jawabnya pelan.

“Nah, berarti aku bertepuk sebelah tangan. Eh? Kenapa?” tanya Sunwoo bingung saat Haknyeon memeluknya tiba-tiba.

“Haeseong bego karena cuma nganggep kamu sebagai sahabat!” gerutu Haknyeon.

“Nggak masalah, yang penting kamu nggak cuma nganggep aku sebagai sahabat,” ucap Sunwoo sambil tertawa kecil.


“Nu, aku pengen deh ketemu Kak Chanhee sama Kak Changmin,” celetuk Haknyeon saat mereka berjalan dengan bergandengan tangan menuju apartemen Haknyeon untuk pulang.

“Eh? Kenapa?”

“Ya … pengen kenalan aja. Kamu udah kenal Eric, ya masa aku nggak kenal sama keluarga kamu?” Mata Sunwoo berbinar.

“Ini maksudnya kita mau nikah dalam waktu deket?” tanyanya sambil menunduk dan mendusel leher Haknyeon.

“Nggak gitu konsepnya!” Haknyeon menggerutu walaupun dengan wajah memerah.

“Iya … iya …. Aku sih terserah kamu, kamu kapan libur lagi? Tapi kalo weekday sih Kak Chanhee sama Kak Changmin baru bisanya diatas jam enam sore karena mereka baru pulang kerja jam segitu. Kalo weekend bisa bebas.”

“Kamu liburnya kapan?”

“Aku mau besok libur lagi juga nggak apa-apa. Mau cuma di rumah terus juga bisa sebenernya.”

“Kok gitu?! Nggak akan dimarahin Kak Hyunjae?” Sunwoo tersenyum kecil.

To be honest, that bar is mine, baby. Bang Hyunjae is my employee.”

“HAH?! Kok kamu nggak bilang-bilang?! Pantesan … aku bingung, kok kamu enak banget dapet liburnya. Kapan aja diajak pergi pasti bisa.” Haknyeon menggeleng tidak habis pikir.

“Nggak ada momen juga sih yang ngebuat aku harus bilang-bilang.”

“Iya juga.” Sesaat mereka berjalan dalam keheningan yang penuh dengan kehangatan. “Kalo ketemu Kak Chanhee sama Kak Changmin-nya lusa, boleh nggak?”

“Kamu lusa libur?”

“Aku owner Arani, kalo kamu lupa,” goda Haknyeon yang membuat Sunwoo terbahak.

“Dih dia bales dendam,” cetus Sunwoo geli. “Boleh kalo mau lusa, tapi … kok buru-buru amat? Nggak mau nunggu sampe weekend aja biar santai ngobrol-ngobrolnya?”

Haknyeon mengedikkan bahunya. “Kalo weekend, toko suka rame, kasian Eric sama Kak Juyeon kalo ditinggal cuma berdua. Aku kadang harus dadakan bikin cake tambahan juga soalnya.”

“Oke. Lusa kalo gitu. Nanti aku kasih tau Kak Chanhee sama Kak Changmin, ya.”

Tidak lama, mereka pun sampai di depan pintu unit apartemen Haknyeon.

“Mau mampir?” tanya Haknyeon. Ada sesuatu yang tersirat dari pertanyaannya. Dan Sunwoo menangkap itu. Lelaki itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.

“Udah jam delapan, aku langsung pulang aja, ya?”

“Sunu, ih!” protes Haknyeon kesal.

“Kenapa?”

“Ngeselin banget!”

Dengan kesal, Haknyeon membuka pintu unitnya dan menarik Sunwoo masuk. Lelaki itu mendorong Sunwoo ke arah pintu masuk dengan maksud untuk menyudutkannya sekaligus menutup pintu itu sendiri.

“Ha—”

Haknyeon tidak membiarkan Sunwoo untuk menyelesaikan kalimatnya, karena ia langsung menempelkan bibirnya dan mencium Sunwoo dengan tempo dan gerakan yang nyaris mendekati putus asa, seakan tidak ada waktu lagi bagi mereka untuk berciuman.

“Kenapa, sayang?” tanya Sunwoo dengan terengah setelah Haknyeon melepaskan pagutannya.

“Aku tuh kangen! Kamu ngerti, nggak sih? Ketemu di café gitu tadi doang nggak cukup!” rengek Haknyeon sambil menyembunyikan wajahnya di leher Sunwoo yang kini mengelus punggungnya.

“Aku ngerti, Hakkie ….”

“Terus kenapa pura-pura nggak ngerti?!”

“Karena aku nggak bawa kondom. Dan nggak tau kenapa, aku yakin kamu juga belom beli.”

Haknyeon mengernyitkan dahinya. “Kok tiba-tiba masalahin kondom? Biasanya juga kita nggak pernah pake.”

Sunwoo menjawil hidung Haknyeon dengan sayang. “Itu yang bikin kamu mimpiin semua kejadian di masa lalu, sayang.”

“HAH?” Sunwoo pun menceritakan apa yang diberitahukan Changmin padanya. “Wow … sperma kalian sakti, ya?” cetus Haknyeon kagum.

Sunwoo tertawa dengan sangat keras. “Aku pengen hidup di masa sekarang sama kamu, bukan di masa lalu sama bayang-bayang yang lain. So, please help me? Mulai saat ini kita pake pengaman, ya?”

“Ada yang pengen kamu sembunyiin dari masa lalu kamu?” tanya Haknyeon pelan.

“Bukan gitu, sayang. Kalo kamu mau tau tentang masa lalu aku, kamu tinggal tanya ke aku, aku jawab sejujur-jujur dan sebener-benernya. Aku nggak akan nutupin apa-apa. Aku cuma nggak mau kamu ngeliat aku dieksekusi terus di mimpi kamu.”

Iya sih, gue stres banget tiap bagian itu.

“Ya udah, kalo gitu tunggu apa lagi?”

“Gimana, Hak?”

“Sana beli kondom dulu!”

Tertawa keras, Sunwoo mencium Haknyeon dengan panas sebelum keluar dari unit apartemen itu sambil tetap tertawa geli.


“Kak Chanhee sama Kak Changmin bakal suka sama dessert-nya, nggak ya?” tanya Haknyeon tidak percaya diri saat Sunwoo menjemputnya di apartemen dua hari kemudian. Sunwoo tersenyum sambil mengusap rambut Haknyeon dengan lembut.

“Bukannya harusnya kamu lebih khawatir kalo mereka bakal suka sama kamu atau nggak? Kok malah dessert-nya sih yang dipentingin?”

“Eh iya, ya?! Aduh aku deg-degan banget!”

“Mana rasa percaya dirinya kemaren?” kekeh Sunwoo.

“Nggak tau. Nggak sengaja kecampur sama adonan terus kejual di toko kayaknya.” Sunwoo tertawa keras. Kalau dipikir-pikir, dalam beberapa bulan terakhir ini jumlah Sunwoo tertawa lebih banyak dibandingkan dengan kehidupannya selama empat ratus tahun lebih.

“Udah, nggak usah takut. Ada aku. Aku udah lebih lama jadi atua dibanding mereka.”

“Nggak nyambung!”

Selama perjalanan, Haknyeon terus berceloteh tidak tentu arah untuk menutupi rasa gugupnya. Walaupun sudah tahu akan hal itu, Sunwoo tetap meladeni celotehan Haknyeon, yang kemudian berhenti pada saat mereka sampai di depan rumahnya. Haknyeon terdiam dan menatap rumah bergaya Georgian berlantai tiga itu.

“Ini …. Aku pernah liat rumah ini di mimpi aku. Ini … rumah Haeseong, ‘kan?” tanya Haknyeon pelan.

“Ya dan tidak. Lebih tepatnya ini rumah tempat para budak tinggal. Masih bagian dari properti keluarga Jang, itu betul.”

“Kenapa kamu tinggal di sini?”

Sunwoo mengedikkan bahunya. “Awalnya karena aku nggak tau lagi harus tinggal di mana, aku capek pindah sana sini, dan aku cukup akrab sama bangunan ini karena sebagian besar waktu aku hidup, emang tinggal di sini. Lalu beberapa taun setelah Haeseong meninggal, keturunannya menjual properti ini dan pindah dari daerah sini. Waktu itu tabunganku masih sedikit, jadi aku cuma bisa beli bangunan ini. Tapi ini udah cukup bagus sih untuk ditinggalin.”

Haknyeon termenung. “Bukan karena nggak bisa move on dari Haeseong?” tanyanya pelan.

“Bukan, baby. Aku cukup ngeliat Haeseong dari jauh aja. Setelah dia nggak ada, ya udah. Aku tinggal di sini praktis cuma karena aku paling familier sama daerah dan bangunan ini.”

“Tapi kamu nggak pernah punya hubungan sama siapa-siapa lagi kayaknya selama ini?”

“Emang nggak pernah pengen deket sama orang lain, sayang. Baru sama kamu aja aku pengen deket-deket terus.”

“Kalian mau berdiri di luar berapa lama lagi? Gue udah laper, ini!” seru sebuah suara dari arah jendela depan dengan gusar.

Sunwoo tertawa kecil. “Itu Kak Chanhee. Yuk, kita masuk. Dia kalo laper jadi galak. Makin galak.”

Sambil tertawa gugup sebagai respons, Haknyeon mengikuti Sunwoo melangkah menuju pintu depan rumah itu.


©️aratnish'22