aratnish

~ I write the story I want to read ~

Bagian 30 dari “Eternity”

Entah sudah berapa lama Haknyeon dan Sunwoo duduk berhadapan dalam diam di café itu. Haknyeon tidak dapat membuat dirinya sendiri memulai pembicaraan, karena … ia terlalu jengah akan tatapan mata Sunwoo kepadanya dan genggaman yang tidak dapat—juga tidak mau—ia lepaskan. Sementara Sunwoo, ia tidak peduli apakah mereka akan mengobrol atau tidak, yang penting ia bisa melihat dan menyentuh Haknyeon saat itu.

“Nu?”

“Iya, sayang?”

“Jangan ngeliatin terus, bisa?” tanya Haknyeon akhirnya.

“Nggak bisa. Kalo nggak aku liatin, takutnya kamu tiba-tiba ilang.”

Haknyeon tertawa dengan kikuk. “Enggak, aku nggak akan ilang. Ehm … aku ‘kan belom minta maaf ke kamu.”

“Minta maaf kenapa?”

“Karena marah-marah dan ngusir kamu tengah malem waktu itu. Harusnya waktu itu kita bisa ngobrol baik-baik, tapi aku malah ngusir kamu. Maaf ya, aku childish banget.”

Sunwoo menggeleng sementara ibu jarinya membuat pola lingkaran-lingkaran di punggung tangan Haknyeon.

“Nggak apa-apa, Hakkie. Aku juga salah, harusnya kemaren itu aku nggak cerita—”

“Tapi ‘kan kamu cerita karena aku yang maksa!” potong Haknyeon.

“Iya, tapi harusnya aku bisa lebih bijak ceritanya, nggak keburu-buru kayak kemarin itu. Wajar aja kamu jadi marah sama aku. Dan lagi … aku waktu itu nggak pulang, kok. Aku pulang waktu Eric udah pulang. Aku nggak bisa ninggalin kamu sendiri dengan keadaan nggak tenang kayak gitu.”

“Hah?! Terus waktu itu kamu tidur di mana?!”

“Nggak tidur. Nggak bisa tidur. Lagian, biasanya 'kan aku tidurnya dari pagi ke siang, bukan dari malem ke pagi.”

“Tapi—!”

“Sshh … Hakkie, sayang … kita udah ketemu gini sekarang, nggak usah bahas yang kemaren-kemaren, ya? Aku minta maaf, aku nggak peka, harusnya aku nggak cerita segamblang itu.”

“Aku yang salah, Sunu. Aku yang nggak open minded. Padahal aku yang minta kamu cerita, tapi malah aku yang marah-marah, aku nggak nyoba ngertiin kondisi kamu. Padahal seharusnya aku malah berterima kasih karena kamu udah mau percaya sama aku untuk nyeritain semua. I know that’s not easy for you.”

Tersenyum kecil, Sunwoo berkata, “Ya udah, biar adil, kita sama-sama salah, ya?” yang dibalas Haknyeon dengan sebuah tawa.

Lelaki yang lebih tua satu tahun itu membalik tangannya di atas meja agar dapat balas menggenggam tangan lelaki di depannya.

“Maaf ya, Sunu ….”

“Udah, nggak usah minta maaf lagi.” Sunwoo mengecup tangan di dalam genggamannya. “Jadi … kita baikan?”

“Kita nggak pernah marahan. Aku cuma butuh waktu untuk mikir.”

“Jadi … kita tetep pacaran?”

“Iya, Sunu … kita tetep pacaran.”

Setelah melihat kekasihnya dengan intens selama beberapa detik, Sunwoo pun melepaskan genggamannya dengan enggan.

“Aku ke toilet dulu bentar, ya?” pamitnya. Haknyeon mengangguk sambil tersenyum kecil.

Haknyeon sedang menikmati iced chocolate-nya saat Sunwoo datang beberapa menit kemudian dan segera membereskan semua pesanan serta barang mereka di atas meja.

“Eh? Eh? Eh? Kenapa, Nu? Kok diberesin? Nu?” Haknyeon bertanya dengan bingung saat Sunwoo mengisyaratkan agar Haknyeon membawa gelas minumannya dan mengikutinya.

“Pindah tempat duduk.”

“Eh? Kenapa? Ada apa?” Walaupun bingung, Haknyeon menuruti keinginan Sunwoo dan mengikutinya ke bagian belakang café.


Haknyeon baru tahu bahwa di bagian belakang café itu masih terdapat area yang diperuntukkan bagi pengunjung. Bedanya, area itu terkesan lebih eksklusif dan intim karena setiap meja dibatasi oleh partisi yang tinggi dan dengan motif yang cukup rapat.

“Kenapa pindah ke sini?” tanya Haknyeon heran seraya duduk di salah satu sofa yang ada di bilik yang mereka tempati. Haknyeon kira, Sunwoo akan duduk di sofa seberangnya seperti biasa, tapi ternyata tidak. Sunwoo menghempaskan tubuhnya di sebelah Haknyeon dan memeluk lelaki itu erat-erat dari samping.

“Nu?”

“Kangen bangeeet, Hakkie …. Nanti lagi jangan diem-dieman lama-lama ya, aku nggak sangguuup,” rengeknya dari balik bahu Haknyeon. Sang kekasih terkekeh geli sambil menepuk-nepuk lengan kokoh yang memeluknya.

“Iya, Nu … nggak akan diem-dieman lagi. Jadi … ini pindah ke sini biar bisa peluk-pelukan?” godanya. Sunwoo mengangguk. “Di depan tadi malu?” Sebuah gelengan diberikan. “Terus kenapa?”

“Di depan tadi banyak orang jahat.”

“Eh?!”

“Yang cewek pada bisik-bisik pengen ngajak kamu kenalan. Yang cowok pada bilang kamu manis, terus pada niat ngajak aku berantem—karena aku keliatan lemah—biar bisa bawa kamu pulang. Mereka nggak tau aja, aku tiup aja mereka bisa patah tulang semua,” gerutu Sunwoo sambil tetap memeluk Haknyeon.

“Kok kamu bisa tau semua itu?” Haknyeon bertanya dengan terkejut. Sunwoo terdiam cukup lama dan kali ini Haknyeon tidak mendesaknya untuk menjawab.

“Pendengaran aku lebih tajem dari manusia biasa,” jawabnya pelan sambil melepaskan pelukannya pada yang terkasih. “Intinya, pancaindraku lebih tajem dari manusia biasa,” lanjutnya.

“Bisa baca pikiran juga, nggak?”

Sunwoo menggeleng. “Kalo sama manusia biasa, enggak. Tapi kalo ke sesama atua sih bisa.”

“Atua?”

“Makhluk immortal kayak aku disebutnya atua, Hak ….”

“Oooh … I see.” Haknyeon terdiam. Sesungguhnya ia ingin bertanya lebih lanjut, ingin diceritakan lebih banyak, tapi ia tidak yakin Sunwoo ingin melakukannya.

“Kenapa? Pengen tau lebih banyak?” tanya Sunwoo geli.

“Katanya nggak bisa baca pikiran?!” seru Haknyeon terkejut.

“Nggak perlu bisa baca pikiran untuk tau kalo kamu penasaran. Kebaca banget di muka kamu,” kekeh Sunwoo geli. Haknyeon memajukan bibirnya, antara malu dan kesal. Sunwoo tidak melewatkan kesempatan itu dan mengecupnya singkat.

“Coba, kamu pengen tau apanya? Tanya aja, nggak apa-apa.”

Setelah ragu selama beberapa saat, akhirnya Haknyeon bertanya,

“Kamu sendirian?”

“Hah? Apanya?”

“Jadi … atua?”

“Nggak sendiri. Ada cukup banyak atua di dunia, tapi di daerah kita ini cuma ada tiga. Aku nggak suka keramaian.”

“Tiga? Kamu nggak suka keramaian? Gimana maksudnya?”

“Tiga atua. Aku, Kak Chanhee, dan Kak Changmin.”

“OH! Aku kira mereka bener-bener kakak kamu!”

“Umur mereka waktu masih jadi manusia lebih tua dari aku, jadi aku manggil mereka kakak.”

“Ooo. Terus? Apa hubungannya sama kamu nggak suka keramaian?”

“Hmm … singkat cerita, setiap daerah dipimpin sama satu atua, kayak semacam penanggung jawab gitu deh. Kebetulan aku cukup lama ada di sini, jadi secara nggak langsung, daerah ini jadi tanggung jawabku. Nah, para penanggung jawab ini bebas mau ‘masukin’ berapa banyak atua ke daerah mereka.”

“Dan karena kamu nggak suka keramaian, jadi kamu cuma ngebolehin Kak Chanhee dan Kak Changmin yang gabung di sini?”

“Yap. Lagian, makin banyak atua, makin banyak konflik juga. Biar gimana juga kami hidup di zaman yang berbeda-beda sebelum akhirnya jadi atua.”

“Mm … kalo aku tanya kamu umur berapa, kamu tersinggung nggak?” tanya Haknyeon hati-hati.

“Enggak lah. Aku dulu hidup sampe umur duapuluh tiga taun. Setelah itu, aku udah hidup selama 412 taun sebagai atua.”

“KAMU TUA, IH!” seru Haknyeon terkejut yang membuat Sunwoo terbahak.

“Tapi aku awet muda. Energi aku juga masih bisa diadu sama yang muda-muda,” responsnya sambil mengedipkan mata dengan genit. “Ayo, mau nanya apa lagi?”

“Jadi immortal itu … gimana rasanya?”

“Hmm … nggak gimana-gimana, sih. Biasa aja.”

“Gimana rasanya nggak takut sama kematian?” Sunwoo terdiam. “Nu?”

“Atua bisa mati, Hak.”

“Lah katanya immortal?”

Sunwoo melihat ke arah kiri dan kanan dengan tatapan serius sebelum menjawab Haknyeon dengan suara pelan, “Tattoo yang atua punya, jadi titik kelemahan kami. Nggak semua manusia bisa nerima kehadiran atua di dunia dan mereka berusaha untuk menghilangkan kami dari sini.”

“Jadi ada manusia yang ngincer kalian?” Haknyeon ikut berbisik.

“Hm-mm.”

“Terus, kalo atua meninggal … gimana? Maksud aku, apa yang bakal terjadi?”

“Singkatnya, kami bener-bener ilang. Jadi bayangan, tapi tetep di sini, nggak bisa ke mana-mana, nggak bisa minta tolong ke siapa-siapa. Sampe kiamat.” Haknyeon menampakkan ekspresi ketakutan.

“Makanya waktu itu kamu panik waktu aku pegang tattoo kamu?” Sunwoo mengangguk. “Kamu kira aku salah satu dari manusia yang ngejar atua?”

“Aku percaya kalo kamu bukan salah satu dari mereka, tapi tetep aja aku refleks menghindar. Maaf, ya?”

Haknyeon menggeleng sambil memeluk Sunwoo lagi. “Nggak ada yang perlu dimaafin. Aku ngerti kok.”

“Makasih, sayang,” ucap Sunwoo sambil mengecup puncak kepala Haknyeon.

“Tugasnya atua tuh sebenernya apa, sih? I mean, you’re not immortal without any duty, right?”

Sunwoo tersenyum sambil mengecup rahang Haknyeon. “Kamu pinter. Aku suka.” Ia terkekeh melihat wajah Haknyeon yang mulai memerah.

“Jadi, tugas atua adalah membantu Bang Sangyeon—malaikat maut—untuk membimbing jiwa orang-orang yang udah meninggal menuju Araf. Ah, itu tuh yang kata aku dunia antara dunia ini dan dunia setelahnya.”

“Kenapa harus dibimbing? Bukannya harusnya malaikat maut udah punya jadwal tentang siapa meninggal kapan?”

“Pertanyaan bagus. Sebenernya sampe sekarang aku juga nggak tau kenapa, tapi biasanya yang atua bimbing itu jiwa-jiwa yang meninggalnya bukan karena natural death. Jadi misalnya karena kecelakaan, atau bunuh diri, atau dibunuh.”

“Kenapa?”

“Karena terkadang mereka nggak sadar kalo mereka udah meninggal dan jadinya malah mengganggu manusia yang masih hidup di sini.”

“Aaah … jadi kamu kayak pemburu hantu gitu? Padahal kamu takut hantu.” Sunwoo tertawa.

“Tuntutan pekerjaan, sayang. Anehnya, kalo sama mereka, aku nggak takut, tapi kalo aku disuruh nonton film horror atau ditakut-takutin sama Kak Changmin, aku malah takut.”

“Dasar aneh.”

“Tapi kamu suka.” Haknyeon mengedikkan bahu. “Ada lagi?”

“Kamu … kapan kamu tau kalo aku reinkarnasi dari Haeseong?” Setelah terdiam agak lama, Haknyeon bertanya dengan suara pelan.

“Waktu liat tattoo kamu.” Haknyeon membelalakkan matanya.

“Beneran?!”

“Hm-mm. Buat apa aku bohong? Awalnya aku emang kaget waktu ketemu kamu pagi itu, karena kamu mirip banget sama Haeseong. Lalu akhirnya aku pengen memastikan lagi, jadi aku dateng ke Arani malemnya.”

“Padahal kamu lagi nggak enak badan.”

“Atua nggak bisa sakit. Itu karena PTSD.”

What?!”

“Arani itu bekas tempat eksekusi aku dulu.”

“Oke. Besok aku tutup Arani dan pindah ke lokasi lain.”

“Nggak gitu juga.” Sunwoo terbahak.

“Tapi bukannya kamu bakal tersiksa setiap kali dateng ke Arani?” tanya Haknyeon sedih.

“Awalnya iya, tapi sekarang udah nggak apa-apa, kok. Soalnya ada yang lebih indah di sana, jadi buat apa aku mikirin hari terakhir aku dulu?”

“Kamu gombal. Seriusan,” gerutu Haknyeon dengan bibir dimajukan dan wajah memerah. “Terus? Setelah kamu ke Arani pertama kali itu, gimana?”

“Aku masih tetep nggak dapet jawaban, tapi aku nggak perlu jawaban. Aku nggak peduli. Ju Haknyeon udah lebih dari cukup, aku nggak perlu nyari bayang-bayang Jang Haeseong.”


©️aratnish'22

Bagian 27 dari “Eternity”

“Loh? Kok udah bangun, Sun?” tanya Eric bingung saat ia memasuki apartemen itu pada pukul lima pagi. “Eh? Kenapa?” Eric semakin bingung saat Sunwoo meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.

“Jangan keras-keras. Haknyeon nggak tau kalo gue masih di sini,” bisik Sunwoo.

“Hah?! Kalian berantem?”

“Nggak tau. Iya. Enggak. Mungkin. Ya, pokoknya gitu. Dia nyuruh gue pulang, tapi gue nggak bisa ninggalin dia sendirian, jadi gue pura-pura pulang. Karena lo udah pulang, jadi gue pulang sekarang. Jangan kasih tau dia kalo gue baru pulang pagi, ya?” pinta Sunwoo.

Eric ingin memprotes, namun melihat lingkaran hitam di bawah mata Sunwoo, ia pun mengangguk.

“Ya udah sana lo cepet pulang, Kak Juhak biasanya bentar lagi bangun.”

Thanks, Ric.”

Anytime. Jangan kelamaan berantemnya.” Sunwoo hanya membalasnya dengan senyum miring sebelum akhirnya keluar dari apartemen itu.

Belum sampai lima menit Sunwoo keluar, Haknyeon pun keluar dari kamarnya.

Jesus Christ! Sumpah Kak, gue kira lo zombie!” Eric menekan dadanya yang masih berdegup kencang saat melihat sosok Haknyeon yang baru keluar dari kamar. Messy is really an understatement.

“Oh? Udah pulang, Ric?” tanya Haknyeon seakan tanpa jiwa.

“Lo kenapa, Kak?”

“Nggak apa-apa. Gue mandi dulu.”

“Sunwoo mana? Katanya dia mau nginep?” pancing Eric.

“Pulang. Ada urusan.”

“Oh.”

Oke. Fix mereka berantem.


Haknyeon tetap bertahan untuk tidak menghubungi Sunwoo berhari-hari kemudian. Tetap mempertahankan tekad—atau kekeraskepalaannya—untuk memikirkan semuanya seorang diri. Tidak efektif, tentu saja, karena yang ia dapat hanyalah pemikiran-pemikiran negatif. Eric saja sampai kesal karena Haknyeon lebih sering tidak fokus atau uring-uringan.

“Lo tuh kenapa sih, anjir?!” maki Eric suatu hari saat Haknyeon membentak Juyeon, yang bekerja sambilan di Arani, untuk kesalahan yang sebenarnya dilakukan oleh Haknyeon sendiri.

“Dia salah!”

“Lo yang salah! Lo yang nyimpen cake yang salah di tag yang salah!”

“Dia harusnya meriksa dulu sebelom ngejual!”

“Dan lo harusnya fokus dulu sebelom kerja!”

“Eh … itu … anu … guys, we’re still in the middle of the operational hour,” kata Juyeon menengahi dengan takut-takut. “Dan … eugh … ada beberapa calon pelanggan yang nggak jadi masuk karena kalian saling teriak.”

“DIEM!” bentak Haknyeon dan Eric bersamaan ke arah Juyeon yang hanya bisa mengangkat tangan tanda menyerah. Tanpa banyak bicara lagi, ia pergi ke pintu masuk toko dan memasang tanda ‘sorry, we’re close’.

“Kak, lo tuh kalo ada masalah, tolong diselesein dulu deh sama sumbernya, jangan uring-uringan nggak jelas, semua jadi kena getahnya.” Haknyeon terdiam. “Sana lo baikan dulu sama Sunwoo, deh.”

“Gue nggak berantem sama Sunwoo!”

“Oh, ya? Terus kenapa dia nggak pernah ke sini? Kenapa waktu lo libur kemaren kalian nggak nge-date kayak biasa? Kenapa nggak pernah ada lagi late video call sama Sunwoo?” cecar Eric yang membuat Haknyeon hanya membuka dan menutup mulutnya, seperti ikan, tanpa mengeluarkan suara apapun.

“Nah? Bener ‘kan kata gue? Lo berantem ‘kan sama dia?”

“Nggak berantem …,” jawab Haknyeon lirih. Kalah.

“Nggak berantem, tapi lo ngediemin Sunwoo. Gitu?”

Haknyeon terdiam sambil memajukan bibirnya. Kebiasaan yang sudah sangat Eric hafal dari kakak sepupunya yang enggan mengakui bahwa dirinya sudah kalah telak.

“Kak, lo sama Sunwoo tuh udah bukan anak kecil lagi. Kalo ada yang nggak beres itu diomongin berdua, bukannya malah diem-dieman gini.”

“Gue kalo ngomong sama dia, bawaannya nanti malah emosi, Ric. Gue pengennya ngedinginin kepala dulu, baru ngobrolin sama dia.”

“Terus? Apa kepala lo udah dingin? Enggak, ‘kan? Yang ada malah makin panas, ‘kan? Dan panasnya malah nyebar ke mana-mana. Akuin aja, Kak … you’re really like a mess lately.” Eric menggeleng melihat kekeraskepalaan Haknyeon.

“Mulai detik ini sampe lo nyelesein masalah lo sama Sunwoo, lo dilarang menginjakkan kaki ke Arani,” putus Eric akhirnya.

“EEEH?! KOK GITU?! Terus gue bikin kuenya gimana?!”

“Di apart aja, biar gue sama Kak Juyeon yang bolak balik ngambil. Itu lebih baik daripada lo uring-uringan terus di sini. Pusing kepala gue!”

“Tapi—”

“Nggak ada tapi-tapian! Sekarang mending lo pulang, dinginin kepala lo bener-bener.”

Haknyeon memang keras kepala, tapi Eric bisa lebih keras kepala dari kakak sepupunya itu. Dan Haknyeon selalu kalah. Tak terkecuali hari itu. Melepas apron-nya, Haknyeon berjalan menuju kantornya.

“Ric,” panggilnya sebelum memasuki kantor.

“Apa?”

“Gue nggak berantem sama Sunwoo. Gue cuma butuh waktu buat mikir.”

Eric memutar bola matanya dengan ekspresi bosan. “Iya. Iya. Percaya. Sana pulang. Mikir di apart aja, jangan di sini.”

“Kak Juyeon?”

“Ya?”

“Maaf ya gue tadi ngebentak-bentak Kakak.”

Juyeon tersenyum. “Nggak apa-apa, Haknyeon. Gue juga salah nggak double check tadi.”

Dengan satu anggukan terakhir, Haknyeon menghilang di balik pintu kantornya.

“Ini papannya aku balik lagi ya, Ric?”

“Iya, Kak. The show must go on.”


“Libur, Sun?” tanya Changmin saat melihat Sunwoo masih ada di rumah pada pukul tujuh malam itu.

Sunwoo mengangguk.

“Kok tumben nggak nge-date? Haknyeon nggak libur? Biasanya lo nyamain hari libur sama dia?” Changmin bertanya lagi.

Sunwoo mengedikkan bahu.

Changmin menatap Chanhee, yang pulang lebih cepat dari dirinya, dengan bingung.

“Berantem kayaknya.” Chanhee menjawab tanpa suara.

“Nggak berantem.” Sunwoo bersuara dengan nada kesal. Emosi membuat pancaindranya semakin peka. Bahkan walaupun Chanhee tidak bersuara, perubahan gelombang udara membuatnya bisa menangkap apa yang dikatakan pemuda itu.

Chanhee menghela napas. “Ya terus kalo nggak berantem, apa namanya? Udah berapa hari ini lo uring-uringan terus. Gue jadi ikutan kesel bawaannya kalo di rumah.”

Sunwoo tidak menjawab apapun.

“Sun? Kenapa?” Changmin mencoba bertanya.

“Gue … kemaren sempet cerita ke Haknyeon.” Akhirnya Sunwoo menjawab pelan.

“Cerita apa?”

“Kalo gue immortal. Gue nggak bilang kalo gue atua! Gue cuma bilang kalo gue immortal!” Sunwoo buru-buru menambahkan saat melihat Chanhee dan Changmin membuka mulut untuk melakukan protes.

“Kenapa, Sun? Kenapa lo bilang ke dia?” Chanhee berkata dengan lemas. “Gimana kalo ada apa-apa?”

“Udah gue bilang, dia bukan rapunga. Dan feeling gue, dia nggak punya hubungan apa-apa sama rapunga.”

If you said so,” jawab Changmin pasrah setelah ia bertukar tatap dengan Chanhee.

“Tapi … dia tau tentang Haeseong.”

“Kok bisa?” tanya keduanya bersamaan.

“Dia bilang dia mimpi. Tentang keseharian gue sama Haeseong dulu. Dan dia ngeliat semuanya dari sudut pandang Haeseong.”

“Tunggu sebentar … lo waktu HS sama Haknyeon, pake kondom nggak?”

“Kok tiba-tiba Kak Chanhee nanya gitu, sih?!” seru Sunwoo panik karena malu.

“Udah, jawab aja.”

“Mmm … waktu pertama kali itu nggak pake.” Akhirnya Sunwoo menjawab dengan malu-malu.

“Itu dia yang bikin Haknyeon mimpi masa lalunya.”

“Kok bisa?!”

Well, kayaknya Moonie cuma ngasih tau gue sama Chanhee aja sih, karena yang aktif secara seksual itu cuma kita berdua. Moonie bilang, kalo mau HS sama tahuti, wajib hukumnya bagi atua cowok untuk pake kondom, karena sprema kita bisa membuat mereka ngeliat kehidupan sebelumnya, entah kehidupan mereka sendiri, atau kehidupan atua pasangannya sebelum jadi atua.”

“Jangan bercanda, Kak!”

“Ngapain gue bercanda?! Lagian, gue kira lo udah dikasih tau juga sama Moonie.”

Sunwoo menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kalo sekali nggak pake kondom aja udah ngebuat dia mimpi sedetail itu, gimana ceritanya sama date yang terakhir kemaren?! Hakkie mimpi apa aja akhir-akhir ini?! pikirnya panik.

“Jangan bilang lo nggak pake kondomnya lebih dari satu kali.” Chanhee memancing dengan tatapan takjub.

No comment,” jawab Sunwoo dari balik telapak tangannya.

“Balik lagi. Jadi, Haknyeon marah karena lo bukan manusia dan dia mimpi tentang hidup Haeseong?” Sunwoo mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Changmin.

“Dia bilang, gue pasti ngedeketin dia cuma karena dia adalah Haeseong di kehidupan sebelumnya. Terus gue diusir dari apartemennya.”

Did you?”

“Apa? Ngedeketin dia karena dia Haeseong?” Chanhee dan Changmin mengangguk. “Awalnya mungkin iya, tapi setelah makin kenal sama Haknyeon, gue sadar kalo dia dan Haeseong bukan orang yang sama. Mereka masih sama-sama baik sama gue, tapi Haknyeon lebih … gimana ya bilangnya … lebih hidup? Lebih terbuka, lebih ceria. Mungkin karena zaman yang udah beda juga. Sebelom gue pacaran sama Haknyeon pun, gue udah nggak mikirin kalo dia itu reinkarnasi dari Haeseong. Gu—”

“Yak. Cukup!” potong Chanhee sambil mengangkat tangan kanannya.

“Kenapa, Kak?”

“Bilang gitu ke Haknyeon, jangan ke kita.”

“Tapi Haknyeon bilang nggak mau ketemu atau kontakan dulu.” Sunwoo kembali murung.

“Ditunggu aja. Semua butuh proses,” kata Changmin menenangkan.


©️aratnish'22

Bagian 26 dari “Eternity”

Hari itu adalah hari libur lainnya yang dihabiskan oleh Sunwoo dan Haknyeon di apartemen Haknyeon.

Berdua.

Seperti yang dikatakan oleh Changmin sebelumnya, kalau berdua, yang ketiga biasanya adalah setan, maka kencan hari itu pun membuat mereka kembali berakhir di tempat tidur. Yang membedakan dengan yang sebelumnya, kali ini Sunwoo akan bermalam di sana karena Eric—yang tahu bahwa pasangan itu akan melakukan baking date lagi—memutuskan untuk menginap di tempat Juyeon, yang baru-baru ini menjadi kekasihnya.

Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Haknyeon dan Sunwoo berbaring bersisian dengan napas memburu dan peluh memenuhi tubuh. Mereka baru saja menyelesaikan sesi horizontal tango untuk yang kesekian kalinya. Sambil berusaha mengatur napasnya, Haknyeon mengaitkan kakinya dengan kaki Sunwoo, dan lengan kanannya melingkari tubuh lelaki itu. Puas karena performa Sunwoo sudah semakin baik. Sunwoo sendiri memeluk Haknyeon yang terbaring di sisi kanannya dan dengan ritme yang menenangkan, mengelus rambut yang lembap karena keringat itu.

Tangan Haknyeon bermain di pinggang Sunwoo dan baru pada saat itulah ia melihat tattoo yang tercetak di perut bagian kiri kekasihnya. Dengan gerakan malas, Haknyeon menyentuh tattoo itu dan mengelusnya perlahan.

Tersentak, Sunwoo menjauhkan tubuhnya dari tangan Haknyeon, yang berarti juga menjauhkannya dari tubuh lelaki di sampingnya.

“Nu? Kenapa?” tanya Haknyeon bingung. Ada rasa takut dan panik di mata Sunwoo saat balas menatap Haknyeon.

Sunwoo berdeham. “Nggak apa-apa,” elaknya sambil kembali mendekatkan diri pada Haknyeon, walaupun Haknyeon bisa merasa bahwa tubuh kekasihnya itu menjadi sedikit kaku.

“Nu … beneran, kamu kenapa?”

“Nggak apa, Hakkie.”

“Sunwoo!” Sunwoo menoleh ke arah Haknyeon yang menatapnya dengan kesal. “Jangan bilang nggak apa-apa terus! Aku tau pasti ada yang kamu sembunyiin. Tattoo-nya kenapa? Ada nama mantan kamu di situ?”

“Astaga! Enggak! Kamu tau sendiri kalo kamu yang pertama buat aku, Hak.”

“Ya terus kenapa disembunyiin gitu banget, sih?!”

“Aku nggak nyembunyiin!”

“Tapi kelakuan kamu itu mencurigakan, tau! Kayaknya kita pernah janji deh nggak akan nyembunyiin apapun. Janji bakal cerita kalo ada apa-apa.”

Sunwoo terdiam. Batinnya berperang antara apakah ia harus menceritakan statusnya kepada Haknyeon atau tidak.

“Nu? Aku bentar lagi marah beneran, lho.”

What do you think about being an immortal?” Sunwoo akhirnya bertanya pelan setelah sebelumnya menghela napas berat.

“Hah? Apa hubungannya?”

“Jawab aja, sayang.”

Well, I would love to, sih. Bayangin gimana serunya bisa hidup lebih lama dari yang lain. Ngeliat perkembangan zaman dan ngalamin semua perubahannya sendiri. Ngeliat perkembangan cake dari waktu ke waktu.” Sunwoo terkekeh kecil mendengar jawaban itu.

“Dan … nggak perlu khawatir soal kematian.” Yang lebih muda terdiam mendengar jawaban terakhir itu.

“Apa hubungannya sama tattoo, Nu?” Pertanyaan Haknyeon membawanya kembali ke kenyataan.

“Kita bersih-bersih dulu, yuk. Abis itu aku cerita.”

“Cerita sekarang aja.”

“Bersih-bersih dulu, Hakkie. Badan kita lengket semua ini, seprainya juga perlu diganti.” Haknyeon memajukan bibirnya karena kesal. “Siapa coba tadi yang bilang nggak mau pake kondom?” goda Sunwoo yang membuat wajah Haknyeon memerah.

“Iya. Iya. Iya.”


“Jadi? Apa ceritanya?”

Setelah membersihkan diri—yang membutuhkan waktu lebih lama dari yang diperkirakan karena Sunwoo masih ingin mengeksplorasi dan Haknyeon dengan senang hati dijadikan subjek eksplorasi oleh Sunwoo—mereka akhirnya kembali berbaring bersisian. Kali ini dengan pakaian lengkap di atas seprai bersih.

Once upon a time ….” Haknyeon terkekeh sambil memukul dada Sunwoo main-main. “Eh ini seriusan!”

“Iya … iya … lanjut.”

“Lebih dari empat ratus taun yang lalu, waktu dunia masih chaos karena perang dan perbudakan masih merajalela, ada satu anak yang dijual sama keluarganya supaya mereka bisa makan. Sebenernya keluarga majikannya ini baik sama dia, terutama anak laki-laki mereka, tapi makin budak ini beranjak remaja lalu dewasa, perlakuan nyonya majikan ke dia jadi beda.”

“Jadi jahat?” tanya Haknyeon takut-takut. Sunwoo menggeleng.

“Jadi terlalu baik.”

“Bukannya bagus?”

Sunwoo menggeleng dan menatap dalam-dalam ke arah Haknyeon. “Dia ngeliat budak ini sebagai objek seksual, Hakkie.”

Haknyeon terkesiap. “Kasian. Eh tapi, kalo budaknya pengen ada kenaikan kasta, bisa kali ngeladenin si nyonya,” goda Haknyeon yang membuat Sunwoo tertawa kecil.

“Bisa, asal nggak ketauan tuan majikan.” Haknyeon ikut tertawa. “Tapi tanpa itu pun, budak ini nggak mau, karena dia udah punya orang yang dia suka. Anak laki-laki majikannya.”

“Oooh … I love this kind of bed time story.” Haknyeon beringsut semakin mendekat ke arah Sunwoo—jika itu masih memungkinkan, mengingat posisi mereka sekarang sudah sangat menempel bagai warna putih pada nasi. Sunwoo tersenyum sedih sambil mengecup kening kesayangannya itu.

“Budak ini berkali-kali menolak tawaran—yang kemudian jadi paksaan—nyonya majikan. Tampaknya nyonya majikan itu lebih suka cowok usia belasan, karena sejak budak ini menginjak usia duapuluhan, nyonya majikan nggak terlalu sering maksa lagi. Masih sering ngedeketin sih, tapi nggak separah waktu dia masih usia belasan.

“Sampai pada suatu saat, kayaknya nyonya majikan udah pengen banget, tapi tuan majikan lagi nggak di rumah—mereka keluarga saudagar, ngomong-ngomong. Nyonya majikan maksa budak ini dan budak ini nggak sengaja ngedorong nyonya sampe jatoh dari ranjang.”

“Dih. Cewek gatel! Harusnya budak itu ngelaporin aja ke tuan majikan!”

“Nggak semudah itu, Hakkie … tuan pasti lebih percaya sama nyonya daripada sama a— sama budak itu. Lagipula, si budak nggak mau ngebuat anak laki-laki majikannya—anak laki-laki yang dia suka—punya pandangan negatif tentang ibunya.”

“Lah tapi kelakuan ibunya udah beneran negatif gitu! Ngeselin, tau! Oke, lanjut.” Sunwoo tersenyum.

“Udah bisa ditebak, nyonya majikan kesel banget sama budak ini. Dia langsung mikir gimana caranya ngasih hukuman ke budak ini. Lalu, akhirnya dia ngefitnah si budak udah nyuri perhiasan punya dia dan anak perempuannya.” Sunwoo merasakan tubuh Haknyeon menjadi kaku di pelukannya. “Hak?”

Haknyeon menggeleng. “Lanjutin, Nu. Aku siap-siap ngedenger bagian angst.”

Kenapa cerita Sunwoo mirip sama mimpi gue selama ini?

“Lanjutannya singkat dan udah bisa ditebak, kok. Budak itu dihukum gantung karena berani mencuri harta benda majikannya. Sebelum dia bener-bener dihukum, dia liat kalo anak majikannya dateng. Mukanya sedih banget, ngerasa bersalah, padahal itu bukan salah dia. Walaupun budak ini benci banget sama nyonya yang udah ngefitnah dia dan tuan yang nggak percaya sama dia, tapi dia sayang banget sama cowok ini dan nggak mau cowok ini sedih. Jadi, untuk terakhir kalinya, dia senyum ke arah cowok ini.”

“Nu ….”

“Budak ini kira, kematian itu akhir dari segalanya.” Sunwoo terus bercerita tanpa mengindahkan interupsi dari Haknyeon. “Tapi ternyata enggak, Hak. Waktu dia berada di alam antara dunia ini dan dunia setelahnya, dia didatengin sama seorang … apa ya namanya? Malaikat? Mungkin itu. Dia nawarin hidup abadi untuk si budak, dan karena budak ini masih polos banget, dia nggak bisa mikir apa-apa selain kalo dia pengen ketemu lagi sama anak laki-laki majikannya. Singkat cerita, dia nerima tawaran malaikat itu dan dia hidup sampai sekarang.”

“Budak itu .…” Sunwoo tersenyum pedih.

“Aku. Tattoo ini tanda bahwa aku immortal. Aku bukan manusia biasa, Hak.”

“Anak laki-laki majikan kamu itu … apa namanya … Seongie?” tanya Haknyeon perlahan. Sunwoo menoleh ke arah Haknyeon secepat kilat.

“Kamu … dari mana kamu tau nama itu?” tuntutnya.

“Aku mimpi ….” Haknyeon menceritakan mimpi-mimpinya kepada Sunwoo. “... dan di mimpi itu, aku dipanggil Seongie.” Sunwoo memeluk Haknyeon dengan erat.

“Nu?”

“Namanya Jang Haeseong, tapi yang deket sama dia memang manggil dia Seongie. Dia udah berkali-kali minta aku manggil Seongie, tapi aku nggak bisa. Aku nggak berani.”

“Dia itu ….” Haknyeon ragu-ragu.

“Kamu. Kamu empat ratus tahun yang lalu, lebih tepatnya.”

“Kok kamu bisa yakin banget?”

“Karena Haeseong punya tanda lahir yang sama, Hak.” Haknyeon terdiam.

“Jadi … kamu ngedeketin aku dan mau pacaran sama aku karena aku adalah Haeseong? Was Haeseong?” ucap Haknyeon pelan dengan nada sakit hati yang tidak berusaha ia tutupi.

“Astaga! Kok gitu? Enggak, Hak!”

“Kalo aku bukan reinkarnasi Haeseong, kamu nggak akan mau ngedeketin aku, ‘kan?”

“Haknyeon, baby … nggak gitu!”

“Nu, kayaknya sekarang mending kamu pulang aja, deh ya? Nggak usah nginep.”

“Hak … kamu marah karena aku bukan manusia? Karena kamu reinkarnasi?”

“Enggak, Nu. Bukan karena itu. Mungkin juga karena itu. Nggak tau, Nu. Aku nggak bisa mikir. Kamu pulang aja, ya.” Sunwoo menatap Haknyeon dengan sedih sebelum akhirnya beranjak turun dari ranjang.

“Nu …,” panggil Haknyeon saat ia akan membuka pintu. Segera ia berbalik, mengira bahwa Haknyeon berubah pikiran. “... kita jangan ketemu atau kontakan dulu, ya?”

“Sayang …,” keluh Sunwoo memelas.

Please?”

“Oke.” Dengan pasrah, Sunwoo mengiyakan dan beranjak ke luar kamar.

Haknyeon mendengarkan saat pintu depan unit apartemennya terbuka dan tertutup kembali, kemudian suasana menjadi hening. Perlahan, ia menutupi tubuhnya dengan selimut, berusaha menahan air mata, namun tak mampu. Satu demi satu butiran air mata lolos dari kedua netranya.

Jadi selama ini cuma karena gue reinkarnasi dari orang yang dia suka dulu?


©️aratnish'22

Bagian 23 dari “Eternity”

“Apa-apaan?! Kenapa Sunwoo harus dihukum?!” pekiknya saat mengetahui berita itu dari kakaknya.

“Tenang Seongie, dia memang harus dihukum. Dia udah mencuri perhiasan ibu dan juga beberapa perhiasan aku. Aku tau kalian berdua cukup akrab, tapi pernah nggak sih kamu mikir dia cuma manfaatin kamu aja?”

“Manfaatin apaan?! Sunwoo nggak akan kayak gitu! Sunwoo bukan orang kayak gitu! Sunwoo nggak akan mencuri!”

“Atas dasar apa kamu ngomong gitu?! Jadi kamu lebih percaya sama budak daripada sama keluarga kamu sendiri?! Kamu udah dicuci otak sama budak itu!” Suara wanita lain memasuki ruangan. Ia menggertakkan gigi saat mendengar suara wanita dewasa itu. Hanya karena ia terlahir dari rahimnya, bukan berarti ia membenarkan semua tindakan licik dari wanita itu.

“Aku percaya sama penglihatan dan penilaianku. Dan selama ini aku bergaul sama Sunwoo, dia bukan orang seperti itu!”

“Ayolah Seongie, jangan naif! Dia baik sama kamu pasti karena punya maksud tertentu! Oh! Lihat, sudah hampir tengah hari. Sebentar lagi eksekusi budak kurang ajar itu berlangsung. Ayo kita ke alun-alun untuk melihatnya!”

Wanita itu berjalan keluar rumah mendahuluinya dan kakak perempuannya.

“Ayo Seongie,” ajak sang kakak.

“Aku nggak mau, Kak. Itu akan terlihat seperti aku mengkhianati sahabatku sendiri!”

“Tapi kalau seluruh anggota keluarga Jang tidak hadir di alun-alun, itu akan menjadi sebuah pertanyaan besar, Seongie. Ayah pasti akan merasa sangat dikhianati oleh anak laki-laki satu-satunya. Ayolah Seongie. Kau bisa berdiri di posisi yang tidak akan terlihat oleh Sunwoo.”

Maka dengan berat hati, ia mengikuti sang kakak menuju alun-alun kota.

Di panggung itu ia melihat sahabatnya bersama dengan beberapa perusuh masyarakat lainnya. Ia masih tidak percaya bahwa Sunwoo berdiri di sana. Ia masih tetap berpendapat bahwa sahabatnya tidak mungkin melakukan hal serendah itu. Walaupun Sunwoo adalah seorang budak, tapi ia adalah budak paling bermartabat yang pernah dikenalnya. Sunwoo tidak pernah memanfaatkan kedekatan mereka berdua untuk mendapatkan yang lebih dari yang seharusnya. Sunwoo tidak pernah menuntut apapun, bahkan kalau ia memberikan sesuatu kepada lelaki itu—khusus untuknya—Sunwoo akan membaginya dengan budak-budak yang lain.

Maka dari itu … tidak mungkin. Tidak mungkin seorang Sunwoo mencuri perhiasan ibu dan kakak perempuannya!

Satu per satu perusuh itu menjalani hukuman gantung mereka, sampai tiba lah saatnya bagi Sunwoo untuk menghadapi hukumannya. Ia dapat melihat bahwa tatapan Sunwoo sangat kosong, seolah ia tidak peduli apa yang sebentar lagi menimpa dirinya, seolah jiwanya lebih dulu meninggalkan raganya sebelum para pembunuh berkedok algojo menjalankan tugasnya.

Namun, satu detik setelah pembacaan tuduhan dan hukumannya selesai, beberapa detik sebelum palang di bawah kakinya dilepas, tatapan mata Sunwoo bersibobok dengannya. Ia menyangka bahwa ia akan melihat sorot benci di mata hitam bulat itu, namun … Sunwoo tetaplah Sunwoo yang ia kenal, Sunwoo yang langsung tersenyum setiap melihatnya. Tidak terkecuali hari itu.

Sunwoo menjemput ajalnya dengan senyum untuknya terukir di wajah.


“SUNWOO!!!” Haknyeon tidak sadar bahwa ia berteriak dalam tidurnya sampai Eric memasuki kamarnya dengan penampilan berantakan khas bangun tidur.

“Kenapa, Kak? Ada apa?” tanyanya dengan suara mengantuk.

Terduduk, Haknyeon mengusap wajahnya yang bersimbah keringat.

“Gue … mimpi. Intens banget,” jawab Haknyeon dengan suara parau.

“Tentang Sunwoo?” Haknyeon mengangguk.

“Pastinya bukan mimpi ena-ena, karena lo keliatan panik banget.” Haknyeon kembali mengangguk.

Wanna share?” tawar Eric sambil duduk di pinggir ranjang Haknyeon.

“Gue mimpi Sunwoo dihukum gantung,” ucap Haknyeon pelan.

“Oh. Wow. That’s such a dream, ya?” Eric membelalakkan matanya.

“Dan bukan baru sekali ini gue mimpi gitu, Ric.”

“Hah?”

“Mimpinya beda-beda, tapi akhirnya selalu sama. Sunwoo dihukum gantung.”

“Di mimpinya lo jadi apa?”

“Kayaknya gue jadi sahabatnya Sunwoo. Tapi setting-nya nggak di masa sekarang, Ric. Nggak tau lah … kuno banget gitu.”

“Lo abis nonton film sejarah apa gitu, Kak?”

“Enggak, Ric.”

Wait … lo tadi bilang bukan baru sekali ini lo mimpi gitu. Sejak kapan, Kak?”

“Sejak … emm … sejak … sejak waktu itu,” jawab Haknyeon malu-malu.

“Waktu itu kapan?”

“Ituuu.”

“Itu apaaa?”

“Ituuu iiih! Masa lo nggak tau, sih?! Waktu gue libuuur! Waktu gue mau bikin mille crepeees!”

“Kap— Oooh … bilang aja sih waktu lo bobok-bobok enak sama Sunwoo. Susah amat,” kekeh Eric geli saat melihat wajah Haknyeon memerah sempurna.

“Oke. Serius. Jadi, sejak saat itu lo mimpi tentang Sunwoo gitu? Berarti … hampir sebulan yang lalu?” tanya Eric setelah puas tertawa.

“Hm-mm.”

“Lo cerita ke Sunwoo?”

“Enggak. Gue nggak mau bikin dia kepikiran.”

“Hmm … mungkin itu kalian di kehidupan sebelumnya.”

“Kebanyakan baca manhwa lo.”

“Ya bukannya nggak mungkin juga, ‘kan?”

“Udah ah. Malah tambah nggak beres cerita sama lo mah. Sana tidur lagi, gih!” usir Haknyeon.

“Udah dibangunin jam dua malem, sekarang diusir, lagi.” Eric menggerutu sambil berjalan ke luar kamar Haknyeon.

Haknyeon mencoba untuk kembali tidur, tapi pikirannya tetap terjaga.

Sebenernya, itu mimpi apa?


©️aratnish'22

Bagian 22 dari “Eternity”

Pukul sebelas malam lebih sedikit, Sunwoo mendengar kunci apartemen dibuka dari luar.

“Oh? Hai, Sun! Masih di sini?” sapa Eric saat melihat Sunwoo berdiri di depan jendela yang menghadap ke pemandangan kota di waktu malam.

“Iya, nunggu lo pulang.”

Eric mengernyitkan dahinya dengan bingung sambil melepas jaket dan sepatunya di pintu masuk.

“Kok nunggu gue pulang? Kak Juhak mana?”

“Tidur.”

Langkah Eric menuju dapur terhenti saat ia mendengar jawaban Sunwoo, yang kini sedang memakai kemeja hitam di atas kaos you can see—yang juga berwarna hitam—yang digunakannya.

“Tidur? Tumben jam segini Kak Juhak udah tidur?”

“Capek kayaknya.”

“Capek??”

Eric semakin bingung saat mendengar jawaban Sunwoo itu. Seingatnya, Haknyeon mengatakan bahwa hari itu ia akan mencoba resep cake. Resep cake yang seperti apa yang membuat kakak sepupunya itu sudah lelah pada pukul sebelas malam? Sementara saat ia membuat banyak pesanan cake, Haknyeon bisa hanya tidur selama satu atau dua jam tiap malamnya.

Sunwoo tidak menjawab, namun Eric dapat melihat wajah kekasih kakak sepupunya itu bersemu merah dan laki-laki itu menjadi salah tingkah. Eric memicingkan matanya untuk mempelajari sosok itu lebih jelas. Ada binar yang sebelumnya tidak ada di diri lelaki itu. Ada kedamaian dan ketenangan di sana. Ada kepuasan. Dan Eric mengerti.

“Aaah … lo habis tidur sama Kak Juhak, ya?” Eric tertawa keras saat yang ditanya tidak menjawab dengan kalimat, namun dengan wajah yang total memerah. “Berapa ronde? Lo pasti ganas banget, ya? Sampe kakak gue jam segini udah tidur gitu.”

“Gue pamit ke Haknyeon dulu udah gitu pulang, ya,” elak Sunwoo sambil masuk ke kamar Haknyeon. Meninggalkan Eric yang tertawa semakin keras.

“Hakkie …,” panggil Sunwoo pelan sambil mengelus rambut hitam Haknyeon. Yang dipanggil mengernyit dalam tidurnya.

“Sayang …,” panggilnya lagi. Akhirnya kelopak mata itu terangkat.

“Sunu,” respons Haknyeon sambil tersenyum sayang. “Jam berapa sekarang?” tanyanya sambil berusaha bangkit untuk duduk.

“Hampir setengah dua belas malem. Eric udah pulang. Aku juga pamit pulang, ya?”

“Kenapa nggak nginep aja?” tanya Haknyeon manja sambil memajukan bibirnya. Wajah Sunwoo bersemu merah.

“Malu sama Eric. Tadi aja aku nggak bilang apa-apa, tapi dia udah tau kalo kita abis tidur bareng.” Haknyeon terkekeh geli.

“Kalo gitu aku minta dicium. Buat cadangan energi sampe ketemu sama kamu lagi besok,” pinta Haknyeon yang langsung dipenuhi dengan senang hati oleh Sunwoo.

“Nu … maaf, ya …,” cetus Haknyeon pelan saat ia mengistirahatkan kepalanya di dada bidang Sunwoo.

“Maaf kenapa, sayang?”

“Maaf karena kamu bukan yang pertama kali buat aku, padahal aku yang pertama buat kamu.” Sunwoo tertawa kecil mendengarnya.

“Nggak apa, Hakkie. Yang penting aku jadi yang terakhir, ya?” pinta Sunwoo yang langsung dijawab dengan anggukan dan kecupan dari Haknyeon.


“Mana cake-nya?” todong Chanhee saat Sunwoo baru memasuki ruang keluarga rumah mereka.

“Kok Kak Chanhee belom tidur?!” balas Sunwoo terkejut. Bukannya menjawab, Chanhee malah mengendus udara di ruangan itu.

“Kak?” tanya Sunwoo bingung.

You smells likesex. Changmiiin!”

Changmin memasuki ruang keluarga sambil membawa semangkuk besar popcorn.

“Apaan— Ugh! This room smells like sex! Oh! Hai, Sunwoo!” Changmin mengangkat sebelah alisnya. “Tuh ‘kan, kata gue juga … kalo cuma berdua, pasti yang ketiganya itu setan,” kekeh Changmin geli sambil mendekati Chanhee dan Sunwoo.

Sunwoo merutuk dalam hati. Lupa bahwa mereka semua atua yang memiliki pancaindra yang lebih peka dibanding dengan manusia pada umumnya. Bagaimana ia bisa lupa? Padahal jika Chanhee dan Changmin melakukan kegiatan intim di rumah, ia selalu pergi keluar karena aroma sex yang begitu menyengat.

“Jadi … mana cake-nya?” tagih Chanhee walaupun dengan nada geli.

“Nggak ada. Nggak jadi bikin.” Sunwoo menjawab dengan bersungut-sungut—karena malu—sambil duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan itu. Chanhee dan Changmin meresponsnya dengan tawa geli.

“Nggak usah malu, lo udah bukan anak kecil lagi,” ujar Changmin menenangkan.

“Tapi baru sekali ini …,” ucap Sunwoo pelan.

“Apa? Having sex?”

Thatand madly in love with someone.” Sunwoo menjawab Chanhee. Kedua teman serumahnya itu saling berpandangan sambil tersenyum senang.

We’re both happy for you, Sun.”

“Dan … mm … Haknyeon itu … Haeseong,” papar Sunwoo pelan.

“Haeseong? Siapa itu Haeseong?” tanya Changmin bingung.

“Seseorang di masa lalu gue.”

“OH!” seru Changhee dan Changmin bersamaan dengan tertarik.

“Gimana lo bisa tau?”

Untuk menjawab pertanyaan Changmin, Sunwoo pun menceritakan soal tanda lahir dan tattoo yang dimiliki oleh Haknyeon … dan Haeseong.

Okay. That’s interesting. Lalu … Haeseong ini siapa?” tanya Chanhee penasaran.

“Haeseong itu anak majikan gue dulu. Satu-satunya orang di rumah itu yang baik sama para budak, tapi terlebih lagi, dia paling baik sama gue dan itu udah jadi omongan di antara budak-budak yang lain. Untungnya, mereka nggak keberatan kalo Haeseong paling baik sama gue, soalnya apa yang gue dapet, pasti mereka dapet juga. Mereka cuma nggak dapet jatah ngobrol malem-malem atau jalan-jalan malem sama Haeseong.” Sunwoo berhenti sejenak.

“Mungkin di antara ngobrol dan jalan-jalan malem itu, gue sadar kalo gue suka lebih dari temen sama dia. Jujur, gue takut banget. Jadi budak aja udah buruk, yang memperburuk keadaan adalah budak ini suka sama anak majikan. Yang paling buruk, budak cowok ini suka sama anak cowok majikannya. Gue juga nggak tau apa Haeseong punya perasaan yang sama, atau cuma nganggep gue temen, atau dia cuma kasian aja sama gue, karena waktu itu gue budak paling muda di sana. Tapi … gue tau perasaan gue, gue sayang sama Haeseong.”

“Makanya waktu itu lo segitu kagetnya waktu ngeliat Haknyeon.” Sunwoo mengangguk sebagai respons atas pernyataan Chanhee.

“Sekarang, gimana perasaan lo waktu tau Haknyeon adalah reinkarnasi dari Haeseong?”

“Makin sayang. Like I’ve said before, I’m madly in love. Tapi ….”

“Tapi apa, Sun?” Chanhee memancing saat Sunwoo tidak melanjutkan kata-katanya.

“Tapi … gimana kalo dia tau gue itu atua?”

“Lo mau bilang ke Haknyeon kalo lo itu atua?!” pekik Changmin terkejut. Chanhee tidak mampu berkata apapun saking terkejutnya.

Satu peraturan tidak tertulis saat para atua hidup berdampingan dengan para tahuti adalah jangan sampai mereka membeberkan identitas asli mereka sebagai atua kepada para tahuti. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir mereka memberikan identitas kepada tahuti yang salah—dengan kata lain, rapunga.

“Haknyeon bukan rapunga!”

“Haknyeon mungkin bukan rapunga, tapi kita nggak tau apa ada relasinya dia yang rapunga. Lo tau sendiri ‘kan kalo takdir kadang sebercanda itu?” Changmin berusaha menyentuh logika Sunwoo. Sunwoo memberengut, tanda ia tidak setuju dengan kata-kata Changmin.

“Sun … lo selalu ngingetin kita berdua tentang hal ini kapanpun gue sama Changmin punya hubungan sama tahuti. Jangan langgar ini sekarang. Bukan buat lo aja, tapi buat gue sama Changmin juga. Tolong, Sun … gue tau lo kuat, lo bisa ngelawan rapunga apapun yang ada, tapi … gue sama Changmin beda sama lo. Kita berdua nggak sekuat lo. Tolong … tolong pikirin itu juga.”

“Maaf … gue nggak mikir sampe situ. Maaf … gue egois.” Sunwoo berkata pelan setelah sempat terdiam sesaat.

“Nggak apa-apa, ini pertama kali lo punya hubungan sama tahuti—dan bukan sembarang tahuti. Gue sama Chanhee bisa paham. Waktu awal gue sama Chanhee punya hubungan sama tahuti, lo yang ngingetin kita, sekarang giliran kita yang ngingetin lo. Kita saling ngingetin dan ngejaga, ya?” Changmin memeluk Sunwoo dari sisi kanan. Chanhee mengikuti dari sisi kirinya.

“Makasih.”

You don’t need to. That’s what families are for, right?” balas Chanhee sambil mengacak-acak rambut hitam Sunwoo. “Tapi sebelom itu … mandi sana! Bau lo menyengat banget, gue jadi pengen HS. Min, HS, yuk!”

“HS sana sama guling! Gue mau nonton! Sunwoo, cepet mandi sebelom gue diserang sama Chanhee!”

Tertawa, Sunwoo berdiri dan berjalan menuju kamarnya untuk mandi. Sejenak mengesampingkan keinginannya untuk membuka identitasnya sebagai atua kepada Haknyeon.

Kak Chanhee bener. Hanya karena Haknyeon reinkarnasi dari Haeseong, bukan berarti dia nggak punya hubungan apa-apa sama rapunga.


©️aratnish'22

Bagian 21 dari “Eternity”

cw // nsfw, mature content, kissing, foreplay, consensual sex, barebacking, non-protected sex, mentioning of genital and contraception, first time sex, slight cursing

Haknyeon bernapas dengan terputus-putus di bawah Sunwoo di ranjang yang kini berantakan itu, menatap sayu kepada kekasihnya yang kini telah bertelanjang dada seperti dirinya. Beberapa tanda merah dan keunguan terpampang di dada Sunwoo, ia yakin tanda serupa juga terdapat padanya, karena Sunwoo memang mengikuti apa yang ia lakukan. Oh. Kecuali untuk tanda di leher Haknyeon. Sunwoo melakukannya atas inisiatifnya sendiri. Kekasihnya itu menunduk untuk menyatukan dahi mereka.

“Hakkie … Hakkie … Hakkie …,” rapalnya dengan nada putus asa.

“Kenapa, sayang?” Haknyeon mengelus bahu bidang dalam pelukannya itu.

“Nggak cukup. Ini nggak cukup.” Haknyeon menghentikan elusannya.

“Sunu maunya apa?”

“Nggak tau.” Sunwoo menggeleng frustrasi karena tidak bisa mengemukakan apa yang tubuhnya inginkan. “Tapi ini nggak enak banget, Hakkie.”

Haknyeon menjulurkan tangannya ke arah bagian depan celana Sunwoo yang sudah menggunduk dan tampak sesak.

“Aku pegang, ya?” izin Haknyeon sebelum menyentuhnya. Saat merasakan Sunwoo mengangguk di dahinya, Haknyeon pun menggenggam kejantanannya, membuat sang kekasih mengerang dan sedikit tersentak di atasnya.

“Sakit? Nggak nyaman?” Sunwoo menggeleng.

“Enggak, tapi masih kurang. Pengen lebih.”

Haknyeon memejamkan matanya, memendam rasa frustrasinya sendiri. Bagaimana caranya ia harus mengajari Sunwoo sementara dirinya pun sangat ingin dipuaskan?

“Hakkie, ini boleh dibuka?” Netra Haknyeon kontan terbuka saat mendengar pertanyaan tiba-tiba Sunwoo dan juga sentuhan pada kancing celana jeans-nya.

“Ini juga boleh dibuka?” balas Haknyeon sambil memainkan jemarinya pada kancing celana Sunwoo.

Anggukan dari Sunwoo membuat mereka berdua berlomba untuk saling membuka kancing celana satu sama lain. Jemari yang kikuk karena nafsu yang sudah tidak dapat terbendung bertabrakan satu sama lain, membuat mereka berdua sama-sama tertawa canggung.

“Dibuka sama ininya juga, ya?” pinta Sunwoo sambil memainkan karet celana dalam Haknyeon.

“Iya Nu, dibuka semua.”

Maka, tubuh keduanya kini tidak disinggahi satu helai benang pun.

Menuruti instingnya, Sunwoo menggeser sebelah kaki Haknyeon sehingga ia kini dapat menempatkan dirinya di antaranya. Setelahnya, ia hanya berlutut di sana dan menatap Haknyeon dengan gugup. Tertawa kecil, Haknyeon menarik tangan Sunwoo agar kekasihnya itu mendekat padanya dan bisa diciumnya.

“Kamu bener mau lanjut? Kalo mau berhenti di sini juga nggak apa-apa. I won’t love you less if you want to back off.” Haknyeon menenangkan walaupun dahinya kini sudah dipenuhi peluh. Paling abis ini gue mandi air dingin.

“Iya. Mau lanjut.”

Berkebalikan dengan wajah seriusnya, Sunwoo meraih penis Haknyeon dan memijatnya lembut, membuat lelaki itu melesakkan kepalanya ke bantal sambil mengerang.

“Enak, sayang?”

“Lebih— Shit! Pelan-pelan, Nu … aku nggak mau selesai cepet-cepet.”

“Kenapa?”

“Pengen mmh— pengen sama kamu. Sama ini,” jawab Haknyeon sambil menggenggam kejantanan yang lebih muda, membuatnya meringis.

Sunwoo menghentikan gerakan tangannya, memancing erangan antara lega dan protes dari Haknyeon. Namun Sunwoo tidak sepenuhnya berhenti. Ia kini menelusuri batang kejantanan Haknyeon dengan ujung jarinya dari bawah hingga ke atas, sebelum bermain dengan belahan di bagian kepalanya, membuat Haknyeon memejamkan mata rapat-rapat dan meremat seprai di bawahnya.

“Nnuuu …,” rengek Haknyeon sambil membuka kakinya semakin lebar dan sedikit mengangkat pinggulnya dengan tidak sabar, membuat Sunwoo mendapat sedikit pemandangan akan lubang sanggamanya. Mengumpulkan semua ingatannya hasil dari menonton beberapa film, Sunwoo mengarahkan jari tengahnya ke arah lubang itu dan menekannya lembut. Haknyeon tersentak dan menopang tubuhnya dengan kedua siku untuk melihat Sunwoo.

“Bener di sini, ‘kan?” Haknyeon tidak tahu apakah ia harus menangis atau tertawa mendengar pertanyaan itu, jadi ia hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan.

Sambil tetap menatap Haknyeon, Sunwoo mulai memasukkan jari tengahnya.

“Tunggu!” sergah Haknyeon terengah saat jari Sunwoo baru masuk sepanjang satu buku jari. Dengan cepat Sunwoo menarik tangannya.

“Maaf!” sesalnya.

“Enggak. Bukan gitu. Bentar.” Berbalik ke arah nakas—dan memberikan pemandangan menggiurkan dari skrotum yang terjepit paha serta bokong sintalnya kepada Sunwoo—Haknyeon membuka laci kedua dari atas. Ia mengeluarkan sebuah tube sebelum kembali mengacak-acak isi laci itu.

Sial! Gue udah nggak punya stok kondom! rutuk Haknyeon dalam hati. Membuat perhitungan selama sepersekian detik, ia pun mengesampingkan pemikiran menggunakan alat pengaman itu dengan pertimbangan ia tidak pernah bersama siapapun setelah Hyunjae dan Sunwoo juga jelas-jelas tidak pernah bersama dengan siapapun.

“Pake ini dulu,” ujar Haknyeon sambil mengulurkan tube pelumas itu kepada Sunwoo dan mengajari cara untuk menggunakannya, serta apa yang harus Sunwoo lakukan setelahnya. Segera setelah Sunwoo siap, Haknyeon kembali mengambil posisi berbaring seperti sebelumnya dan mengangguk kepada kekasihnya saat ia menatapnya dengan penuh tanya.

Sunwoo serasa memiliki mainan baru saat Haknyeon tidak mencegahnya untuk melakukan apapun kepadanya. Ia justru menyemangati Sunwoo untuk melakukan eksplorasi lebih banyak dan lebih jauh lagi dengan tubuhnya.

“Itu … apa?” tanya Sunwoo saat jemarinya dengan tepat menyentuh prostat Haknyeon, membuat tubuh yang lebih tua bergetar dan penisnya meneteskan lebih banyak cairan precum ke perutnya.

“Itu … pokoknya di situ enak banget.” Ingatkan Haknyeon untuk menjawab lebih jelas nanti, karena saat ini ia tidak bisa memikirkan alasan ilmiah apapun.

Merasa disemangati oleh jawaban Haknyeon, Sunwoo menggaruk bagian itu lagi, membuat Haknyeon merengek lebih keras.

“Nnu … udah, Nu!”

“Katanya enak? Kok udah?” tanya Sunwoo bingung.

“Jangan pake jari, pake ini aja. Pengen dipenuhin pake ini.” Dengan susah payah, Haknyeon bangkit untuk menggenggam kejantanan Sunwoo yang sudah licin dengan cairan precum yang diabaikan oleh sang empunya.

Sunwoo menatap penisnya dan anal Haknyeon bergantian dengan sangsi.

“Muat? Nggak akan sakit?” tanyanya pelan.

Ya Tuhan, beri hamba-Mu ini sabar yang banyak-banyak, ya …. Mau ngerasain nikmat duniawi aja susahnya minta ampun, ratap Haknyeon dalam hati.

“Nggak akan sakit, Nu. ‘Kan tadi udah disiapin sama kamu.”

“Oh.”

Sunwoo terdiam sambil memosisikan kejantanannya di depan lubang sanggama Haknyeon setelah mengoleskan lubrikan atas instruksi dari yang lebih tua.

“Aku masukin sekarang, ya? Kalo sakit, tendang aja, ya?”

Di sini yang masih virgin itu elo! Kok ya sempet-sempetnya ngomong gitu ke gue, gelak Haknyeon dalam hati, namun tak ayal hatinya menghangat mendengar perhatian yang diberikan oleh Sunwoo itu.

“Iya, sayang.” Haknyeon menahan napas saat merasakan ujung kejantanan Sunwoo menyentuh lubangnya.

Dengan perlahan, Sunwoo mulai menyatukan tubuh mereka. Erangan yang keluar dari mulut Haknyeon membuat ia berhenti di setengah usahanya.

“Terussin, Nnuu …. Nggak apa-apa,” perintah Haknyeon sambil menggoyang pinggulnya sedikit, membuat erangan kecil lolos dari mulut Sunwoo. Ia pun kembali bergerak untuk memenuhi permintaan Haknyeon, untuk menyatukan tubuh mereka berdua. Dan saat tubuh mereka sudah benar-benar bersatu, tidak ada dari mereka yang bisa mengeluarkan suara lain selain suara lenguhan penuh nikmat. Menutup matanya, Sunwoo memeluk Haknyeon yang balas memeluknya dengan erat.

“Hakkie … Hakkie … Hakkie ….”

“Kenapa, sayang?”

“Enak banget … kamu anget, ketat … kepala aku pening.” Haknyeon terkekeh pelan.

Perlahan, ia mengangkat kedua kaki dan mengaitkan kedua tungkainya di pinggul Sunwoo. Sang kasih terkesiap akan posisi itu dan secara instingtif menggerakkan pinggulnya. Haknyeon mengeratkan kaitan tungkainya untuk membuat Sunwoo berhenti bergerak.

“Jangan gerak dulu.”

“Kenapa?”

“Masih pengen ngerasain kamu di dalem aku. Enak. Penuh,” bisik Haknyeon saat merasakan bagian tubuh Sunwoo yang berdenyut di dalam dirinya.

Mereka terdiam dengan napas berat dan tanpa bergerak sedikitpun selama beberapa saat sampai akhirnya Sunwoo bertanya dengan napas pendek-pendek,

“Hakkie, aku udah boleh gerak? Aku … pengen gerak.”

“Iya, Nu … boleh.”


Persetubuhan mereka tidak bisa dibilang yang paling nikmat bagi Haknyeon. Bagaimanapun, skill Sunwoo masih harus dipoles di sana-sini, tapi perhatian yang ia curahkan melalui gerakan dan sentuhannya tidak dapat dibandingkan dengan apapun.

“Nu!” seru Haknyeon bersamaan dengan Sunwoo merasa kejantanannya diremas semakin intens oleh Haknyeon di bawah sana.

“Iya, sayang. Aku juga.” Tidak perlu menjadi berpengalaman untuk tahu bahwa Haknyeon sudah hampir sampai pada klimaksnya, karena ia pun merasakan hal yang sama. Tegang di tubuhnya, kejang di perutnya, dan keinginannya untuk menggerakkan pinggul semakin cepat untuk menggapai puncak yang mereka cari.

“Bareng, Nu!”

Wait. Can sperm be expired?

Tiba-tiba pemikiran itu singgah di benak Sunwoo saat ia akan menjawab ‘iya’ dan bersiap untuk melepaskan ejakulasinya di dalam lubang sanggama Haknyeon. Ia tidak memikirkan alat proteksi saat mereka mulai bercumbu, saat Haknyeon mulai mengajarinya tentang memuaskan mereka berdua, tapi sekarang ….

Because, what if I poisoned him with my more-than-four-hundred-years sperm?

Dengan pemikiran seperti itu, Sunwoo mulai menarik keluar kejantanannya, bersiap untuk menyelesaikannya di perut Haknyeon. Sang kekasih yang menyadari apa yang akan Sunwoo lakukan langsung mengunci pinggulnya dengan kedua tungkainya yang disilangkan.

“Hakkie ….”

“Keluarin di dalem. Please. I want to feel your warm load inside of me.”

“Tapi—” protes Sunwoo sambil tetap menggerakkan pinggulnya. Tangannya pun kini ikut memanjakan penis Haknyeon.

“Plish, Nuu!!”

Haknyeon pun sampai pada klimaksnya di akhir kalimat. Sunwoo menggertakkan giginya karena merasakan ketatnya lubang Haknyeon di sekeliling kejantanannya saat sang kekasih mencapai klimaks. Seberapa kerasnya Sunwoo berusaha menahan untuk tidak mengeluarkan ejakulasinya di dalam, ia tidak dapat menahan diri saat melihat betapa indahnya Haknyeon ketika mencapai puncak tertingginya. Sunwoo tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia harus mengeluarkan ejakulasinya sekarang.

Kalo ada apa-apa sama Haknyeon gara-gara ini, gue bakal nyari rapunga dan minta tattoo gue ditusuk sama mereka, janji Sunwoo saat ia menumpahkan spermanya di dalam lubang sanggama Haknyeon sambil memeluk sang kekasih, mencari penghiburan dan kedamaian di lekukan lehernya.


©️aratnish'22

Bagian 20 dari “Eternity”

Itu adalah tindakan paling intim yang pernah Sunwoo lakukan padanya selama dua bulan mereka menjadi sepasang kekasih. Selama dua bulan itu, sentuhan yang diberikan oleh Sunwoo tidak akan jauh dari genggaman tangan atau kecupan-kecupan ringan di dahi, pelipis, atau pipi Haknyeon. Sunwoo bahkan tidak pernah mengecup bibirnya, for Heaven's sake! Pelukan yang diberikan pun lebih berkesan bersahabat daripada pelukan antar kekasih.

Haknyeon sampai sudah menyerah untuk 'memancing' Sunwoo untuk melakukan yang lebih intim dari itu. Bukannya Haknyeon kegatelan, tapi ya masa iya, sudah dua bulan tapi tidak ada yang lebih intim dari itu? Sempat Haknyeon merasa insecure, merasa bahwa dirinya tidak menarik di mata Sunwoo, bahwa laki-laki itu setuju untuk menjalin hubungan dengannya hanya karena kasihan melihatnya menangis setelah disembur jus jeruk. Tapi semua perhatian Sunwoo mematahkan rasa insecure-nya.

Pernah ia mengeluh kepada Eric perihal kurang intimnya sentuhan yang Sunwoo berikan. Adik sepupunya itu berkata,

“Kalo kata gue, kayaknya dia belom pernah pacaran deh, Kak. Kayak masih malu-malu kucing ngegemesin gitu.”

Pada akhirnya, Haknyeon menyerah dan memutuskan untuk mengikuti pace Sunwoo, berpikir bahwa Sunwoo hanya perlu membiasakan diri dengannya. Maka dari itu, Haknyeon sangat terkejut saat Sunwoo mengecup bahu—tattoo-nya.

Apa jangan-jangan Sunwoo punya tattoo fetish? pikir Haknyeon saat menatap bingung netra Sunwoo. Ada yang lain di sana. Ada setitik api yang berkobar.

“Sunu? Sayang? Kamu kenapa?” tanya Haknyeon hati-hati saat Sunwoo hanya diam dan menatapnya.

“Boleh peluk?”

“Aku masih harus misahin adonannya.”

“Mau sekarang!” Haknyeon mengangkat sebelah alisnya saat mendengar nada mendesak itu.

Merentangkan tangan, Haknyeon berkata dengan geli, “Sini, anak manja.”

Tapi pelukan itu tidak seperti pelukan Sunwoo biasanya.

Tetap erat, tapi terlalu erat.

Tetap hangat, tapi terlalu hangat.

Menyalakan setitik api dalam diri Haknyeon.

Aduh. Gawat.

Haknyeon berusaha melepaskan pelukannya sebelum keinginannya menyala semakin besar. Tidak semudah itu, karena Sunwoo semakin mengeratkan pelukannya, bahkan menyurukkan wajahnya ke lekukan leher Haknyeon dan menarik napas panjang di sana sambil menggumam senang.

Gawat. Gawat. Gawat.

“Nu? Kenapa?” Berusaha menekan api yang berkobar semakin besar, Haknyeon mencoba mengajak Sunwoo mengobrol.

“Nggak apa-apa.” Kekasihnya itu akhirnya melepaskan pelukannya. “Kangen,” lanjutnya pelan.

Haknyeon tertawa kecil. “Baru juga ditinggal berapa menit,” katanya sambil mengelus pipi kanan Sunwoo.

Tidak seperti biasanya, Sunwoo menahan tangan Haknyeon di pipinya, bahkan menolehkan kepala untuk mengecup telapak tangannya sambil memejamkan mata. Haknyeon menahan napas saat Sunwoo membuka mata dan menatapnya tajam. Masih tetap mengunci tatapannya dengan Haknyeon, kepala Sunwoo bergerak sedikit maju dan menempelkan bibirnya pada pergelangan tangan kekasihnya, mengecupnya pelan, merasakan denyut nadi yang terasa semakin cepat di sana.

“Kamu deg-degan,” bisik Sunwoo parau. “Kenapa?”

“Kamu beda dari biasanya,” balas Haknyeon dengan suara yang lebih parau dari biasanya. “Kenapa?”

“Nggak tau.” Sunwoo terdiam sejenak. “Aku … aku nggak tau aku kenapa, Hakkie. Aku ngerasa nggak tenang, aku kepanasan, tapi … udaranya nggak panas, ‘kan?”

Memberanikan diri, Haknyeon maju selangkah dan sedikit menarik tengkuk Sunwoo dengan tangan yang tadi masih bersemayam di pipi kekasihnya. Sunwoo membeliak, namun tidak menarik diri, hanya menatap Haknyeon dengan tatapan tertarik dan bertanya.

Haknyeon memajukan kepalanya sampai berada beberapa sentimeter di depan wajah Sunwoo. Menatapnya untuk mengetahui bagaimana reaksi sang kekasih. Tidak ada reaksi negatif yang diberikan, sehingga Haknyeon semakin berani untuk bergerak maju.

Maju sampai bibirnya menyentuh bibir Sunwoo. Hanya saling menempel, tidak ada pergerakan apapun dari keduanya, sampai akhirnya Haknyeon menarik sedikit kepalanya.

What was that?” tanya Sunwoo pelan.

A kiss?” jawab Haknyeon ragu.

Can we do that again? Longer this time? 'Cause I'm kinda loving it.”

Menampilkan senyum bahagia yang sangat lebar, Haknyeon menjawab, “Sure.”


Dari serangkaian kecupan, lumatan, pagutan, dan gigitan-gigitan kecil, Haknyeon dapat mengambil kesimpulan bahwa Sunwoo kurang berpengalaman dalam berciuman. Sunwoo sering kali tersentak terkejut dan ciuman balasan yang diberikan sangat terkesan ragu-ragu dan coba-coba.

Tapi memabukkan, pikir Haknyeon disaat yang bersamaan ia mengerang karena Sunwoo menggigit kecil nadi di lehernya.

Sesuatu yang keras di bawah sana menekan perut Haknyeon dan ia pun yakin Sunwoo merasakan hal yang sama di perutnya. Tanpa pikir panjang, Haknyeon menyelipkan tangannya di antara mereka dan menyentuh benda keras itu. Di luar dugaan, bukannya mengerang senang, Sunwoo tersentak dan segera menjauhkan dirinya dari Haknyeon. Tatapan takut dan bingung tersirat dengan jelas di wajah tampannya.

“Ke— Ap—” Sunwoo tidak mampu berkata-kata.

“A— Maaf, aku kira kamu— kita— Maaf, Nu.” Haknyeon tidak tahu untuk apa ia meminta maaf, tapi melihat wajah Sunwoo yang menatapnya dengan takut, ia merasa ia berutang maaf padanya.

“Ke— Kenapa kamu pegang … pegang … itu aku?” tanya Sunwoo takut-takut.

“Hah?”

Sunwoo terdiam sesaat. “Aku … belom pernah dipegang sama orang lain,” ucapnya pelan.

Ya Tuhan! Dia masih perjaka?!

“Astaga! Maaf, Nu … aku … aku nggak tau. Kita berhenti aja, ya. Kita jalan ke luar aja, yuk! Mau ke taman hiburan?” tawar Haknyeon gugup sambil berbalik dan membereskan adonan serta peralatan memasaknya. Gerakannya terhenti saat Sunwoo memeluknya dari belakang, melingkari perutnya dengan posesif, dan mengecup rahangnya dari belakang.

“Nu?” tanya Haknyeon terengah.

“Nggak mau. Nggak mau ke luar. Mau gini aja. Di sini.”

“Nu, kalo di sini terus, bakalan jadi lebih jauh dari ini,” ujar Haknyeon putus asa setelah menarik napas berat. Sunwoo terdiam cukup lama sehingga Haknyeon berpikir bahwa akhirnya lelaki itu mempertimbangkan untuk pergi ke luar. Sebuah gelengan kecil di tengkuknya membuat Haknyeon menahan napas.

“Nggak apa-apa.” Tanpa berkata-kata, Haknyeon berbalik di pelukan Sunwoo dan menatap mata yang balas menatapnya dengan serius.

“Jangan bercanda, Sunu.” Sang kekasih menggeleng dan mundur sejauh satu langkah.

“Aku serius, Hakkie. Aku mau sama kamu. Aku pengen bikin kamu seneng. Pengen bikin kamu enak.”

Perlahan, Haknyeon mengulurkan tangannya ke arah Sunwoo yang meraihnya dengan ragu-ragu. Dengan diam, ia membimbing Sunwoo menuju kamarnya.

Keduanya terdiam sambil bertatapan di balik pintu kamar Haknyeon. Sebesar-besarnya api yang sedang berkobar di dalam dirinya, Haknyeon tidak mau menakuti kekasihnya yang—tampaknya—tidak memiliki pengalaman apapun.

Sunwoo bukannya 100% polos dan tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah ini. Oh percayalah, ia sudah cukup sering melihat Chanhee dan Changmin membawa kekasih-kekasih mereka ke rumah selama berabad-abad. Tidak sekali dua pula Sunwoo memergoki kegiatan intim mereka bersama pasangannya. Jangan lupakan juga beberapa film panas yang ia tonton atas dasar penasaran—dan edukasi, katanya. Tapi ia tidak pernah berkeinginan untuk melakukannya dengan orang lain. Hell, ia bahkan tidak pernah tertarik untuk menjalin hubungan romantis dengan siapapun selama empat ratus tahun terakhir.

Dilihatnya Haknyeon mengulurkan tangan ke arahnya, melingkari lehernya, dan menariknya mendekat. Kekasihnya itu berhenti beberapa sentimeter di depan wajahnya dan menunggu. Tahu bahwa Haknyeon memberikan pilihan kepadanya, Sunwoo pun menutup jarak di antara mereka dan memagut bibir manis di hadapannya. Asal tahu saja, Sunwoo cepat belajar, terbukti dari bagaimana Haknyeon tersentak dan langsung menempelkan badannya pada Sunwoo.

Mengerang, Sunwoo menurunkan tangannya dari pinggang Haknyeon ke bokong lelaki itu dan meremasnya. Terengah, Haknyeon melepaskan ciuman mereka.

“Nu, kita berhenti aja, ya?”

“Kamu mau kita berhenti?”

“Sebenernya enggak, tapi kamu ….”

“Aku nggak apa-apa.” Mendekatkan bibirnya ke telinga Haknyeon, Sunwoo berbisik, “Teach me, baby.”


©️aratnish'22

Bagian 19 dari “Eternity”

“Ciyeee … yang mau nge-date … ganteng amaaat,” goda Changmin saat Sunwoo memasuki ruang makan di hari Sabtu pagi itu. Walaupun Changmin bilang 'ganteng amat', tapi outfit Sunwoo hari itu tetaplah … serba hitam.

“Apaan, sih? Kayak nggak pernah liat gue nge-date aja,” protes Sunwoo untuk menutupi rasa jengahnya.

“Iyaaa … gue emang udah liat lo berkali-kali nge-date sejak pacaran sama Haknyeon … berapa? Dua bulan lalu, ya? Wow! Time flies!” Sunwoo tersipu sambil mengambil setangkup roti bakar yang dibuat oleh Chanhee.

“Jadi? Kapan Haknyeon mau dibawa ke rumah? Kenalin gitu ke gue sama Chanhee. Masa kita kenalnya cuma dari cerita lo aja.”

“Iya. Nanti dikenalin.” Sunwoo mengalihkan fokusnya pada roti yang dikunyahnya.

I'm sorry for being a party pooper, tapi … Sun, Haknyeon itu beneran reinkarnasi dari masa lalu lo?” tanya Chanhee sambil duduk di sebelah Changmin.

Iya, Chanhee—dan Changmin juga—penasaran karena Moonie tidak memberikan informasi apa-apa kepada mereka.

“Nggak tau. Dan gue nggak peduli juga, sih. Yang penting gue nyaman dan sayang sama Haknyeon. Masa lalu gue biarin aja jadi masa lalu.”

Chanhee dan Changmin saling berpandangan dengan geli. Memang susah kalau berhadapan dengan orang yang sedang dimabuk cinta.

“Ini pengalaman pertama lo pacaran, ya?” tebak Chanhee.

“EMANGNYA KENAPA?!” seru Sunwoo panik dengan wajah memerah, kontan membuat kedua atua lainnya tertawa geli.

“Nggak apa-apa, Sun. Cuma gemes aja. Lo ngegemesin,” kekeh Changmin.

“Haknyeon lebih ngegemesin,” sahut Sunwoo pelan sambil menunduk.

“Iya. Iya. Haknyeon yang paling ngegemesin. Makanya bawa ke sini, dong! Kenalin ke kita!” titah Chanhee.

“Iya. Nanti.”

“Jadi, hari ini mau nge-date ke mana? Jangan bilang survey café lagi.”

“Dih, Changmin kepo!” goda Chanhee.

“Emang lo enggak?”

“Iya sih.” Chanhee tertawa sambil menjawab. “Jadi … ke mana, Sun?”

“Ke apartemen Haknyeon.” Chanhee dan Changmin membelalak. Kaget dengan jawaban Sunwoo. “Kenapa?”

“Mm … tumben?” tanya Chanhee hati-hati.

“Tadinya mau nonton terus kulineran, tapi Haknyeon mau nyoba resep cake, jadi ya nge-date-nya di apartemen dia aja.”

“Jadi nge-date-nya masak-masakan, gitu?”

“Masak beneran, Kak Changmin. Haknyeon bisa marah kalo dia tau lo bilang masak-masakan.” Sunwoo terkekeh geli.

“Sun, inget, abis masak jangan macem-macem, ya!” Chanhee memperingatkan dengan serius.

“Macem-macem gimana?” tanya Sunwoo bingung.

“Ya macem-macem. Kalian nanti berdua aja di apartemen Haknyeon?” Sunwoo mengangguk. “Hati-hati, biasanya kalo cuma berdua, yang ketiganya itu setan.”

Sunwoo melempar serbet ke arah Changmin.

“Jangan nakutin dong, Kak! Mentang-mentang lo hobinya nonton horror! Udah ah, mending gue pergi. Mau belanja bareng dulu. Nanti gue bawain cake yang dibikin Haknyeon. Bye!”

Tanpa menunggu jawaban dari Chanhee dan Changmin, Sunwoo pun keluar dari ruang makan dan dari rumah mereka.

Changmin menatap Chanhee dengan bingung.

“Dia … kayaknya nggak nangkep ya maksud gue apaan?” tanya Changmin dengan linglung. Chanhee tertawa dengan keras sampai ia terbungkuk di kursinya.

“Enggak. Dia nggak nangkep.”

“Dia … jangan bilang dia masih virgin.” Chanhee menghapus air mata geli yang mengalir.

Well, who knows?”


“Kok cemberut gitu mukanya? Nggak suka ya mau nemenin aku masak? Ya udah yuk kita jalan aja, aku nyobain bikin cake-nya besok aja di toko,” ujar Haknyeon saat ia lihat wajah cemberut Sunwoo ketika mereka memasuki unit apartemennya.

“Enggak! Bukan ….”

“Terus kenapa?”

“Tadi pagi ditakut-takutin Kak Changmin, jadi kesel.” Haknyeon tertawa.

“Nggak usah takut, 'kan ada aku,” kata Haknyeon sambil mengecup pipi Sunwoo yang langsung tersenyum senang.

“Jadi, pertama-tama, kita ngapain?” tanyanya bersemangat.

“Pertama-tama, kamu lepas jaket dulu, terus cuci tangan. Aku ngeluarin belanjaan, cuci tangan, lalu ngeluarin peralatan, cuci tangan lagi, lalu ayo kita bikin cake-nya.”

“Siap, jendral!”

Saat Sunwoo memperhatikan Haknyeon, yang sedang berdiri di depannya sambil mencampur semua bahan yang ada di resep dalam blender, pertanyaan Chanhee tiba-tiba terngiang kembali di benaknya.

Gue terlalu nyaman sama Hakkie sampe lupa bahwa ada kemungkinan dia reinkarnasi dari Haeseong, pikirnya sambil melihat Haknyeon yang sedang menunduk serius di atas blender.

Sebenernya gue juga udah nggak peduli sih dia reinkarnasi dari Haeseong atau bukan, tapi … penasaran boleh, 'kan ya?

Sesungguhnya, ada satu tanda yang Sunwoo ingat dengan jelas dari Haeseong, tanda yang bisa membuktikan apakah Haknyeon ini Haeseong atau bukan.

Tapi kalo reinkarnasi gitu, tandanya ikut reinkarnasi nggak, ya? Memiringkan kepalanya beberapa derajat ke kanan, Sunwoo mengambil keputusan. Nggak ada salahnya dicoba dulu.

Sunwoo mengulurkan tangannya ke arah leher t-shirt putih yang dikenakan Haknyeon.

“Hmm? Kenapa, Nu?” tanya Haknyeon tanpa berpaling saat merasakan ujung jemari Sunwoo menyentuh tengkuknya.

“Nggak apa-apa. Kangen aja nyentuh kamu,” jawab Sunwoo sekenanya.

Haknyeon terkekeh. “Iya, manja … bentar lagi adonannya udah bisa di-resting, jadi kita bisa pacaran. Nanti kita cari film seru di Netflix, ya.”

Menjawab dengan senyuman yang jelas saja tidak akan bisa dilihat oleh Haknyeon yang membelakanginya, Sunwoo melanjutkan niatan sebelumnya. Dengan ujung telunjuk, Sunwoo menarik kerah t-shirt itu beberapa sentimeter ke bawah.

Sungguh, Sunwoo tidak memiliki ekspektasi apapun saat ia menarik turun bagian leher t-shirt itu. Karenanya, Sunwoo tidak menyangka bahwa ia akan melihat tanda yang ia ingat dengan jelas di sana, di tempat ia selalu melihatnya dulu.

“Hakkie …,” panggilnya dengan suara parau.

“Hmm?” gumam Haknyeon yang kini sedang membagi adonan ke dalam dua wadah berbeda.

“Sayang?”

“Ada apa, Sunu?”

“Kamu … punya tattoo?” tanyanya pelan sambil menatap objek di depannya dengan nanar.

Di bahu kiri Haknyeon dapat dengan jelas ia lihat sebuah bercak putih dengan bentuk menggumpal seperti awan dan matahari kuning yang menyembul di balik awan putih itu.

“Oh! Hehehe iya. Kamu nggak suka?”

“Enggak, aku cuma kaget. Udah lama?”

Haknyeon berhenti membagi adonan lalu menatap langit-langit sambil berpikir. Masih tetap membelakangi Sunwoo. “Hmm … waktu masuk kuliah kalo nggak salah. Sebenernya udah lama pengen bikin tattoo, tapi sekolah aku dulu itu ketat banget, kalo ketauan punya tattoo atau piercing, bisa dikeluarin. Oh! Itu tuh sebenernya yang di-tattoo cuma matahari kuningnya aja, Nu.”

Jantung Sunwoo berdebar semakin kencang di rongga dadanya saat mendengar pernyataan Haknyeon.

“Oh? Lalu awannya?”

“Itu tanda lahir. Cuma karena warnanya putih, aku jadi kesel karena jadi mirip panu gitu, 'kan.” Laki-laki itu terkekeh geli. “Jadi pas udah bisa bebas bikin tattoo, ya aku modifikasi aja biar nggak keliatan kalo itu tanda lahir … atau dikira panu.”

Itu dia! Itu jawaban yang dibutuhkan oleh Sunwoo.

Haeseong. Dia bener-bener Haeseong. Cuma Haeseong satu-satunya orang yang gue tau punya tanda lahir ini. Haknyeon adalah Haeseong. Haeseong gue!

Kewalahan dengan informasi yang baru diterimanya, Sunwoo merasa tubuhnya mengikuti keinginan si alam bawah sadar. Kepalanya mulai menunduk, mendekati tattoo di bahu Haknyeon yang kini kembali terpampang di depan matanya karena sang kekasih kembali menunduk ke arah adonan di atas meja dapur.

Satu jengkal.

Setengah jengkal.

Cup.

Sunwoo mengecup khusyuk tattoo yang terbentuk dari tanda lahir yang dikenalnya.

Haknyeon tersentak dan langsung berbalik menghadap Sunwoo, tidak peduli dengan sejumlah kecil adonan yang tumpah ke permukaan meja.

“Nu?”


©️aratnish'22

Bagian 17 dari “Eternity”

Dan keesokan harinya, sampailah mereka di cafe ketiga pada sesi dating berkedok hangout itu.

“Kamu nggak akan sakit gigi dari tadi makan dessert terus? Nih makan ini juga, biar imbang, nggak gula semua yang dikonsumsi.” Sunwoo mendorong piring berisi fish and chips miliknya.

“Kamu nanti makan apa?” tanya Haknyeon sambil mengambil sebuah kentang.

“Ngeliat kamu makan aja, aku udah kenyang.” Sunwoo tertawa saat melihat Haknyeon memberengut.

“Ngeledek banget. Bilang aja aku makannya banyak.”

“Ya bagus, 'kan? Tandanya kamu sehat, nafsu makannya bagus.” Haknyeon hanya mendengus pelan sebagai respons. Salah tingkah.

“Kamu juga dari tadi minum kopi terus. Nih, minum punyaku aja.” Haknyeon menukar cangkir kopi Sunwoo dengan gelas berisi jus jeruk miliknya. Yang dinasihati hanya tersenyum kecil tanpa memprotes apapun.

Sesaat mereka hanya terdiam sambil menikmati hidangan masing-masing yang telah ditukar untuk menyeimbangkan asupan yang masuk ke dalam tubuh.

“Mmm …,” guman Haknyeon ragu-ragu.

Gimana ngomongnya, ya? Pembukaannya gimana? pikir Haknyeon bingung. Ia sudah menunda niatan awalnya untuk mengungkapkan perasaannya pada Sunwoo sampai di cafe ketiga ini. Jujur saja, ia bahkan sudah tidak sanggup lagi untuk memakan cake apapun, maka dari itu ia sangat bersyukur saat Sunwoo memintanya memakan fish and chips miliknya.

“Kenapa?” tanya Sunwoo saat Haknyeon tidak mengatakan apa-apa lagi.

Cheesecake-nya enak?”

“Lumayan. Lebih enak buatan kamu sih tapinya.”

“Oh.” Haknyeon memainkan kepingan kentang di piringnya.

“Kenapa, Haknyeon?”

It's now or never, putus Haknyeon setelah berpikir cepat.

“Sun?”

“Ya?”

“Kamu suka sama aku?”

“Suka,” jawab Sunwoo tenang. “Kamu baik, kamu ceria, kamu berbakat. It feels so nice to be around a nice friend like you,” lanjutnya sambil tersenyum. Haknyeon merasa bodoh karena sempat merasa senang.

Oh. Cuma suka sebatas temen aja.

“Emangnya kenapa, Hak?”

“Aku suka sama kamu.”

Thank you.” Sunwoo tidak ragu untuk menampakkan senyum bahagianya, membuat Haknyeon gemas karena sepertinya lawan bicaranya itu tidak berada satu frekuensi dengannya.

“Kamu tuh ngerti nggak, sih? Aku tuh suka sama kamu. Suka banget banget banget. Aku nggak mau cuma jadi temen, pengennya jadi cowok kamu!”

BBRRUUUUPPTT

Jus jeruk yang tadinya berada di dalam mulut Sunwoo, kini berpindah ke wajah Haknyeon saat ia terkejut mendengar pengakuan berapi-api dari pemuda di depannya. Sesaat keduanya terdiam dengan wajah terkejut. Jus jeruk menetes dari wajah Haknyeon dan dagu Sunwoo, menemani canggung yang tercipta. Haknyeon adalah yang pertama tersadar dari situasi canggung itu.

Okay, that's such an answer. Dengan hati pedih, Haknyeon membersihkan wajahnya.

“Hak … maaf, aku nggak sengaja …,” sesal Sunwoo.

“Iya Sun, nggak apa-apa. Omongan gue tadi nggak usah dianggep serius. Sugar rush doang kayaknya.”

“Hak?” Sunwoo terkejut mendengar panggilan yang digunakan Haknyeon.

“Oh iya, abis dari sini gue mau pergi ke satu tempat dulu. Sendiri. Lo pulang duluan aja nggak apa-apa. Thanks udah mau nemenin gue hari ini.” Dengan tergesa, Haknyeon membereskan semua barang bawaannya.

“Eh? Hak? Kenapa? Mau ke mana?”

Sorry udah ganggu hari libur lo.”

Tidak bisa lagi membendung air matanya, Haknyeon segera berdiri dari kursinya dan berlari ke luar cafe, tidak mengindahkan teriakan bingung Sunwoo yang memanggil namanya.


Bodoh! Bodoh! BODOH! Hakkie bodoh! Harusnya lo nggak nanya gitu! Harusnya sabar aja nunggu sinyal dari Sunwoo! Kalo udah gini 'kan jadinya awkward banget! Mana sempet disembur jus jeruk, pula! Sedih banget! gerutu Haknyeon dalam hati sambil berlari dan meneteskan air mata, membuat orang-orang yang berpapasan dengannya mengernyit heran.

“Haknyeon! Tunggu!”

Ngapain pake ngejar, sih?! Udah sih biarin aja gue kabur dengan tenang, mumpung masih ada sisa harga diri. Haknyeon berusaha menambah kecepatan larinya, tapi sesuatu dalam dirinya membuat ia memperlambat langkahnya.

Tapi … mau seburuk apapun hasilnya, gue harus nyelesein ini bener-bener. Gue nggak boleh lari.

“Kenapa tiba-tiba lari, sih?” tanya Sunwoo, yang sudah berhasil mengejarnya, dengan napas terengah. Haknyeon berbalik dan menatap Sunwoo tepat di maniknya dengan mata yang masih berkaca-kaca.

“Eh? Kenapa? Kok nangis? Iya, aku salah tadi … maaf, ya? Jangan nangis lagi,” ucap Sunwoo sambil menghapus air mata yang tersisa di pipi Haknyeon. Bukannya mereda, air mata yang keluar dari netra Haknyeon malah semakin banyak.

“Eeeh? Kok makin nangis?”

“Aku suka kamu, Sunwoo,” isak Haknyeon kecil.

“Iya, tadi 'kan kamu udah bilang. Aku juga suka kamu, Haknyeon.”

“Tapi beda!”

“Beda gimana?”

“Pokoknya beda!”

“Aku nggak ngerti, Hak. Yuk kita cari tempat ngobrol dulu, jangan di tengah jalan gini. Tuh liat, kita udah jadi tontonan gratis. Daripada nangis, mending kita tarikin uang buat yang udah nonton, yuk? Lumayan, bisa buat beli cake lagi.”

Haknyeon tidak percaya bahwa dirinya masih bisa tertawa mendengar lelucon Sunwoo itu. Perlahan, ia menghapus air matanya.

“Iya, ayo ngobrol.” Sunwoo melihat sekeliling.

“Kita ngobrol di taman itu aja, ya?” Haknyeon melihat ke arah taman yang ditunjuk oleh Sunwoo. Tidak terlalu jauh dan tidak banyak orang berada di sana saat itu.

“Ayo.”

Haknyeon beranjak mendahului Sunwoo, namun langkahnya terhenti karena Sunwoo menggenggam tangannya. Tanpa berkata-kata, Haknyeon melihat ke arah laki-laki yang sedikit lebih tinggi darinya itu.

“Kalo nggak dipegangin, nanti kamu lari lagi. Aku udah nggak punya tenaga buat ngejar kamu,” jawab Sunwoo pada pertanyaan di netra Haknyeon.

Menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah, Haknyeon mengikuti Sunwoo yang membimbingnya menuju taman.

Tidak ada yang bersuara di antara keduanya setelah mereka duduk di salah satu bangku di taman.

Dan Sunwoo masih belum melepaskan genggaman tangannya.

“Jadi, kenapa kamu nangis? Karena aku sembur pake jus jeruk, ya? Maaf ya … aku beneran nggak sengaja. Kena mata ya tadi?” Akhirnya Sunwoo membuka suara terlebih dulu.

“Kamu segitu nggak sukanya ya, aku suka sama kamu? Nggak suka banget aku pengen jadi cowok kamu? Kamu nggak suka cowok, ya?” Hati Haknyeon mencelos saat Sunwoo terdiam cukup lama. Ingin rasanya ia melarikan diri lagi, tapi ia sudah bertekad untuk menyelesaikan semuanya saat itu.

“Kaget. Bukan nggak suka,” jawab Sunwoo pelan.

“Gimana maksudnya?”

“Kaget, soalnya kamu ngomongnya mendadak banget. Aku kira kamu nggak punya perasaan yang lebih dari temen ke aku, makanya aku nggak pernah berharap lebih. That's why aku nggak nyangka banget waktu kamu ngomong gitu.”

“Jadi … aslinya seneng?”

“Seneng! Banget! Udah nggak bisa diungkapin sama kata-kata. Kalo boleh jujur, aku selalu deg-degan kalo kamu ke OW. Deg-degan seneng sama deg-degan takut.”

“Takut kenapa?”

“Takut kamu CLBK sama Bang Hyunjae, sementara aku nggak ada hak apa-apa untuk cemburu atau ngelarang-larang kamu.”

“Aku sama dia udah beneran nggak ada apa-apa, Sun.”

“Iya, Bang Hyunjae juga kemaren ngomong gitu.” Sunwoo terdiam. “Jadi … aku boleh punya hak untuk cemburu?”

Wajah Haknyeon mulai bersemu merah. “Boleh.”

“Boleh pegangan tangan juga tanpa harus modus dengan alasan mau nyebrang jalan?”

“Boleh banget.”

Wajah keduanya kini sudah benar-benar memerah.

Astaga! Gue kayak remaja baru gede yang baru pertama kali pacaran! pikir Haknyeon geli.

Sambil menautkan jemari mereka dalam genggamannya dan duduk menghadap Haknyeon, Sunwoo menatap manik mata lelaki itu dalam-dalam.

“Haknyeon maunya gimana sekarang?” tanyanya dengan suara rendah. Haknyeon membalas tatapan intens lelaki di sebelahnya.

“Mau jadi cowoknya Sunwoo,” jawab Haknyeon tegas. Sunwoo mengangguk sambil tersenyum.

“Sunwoo juga mau banget jadi cowoknya Haknyeon.”


©️aratnish'22

Bagian 16 dari “Eternity”

Haknyeon menghela napas kesal sambil melihat ke layar ponselnya.

“Kenapa, Kak?” Eric bertanya dengan bingung. Bagaimana tidak bingung? Haknyeon tampak tidak fokus, padahal saat itu masih termasuk dalam jam operasional toko.

“Nggak dibolehin ke OW sama Sunwoo.”

“Eh? Kenapa?”

“Katanya gue harus istirahat. Padahal gue pengen ketemu dia. Kalo ketemunya di sini ‘kan gue-nya harus kerja.”

“Lah kalo ketemunya di sana juga ‘kan dia harus kerja,” kata Eric geli. Orang jatuh cinta itu emang suka irasional ya pikirannya?

“Eh iya ya? Soalnya dia kayaknya cuek aja gitu nemenin kita ngobrol. Nggak akan ada yang ngelaporin dia ke bosnya gitu ya? Oke. Kalo gitu sekarang kita jangan sering-sering ke sana ya, Ric.”

“Ya makanya kalo mau nge-date itu pas hari libur, jangan pas sama-sama dua-duanya kerja.”

“GUE NGGAK NGE-DATE!?” pekik Haknyeon panik.

“Ssst! Jangan keras-keras! Lo ngagetin pelanggan, Kak!” omel Eric walaupun dengan nada geli.

“Ya abis lo ngomongnya aneh-aneh.”

“Iya. Iya. Sorry.”

Percakapan mereka terpotong karena seorang pelanggan menghampiri dan melakukan pemesanan serta pembayaran.


“Jadi, mulai kapan lo pacaran sama Sunwoo, Kak?” tanya Eric pada saat mereka sedang dalam perjalanan pulang ke apartemen. Dengan wajah masam, Haknyeon menjawab dengan sebuah kedikan bahu.

“Hah? Belom pacaran, lo tuh?!” tanya Eric terkejut.

“Ya menurut lo?!”

“Gue kira udah pacaran, anjir! Jadi selama hampir dua bulan ini kalian ngapain? Cuma chatting, saling mengunjungi tempat kerja masing-masing, flirting dikit-dikit, aku-kamuan, gitu?”

“Anjir! Dari mana lo tau kalo gue sama Sunwoo ngomongnya aku-kamu?!”

“Nggak sengaja liat chat room imess lo kemarenan ini.”

“Nggak boleh gitu lagi!”

“Iyaaa. ‘Kan udah gue bilang, gue nggak sengaja liat.”

Sesaat mereka berjalan dalam diam.

“Ric … kalo dia nggak suka sama gue, gimana?” tanya Haknyeon pelan.

“Kok tiba-tiba mikirnya gitu? Selama ini dia nggak pernah protes apa-apa, ‘kan?”

“Emang enggak sih, tapi … gimana kalo misalnya dia cuma ngikut arus aja? Atau cuma biar gue nggak malu? Atau … apa gitu?”

“Astaga, pikiran lo negatif banget dah.”

“Ya abisnya gimana? Dia nggak pernah ngungkit apa-apa juga. Nggak pernah keberatan kalo gue pura-pura keceplosan manggil ‘sayang’, cuma ketawa doang. Nggak pernah protes kalo gue ngasih perhatian, malah merhatiin balik. Tapi nggak pernah dia ngebahas yang menjurus lebih dari temen. ‘Kan gue jadi bingung.”

“Ya lo tembak aja duluan.”

“HAH?! KOK GITU?!”

“Ya lo suka nggak sama dia?”

“Suka.”

“Mau pacaran sama dia?”

“Mau.”

“Ya udah tembak aja duluan. Apa susahnya, sih?”

“Kalo dia nggak suka sama gue—atau lebih parah lagi, nggak suka cowok—dan nggak mau pacaran sama gue, gimana?!”

“Ya paling jadi canggung aja.”

“Lo nggak membantu banget, Ric! Sumpah!”

“Kak, seriusan. Pernah nggak lo mikir dari sisi dia? Mungkin aja dia punya ketakutan yang sama. Apalagi manajernya dia itu mantan lo. Jangan-jangan dia malah mikir lo dateng ke OW karena belom move on dari Kak Mantan.”

“Tapi ‘kan gue selalu chat sama dia, bukan sama si mantan.”

“Ya ‘kan dia nggak tau itu, Kak. Pikiran dan hati orang nggak ada yang tau sebelom ditanyain. Ya kecuali kalo lo dukun, sih.”

Haknyeon terdiam. Mungkinkah Sunwoo juga sama galaunya dengan dirinya? Mungkinkah Sunwoo berpikiran bahwa ia berkunjung ke Other World hanya supaya Haknyeon dapat melihat dan bertemu dengan Hyunjae? Kalau memang betul begitu, bagaimana ia harus meluruskan semuanya kepada Sunwoo?

“Nggak usah galau, ikutin saran gue. Tembak duluan aja, daripada lo penasaran terus. Mau sampe mana punya hubungan ngambang gini, Kak? Nggak bisa kelon, nggak bisa sayang-sayangan. Hih, boring banget!”

“Kompor, lo.”

“Tapi bener, ‘kan? Lo mau punya hubungan platonis kayak gini terus sama orang yang lo suka? Kalo mau sih ya terserah. Gue sih nggak sanggup.”

Membiarkan Eric berjalan mendahuluinya, Haknyeon pun mencerna dan mengendapkan usulan adik sepupunya itu.

Eric ada benernya, sih. Kalo gini terus, nggak akan ada kemajuan sampe kapanpun, nggak akan ada yang dimulai … atau mungkin diakhiri.


“Kok tumben Haknyeon nggak keliatan hari ini?” tanya Hyunjae saat memasuki area bar.

“Ngapain lo tanya-tanya?” balas Sunwoo sinis. Hyunjae berusaha menyembunyikan senyum gelinya melihat kekesalan yang jelas tercetak di wajah bos yang lebih muda darinya itu.

“Ya … basa-basi aja sih, Sun. Biasanya tiap hari dia ke sini.”

“Gue yang larang dia ke sini hari ini biar dia istirahat. Mau protes?” tantang Sunwoo. Hyunjae tidak bisa lagi menahan tawanya. Ia pun tertawa lepas.

“Lo cemburu sama gue?”

“ENGGAK!”

“Nggak usah ngelak, itu di jidat lo udah ada tulisan ‘JEALOUS’ yang gede banget,” kekeh manajer Other World itu. “Nggak usah cemburu sama gue, Haknyeon sama gue udah clear, nggak ada apa-apa lagi. Dan nggak ada niatan untuk balikan juga. Cowok lo aman dari gue.”

“Dia bukan cowok gue!?” sentak Sunwoo panik.

“HAH?! KOK BISA?!”

“Ya bisa, lah! Dia cuma nganggep gue temen. Kayaknya.”

“Nggak mungkin, Sun! Gue tau Haknyeon, nggak mungkin dia mau sering main ke sini kalo nggak punya perasaan apa-apa sama lo. Waktu gue mulai kerja di sini, gue udah pacaran sama Haknyeon, tapi pernah lo liat dia maen ke sini? Enggak, 'kan?” Sunwoo menggeleng.

Bener juga, ya? Gue nggak pernah ketemu Haknyeon di OW sebelomnya.

“Berapa kali dalam seminggu lo chatting sama dia?”

“Mmm … tiap hari?”

“NAH!”

“Nah apa?”

“Berarti dia nggak cuma nganggep lo temen.”

“Kok bisa?”

“Lah sama gue aja dulu waktu pacaran chatting-nya bisa diitung sama satu tangan dalam seminggu. Berapa KALI chat loh ya, bukan berapa HARI chat.”

Sunwoo terdiam sesaat. “Gitu?”

“Iya. Gitu. Udah deh, gue kasih tau, dia suka sama lo, jadi lo nggak usah cemburu sama gue.”

“Terus? Gue harus gimana?”

“Ya mana gue tau?! Lo maunya gimana? Mau gini doang ya terserah, tapi kalo mau lebih dari ini, ya usaha. Tembak dia lah, keburu ada yang nikung.”

Sunwoo terdiam lagi.

“Ah, lo lama!” Hyunjae pun melangkah kembali ke arah kantor meninggalkan Sunwoo termenung sendiri.

Setengah jam sudah Hyunjae lalui dengan memeriksa laporan keuangan dan stok mereka bulan itu saat ia lihat Sunwoo melongokkan kepalanya ke dalam ruangan.

“Bang?” tanya pemuda itu ragu-ragu.

“Oi?”

“Gue besok boleh libur?” Hyunjae menaikkan sebelah alisnya.

“Tumben?”

“Itu … anu …. Eh tapi kalo nggak boleh juga nggak apa-apa, kok! Iya, nggak apa-apa, nggak jadi libur.” Gugup, Sunwoo buru-buru membatalkan permohonannya dan menarik kepalanya dari ambang pintu.

“Eh! Tunggu! Sun!” cegah Hyunjae.

“Ya?” Hyunjae mempelajari wajah pemuda itu sesaat. Semburat merah muda masih tertinggal di kedua pipinya.

“Mau jalan sama Haknyeon, ya?” tebak Hyunjae coba-coba. Oh! Bener ternyata! Astaga, ini anak beneran duapuluh tiga taun, gitu? Kok polos banget? pikirnya geli saat Sunwoo membelalakkan matanya dengan wajah yang semakin memerah.

“Boleh, Bang?”

“Boleh bangeeet! Gue kontak Hyunjun sekarang buat ngasih tau kalo dia double shift besok, ya?” Sunwoo mengangguk dengan mimik berterima kasih.

“Oh! Sun?” panggil Hyunjae lagi saat Sunwoo kembali akan pergi.

“Ya?”

“Lo nggak perlu sungkan untuk minta libur, ya? Langsung bilang aja, I'll find the way to cover you up.”

Thank you, Bang.”


©️aratnish'22