aratnish

~ I write the story I want to read ~

Bagian 14 dari “Eternity”

“Kak, gue mau nanya deh,” celetuk Eric tiba-tiba saat ia memasuki ruang tengah apartemen yang mereka tempati berdua, selesai ia mandi malam itu.

“Apaan tuh?” tanya Haknyeon tanpa mengalihkan perhatian dari tabletnya, di mana ia mencorat-coret sebuah file di sana. Rupanya ia sedang merevisi resep salted caramel cake sesuai dengan masukan yang diberikan oleh Sunwoo dan kakak-kakaknya.

Waktu memang sudah menunjukkan lewat tengah malam sepulangnya mereka dari Other World, tapi Haknyeon bersikeras untuk menyelesaikan revisi resep dan desain cake-nya malam itu juga, karena esok ia ingin mencoba membuatnya kembali. Karena penasaran? Ataukah karena ia ingin segera memberi tahu Sunwoo untuk kembali datang ke Arani? Haknyeon masih belum bisa memutuskan alasannya.

“Lo suka sama Sunwoo, ya?”

Tablet itu hampir saja terlepas dari tangannya jika Haknyeon tidak menggenggamnya lebih erat tepat waktu.

“Lo— Lo— Kok—”

“Kok tau?” Eric tergelak. “Keliatan banget, Kak! Lo jadi chatty banget kalo ada Sunwoo. Terus waktu dia luka tadi, lo khawatir banget. Waktu dia nggak megang tangan lo lagi, muka lo langsung sedih gitu, kayak anak guguk yang ditinggalin majikannya. Kayaknya waktu dulu lo pacaran sama Kak Hyunjae, nggak segini transparannya deh perasaan lo. Saking nggak keliatannya, gue sampe nggak tau kalo kalian pacaran.”

“Nggak usah sebut-sebut nama orang itu lagi, bisa nggak sih?”

“Iya. Iya, yang masih kesel. Gue juga minta maaf karena waktu itu sempet jalan sama dia, gue nggak tau kalo dia cowok lo, Kak.”

“Nggak apa-apa, lo baru pulang dari LA waktu itu dan kita belom tinggal bareng, jadi wajar lah kalo lo nggak tau.”

“Tetep aja gue yang jadi penyebab kalian putus.”

“Bukan karena lo, kok. Emang udah nggak sejalan aja kayaknya gue sama dia.”

Anyway, balik lagi …. Jadi, lo suka sama Sunwoo, Kak?”

Haknyeon terdiam. Tangannya sudah menyerah untuk memegang tablet yang ia gunakan untuk bekerja, maka benda kotak pipih itu ia letakkan di meja.

“Nggak tau, Ric. Padahal gue ketemu dia baru berapa hari, tapi rasanya pengen ketemu terus. Mana pertemuan pertamanya enggak banget, pula. Pertemuan kedua apa lagi, dia malah muntah di Arani.” Haknyeon menggeleng tak habis pikir.

“Tapi rasanya gue nggak asing sama dia. Rasanya udah akrab banget. Rasanya nyaman banget. Padahal dulu waktu masih sama si itu aja gue nggak ngerasain sampe segininya.”

Bullshit soal waktu, kalo udah jodoh sih, mau baru ketemu satu detik juga tetep aja jatuh cinta.”

“GUE NGGAK JATUH CINTA SAMA SUNWOO!?”

“Terus apa?” tantang Eric.

“Mmm … tertarik?” kata Haknyeon malu-malu. Eric memutar bola matanya dengan tatapan bosan.

Okay, whatever you named it. Terserah. Tapi Kak, dari yang gue liat sih, kayaknya Sunwoo juga 'tertarik' sama lo.”

“Iya?! Beneran, Ric?!” Eric benar-benar tertawa melihat sorot girang di mata kakak sepupunya itu.

“Yang kayak gini yang bilang nggak jatuh cinta?” godanya yang membuat Haknyeon memajukan bibirnya dan menggumamkan kata-kata yang tidak bisa ditangkap dengan jelas oleh telinga Eric.

“Udah sih Kak, jujur aja. Nggak apa-apa juga.” Haknyeon masih terdiam. “Kalo lo nggak jatuh cinta sama Sunwoo, boleh dong kalo gue ngedeketin dia? Dia lumayan tipe gue juga.”

“EH JANGAN!” larang Haknyeon keras. Eric tertawa semakin kencang.

“Nggak akan, lah! Ngapain gue capek-capek modus ke Kak Juyeon selama ini kalo ujung-ujungnya gue sama Sunwoo?” gelak Eric sambil mengusap air mata geli di sudut luar mata kanannya.

“Tapi … nggak apa-apa gitu, Ric?”

“Nggak apa-apa gimana maksudnya?”

“Nggak apa-apa gue suka sama Sunwoo? Nggak apa-apa gue move on dari Kak Hyunjae? Padahal belom ada setaun gue putus.”

“Ya nggak apa-apa, lah! Dia juga kayaknya abis putus sama lo nyantai-nyantai aja, kok. Nggak pernah ngajak balikan juga, ‘kan?” Haknyeon menggeleng.

“Tapi gue takut, Ric.”

“Takut kenapa? Sunwoo kayaknya baik, kok. Anaknya nggak banyak tingkah gitu kalo gue liat.”

“Gue rasanya ‘jatuh’ terlalu cepet untuk Sunwoo. Gue takut ini malah jadi pertanda buruk.”

“Jangan mikir gitu, nanti malah kejadian buruk beneran.”

“Tapi—”

Take it easy aja, Kak. Pelan-pelan. Sekarang mungkin lo masih euphoria aja karena cita-cita lo buka toko kue sendiri akhirnya kesampean. Lalu baru berapa hari buka, lo ketemu sama cowok cakep yang baik. Pelan-pelan aja dijalanin dan dipelajarinnya. Kalo misalnya pada akhirnya lo beneran jatuh cinta sama dia, ya berarti dilanjut. Tapi kalo misalnya ternyata cuma euphoria sesaat, ya udah.”

“Ya udah gimana?”

“Ya udah Sunwoo-nya buat gue.”

“DIBILANGIN JANGAN, JUGA!”

Cherish this moment and be honest with yourself, Kak. Lo ngerasa nyaman sama Sunwoo, nikmatin. Lo udah ngerasa akrab sama dia, nikmatin. Lo ngerasa suka atau tertarik sama dia, nikmatin. Nikmatin apa yang bisa lo nikmatin sekarang, karena kita nggak tau sampe kapan semuanya ada di genggaman kita.”


©️aratnish'22

Bagian 13 dari “Eternity

“Ange? Where are you?” panggil Moonie saat ia sampai di Araf.

Back here, Moon! In the library,” sahut sebuah suara.

Moonie memasuki ruang perpustakaan dan di sana lah ia menemukan Angello, rekannya sesama anahera sejak … hmm … sejak ia tidak ingat kapan.

“Hai, tumben kamu nyari aku? Biasanya harus aku yang nyari kamu karena kamu seenaknya bikin atua baru, padahal kita udah punya kuota masing-masing,” goda Angello. Moonie mengedikkan bahunya dengan mimik serius. Angello memiringkan kepalanya beberapa derajat ke kanan.

Something's bothering you?” tanyanya pelan.

Alih-alih menjawab, Moonie malah mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu di layar kepada Angello. Seperti yang sudah bisa Moonie tebak, ada sedikit rasa terkejut melintas di mata anahera itu, sebelum akhirnya menatapnya dengan penuh senyum. Seperti biasa.

“Siapa ini, Moon?”

“Bukankah harusnya aku yang nanya, Ange? Ini siapa? Dan jangan pura-pura kamu nggak tau apa-apa. I've known you since forever.”

Baru kali ini Moonie melihat Angello ragu-ragu dalam menjawab pertanyaannya. Angello yang Moonie kenal selalu memiliki jawaban, bahkan untuk pertanyaan paling konyol yang ia lontarkan dengan bercanda.

Okay, let me help you with this … 1673.”

Angello menutup matanya dengan mimik malu karena tertangkap basah sebelum akhirnya menjawab,

“Jang Haeseong.”

Guess I'm right.”

How?”

“Sunwoo.”

“Aaah! Jadi mereka berdua udah ketemu?” cetus Angello girang.

“Jadi bener 'kan semua ini kerjaan kamu?” tuntut Moonie. Yang ditanya tertawa kecil.

“Aku juga punya job description sendiri sebagai anahera di Araf ini, 'kan?” goda Angello.

“Angeee …!”

Okay, okay. Yes, that was my work.”

Mind to tell me?”

Well, sejujurnya aku nggak ngapa-ngapain. Sangyeon dateng ke aku. Kamu tau dia, 'kan?” Moonie mengangguk saat Angello menyebutkan nama sang malaikat pencabut nyawa yang biasanya mengantarkan jiwa-jiwa yang telah meninggal ke Araf.

“Nah, dia bilang kalo ada jiwa yang secara spesifik pengen ketemu sama aku karena dia pengen inkarnasi. Jang Haeseong. Waktu aku tanya kenapa dia pengen inkarnasi, dia bilang karena ada seseorang yang pengen dia temuin lagi. Sahabatnya.”

“Kim Sunwoo.”

“Yap. Your golden child, Kim Sunwoo. Aku juga sedikit banyak tau tentang Sunwoo dari kamu, tau bahwa Sunwoo mau jadi atua karena nggak mau pisah sama Haeseong, jadi ya … aku pikir, nggak masalah mengabulkan permintaannya.”

“Terus nggak bisa gitu kamu ngasih tau aku dulu? I was surprised to death! Aku ada di sebelah Sunwoo waktu ngeliat Haeseong meninggal dari kejauhan. Waktu aku liat dia tadi, aku kaget karena aku kira udah nyiptain atua waktu aku nggak sadar!” Angello tertawa mendengar protesan Moonie itu.

Not to mention Sunwoo jadi agak labil setelah dia ketemu Haknyeon. Itu nama Haeseong sekarang.” Moonie menjawab pertanyaan tidak terucap dari Angello. “Sunwoo bahkan hampir mencelakakan seorang tahuti tadi.”

“Kok bisa? Anger management-nya dia bagus banget 'kan padahal?”

“Tahuti itu mantan pacarnya Haknyeon.”

“Dia hampir mencelakakan seorang perempuan?!” Angello terbelalak.

“Laki-laki.”

“Eh?”

“Tahuti itu laki-laki.”

Wait a minute …. So, you mean Haeseong, no … Haknyeon is not straight?”

Seems like that.”

“Sunwoo?”

“Aku sama dia nggak pernah ngobrol soal orientasi seksual, tapi selama lebih dari empat abad ini, dia nggak pernah keliatan deket sama siapapun dalam konteks hubungan romantis.”

Angello menggaruk kepala dengan kedua tangannya. Untuk pertama kalinya dalam … berapa usia mereka? Ah … Moonie sudah malas menghitung angka yang sudah banyak itu. Intinya, untuk pertama kalinya dalam kehidupan mereka, Moonie melihat bahwa Angello sangat bingung dan mempertanyakan tindakannya.

“Aku …. Aduuuh … kok aku jadi bingung gini, ya? Kalo Sunwoo nggak suka cowok, gimana?”

“Makanya, kalo mau bikin manusia reinkarnasi tapi ada hubungannya sama atua, tolong dong kasih tau aku dulu,” protes Moonie gemas.

“Iya … maaf.”

“Ya udah deh, mau gimana lagi. Mereka udah ketemu juga, nggak mungkin tiba-tiba aku bawa Sunwoo pergi menjauh dari Haknyeon.” Moonie berjalan menuju pintu perpustakaan. “Oh … and Angello?”

Yes?”

“Kamu lebih cocok stick to the rules. Urusan melanggar aturan biar jadi urusan aku aja, ya?” kata Moonie sambil mengedipkan mata ke arah Angello yang tertawa kecil.

Noted.”


Jika tugas Moonie adalah ‘menciptakan’ seorang atua, maka tugas Angello adalah ‘menjadwalkan’ jiwa-jiwa yang sampai di Araf untuk reinkarnasi. Sama seperti Moonie, tidak semua manusia yang telah meninggal langsung diberi kesempatan oleh Angello untuk bereinkarnasi. Bedanya, jika Moonie melakukannya sesuai dengan mood, maka Angello melakukannya sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam Kitab Anahera.

Atau berdasarkan insting magis yang ia miliki.

Tidak pernah berdasarkan permintaan dari manusia yang bersangkutan.

Tidak pernah seperti yang terjadi pada kasus Haknyeon, atau Haeseong, dulu ia disebut.

Tapi … selalu ada yang pertama untuk segalanya, ‘kan? Dan semoga yang pertama ini berakhir dengan indah.


©️aratnish'22

Bagian 12 dari “Eternity”

What the fucking hell was happened in there, Kim Sunwoo?!” Moonie menuntut jawaban sambil menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya, memperlihatkan secara gamblang bahwa ia amat sangat tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh Sunwoo di bar tadi.

Sorry,” jawab Sunwoo pelan sambil duduk di salah satu kursi yang ada di kantornya.

“Udah berapa kali gue bilang, kontrol energi lo! Inget! Lo udah bukan tahuti, sekalinya lo marah, energi yang keluar bisa untuk ngancurin bangunan ini!”

“Iya. Maaf.” Sunwoo menundukkan kepalanya tanda bahwa ia merasa menyesal dengan perbuatannya sebelumnya.

Not to mention lo hilang kendali di depan banyak tahuti! Geez, untung gue langsung sadar dan ngubah energi marah lo jadi batu. Lo mau ngebunuh Hyunjae, hah?!”

Sunwoo terdiam. Kesal dengan diamnya atua itu, Moonie mencoba untuk membaca pikirannya. Kali itu ia berhasil, karena Sunwoo terlalu shock untuk merapalkan mantra pelindung ingatan.

The heck?! Sun, lo … lo marah karena Hyunjae mantan pacarnya Haknyeon?” tanya Moonie tidak percaya. Kilatan berbahaya muncul di indra penglihatan sang atua. Moonie juga merasakan energi kemarahan Sunwoo mulai berputar di ruangan itu.

“Bukan cuma mantan, Moonie! Dia udah berani-beraninya main di belakang Haknyeon!” desis Sunwoo geram.

“Whoaaa … easy, boy! I'm just asking,” kata Moonie sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada, telapak menghadap ke arah Sunwoo, tanda bahwa ia tidak bermaksud untuk menyinggungnya.

“Sunwoo, kontrol.” Dengan tenang, Moonie meminta Sunwoo untuk mengontrol amarahnya.

Menghela napas panjang, sekali lagi Sunwoo menundukkan kepalanya.

“Gue kenapa, Moon?” tanya Sunwoo bingung.

“Kenapa apanya, Sun?” tanya anahera itu lembut sambil duduk di hadapan Sunwoo.

“Sejak ketemu Haknyeon, gue ngerasain macem-macem. Emosi gue naik turun.” Moonie terdiam mendengar penuturan kalut Sunwoo itu.

“Haknyeon itu … siapa, Sun?” pancing Moonie hati-hati walaupun ia sudah tahu jawabannya.

Mematung selama beberapa saat, Sunwoo akhirnya menjawab dengan sebuah gelengan. Moonie menyembunyikan desah kecewanya.

Nggak ada cara lain. Gue harus memastikan ke Angello, putusnya dalam hati. Kepada Sunwoo ia berkata,

“Ya udah, nggak apa-apa kalo lo nggak mau cerita sama gue, tapi sekarang lo udah bisa balik ke bar, belom? Kalo kelamaan di sini, nanti mereka khawatir, dikiranya lukanya serius, padahal sekarang bekasnya aja udah nggak ada.”

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan dari atua adalah kemampuan mereka untuk menyembuhkan diri dengan sangat cepat, selama luka itu tidak berada di tattoo bulan sabit mereka, tentu saja.

Sunwoo mengangguk sebagai jawaban dan segera bangkit dari duduknya.

“Tunggu, Sun!” cegah Moonie saat Sunwoo berjalan menuju pintu kantor.

“Apa?” Tanpa aba-aba, Moonie menempelkan band-aid di—seharusnya—bekas luka Sunwoo.

“Kok? Katanya bekasnya udah nggak ada?” tanya Sunwoo bingung.

“Mereka bakal lebih kaget kalo tiba-tiba nggak ada bekas lukanya, darling. Atau lo mau memodifikasi ingatan semua orang yang ada di bar? Silakan aja sih kalo nggak capek.”

Sunwoo tertawa sumbang.

“Bener juga. Maaf ya, Bang … gue jadi bego kalo shock.”

“Iya, gue tau. Dari pertama kali gue ketemu lo di Araf, gue udah tau kalo lo bego.”

“Sianying.”


“Sunwoo!” Haknyeon berlari ke arah Sunwoo yang baru saja keluar dari arah kantor.

“Lo nggak apa-apa? Lukanya parah, nggak? Perlu ke dokter?” cecar Haknyeon sambil mengangkat tangan dan menyentuh dengan lembut band-aid di pelipis Sunwoo.

Hanya sentuhan lembut seringan kapas, tapi Sunwoo merasa pelipisnya seperti disentuh oleh listrik berarus kuat, membuat ia sedikit tersentak di tempatnya berdiri. Haknyeon serta merta menarik tangannya saat ia rasa Sunwoo berdiri kaku di depannya.

Sorry. Sakit, ya?” sesal Haknyeon.

Meraih tangan yang tadi menyentuhnya, Sunwoo menjawab, “Enggak. Cuma kaget.”

Sambil tetap menggenggam tangan Haknyeon, yang kini wajahnya sudah bersemu merah, Sunwoo mengedarkan pandangannya ke seluruh bar.

“Bang Hyunjae mana?”

“Tadi keluar, katanya mau nyari yang ngelempar batu,” jawab Eric yang kini mendekati Sunwoo dan Haknyeon.

“Oh. Maaf ya, kalian malah ngalamin kejadian nggak enak, padahal baru pertama kali ke sini.” Sunwoo meminta maaf. Gue harus belajar lagi soal anger management, catatnya dalam hati.

“Nggak apa-apa. Emangnya sering ya ada kejadian kayak gini?” tanya Eric setelah melirik geli ke arah Haknyeon yang tangannya masih berada dalam genggaman Sunwoo.

“Nggak sering sih, tapi ada lah beberapa kali kayak gitu,” elak Sunwoo. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa kejadian seperti itu baru pertama kali terjadi dan disebabkan oleh kekuatannya, 'kan?

“Ya udah, kalian duduk lagi, gue mau ngebersihin pecahan kacanya dulu, sama mau nyari sesuatu buat nutup lubang di kaca itu.”

Dengan enggan, Sunwoo melepaskan genggamannya pada Haknyeon. Seketika Haknyeon merasa dingin menyelimuti tubuhnya saat Sunwoo berjalan menjauh.

“Oke,” gumamnya sedih. Ya ampun, gue kenapa, sih?

Kak Juhak keliatan banget deh kalo suka sama Sunwoo, gelak Eric dalam hati saat mengikuti Haknyeon kembali ke tempat mereka duduk sebelumnya.


©️aratnish'22

Bagian 11 dari “Eternity”

“KAK CHANGMIIIN!!!” teriak Sunwoo dari lantai dua, membuat Changmin terlonjak dari duduknya di sofa ruang keluarga mereka.

“DI RUANG TV, SUN!” balas Changmin juga dengan berteriak.

“Kak! Kak! Kak!” seru Sunwoo sambil terengah karena ia berlari menuruni tangga.

“Kenapa? Kenapa? Kenapa? Coba itu napasnya diatur dulu. Lagian lo pake lari-lari, nanti kalo jatoh dari tangga, gimana?” omel Changmin khawatir.

“Hari ini makan enak yuk, Kak? Gue yang traktir! Kak Changmin mau makan apaaaa aja, bilang ke gue, nanti gue beliin. Mau dari appetizer sampe dessert juga nggak apa-apa. Ayo berangkat! Terus nanti kita tanya Kak Chanhee juga, dia mau apa, nanti kita bungkusin. Yuk, Kak! Yuk! Yuk! Yuk!” ajak Sunwoo sambil menarik-narik tangan Changmin supaya pemuda itu berdiri.

Yang ditarik tangannya malah menatap Sunwoo dengan tatapan horror.

“Lo siapa? Lo pasti rapunga yang nyamar jadi Sunwoo biar bisa mancing gue lalu ngebunuh gue, ya?! Di mana lo sumputin Sunwoo yang asli?! Sun! SUNWOO!”

“Ini gue, Kak! Ini Kim Sunwoo yang asli! Hadeuuuh … salted caramel cake-nya ada alkoholnya gitu, ya? Kok lo jadi mabok gini?”

Oke. Cuma Sunwoo yang tau kalo tadi gue makan salted caramel cake. Tapi, mungkin aja rapunga itu ngebaca pikiran Sunwoo.

“Siapa nama lengkap gue, umur tahuti gue, dan umur atua gue?” cecar Changmin masih tidak percaya bahwa yang di depannya saat itu adalah Kim Sunwoo yang asli.

“Apaan, sih?!”

“Jawab aja!” Menghela napas kesal, Sunwoo pun menjawab,

“Ji Changmin. Duapuluh lima taun. Seratus limabelas taun. Udah, ‘kan? Bener, ‘kan? Sekarang ayo kita berangkat.”

“Lo kenapa sih, Sun?” tanya Changmin bingung sambil mengikuti atua itu keluar rumah.

“Nggak apa-apa. Lagi seneng aja, pengen nraktir-nraktir, tapi Kak Chanhee-nya kerja, kalo malem, guenya yang nggak bisa.”

“Lo aneh.”

“Aneh kenapa?”

“Nggak tau. Pokoknya aneh!”

Mengangkat bahunya dengan tak acuh, Sunwoo mengalihkan pembicaraan. “Jadi, ini kita mau ke mana dulu? Mau ke mall aja atau gimana?”

“Ke mall aja deh, biar one stop shopping.”

“Oke. To the mall we go!” seru Sunwoo riang, membuat Changmin semakin mengernyitkan dahinya dengan bingung.


Seorang pengunjung memasuki Arani pada pagi menjelang siang hari itu. Eric menyikut Haknyeon yang berdiri di sebelahnya saat melihat siapa yang datang. Jangankan Eric, beberapa pengunjung yang ada di dalam toko pun ikut memutar kepala mereka ke arah pengunjung yang baru masuk tersebut.

“Kak … Kak!” bisik Eric sambil menarik-narik lengan baju Haknyeon.

“Sht! Eric! Jangan nggak sopan di depan pelanggan!” Haknyeon memperingatkan dengan sebuah bisikan juga.

Sesuatu dalam diri pengunjung yang baru masuk itu mengusik Haknyeon. Bukan karena rambut putihnya, bukan juga karena pakaian serba putih dan coat panjang berwarna putihnya. Mata. Mata pengunjung itu menarik perhatian Haknyeon, karena walaupun penampilannya tampak seperti pemuda berusia awal dua puluhan, mungkin hanya terpaut satu atau dua tahun dari dirinya sendiri, namun matanya menunjukkan bahwa pengunjung itu sudah melihat jauh lebih banyak.

“Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu?” sapa Haknyeon sambil tersenyum sopan.

Pengunjung itu menatapnya tepat di mata. Dan Haknyeon sempat melihat rasa terkejut yang dengan cepat dihilangkan dalam satu kedipan mata.

“Hai!” jawab pengunjung itu ramah.

“Eh … hai?” balas Haknyeon dan Eric bersamaan dengan heran.

“Rekan kerja saya hari ini berulangtahun, apa ada cake ulang tahun yang ready stock?”

“Hmm … kami hari ini sedia strawberry frozen cheesecake. Apakah tidak apa-apa?” jawab Haknyeon.

“Oh! Perfect! I’ll take that. Bisa ditulis Happy Birthday juga, ‘kan ya? Dan lilin?”

“Bisa, dong!” Kini Eric yang menjawab sambil tersenyum lebar, serta bersiap untuk mengambil lilin. “Lilinnya angka berapa?”

“Empat, satu, dua.”

“Hah? Umurnya berapa, deh? Kok lilinnya banyak banget?”

“Eric.” Si pengunjung tertawa saat mendengar pertanyaan Eric dan juga peringatan yang dilontarkan oleh Haknyeon.

It’s only for a joke. Umurnya duapuluh empat, tapi kami sering menambahkan satu angka lagi sebagai bahan candaan, biar terkesan umurnya sudah beratus-ratus tahun.”

“Oh! Ide bagus!”

“Gue buang cake dari lo kalo lo berani becanda gitu di hari ulang taun gue!”

“Ah lo nggak asik deh, Kak,” gerutu Eric sambil meletakkan lilin-lilin yang dimaksud di atas konter. Si pengunjung tertawa kecil mendengar interaksi antara kedua penjaga toko itu.

“Maaf, ya. Sebentar saya siapkan dulu cake-nya,” kata Haknyeon meminta maaf kepada pengunjung itu.

It’s okay. Kalau begitu, bolehkah saya memesan minuman sambil menunggu?”

“Boleh, dong! Mau pesen apa?” tanya Eric sementara Haknyeon beranjak menuju ke bagian belakang toko.

“Apapun yang direkomendasikan.”

“Oke.”


“Lo kesurupan?” tanya Hyunjae bingung saat ia lihat Sunwoo memasuki ruang kantor mereka sambil bersiul-siul pelan.

“Ada deeeh.” Hyunjae semakin mengernyit saat mendengar nada ceria itu.

“Nyeremin banget,” gumam Hyunjae sambil menggelengkan kepala.

“Oh iya, Bang ….”

“Hmm?”

“Nanti temen gue ada yang mau ke sini.”

“Si Lune? Bukannya akhir-akhir ini dia emang rajin main ke sini?”

“Bukan. Ini temen yang lain. Dia mau dateng sama adik sepupunya.”

“Oooh. Terus?”

“Terus gue mau nraktir mereka minum. Boleh, nggak?” Hyunjae terbahak. “Kok ketawa?”

“Ya ini 'kan barnya punya lo, bebas lah lo mau nraktir satu atau dua temen. Mau nraktir satu kampung juga terserah.”

“Ya tapi 'kan yang bikin laporan keuangan sama neraca tiap bulan itu lo.”

“Kondisi kita aman, Sun … tenang aja. Nggak apa-apa kalo sekali-sekali lo mau pake hak istimewa lo sebagai owner. Lo juga boleh loh ngambil cuti, atau ngambil lebih dari satu hari libur setiap minggunya. Walaupun sebenernya, kalo lo mau duduk-duduk manis di rumah sambil nerima laporan juga nggak masalah sih. You’re the fu— freaking owner, anyway.”

“Nggak ah. Gue pengen kerja.”

“Baru kali ini gue nemu anak yang terlahir dengan silver spoon pengen kerja. Yah … good for you lah. Nggak selamanya kita bisa ngandelin duit ortu.”

Sunwoo hanya tersenyum sebagai respons.

Seandainya dia tau kondisi ortu gue kayak gimana, batin Sunwoo geli.

“Lo nanti kalo ngintip-ngintip ke bar, jangan bilang ke temen gue kalo gue yang punya bar, ya!” ancam Sunwoo.

“Iyaaa. Heran gue. Orang lain tuh pengennya pamer, lah lo pengennya under the radar terus.”

“Aku 'kan pemalu,” balas Sunwoo manja.

“Kampret!”

Tertawa, Sunwoo mengenakan apron hitam dan maskernya—kini bukan untuk menutupi taring, tapi sebagai pelengkap penampilan kerjanya—kemudian berjalan memasuki area bar.

Lagi-lagi Moonie berkunjung ke Other World malam itu, namun tidak seperti hari-hari lainnya, anahera itu kini hanya diam dan menyesap minuman yang dipesannya. Red wine.

“Kok tumben diem aja, Bang?” tanya Sunwoo saat ia telah selesai meracik minuman seorang tamu yang kini sedang dibawa oleh seorang waiter ke meja sang tamu.

“Lagi mikir mau ngomong apa di depan Angello.” Sunwoo terkekeh pelan.

“Lo ada bikin salah apa lagi dah kali ini?”

“Bukan gue yang salah, justru gue pengen nanya Angello ngapain hampir 350 taun yang lalu.”

“Hah? Maksudnya?”

“Udah, anak kecil nggak perlu tau. Sana kerja lagi yang bener, ngumpulin pundi-pundi.”

“Gilirannya gini aja lo ngebuang gue. Dasar kau tak berperasaan!”

“Nggak usah lebay,” komentar Moonie datar sambil mengibaskan sebelah tangan, isyarat ia menyuruh Sunwoo pergi.


Netra hitam Sunwoo berbinar saat ia melihat siapa yang memasuki bar pada hampir pukul setengah sebelas malam itu.

Haknyeon.

Oh, jangan lupa, ada Eric juga—yang hanya sedikit masuk ke area penglihatan Sunwoo, kalau boleh jujur.

Sunwoo melambaikan tangannya saat ia lihat Haknyeon menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, entah untuk mencari Sunwoo, entah ia terpesona dengan kondisi bar itu. Eric, yang pertama melihat lambaian tangan Sunwoo, langsung menarik lengan jaket Haknyeon dan menunjuk ke arah bar. Binar senang memenuhi wajah pemuda itu saat sosok Sunwoo memasuki lingkup penglihatannya.

Di tempatnya duduk, Moonie merasa bulu kuduknya meremang. Dengan segera, ia menoleh ke arah Sunwoo yang masih tersenyum—jika dilihat dari matanya yang menyipit. Perlahan ia memutar badannya untuk mengikuti arah pandang Sunwoo dan ….

Shit! Kenapa mereka ada di sini?!” desis Moonie agak panik. Tergesa, ia menggunakan mantra untuk mengubah penampilannya agar tidak dikenali oleh para tahuti itu.

“Barnya cozy banget!” puji Eric saat ia dan Haknyeon sampai di depan Sunwoo yang meresponsnya dengan tawa kecil.

“Iya loh beneran! Gue kira bakal berisik kayak bar lainnya. Eh tapi gue nggak banyak pergi ke bar sih, soalnya males sama berisiknya. Tapi kalo barnya kayak gini sih gue betah mau ke sini tiap hari juga. Eh tapi bukan berarti gue minta ditraktir tiap hari loh ya,” cerocos Haknyeon yang membuat Sunwoo tertawa semakin keras.

Kak Juhak kalo udah cerewet gini biasanya karena ada sesuatu sama lawan bicaranya, deh, pikir Eric geli. Tapi Sunwoo ini emang cakep, sih.

“Jadi? Mau pada pesen apa?” tanya Sunwoo.

“Yang affordable aja di kantong lo,” jawab Haknyeon pelan sambil mencondongkan badannya ke arah Sunwoo.

Atua itu menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa ia bisa membelikan mereka minuman paling mahal di situ, karena … bukankah saat itu ia hanya seorang bartender biasa? Bukan owner dari Other World.

“Kalian kuat minum, nggak?”

“Lumayan,” jawab Haknyeon dan Eric bersamaan.

“Oke. Gue bikinin yang mild aja lah ya, biar aman.”

“Oke!” jawab Eric riang.

“Yang affordable buat lo, Sun!” Haknyeon memperingatkan dengan nada mendesak. Sunwoo mengambil daftar menu, meletakkannya di depan kedua tamunya, dan menunjuk sebuah nama minuman di sana.

“Gue bikin ini untuk kalian.”

Haknyeon memperhatikan angka yang tertera di sebelah nama minuman itu dan mengangguk menyetujui.

“Oke.”

“Sun! Gue butuh— Eh? Haknyeon? Eric? Kok di sini?”

“Kak Hyunjae??” balas yang ditanya bersamaan saat Hyunjae memasuki area bar lima belas menit kemudian.

“Kenal?” tanya Sunwoo tertarik, begitu juga dengan Moonie.

Sumpah, hidup Sunwoo ini kayak benang kusut banget, pikir Moonie sambil menggeleng kecil.

“Eh … itu, anu ….” Hyunjae memijat tengkuknya dengan rikuh.

“Mantan gue,” jawab Haknyeon singkat.

“Yang berani-beraninya jalan sama gue di belakang Kak Juhak,” tambah Eric dengan nada sebal.

“Gue 'kan udah—”

PRAAANG!!!

Suara kaca pecah, sebuah benda yang lewat tepat di sebelah kepalanya, serta pekikan terkejut dari Haknyeon dan Eric membuat Hyunjae menghentikan kata-katanya.

“Aaah … pasti kerjaan pesaing lagi. Tuh liat, ada yang ngelempar batu.” Moonie segera masuk di antara percakapan mereka dan mengangkat batu yang lumayan besar dari sebelah Sunwoo, yang berdiri berhadapan dengan Hyunjae.

“Sun, lo nggak apa-apa?” Moonie menepuk tangan atua yang berdiri mematung sambil menatap Hyunjae.

“Kim Sunwoo! Control yourself!” maki Moonie keras melalui telepati saat Sunwoo tidak menggubris tepukannya.

Tersentak, Sunwoo melihat sekelilingnya. Melihat perbuatan yang telah ia lakukan dengan kekuatan atuanya.

“Kalian nggak apa-apa?” tanya Sunwoo pada Haknyeon dan Eric yang terlihat sedikit pucat. Keduanya menjawab dengan sebuah gelengan.

“Nggak apa-apa,” jawab Eric pelan.

“Lo berdarah!” Haknyeon menunjuk pelipis Sunwoo yang kini mengeluarkan sedikit darah. Sepertinya ia terkena pecahan kaca yang ikut terbawa dengan batu yang jatuh di sebelahnya.

“Yuk sini gue obatin.” Tanpa menunggu respons dari Sunwoo, Moonie pun segera menarik atua itu menuju kantor.


©️aratnish'22

Bagian 10 dari “Eternity”

“Gimana? Enak?” tanya Sunwoo sambil menatap Chanhee dan Changmin penuh harap dengan mata bobanya pagi itu. Ponselnya berada dalam genggaman, siap untuk digunakan sewaktu-waktu.

“Kak Chanhee! Ini salted caramel cake-nya ada, tapi katanya belom officially dijual di tokonya, jadi kita harus jadi tester.”

Tanpa kalimat sapaan apapun, Sunwoo mengumumkan kehadirannnya di rumah itu dengan membawa kabar soal salted caramel cake kepada Chanhee dan Changmin yang sedang mempersiapkan sarapan di ruang makan.

Memburu-buru kedua teman serumahnya untuk menyelesaikan sarapan agar bisa segera mencoba cake yang dibawanya, kini Sunwoo menuntut supaya mereka segera memberikan penilaian.

Setelah hanya suapan pertama.

“Enak,” jawab Chanhee dan Changmin singkat bersamaan.

“Enaknya gimana? Rasanya? Teksturnya? Tampilannya? Detailnya?” cecar Sunwoo sambil bersiap menyalakan ponsel di tangannya.

“Menurut lo gimana?” Chanhee balik bertanya, penasaran dengan reaksi yang akan diberikan oleh Sunwoo.

“Enak. Semuanya enak.” Atua itu menjawab dengan malu-malu.

Oke. Ini semakin menarik, pikir mereka berdua.

“Cepetan ih ini gimana review-nya? Gue harus ngasih tau Haknyeon.”

Oh? Haknyeon? Kedua atua di depan Sunwoo menaikkan alis mereka.

“Haknyeon itu yang punya toko kue itu, ngomong-ngomong. Katanya kalo cake-nya berhasil, dia mau masukin ke menu. 'Kan jadinya lo bisa sering beli juga, Kak. Gue tuh nggak enak kalo keseringan dikasih sama dia,” cerocos Sunwoo.

“Oh.”

Jujur, Chanhee dan Changmin tidak terbiasa dengan Sunwoo yang semangatnya berkobar-kobar dan chatty seperti saat itu.

“Kok malah bengong, sih? Ini masih pada belom melek seratus persen semua atau gimana, deh?” protes Sunwoo.

Kalo udah gini, sifat anak paling mudanya keluar deh. Lucu banget, kekeh Changmin dalam hati.

“Iya. Iya. Nih gue kasih review-nya.” Menjadi yang lebih dulu pulih dari rasa bingungnya, Changmin akhirnya menawarkan diri untuk menjadi yang pertama memberikan penilaian. Walaupun sebenarnya, menurut Changmin, penilaiannya sudah selesai dengan kata 'enak' yang ia ucapkan pertama kali, namun karena Sunwoo meminta penilaian dalam bentuk esai, maka Changmin akan mencoba untuk memberikannya.

Dengan wajah berbinar, Sunwoo segera menyalakan layar ponselnya dan membuka aplikasi pesan teks. Setelah membuka ruang percakapan yang paling atas, atua tersebut memandang Changmin dengan ekspresi serius.

“Oke. Gue siap.”

Menyembunyikan senyum dan tawa gelinya, Changmin pun memberikan penilaiannya dengan ekspresi yang—diusahakan—sama seriusnya. Tidak lama kemudian, Changmin selesai memberikan penilaiannya, membuat Sunwoo segera mengalihkan perhatiannya kepada Chanhee, yang kini terlihat sudah lebih bisa menguasai dirinya.

“Kalo review lo gimana, Kak?” tanya Sunwoo penuh harap, karena ia tahu cake tersebut pada awalnya memang dipesan oleh Chanhee.

“Hmm … tapi review gue nggak semuanya bagus kayak Changmin, nggak apa-apa?” tanya Chanhee ragu-ragu.

Sunwoo menggeleng. “Nggak apa-apa, Kak. Haknyeon bilangnya review-nya harus sejujur mungkin.”

Lagi-lagi Chanhee dan Changmin menaikkan sebelah alis mereka saat mendengar nama Haknyeon telah disebutkan dua kali dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh menit pagi itu.

Sunwoo tidak pernah menyebutkan nama orang lain selain Moonie dan Angello—anahera lainnya—selama mereka mengenalnya.

Haknyeon ini pasti istimewa banget. Begitu pikir mereka saat itu.

“Oke. Kalo gitu, siap-siap catet yang bener, ya! Jangan sampe salah titik komanya.” Sunwoo terkekeh geli.

“Siap, Kak!”

Dan Chanhee pun mengungkapkan penilaiannya, dengan diselingi beberapa kali protesan dari Sunwoo karena Chanhee bicara terlalu cepat.

“Udah?” tanya Sunwoo yang dijawab dengan anggukan dari Chanhee. “Oke. Thank you, Kak.”

Sambil sesekali bersiul riang, Sunwoo kembali menikmati potongan salted caramel cake miliknya, tidak sadar bahwa Chanhee dan Changmin saling melirik dengan geli. Namun, kegirangan Sunwoo itu tidak berlangsung lama, karena setelah ia melirik ponselnya untuk sekitar kesepuluh kalinya dalam lima menit terakhir, wajahnya pun mulai tertekuk.

“Kenapa, Sun?” tanya Chanhee penasaran.

Chat gue belom dibaca sama Haknyeon,” sahut Sunwoo sambil memonyongkan bibirnya.

“Lagi sibuk bikin cake, kali?” usul Changmin berusaha menenangkan yang paling muda umur manusianya itu.

“Iya kali, ya? Kak Changmin mau dibantuin beres-beres mejanya? Kak Chanhee hari ini libur?”

“Enggak. Gue bisa sendiri.”

“Enggak. Besok gue cutinya, ini bentar lagi mau berangkat. Ngabisin cake dulu.”

“Kalo gitu gue tidur, ya?”

“Iya. Sana tidur,” jawab Chanhee dan Changmin bersamaan.

“Kak Chanhee hati-hati perginya.”

“Iya. Makasih, Sun. Selamat tidur.”

“Kapan-kapan kita kepoin yang namanya Haknyeon ini, yuk!” ajak Changmin semangat sambil berbisik, takut kalau-kalau Sunwoo masih belum cukup jauh dari ruang makan.

“Yuk!”


©️aratnish'22

Bagian 09 dari “Eternity”

“Tumben nggak pake masker?” tanya Chanhee petang itu, seolah-olah Changmin tidak memberi tahunya bahwa Sunwoo meracik serum anti-taring—begitu mereka iseng menyebutnya—siangnya.

“Mmm … biar enak ngobrolnya nanti,” jawab Sunwoo rikuh.

“Oh?” Chanhee menaikkan sebelah alisnya.

“Mmm … kemaren susah aja ngobrolnya sambil berusaha nyembunyiin taring.” Wajah Sunwoo kini sudah mulai bersemu merah muda.

Ya ampun lucu banget ini anak! gumam Chanhee dan Changmin dalam hati.

“Oooh. Oke. Hati-hati, ya! Inget, kalo kejadian kayak kemaren keulang, langsung pulang!” tegas Chanhee yang disusul dengan anggukan setuju dari Changmin.

“Iya, Kak. Gue pergi dulu, ya!”

“Hati-hati!” jawab Chanhee dan Changmin bersamaan.


“Uhm … yang kemaren …,” ucap Sunwoo pelan saat ia berhadapan dengan Eric. Haknyeon tidak terlihat di manapun petang itu.

“Yang kemaren? Kemaren ada pre-order cake?” tanya Eric sambil membuka file di komputernya.

“Eh! Bukan! Itu … kemaren, yang duduk di situ.” Sunwoo menunjuk tempatnya duduk kemarin. Eric mengernyit bingung.

“Oooh! Lo yang kemaren muntah lalu dibantuin sama Kak Juhak, ya?” seru Eric sambil menjentikkan jarinya dengan keras. Wajah Sunwoo langsung memerah.

“Gue pangling, soalnya kemaren lo pake masker. Gimana? Udah sehat beneran?”

“Udah.” Sunwoo berbohong, karena jujur saat itu ia sudah merasakan kakinya gemetar. Kalau ia tidak berpegangan pada pinggir konter, mungkin ia akan terduduk lemas di lantai.

“Syukurlah. Ngomong-ngomong, cake yang kemaren dibeli, enak nggak?”

Sunwoo mengangguk sambil tersenyum karena energi Eric yang begitu meluap-luap.

“Enak. Yang choco cake terlalu manis buat gue, tapi kata kakak-kakak gue sih enak banget. Gue suka cheesecake-nya. Rasanya pas, nggak terlalu machtig, terus teksturnya juga lembut. Base biscuit crumbs-nya juga cocok banget.”

Eric tertawa. “Komentar lo udah kayak juri di kompetisi masak aja. Jadi, hari ini mau beli apa?”

“Gue mau cheesecake lagi, terus … mm … strawberry shortcake-nya satu, sama salted caramel cake.” Eric menatap Sunwoo dengan bingung.

“Di sini nggak jual salted caramel cake.”

“Eh? Tapi kemaren Haknyeon bilang kalo hari ini dia mau bikin.”

“Hah? Serius? Kok Kak Juhak nggak bilang apa-apa ke gue, ya?”

“Jadi cake-nya nggak ada?” tanya Sunwoo tidak kalah bingung.

“Sepanjang yang gue tau sih, nggak ada. Tapi gue nggak berani mutusin juga, takutnya Kak Juhak bikin dan disimpen di ruangannya dia, nggak untuk dijual. Lo tunggu aja dulu, ya? Tadi Kak Juhak lagi nerima telepon dari supplier buah. Lo nggak buru-buru, 'kan?” cerocos Eric.

“Enggak. Gue santai, kok.”

“Ya udah. Mau sekalian pesen minum apa, nggak?”

“Teh jahe.”

“Hah?”

“Nggak ada di menu juga?” Eric menggeleng.

“Nggak ada, tapi kalo yang itu gue bisa bikin. Lo duduk aja dulu.”

“Oke.”


Sorry. Udah lama nunggu?” Sunwoo menengadahkan wajahnya dari ponsel yang sedang digenggamnya, kemudian tersenyum kepada wajah yang dikenalnya.

“Enggak, kok. Biasa aja.”

Haknyeon memperhatikan cangkir setengah penuh di depan Sunwoo.

“Teh jahe? Perut lo nggak enak lagi?” tanyanya khawatir.

“Enggak. Tadi ditawarin minum sama Eric, cuma gue ‘kan belom tau ada minuman apa aja selain teh jahe, jadi gue minta itu. Tapi kata Eric nggak ada di menu.” Haknyeon tertawa.

“Iya. Itu kemaren gue bikin karena lo lagi nggak enak perut aja.”

“Lebih enak bikinan lo,” ucap Sunwoo pelan.

“Eh?”

“Eh? Mmm … cake-nya ….” Sunwoo mengalihkan pembicaraan saat ia rasa wajahnya memanas.

“Oh! Iya! Bentar, gue ambilin dulu.”

Tidak berapa lama kemudian, Haknyeon kembali dan membawakan tiga potong salted caramel cake juga beberapa cake yang Sunwoo pesan kepada Eric sebelumnya.

“Kata Eric, cake ini nggak ada di menu?” tanya Sunwoo bingung.

“Iya. Gue awalnya nggak kepikiran untuk bikin ini, tapi karena lo minta, jadi gue bikin. Tunggu! Jangan protes dulu,” potong Haknyeon saat Sunwoo terlihat sudah membuka mulutnya untuk berkomentar.

“Kalo misalnya ini enak, gue rencananya mau masukin ke menu. Nah, peran lo dan kakak-kakak lo di sini adalah jadi tester kue ini. Kali ini nggak usah bayar, tapi kalo misalnya enak dan udah gue masukin ke menu, dan kalian mau beli, baru gue masukin ke bill. Gimana?”

Sunwoo menatap Haknyeon dengan curiga.

“Ini beneran nggak ada udang di balik batu?”

“Lah ya itu udangnya, kalian jadi tester. Kalo misalnya nggak enak dan kalian jadi diare, ya maaf aja,” goda Haknyeon yang mampu membuat Sunwoo tertawa.

“Tenang, gue nggak charity, kok. Nggak akan balik modal usaha gue kalo gue bagi-bagi kue terus.” Tersenyum, Sunwoo akhirnya mengangguk.

“Oke.”

“Nah, kalo gitu gimana kalo kita tukeran nomor HP?” Tidak menyangka akan usulan Haknyeon itu, Sunwoo membelalakkan matanya dengan terkejut.

“Buat apa?”

“Buat kalo lo mau protes ke gue karena cake-nya nggak enak, atau buat gue kalo mau nanya ada masukan apa buat cake-nya,” jawab Haknyeon tenang.

“Oh …. Oke.” Walaupun sempat bingung, Sunwoo akhirnya menyetujui usulan dari pemuda di depannya.

Setelah bertukar nomor ponsel, Sunwoo pun membayar pesanannya di kasir dan pamit kepada Haknyeon.

“Gue harus kerja.” Sunwoo menginformasikan kepada Haknyeon yang bertanya kenapa ia terburu untuk pergi.

“Eh? Lo kerja di mana?”

“Di Other World. Gue bartender di sana. Kapan-kapan mampir, ya. Nanti gue traktir.”

“Wah! Asik, nih!” seru Haknyeon girang.

“Gue boleh ikut, nggak?” timbrung Eric. Sunwoo mengangguk sambil tertawa.

“Iya. Boleh ikut juga. Nanti gue traktir kalian berdua.”

“Yeaaay!” Eric menari-nari menjauh sambil berseru girang.


Sunwoo memandangi chat room-nya dengan Haknyeon sambil tersenyum.

“Sun? Sehat? Kok senyum-senyum sendiri?”

Senyum segera hilang dari wajahnya.

“Bang Moonie, nggak bosen apa ke sini terus? Nggak ada atua lain yang perlu lo datengin?”

“Atua lain nggak seru. Lagian gue masih perlu memantau lo di sini.”

“Ah elah, udah dibilangin, gue tuh nggak apa-apa.”

“Balik lagi. Kenapa lo senyum-senyum sendiri? Kenapa lo nggak pake masker? Kenapa lo jadi nggak ada taringnya? Lo pake serum?”

Sunwoo menggeleng pelan. “Kenapa, sih? Emang aneh banget kalo gue pake serum?”

“Ya … enggak, sih. Cuma, gue nggak bisa inget aja terakhir kali lo pake serum kapan.” Menggumam tidak jelas sebagai tanggapan, Sunwoo mematikan layar ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya.

“Itu tadi siapa?” desak Moonie.

“Siapa yang mana?” elak Sunwoo.

“Yang lagi chat-an sama lo.”

“Lo tukang ngintip, ya?!” tuduh sang atua.

“Jangan salahin gue kalo penglihatan gue lebih bagus dari yang lain.”

“Jadi salah karena lo pake buat ngeliat yang bukan hak lo.”

“Jawab aja kenapa, sih? Kenapa pake debat kusir gini?”

Sunwoo menghela napas kesal. “Tukang kue. Puas?”

Moonie tampak masih belum puas dengan jawaban Sunwoo, namun ekspresi jengkel pemuda itu membuatnya mencukupkan diri dengan jawaban yang ia terima.

Nanti gue tanya Chanhee atau Changmin aja, deh.


©️aratnish'22

Bagian 07 dari “Eternity”

“Kak Chanhee, salted caramel cake-nya nggak ada di menu, jadi gue beliin choco cake aja, nggak apa-apa?” tanya Sunwoo saat memasuki ruang makan mereka pagi itu sepulang ia kerja.

“Nggak apa-apa, Sunwoo! Mana? Mana? Coba liat!”

“Eh? Dari Arani?”

“Kak Changmin tau?”

“Karyawan cewek di kantor pada heboh, katanya cake-nya enak, terus yang ngejaga tokonya juga pada cakep,” kekeh Changmin sambil mengeluarkan satu potong choco cake dari dalam box.

“Ini yang cheesecake punya lo?” Chanhee menyodorkan satu potong cake yang tersisa di dalam box ke arah Sunwoo.

“He-eh. Tadi dikasih bonus sama yang jualnya.”

“Kok bisa?” tanya Changmin bingung. “Lagi ada promo?”

“Err ….” Chanhee dan Changmin ternganga saat melihat wajah si yang paling muda itu bersemu merah. Another out of character thing from the high and mighty Kim Sunwoo. “... I’m kinda thrown up when I entered that shop,” lanjut Sunwoo malu-malu.

Oh gosh! Are you okay right now? Kenapa tadi nggak langsung pulang? Kenapa lo malah maksain kerja?” cecar Changmin khawatir sambil meletakkan tangannya di dahi Sunwoo untuk mengecek suhu tubuhnya, sementara Chanhee bergerak ke arah pantry untuk membuat minuman hangat.

“Gue bikinin teh jahe, ya?” tawarnya. “Sama mau gue bikinin makanan anget apa? Bubur? Sop?”

“Gue sekarang nggak apa-apa, Kakak-kakak. Tadi malem yang punya toko udah ngasih teh jahe sama biskuit tawar, kok. Makanya gue dikasih bonus cheesecake. Dia kira gue sakit, padahal PTSD gue kumat waktu masuk situ.”

“Lo aneh-aneh, sih! Udah! Nggak usah ke sana lagi!” Chanhee kembali ke tempat duduknya di seberang Sunwoo.

“Tapi yang jual udah janji kalo hari ini dia bakal bikin salted caramel cake, Kak.” Wajah Chanhee menyiratkan bahwa ia meragukan keputusannya sebelumnya, membuat Sunwoo mendengus geli.

“Lo curang!” makinya. “Ya udah, nggak apa-apa ke sana lagi, tapi lo harus lebih bisa jaga diri. Kalo kejadian kayak tadi malem keulang lagi, lo langsung pulang! Nggak usah kerja! Nanti gue yang mintain izin ke manajer lo.”

“Astaga, Kak. Gue bukan anak kecil yang harus dimintain izin sama orang tuanya kalo nggak masuk sekolah!” gerutu Sunwoo dengan wajah memerah. Tidak biasa dengan afeksi yang diberikan oleh orang lain.

“Sebenernya apa sih Sun yang pengen lo pastiin di sana?” tanya Changmin sebelum memasukkan satu suap choco cake ke dalam mulutnya. “Mmm~ enak bangeeet!” gumamnya senang.

Sunwoo terdiam, seolah menimbang sejauh apa ia harus menceritakan pemikiran dan pengalamannya.

“Mm … yang jual.”

“Yang jual kenapa?” tanya Chanhee bingung.

“Ya itu yang pengen gue pastiin. Yang jual.”

“Bisa nggak sih, nggak setengah-setengah gitu ceritanya?” protes Changmin dengan mulut penuh cake, membuatnya lebih terlihat lucu daripada menyeramkan, hingga membuat Sunwoo tertawa kecil sebelum menjawab,

“Yang jual ini mirip sama seseorang di masa lalu gue.”

Baik Chanhee dan Changmin langsung menghentikan kegiatan makan mereka dan melihat Sunwoo dengan tatapan yang tidak bisa Sunwoo artikan.

“Kok pada diem? Tadi nanyanya maksa banget padahal,” kekeh Sunwoo.

“Dia … atua juga?” tanya Chanhee dengan pelan pada akhirnya. Sunwoo menggeleng.

“Nggak mungkin. Gue liat sendiri waktu dia meninggal dulu. Dan gue pasti ngerasa sih kalo ada atua baru di wilayah yang ada di dalam barrier gue.”

“Jadi … reinkarnasi?” Sunwoo mengedikkan bahunya sebagai jawaban atas pertanyaan Changmin.

“Itu yang pengen gue pastiin. Bisa reinkarnasi, tapi bisa juga salah satu dari keturunan seseorang di masa lalu gue itu.”

“Emangnya dia siapa, Sun? Di kehidupan lo dulu, maksud gue.”

“Eh? Udah jam segini, lho! Kakak-kakak nggak kerja? Nanti bisa telat kalo nggak buru-buru berangkat.” Sunwoo mengelak untuk menjawab pertanyaan Chanhee.

Semakin mengerti bahwa Sunwoo belum bisa—mau—terbuka kepada mereka berdua, Chanhee dan Changmin pun mengikuti alur pembicaraan yang ditawarkan oleh atua itu.

“Gue berangkat bentar lagi. Changmin ngambil cuti dua hari ini.”

“Cuti? Tumben, Kak?” tanya Sunwoo terkejut.

“Jagain lo, takut ada apa-apa. Lagian gue juga udah lama nggak ngambil cuti. Sekalian istirahat, lah. Abis gue cuti, gantian Chanhee yang cuti.”

“Eh? Gue beneran nggak apa-apa, Kak.”

“Udah diem. Anak kecil nurut aja.”

“Gue yang paling tua loh ya.”

“Jangan mentang-mentang udah paling lama jadi atua, terus lo jadi yang paling tua. Umur tahuti lo tetep yang paling muda,” serang Chanhee, yang membuat Sunwoo memajukan bibirnya beberapa sentimeter.

Changmin terkekeh geli melihat pemandangan di depannya itu. Chanhee dan Sunwoo memang sudah langganan untuk beradu argumen kapanpun dan di manapun, tentang apapun.

“Udah. Udah. Chanhee, lo mending berangkat sekarang. Bener kata Sunwoo, nanti keburu lo telat. Ini meja makan biar gue yang beresin. Sunwoo, lo tidur sana.”

“Gue nggak ngantuk, Kak. Gue bantuin beresin.”

“NU-RUT!” tegas Chanhee dan Changmin bersamaan.

“Iya. Maaf.”


Changmin beranjak menuju kamar Sunwoo setelah ia selesai menyiapkan makan siang bagi mereka berdua.

“Sun, makan siang udah gue siapin. Yuk, makan dulu.” Tidak ada jawaban dari dalam kamar.

“Sun?” panggil Changmin lebih keras. Masih tetap tidak ada jawaban.

Masih tidur kali, ya? Kemaren aja dia baru bangun waktu gue gedor pintunya, pikir Changmin sambil berjalan menjauhi kamar Sunwoo. Ya udah deh gue makan duluan aja.

“Makan sendirian sepi amat, anjir,” rutuk Changmin sambil memasukkan suapan terakhir makan siangnya ke dalam mulut. Melihat jam yang baru menunjukkan pukul satu siang lebih sepuluh menit, Changmin mengernyitkan dahinya.

“Ngapain lagi, ya? Kebiasaan kerja rodi, sekalinya cuti bingung deh gue mau ngapain,” monolognya sambil mencuci piring.

“Oh! Bikin serum aja, kali ya? Rasanya persediaan gue udah menipis.”

Semangat karena ada hal yang bisa dikerjakannya selain tidur-tiduran, membaca buku, atau menonton televisi, Changmin beranjak menuju laboratorium mereka di ruang bawah tanah rumah itu. Sebenarnya tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai laboratorium, sih, karena ruang itu hanya ruang biasa tempat mereka membuat serum penghilang taring.

Membuka pintu dengan penuh percaya diri, Changmin membeku saat melihat siapa yang sedang berdiri di dalam ruangan dan mengaduk cairan di dalam kuali kecil di depannya.

“Sun?”

“Eh? Kak Changmin? Mau bikin serum juga?”

“Iya,” jawab Changmin linglung. “Gue kira lo masih tidur.”

“Udah bangun dari dua jam yang lalu, kok. Terus ya gue ke sini aja. Udah lama nggak bikin serum, jadi berasa bego.” Sunwoo tertawa kecil di akhir kalimatnya.

“Oh.”

“Gantian nggak apa-apa, Kak? Ini gue bentar lagi beres, kok.”

“Oke.” Menggaruk kepalanya dengan bingung, Changmin menambahkan, “Kalo gitu gue nunggu di ruang TV aja, ya? Kalo lo udah selesai, kasih tau gue aja.”

“Oke, Kak.”

Masih dengan ekspresi bingung, Changmin menutup pintu ruangan itu dan beranjak ke ruang keluarga tempat biasa mereka menonton televisi.


©️aratnish'22

Bagian 06 dari “Eternity”

Petang itu, Sunwoo berangkat lebih awal lagi dari hari sebelumnya.

“Udah mau pergi?” tanya Chanhee bingung. “Lo mau ke toko kue itu?” lanjutnya menginterogasi.

Yang diinterogasi mengangguk. “Gue mau memastikan beberapa hal aja.”

“Sun, jangan nyakitin diri sendiri,” pinta Chanhee.

“Enggak, Kak. Gue janji.”

“Ya udah. Hati-hati. Eh tapi kalo ada salted caramel cake, gue mau, ya!”

“Gue mau choco cake, Sun.”

Menggeleng dengan geli, Sunwoo tersenyum.

“Iya. Iya. Nanti gue beliin kalo ada. Gue juga ‘kan belom tau itu toko kue yang kayak gimana.”

Sepanjang perjalanan, batin Sunwoo terus bergelut apakah ia harus datang ke toko kue itu dan memastikan penglihatannya, ataukah ia harus melupakannya begitu saja. Tanpa ia sadari, ia sudah sampai di depan Arani.

Masih bingung akan apa yang harus ia lakukan, Sunwoo hanya memandangi pintu kaca di depannya, membuat beberapa orang yang ada di belakangnya menggerutu karena ia menghalangi satu-satunya akses masuk ke toko.

“Selamat datang!”

Terlalu terserap ke dalam pemikirannya, Sunwoo sampai tidak menyadari bahwa pintu sudah dibuka dari dalam oleh …. Sial. Oleh pemuda yang ditemuinya pagi tadi.

“Kalo dari luar situ, lo nggak bakal bisa liat ada kue apa aja yang dijual. Ayo masuk,” kata pemuda di depannya geli, mungkin karena melihat mata Sunwoo terbelalak dengan terkejut.

“Oh. Eh. Iya.” Ragu-ragu, Sunwoo melangkahkan kaki memasuki toko. Seketika, bayangan saat ia melangkah menaiki panggung eksekusi memenuhi benaknya dan mual mulai merayap menaiki kerongkongannya. Pemuda di depannya, yang memiliki paras sangat mirip dengan masa lalunya, sama sekali tidak membantu usaha mandirinya untuk meredakan gejala PTSD yang ia alami.

“Eh? Kenapa?” tanya pemuda itu bingung saat Sunwoo tiba-tiba berhenti dan sedikit membungkukkan badannya.

“Eugh … toilet … di mana?” Sunwoo bertanya dengan terbata di balik masker hitam andalannya.

“Eh? Aduh. Sini. Sini … ke sini.” Pemuda itu menggiring Sunwoo ke bagian belakang toko dan menunjukkan bilik kecil di mana Sunwoo bisa menumpahkan isi perutnya.

Setelah mengosongkan perutnya, Sunwoo menempelkan dahinya di dinding dingin toilet itu. Matanya terasa panas dan berair. Setelah berhasil mengumpulkan kembali ketenangannya, Sunwoo melangkah keluar dari bilik toilet itu.

“Emm … itu … maaf,” sahut Sunwoo malu-malu pada pemuda di balik konter yang tadi mengantarnya. Pemuda itu mencermati sosok Sunwoo.

“Udah lebih enak?” tanyanya khawatir.

Sunwoo mengangguk. “Terima kasih. Maaf merepotkan.”

“Coba lo duduk di sana dulu.” Pemuda itu menunjuk satu set meja dan kursi di sebelah jendela.

“Eh? Kenapa?”

“Udah. Nurut aja.”

Dengan bingung, Sunwoo berjalan menuju kursi yang ditunjukkan sebelumnya dan duduk di sana. Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu datang dan meletakkan satu cangkir teh, yang menurut penciuman Sunwoo adalah teh jahe, dan satu piring kecil berisi beberapa keping biskuit. Sunwoo menatap penolongnya petang itu dengan tatapan bertanya.

“Ini teh jahe sama biskuit tawar, mudah-mudahan bisa ngobatin mual lo. Ada sakit mag?” Pemuda itu bertanya dengan khawatir.

“Iya.” Sunwoo memutuskan untuk menyetujui usulan yang diberikan karena enggan—dan tidak tahu bagaimana caranya—untuk menceritakan kondisi sebenarnya.

“Ya udah itu dimakan sama diminum dulu. Gue tinggal bentar, ya.”

“Iya. Makasih. Maaf udah ngerepotin.”

Pemuda itu melambaikan tangannya sebagai jawaban, seolah berkata, ‘Santai aja, nggak usah dipikirin.’


“Gimana? Udah bener nggak apa-apa?” tanya pemuda itu beberapa menit kemudian seraya duduk di kursi seberang Sunwoo. Yang ditanya mengangguk sebagai jawaban.

“Kalo lagi sakit, lebih baik nggak keluar-keluar, apalagi udah hampir malem gini, udaranya nggak bagus.”

“Hm-mm,” gumam Sunwoo sambil menghirup teh jahenya dengan mulut yang sebisa mungkin dirapatkan untuk menyembunyikan taringnya.

Moonie sialan! Tak lupa ia merutuk dalam hati.

“Tadi pagi juga ‘kan lo langsung lari habis bantuin gue mungutin jeruk. Badan lo udah nggak enak dari pagi, ya?”

“Hm-mm.” Sunwoo kembali menggumam dan salut akan daya ingat si pemuda.

“Jadi? Hari ini mau nyari kue apa ke sini?”

“Eh. Itu ….” Sunwoo mengernyitkan dahinya untuk mencoba mengingat pesanan Chanhee dan Changmin, yang cukup sulit diingat dibawah tatapan hangat dan senyum menenangkan pemuda di depannya.

“Uhm … caramel … errr … salted caramel cake!” ucapnya bangga pada daya ingatnya. “Sama choco cake.” Pemuda di depannya terkekeh geli.

“Gue nggak sedia salted caramel cake di sini, tapi choco cake ada. Mau berapa?”

“Mmm … tiga.”

“Hah?! Buat lo sendiri?!”

“Bukan. Buat kakak-kakak gue. Tadi itu pesenan mereka berdua.”

“Oooh. Oke. Ric! Tolong bungkusin choco cake tiga, ya!” seru pemuda itu kepada pemuda lain yang berada di belakang konter.

“Eh? Ini nggak apa-apa lo nemenin gue? Nggak akan dimarahin?” tanya Sunwoo tidak enak hati. Si pemuda tertawa sebagai tanggapan.

“Nggak akan. Bukannya sombong, tapi toko ini punya gue. Yang gue panggil tadi adik sepupu gue, namanya Eric.” Sunwoo mengangguk sambil menggumamkan kata ‘oh’ tanda ia mengerti.

Sementara Sunwoo menunduk sambil menghirup tehnya lagi, pemuda di depannya mencermati gerak-geriknya dengan ekspresi berpikir.

Kok kayaknya gue nggak asing sama dia, ya?

“Nama lo siapa?” Akhirnya ia bertanya. Sempat terdiam selama beberapa detik, Sunwoo menjawab pelan,

“Kim. Kim Sunwoo.”

“Gue Haknyeon. Ju Haknyeon.”


Namanya mungkin beda— Ya iya lah, Nu! Tapi … yang lainnya, bahkan suaranya sama seperti yang gue inget dari Jang Haeseong dari masa gue hidup, pikir Sunwoo selama perjalanan menuju bar, dengan menjinjing cake box berisi tiga potong choco cake dan satu potong cheesecake—hadiah semoga lekas sembuh dari Haknyeon.

Oh. Dan sebuah janji akan menyediakan salted caramel cake keesokan harinya, yang berarti besok Sunwoo diminta untuk datang kembali dan mengambilnya.

“Wah! Bawa oleh-oleh, nih!” sambut Hyunjae girang saat Sunwoo memasuki kantornya di bagian belakang bar.

“Enak aja. Ini punya Kak Chanhee sama Kak Changmin,” balasnya sambil membuka kulkas kecil di ruangan itu dan memasukkan kotak itu ke sana.

“Dih. Pelit. Nggak ada gitu lo ngebeliin buat gue?”

“Lo nitip duit, nggak?”

“Lo tajir tapi pelit, anjir.”

“Mau gue potong gaji bulan ini?”

“Enggak. Enggak. Ampun.”

“Becanda. Lo suka choco cake nggak, Bang?”

“Suka aja, sih. Kenapa emangnya?”

“Itu choco cake-nya ada tiga, buat lo satu. Gue bingung mau pilih apa buat lo, jadi gue samain aja.”

“Eh beneran?!”

“Iya. Sana ambil dulu sebelum gue berubah pikiran.”

Sambil bersiul senang, Hyunjae membuka kulkas dan mengambil box itu.

“Eh? Arani?”

“Tau?”

“Mmm … yang baru buka itu, ‘kan?”

“Iya. Kok tau?”

“Kemaren ada tamu yang cerita, katanya cake-nya enak.”

“Oooh.”

“Thanks ya, Sun.”

“Iya. Sama-sama,” jawabnya sambil beranjak menuju area kerjanya.

“Lo nggak apa-apa?” Sebuah pertanyaan menyambut Sunwoo begitu ia menginjakkan kaki di belakang meja bar.

“Lo lowong banget ya, Bang? Jam segini udah nongkrong aja lagi di sini.”

Sunwoo mengarahkan pandangannya ke seluruh ruangan. Agak sepi. Sedikit disayangkan, memang, tapi Sunwoo bersyukur karena dengan begitu ia bisa sedikit beristirahat dan mengorganisir pikirannya yang kacau balau.

“Gue denger tadi pagi lo ngurung diri di kamar?” Sunwoo menghela napas lelah.

“Nggak ngurung diri, gue cuma langsung istirahat aja begitu sampe rumah. Kak Chanhee sama Kak Changmin berlebihan,” elaknya.

“Kenapa?”

“Nggak apa-apa. Agak capek aja. Kenapa, sih?” cecar Sunwoo saat ia melihat Moonie hanya menaikkan sebelah alisnya sebagai tanggapan.

“Capek? Seorang Kim Sunwoo, yang bisa nggak tidur tujuh hari tujuh malem untuk ngelawan rapunga, bisa ngerasa capek?” Moonie bertanya dengan sinis.

“Bang—”

“Sebenernya ada apa, Kim Sunwoo?”

“Gue juga nggak tau, Bang. Ini gue lagi mau mikir, tapi kalo lo terus ngerecokin gue, gue nggak bisa mulai mikir.”

Memicingkan matanya, Moonie menatap atua di depannya dengan intens—berusaha membaca pikirannya—namun usahanya itu dipatahkan dengan mantra pelindung yang digunakan oleh Sunwoo. Salah satu mantra tingkat tinggi yang ia ajarkan kepada atua itu untuk melindungi pikiran dan batinnya agar tidak bisa dibaca oleh anahera atau atua lain.

Menghela napas kesal, Moonie menyerah dan mencabut mantranya.

Promise me you’ll tell me if anything happened?” pintanya.

I promise you.”


©️aratnish'22

Bagian 05 dari “Eternity”

Chanhee memperlihatkan percakapannya dengan Moonie kepada Changmin. Temannya itu mengangkat bahu dengan tatapan bingung.

“Ya udah deh, mending kita siap-siap berangkat kerja aja dulu kali, ya? Nanti sore kita tanyain lagi anaknya,” usul Changmin yang langsung disetujui oleh Chanhee.

Setelah membereskan meja makan yang mereka gunakan untuk sarapan sebelumnya dan mempersiapkan perlengkapan kerja mereka, Chanhee dan Changmin kembali ke depan kamar Sunwoo.

“Sun, gue sama Chanhee pergi kerja dulu. Lo istirahat aja, ya. Sarapan bagian lo ada di kulkas, nanti kalo lo mau makan, tinggal dipanasin aja. Buat makan siang nanti, delivery aja. Jangan coba-coba masak! Lo hampir ngeledakin dapur terakhir kali lo nyoba masak.”

Tidak ada jawaban lagi dari dalam kamar.

“Sun?” panggil Changmin lagi.

“Iya.” Akhirnya atua itu menjawab dengan suara serak. Entah karena menangis, entah karena mengantuk.

Yakin tidak akan mendapatkan jawaban apa-apa lagi dari Sunwoo, dengan berat hati Chanhee dan Changmin akhirnya pergi untuk bekerja.


Sunwoo bohong kalau ia bilang ia tidak menangis. Well, tidak sepenuhnya menangis, sih … hanya saja jujur ia sangat ingin menangis sampai dadanya terasa sesak dan kerongkongannya terasa panas.

“Nggak mungkin ‘kan itu dia?” bisik Sunwoo sambil mengusap wajahnya dengan kalut.

Semasa ia hidup, benda bernama foto memang belum ditemukan, namun Sunwoo dapat mengingat dengan pasti wajah seseorang dari masa lalunya. Bagaimana tidak? Ia hidup hampir satu dekade di bawah atap yang sama dengannya. Oke, tidak sepenuhnya di bawah atap yang sama karena Sunwoo tinggal di bawah atap pondok budak, sementara orang itu tinggal di bawah atap kediaman tuan rumah.

Tapi Sunwoo bisa mengingat dengan jelas matanya. Mata yang bersinar teduh dan—Sunwoo rasa—mampu melihat ke kedalaman jiwanya.

Dan pemuda yang tadi ditemuinya memiliki mata itu.

Mata yang sama.

Paras yang sama.

“Nggak mungkin orang yang sama, ‘kan?” lirihnya.

Tidak mungkin orang yang sama, karena Sunwoo melihat sendiri bagaimana orang itu menutup usia di masa tuanya. Dikelilingi oleh istri, anak-anak, serta cucu-cucu yang ia kasihi dan mengasihinya.

“Mungkin Kak Chanhee bener, gue cuma terlalu sering lewat jalan itu makanya jadi berhalusinasi.” Mendadak merasa lelah, Sunwoo pun memejamkan mata tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu.


Ketukan yang cukup kencang di pintu kamar membangunkan Sunwoo dari tidurnya. Dengan mata yang masih sebelah terpejam, ia melihat jam dinding di kamarnya. Pukul tiga sore. Chanhee dan Changmin belum akan pulang sampai pukul enam petang. Mengerang, karena mengetahui bahwa mungkin yang mengetuk pintu kamarnya adalah Moonie, Sunwoo bangkit dari posisinya.

“Apaan sih, Moon—” Kata-katanya terhenti di ujung lidah saat melihat orang-orang yang berdiri di depan kamarnya. “Eh? Kalian kenapa jam segini udah pulang?” tanya Sunwoo bingung.

“Gue nggak bisa tenang kerjanya. Kepikiran lo terus.” Changmin menyetujui pernyataan Chanhee itu dengan sebuah anggukan tegas.

“Gue nggak apa-apa,” respons Sunwoo sambil dengan rikuh menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Kita bakal liat nanti. Sekarang lo mandi dulu. Bersih-bersih, ganti baju. Lo pasti langsung tidur ‘kan tadi? Abis itu makan. Gue tadi beli burger sama ayam goreng kesukaan lo,” cerocos Changmin sambil mendorong Sunwoo menuju kamar mandi di kamarnya.

“Gue nggak laper.”

“Ya, ya, ya. Gue bakal nyekokin itu burger ke mulut lo sampe lo nggak bisa napas!”

Terkekeh geli, Sunwoo akhirnya menyetujui perkataan Changmin saat ia akhirnya menutup pintu kamar mandi.

“Lo tuh nggak harus nyimpen semuanya sendiri, Sun.” Chanhee membuka pembicaraan saat mereka duduk mengelilingi meja makan dengan burger, kentang, dan ayam goreng di hadapan mereka masing-masing. Oh! Jangan lupakan juga minuman soda dan satu gallon es krim rocky road di dalam lemari pendingin sebagai dessert.

“Gue cuma butuh waktu untuk mencerna semua,” elak Sunwoo.

“Trus rencananya sharing ke kita kapan?” tantang Changmin. Sunwoo terdiam. “Nah ‘kan? Berarti nggak akan sharing, ‘kan?”

Sorry.”

“Lo tuh bikin khawatir, Sun. Kita udah tinggal bareng beratus taun … and still counting. Kita tuh keluarga, kita harus saling ngejaga. Nggak bisa kalo cuma lo doang yang ngejaga kita berdua dari serangan rapunga atau yang lainnya. Well … kalo yang itu sih emang lebih baik diserahkan ke lo karena memang lo yang paling kuat. Tapi kalo misal ada masalah lain, ayolah dibicarain.”

Sunwoo terdiam mendengar ocehan Chanhee itu. Bukannya ia tidak mau bercerita kepada mereka berdua, tapi Sunwoo masih sulit memahami konsep dari ‘keluarga’ dan ‘berbagi’.

Sorry.” Lagi-lagi ia hanya bisa meminta maaf.

Chanhee dan Changmin menghela napas. Lelah akan kekeraskepalaan atua yang lebih senior dari mereka itu.

“Sunwoo …,” panggil Changmin pelan pada Sunwoo yang menunduk dan memainkan kentang goreng di piringnya. Saat Sunwoo mengangkat kepalanya, Changmin melanjutkan, “Lo boleh cerita, kok.”

“Gue ….”

“Ya?” Kedua teman serumahnya menyemangati.

“Gue nggak tau caranya cerita.” Sunwoo menunduk malu. Tidak percaya akan pendengaran mereka, Chanhee dan Changmin saling menatap dengan pandangan terenyuh.

“Bebas mau ceritanya kayak gimana, Sun. Nanti kalo ada yang gue atau Changmin nggak ngerti, kita pasti nanya. Yang penting lo cerita sesuai keinginan lo aja dulu, kita ngikutin.”

Hening bersemayam di antara mereka cukup lama, sampai-sampai Chanhee dan Changmin mengira bahwa Sunwoo tetap tidak akan bercerita.

“Bekas tempat eksekusi gue dulu ternyata sekarang jadi toko kue,” cetus Sunwoo dengan suara pelan, lima menit berselang.

“Oh?” komentar Changmin saat Sunwoo tidak berkata lebih lanjut.

“Tadi pagi waktu gue lewat sana, ada pegawainya yang udah dateng. Dia lagi bawa satu kantong gede penuh jeruk, sambil mau buka pintu toko. Terus ada jeruknya yang jatuh. Dia lalu ngebungkuk untuk ngambil, tapi jadinya lebih banyak jeruk yang jatuh.”

Pada wajah yang masih muram beberapa menit sebelumnya itu kini tertoreh sebuah senyum kecil saat mengingat kejadian konyol pagi tadi. Senyum yang menular kepada Chanhee dan Changmin.

“Terus gue ketawa, eh kedengeran sama dianya, terus dia nyuruh gue bantuin mungutin jeruk. Waktu gue ngasihin jeruk yang udah gue pungutin, dia bilang makasih sambil ngeliat ke arah gue. Terus ….”

Mendung kembali meliputi wajah tampan Sunwoo dan ia pun tidak melanjutkan kata-katanya.

“Terus … kenapa, Sun?” tanya Chanhee perlahan, tahu bahwa mereka telah sampai di inti cerita Sunwoo. Perlahan pemuda itu menggeleng. Kembali menutup diri.

“Nggak sekarang nggak apa-apa?” Akhirnya ia bertanya. Menyembunyikan desah kecewa, Chanhee dan Changmin mengangguk bersamaan.

“Nggak apa-apa. Take your time, Sun.”

“Gue mau tidur sebentar, ya. Makasih makanannya.”

Setelah melihat anggukan dari kedua teman serumahnya, Sunwoo pun beranjak menuju kamarnya lagi.

“Gue jadi makin penasaran,” gerutu Chanhee pelan saat ia yakin Sunwoo sudah masuk ke kamarnya.

“Nggak apa-apa. Dia masih butuh waktu untuk terbuka.”


©️aratnish'22

Bagian 03 dari “Eternity”

Meregangkan badannya, Sunwoo mengerang saat otot-otot punggungnya memprotes.

“Nggak usah yang aneh-aneh gerakannya, lo tuh udah tua, nanti salah urat,” goda Moonie dari belakangnya.

“Pret. Masih tuaan lo, ya Looney.” Yang diejek hanya tertawa geli.

“Mau langsung pulang?”

Sunwoo mengangguk. “Bentar lagi matahari terbit, gue nggak mau jadi abu.”

“Lo bukan vampir, sinting!”

“Tapi gue punya taring.”

“Hiasan aja itu! Biar keliatan keren!”

“TAPI BIKIN SUSAH KALO MAU MAKAN APEL, KAMPRET!”

Moonie tertawa keras mendengar protesan Sunwoo yang selalu sama sejak empat abad silam.

“Udah gue bilang, lo bisa pake serum biar taring lo nggak keluar selama satu minggu, 'kan? Chanhee sama Changmin aja selalu pake itu.”

“Males. Serumnya nggak enak. Terus pas taringnya tumbuh lagi rasanya linu banget.”

“Ya itu sih derita lo. No pain, no gain, baby.”

Mendengus—walaupun tidak dengan sepenuh hati—Sunwoo melepas apron-nya.

“Lagi nggak ada kerjaan, Bang? Tumben lo ngerecokin gue sampe jam tutup bar. Moonie menggeleng. Kali ini dengan ekspresi serius.

“Perasaan gue nggak enak dari kemaren.”

Sunwoo mengangkat sebelah alisnya. “Emang lo punya perasaan? ADUH! Nanti gue gegar otak!” Laki-laki itu memprotes saat Moonie memukul kepalanya dengan kotak cerutu yang ada di atas meja bar.

“Emang lo punya otak?” balas Moonie sebal.

“Ya lagian, perasaan lo yang nggak enak, kok bilangnya ke gue?” Sunwoo masih mengelus bagian kepalanya yang dipukul oleh Moonie.

“Karena itu tentang lo.” Seketika Sunwoo terdiam.

“Ada rapunga di sekitar sini? Gue rasanya udah pasang barrier biar nggak ada rapunga yang bisa masuk.”

Merupakan salah satu dari atua senior dan menjadi atua favorit Moonie, ia diperbolehkan untuk mempelajari satu atau dua sihir tingkat tinggi dari anahera unik tersebut. Sihir pertama yang ia pelajari dan ia kuasai adalah membuat barrier untuk melindungi daerah tempat tinggalnya supaya tidak diserang oleh rapunga.

“Bukan.” Moonie menjawab disertai sebuah gelengan.

“Terus?”

“Nggak tau, tapi gue jadinya nggak bisa tenang. Gue harus liat lo dengan mata kepala gue sendiri. Telepati aja nggak cukup.”

Sunwoo tidak terbiasa mendapat perhatian dari orang lain. Mungkin itu dipengaruhi oleh pengalamannya semasa menjadi manusia, namun setiap ada orang yang memberi perhatian padanya, Sunwoo akan cenderung tidak percaya dan menarik diri. Hanya kepada Moonie ia membiarkan dirinya sedikit percaya akan perhatian yang diberikan. Bagaimanapun, Moonie lah yang membantunya sehingga ia bisa ada di titik ini saat ini.

“Gue nggak apa-apa, Bang.” Sunwoo meyakinkan sang anahera. Moonie mengernyitkan dahinya, masih merasa tidak nyaman dengan perasaan yang dimilikinya.

“Bang … seriusan deh, apaan sih yang bakal lebih buruk daripada kalah dari rapunga? Gue udah nggak selemah dulu, gue udah bisa bela diri sekarang, gue nggak akan kalah segampang dulu lagi.”

“Pokoknya kalo ada apa-apa, kapanpun itu, hubungi gue!” Sunwoo memutar bola matanya dengan malas.

“Janji dulu sama gue, Kim Sunwoo!” desak Moonie. Ada nada putus asa di dalam suaranya yang membuat Sunwoo mulai berpikir bahwa ini bukan masalah sepele, karena tidak biasanya anahera nyentrik itu memaksanya seperti ini.

“Iya, Bang. Gue janji.”


Melangkah menyusuri jalan pulang, Sunwoo berjalan lebih lambat daripada saat ia berangkat kerja. Jalanan yang masih cukup lengang, udara yang segar, dan semburat malu-malu sang mentari yang perlahan muncul di ufuk timur sangat sayang untuk dilewatkan.

Dan sampailah ia di sana, di seberang toko kue yang baru mengadakan soft opening sehari sebelumnya. Satu sosok, yang tengah berusaha membuka pintu toko dengan tangan kanan sambil membawa kantong kertas yang penuh dengan jeruk di tangan kirinya, menarik perhatian Sunwoo.

Toko kue emang biasanya buka jam berapa, sih? Kok jam segini pegawainya udah ada yang masuk? pikir Sunwoo setelah melirik arlojinya. Pukul lima lebih duapuluh lima menit.

Satu buah jeruk menggelinding keluar dari kantong kertas yang dibawa oleh sosok itu. Bahkan dari seberang jalan, Sunwoo dapat mendengar gerutuan dari pemuda yang usianya tampak tidak beda jauh dengan usia manusianya.

“Uh-oh! Bad idea,” kata Sunwoo pelan saat dilihatnya pemuda itu membungkuk untuk mengambil jeruk yang sebelumnya terjatuh. Benar saja, saat sang pemuda membungkuk, lebih banyak jeruk yang berhamburan keluar dari kantong kertas yang dipeluknya dengan dengan tangan kiri.

Suara gerutuan semakin keras terdengar, membuat Sunwoo melepaskan tawa yang tiba-tiba ingin keluar dari kerongkongannya. Mendengar ada suara lain selain dirinya, pemuda itu menoleh dan melihat Sunwoo di seberang jalan.

“Daripada ngetawain di situ, mending bantuin gue, nggak sih?” seru pemuda itu kesal, dan mungkin malu, sambil menunjuk beberapa buah jeruk yang menggelinding ke arah Sunwoo. Tersenyum kecil di balik masker hitamnya, Sunwoo pun bergerak untuk mengambil jeruk-jeruk itu.

“Nih.” Sunwoo menyodorkan jeruk-jeruk yang telah dipungutnya kepada si pemuda yang masih membungkuk dan memasukkan jeruk-jeruk yang berhasil dipungutnya sendiri ke dalam kantong.

Thanks,” jawab pemuda itu sambil menatap Sunwoo.

Dan waktu seakan berhenti bagi Sunwoo saat itu.


Suara pintu dibanting dan suara berisik seseorang pada saat berlari menaiki tangga rumah itu membuat Chanhee dan Changmin terlonjak dari kursi masing-masing.

“Sunwoo?”

“Sunwoo.” Chanhee menjawab setelah melihat jam dinding.

Mengabaikan sarapan masing-masing, Chanhee dan Changmin bergerak bersamaan menuju kamar Sunwoo di lantai dua.

“Sun?” panggil Changmin sambil mengetuk pintu kamar itu. Tidak ada jawaban.

“Sunwoo? Lo nggak apa-apa?” Kini giliran Chanhee yang bertanya.

Masih tidak ada jawaban, Chanhee mencoba untuk membuka pintu kamar itu. Tidak bisa. Terkunci.

“Sun … seriusan, deh! Lo kenapa, sih?! Jangan bikin khawatir gini!” Chanhee mulai meninggikan nada suaranya.

“Gue nggak apa-apa.” Akhirnya Sunwoo menjawab. Dengan suara yang—sangat kentara—bergetar. Chanhee dan Changmin bertukar tatapan terkejut dan bingung. Sunwoo yang mereka kenal adalah orang yang tegas, percaya diri, dan tidak pernah gentar, maka suara yang bergetar itu sangatlah out of character.

“Sunwoo, lo … nangis?”

“MANA ADA?!” bentak Sunwoo dari dalam kamar. Kedua pemuda yang ada di depan pintu terkekeh kecil. Ini Sunwoo yang mereka kenal.

“Ya terus kenapa? Kok dateng-dateng langsung lari ke kamar? Nggak nyapa atau sarapan dulu?” Changmin tidak kapok untuk bertanya

“Nggak laper.”

“Ya kapan sih atua ngerasa laper? Tapi terlepas dari laper atau nggak, kegiatan kita makan bareng itu ‘kan bisa kita manfaatin untuk ngobrol-ngobrol.”

“Lo nggak bosen apa ngobrol-ngobrol sama gue ratusan taun lebih?” Sunwoo menentang Chanhee dari dalam kamar. Yang lebih tua umur manusianya itu menghela napas sambil menggeleng kecil.

“Lo itu kalo cranky gini biasanya kalo lagi tiba-tiba keinget sama masa lalu, deh. Lo pasti ngelewatin bekas tempat eksekusi lo lagi, ‘kan? Udah gue bilang, cari jalan lain ke tempat kerja! Senengnya kok nyakitin diri sendiri?!” balas Chanhee tidak kalah kesal.

Denting notifikasi dari ponselnya membuat Chanhee kembali menghela napas dan memeriksanya. Ia semakin terkejut saat mendapati siapa yang mengiriminya pesan teks.


©️aratnish'22